Dear seseorang pada tahun 2001
Saat ini aku hanya sedang terpaku menatap dinding tinggi tempat tertempel sebuah poster bias kesayangan. Kutahu di tahun tempat kamu berada belum terdengar namanya.
Dia Min Yoongi atau Agustd atau Suga, tiga nama dalam satu raga. Orang bilang yang mengidolakannya memiliki trauma, terluka di kehidupan nyata, dikecewakan lelaki. Tidak semua, tapi hampir semua.
Mmm, sama sepertiku.
Tidak ada ayah atau pasangan yang menjadi rumah bagiku. Hmm, terlahir dari kesepian itu aku menghibur diri. Menemukan cara membahagiakan diri sendiri, menyembuhkan luka sedikit demi sedikit.
Jangan menghakimiku untuk itu. Ada yang menegurku.
"Kenapa si korea-an mulu!"
Bukankah kita memiliki cara bahagia yang berbeda-beda, jangan karena berbeda selera lantas saling mencela. Mencintai K-POP bukan berarti tidak cinta negeri sendiri. Sekali lagi ini hanya soal selera, sama halnya dengan film India, sinetron, telenovela atau drakor yang memiliki target pasar masing-masing.
Apakah kamu yang membaca ceritaku ini masih heran dengan situasi yang kuceritakan?
Bagaimana di tahun keberadaanmu? Apa ada artis besar yang begitu diinginkan wanita untuk dijadikan suami? Ataukah kamu termasuk pada golongan orang-orang yang mencela kehaluan kami ini?
Ayolah, kalau kamu ingin berhadapan dengan istri-istri Yoongi yang hampir separuh bumi. Akh ya, itulah lelucon yang beredar di antara kami.
Bukankah hidup itu harus terus berlanjut ya ... life goes on. Entah pada akhirnya nanti kita akan temui perpisahan, datangnya hal menyakitkan atau mental hancur berkeping-keping. Sekali lagi, jangan kamu sepelekan berantakannya mental seseorang yaa ....
Setiap manusia memiliki validasi emosi yang berbeda. Biarkan saja aku tenggelam dalam halusinasi rasa yang tak perlu menantikan pengakuan nyata.
Senior mengatakan, setelah sumpah serapah bos menerjang bagai air bah tanpa peringatan, aku akan berlarian di koridor kafe begitu cepat, tentu saja untuk mengisi tangki cintaku full.
Senior juga berkata untuk tidak menggangguku saat aku memandangi wajah Min Yoongi di layar ponsel atau mendengar lagunya melalui earphone. Aku bukannya sedang bahagia melainkan berusaha bahagia.
Bisa saja ketika story instagram tentang Yoongi adalah sinyal aku yang tengah menangis dan bukannya tertawa. Hidup memang selucu itu ya ... akh ya aku lupa, di tahun kamu berada belum banyak media sosial seperti di tahunku saat ini.
Lalu bagaimana cara kamu memvalidasi ekspresi ungkapan perasaan saat itu?
Salli, 2023
***
Langkahku kembali terhenti seseorang menepuk pundakku. Sebuah senyum menyambut arah mataku.
" Aku menyiapkan pancakes dan beberapa croissant untuk sarapan kita, ayoo ...."
Senior ini memang baik, dia selalu tidak melewatkanku dalam breakfast pagi, bahkan ia akan menambahkan segelas susu untukku. Katanya aku masih dalam masa pertumbuhan. Aku mengangguk, mengiyakan ajakannya.
Aku memang lapar tapi rasa penasaranku saat ini lebih besar. Terlebih aku lebih menikmati sarapan tanpa kehadiran bos. Tatapan mata elang bos seakan menembus jantungku setiap kali aku mengunyah atau menelan makanan di hadapannya. Dia baru benar-benar mengalihkan pandangannya ketika aku mengosongkan isi piring. Dia tidak tahu sikapnya yang begitu membuatku sering tersedak.
Senior hendak meraih tanganku ketika akhirnya aku memberikan alasan agar ia meninggalkanku.
" Ada yang harus kulakukan terlebih dulu Kak."
Aku segera berlari kecil menuju kotak pos merah dan mencoba mengintip. Lubang surat itu tidak terlalu lebar tapi cukup bagiku mengetahui isi di dalamnya telah kosong. Rasa gamang menyerbu, ada yang mengambil surat-surat itu atau benar-benar tertelan mesin waktu. Setengah tidak percaya dan kecurigaan yang menjalar membuatku terus mencoba mengintip lebih jelas. Sungguh aneh, bukankah ini yang kuharapkan terjadi, tapi di saat betul-betul terjadi aku mulai ragu.
"Apa yang kau lakukan Salli?" tanya Senior mengagetkan, rupanya ia mengikutiku.
Mata Senior melotot, membuat wajahnya menjadi sangat lucu, aku tidak bisa mengatakan ia tidak tampan. Aku menggeleng cepat, bagaimanapun aku tak ingin senior mengetahui bahwa aku percaya pada rumor surat menembus waktu.
Aku membalik punggung senior dan menarik tangan senior yang masih tercium aroma adonan pastry, mengajaknya kembali ke ruang kafe untuk sarapan bersama. Hatiku masih entah berantah, bertanya-tanya bagaimana nasib surat yang kumasukkan pada kotak pos merah. Di antara surat-surat yang kukirim untuk tahun 2001, tentu saja aku tak lupa menyebutkan nama senior di dalamnya.
Bersambung