Dear seseorang pada tahun 2001, apakah sekarang kau siap membaca ceritaku?
Hari ini aku bekerja lembur, terpaksa. Ada kejadian di kafe tadi siang, aku memecahkan piring lagi, diteriaki juga dimaki bos.
Sudah biasa memang, tapi hari ini dadaku lebih sesak dari biasanya. Tadi pagi tidak sempat sarapan. Ibuku termenung depan panggangan kosong, tak ada aroma roti pagi ini. Ibu tidak memasak nasi, sepertinya kantung beras juga kosong.
Kuhanya mencicip sedikit teh, itupun pahit. Pantas saja perutku justru melilit. Mungkin karena itu ... di kafe pandanganku kabur, lututku bergetar menahan lapar. Piring-piring itu menjadi saksi bisu betapa lemahnya aku.
Apa kau tahu kawan?
Aku sangat ingin kabur. Tapi langsung teringat adikku yang butuh makan. Maka kurendahkan ego dalam diriku dan menerima segala sumpah serapah. Memang dalam hal ini aku bersalah, aku ceroboh.
Sampai akhirnya seorang senior baik hati menyumpalkan roti panggang dalam celemekku. Ia juga menyodorkan segelas susu hangat, tapi aku bodoh kawan, roti dan susu itu tak sanggup tertelan. Teringat adikku yang menunggu di rumah. Aku justru bersembunyi di balik dinding kafe dan menangis tersedu.
Sembilan belas tahun ini aku pasti sudah kenyang makan roti bukan? Sedangkan adikku baru hidup di dunia ini selama enam tahun, perut kecilnya tak akan mampu menahan perih, begitupun ibuku yang selalu menyembunyikan rasa nyeri di jantungnya. Aku tahu ia harus terus berobat tapi lagi-lagi kami tak punya cukup uang untuk itu.
Kini kami tinggal bertiga, ayah hilang entah kemana, kuharap bumi benar-benar menelannya. Aku muak menyaksikan kekanakannya. Lebih baik ia pergi daripada terus menyakiti.
Aku anak perempuan pertama, harus tegar dan menghilangkan rasa sentimental. Itu semua agar kami bertiga sukses melanjutkan hidup. Sementara ini aku kuliah sekaligus bekerja, bahkan bukan hanya satu kerja sampingan tapi dua atau bahkan tiga. Saat ini apa saja yang membuatku cepat mengumpulkan banyak uang, akan kulakukan. Tentu saja pekerjaan itu tidak melanggar moral dan etika. Kendati lelah dan terasa remuk tulangku akan tetapi aku hanya menerima sedikit upah. Pekerjaan di luar kafe itu adalah sebagai tenaga bersih-bersih pada deretan toko kelontong yang tersebar di sekitar Kafe Gerimis. Mereka memerlukan orang untuk membuka pintu dan jendela, membersihkan lantai dan mengelap meja sebelum jam buka toko dimulai.
Hmm, aku sama sekali tidak mengeluh karena mengambil alih tanggung jawab pada ibu juga adik, meskipun aku harus menolak semua lelaki yang mendekat, termasuk pria yang kusukai. Trauma kehidupan ibuku begitu melekat dan membuat aku takut pada lelaki seperti ayah. Bukankah dulu mereka pernah saling mencintai, lalu mengapa lelaki itu bisa berubah dan tega dalam sekejap? Setelah pertemuannya dengan seseorang yang membisikinya kata cinta melarutkan rayuan buta.
Ibuku tidak melakukan kesalahan apapun, kesalahannya hanya satu, bertemu dengan orang yang salah di tahun 2001.
Jika surat ini sampai di tanganmu, bisakah kau mengantarkan pada ibuku yang masih berusia delapan belas tahun?
Katakan padanya untuk tidak datang pada undangan pesta pergantian akhir tahun 2001, agar di sana ia tidak pernah bertemu dengan seseorang yang empat tahun kemudian menjadi ayahku. Mungkin hidupnya akan lebih baik jika saja ia bertemu dengan orang lain di tahun berikutnya.
Note: Ibuku yang berusia delapan belas tahun selalu membawa gitar kemanapun ia pergi, selalu memakai bandana biru, wajahnya bersinar seperti rembulan ketika ia bernyanyi dan bermain musik. Kau dapat menemukannya di Kafe Gerimis tahun 2001. Kafe yang sama di mana kau menemukan kotak pos merah ini.
Dari Salli, 2023
Itu adalah isi dari surat pertamaku. Termasuk dari bagian surat-surat yang kukirim tepat gerhana bulan sebagai pembuka gerbang dimensi waktu.
***
Seandainya saja bos tidak cepat menemukanku dalam derai hujan malam itu, akan kutunggu isi kotak pos merah tertelan dalam tarikan dimensi waktu.
Karena itu pagi ini akan kupastikan dengan jelas apakah surat-suratku masih ada dalam kotak pos merah atau tidak.
Sedikit mengendap-endap kumelewati lorong panjang yang menghubungkan halaman depan dan halaman belakang kafe. Tentu saja lagi-lagi aku melarikan diri. Aku takut bos menjadi murka dan menuduh kerjaku hanya bermain-main saja. Sudah tugasku pada pagi hari membantu head barista menyiapkan coffee cup. Sesekali akupun akan memeriksa oven apakah pastry buatan senior telah matang sempurna.
Ada dua orang yang akan membuat roti-roti panggang yang aromanya akan memenuhi seluruh ruangan kafe, pertama senior kafe tempat aku bekerja dan yang kedua bos kafe itu sendiri. Aku memanggil mereka dengan sebutan Senior dan Bos. Namun orang-orang memanggil mereka Sun dan Moon. Ya, matahari dan bulan, sesuai sikap mereka yang bertolak belakang. Senior selalu mendatangkan keceriaan di manapun ia berada sedang bos susah didekati dan sedingin bulan.
Sudah pasti pemandangan pagi ini mirip dengan pagi-pagi biasanya, bos yang memakai kemeja berkerah berwarna coklat dipadu celana panjang berwarna hitam dan juga celemek berwarna senada memamerkan espresso beraroma menggoda di tangannya. Beradu aroma pancakes buatan senior yang telah terhidang di meja.
Perutku mendadak berisik. Terlalu menggiurkan. Tapi harus ada yang kulakukan sekarang. Tepat saat aku membuka pintu yang menimbulkan sebuah suara.
Kreeek ....
Senyum senior mengembang melihatku. lambaian tangannya mengajakku bergabung bersama mereka. Bos hanya melirik sekilas acuh tak acuh.
“Salli!” senior setengah berteriak memanggilku. Langkahku terhenti.
“Nanti saja Kak!” jawabku cepat.
Segera menghilang di balik pintu dan melanjutkan rencanaku semula.
***
Sepanjang lorong ini ada dua dinding tinggi berhadapan. Pada kanan kiri dinding itu tertempel poster besar grup idol asal Korea Selatan yang namanya telah mendunia. Aku tak mengerti sejak kapan bos juga menyukai BTS. Tetapi dua dinding ini adalah tempat favorit melepas lelahku. Aku selalu menghentikan langkah tepat pada dinding yang tersorot lampu ungu. Sebuah bingkai besar menghiasi poster bias kesayanganku. Sepertinya akupun menuliskan ini ke dalam suratku yang kedua.
Bersambung