Napasku terengah, aku tak memiliki banyak waktu lagi. Kulirik sekilas jam tangan, mengabaikan suara gelegar petir yang cukup membuat bergidik. Bergegas meraup semua tumpukan surat dalam kantong kulit hitam, memasukkannya tergesa pada kotak pos merah yang dijaga oleh seekor kucing hitam.
Aku yakin betul tepat malam ini gerhana bulan, akhir Oktober 2023 sesuai dengan perkataan orang dalam berita cuaca televisi. Bahkan aku melingkari kalender di kafe agar terus mengingatkanku akan datangnya hari ini.
Di luar perkiraan, mendungnya langit enggan beranjak hingga malam menjelang. Sungguh aneh, prakiraan cuaca hanya memperkirakan kemunculan awan kumulus sebagai tanda cuaca cerah dan bukannya awan kumulonimbus sebagai pertanda hujan lebat disertai badai petir.
Apakah cerahnya langit tidak berlaku untuk gerhana kali ini? Langit begitu mendung sedari sore. Orang-orang yang tengah bersiap melihat gerhana bulan pasti kecewa, termasuk bos kafe tempatku bekerja.
Menengadah menatap kegelapan langit yang pekat, tubuhku terduduk di dekat kotak pos merah, bersandar padanya. Semoga aku belum terlambat, menurut rumor aku harus terlebih dahulu membuka gerbang dimensi waktu pada saat gerhana bulan berlangsung, kesempatanku hanya pada saat gerhana dan sialnya aku tak tahu kapan tepat jam, menit, detik kemunculannya. Tidak sempat menonton berita. Seharian ini terlalu sibuk membersihkan meja bar dan aku sedikit kesal jika mengingat betapa konyolnya Bos menahanku meninggalkan pantry dengan alasan memisahkan biji kopi yang besar dan yang kecil. Bukankah nantinya mereka akan melebur menjadi satu.
Titik-titik gerimis mulai membasahi poni yang menjuntai. Perlahan tapi pasti gerimis berubah menjadi hujan lebat. Seekor kucing hitam menampakan dirinya yang lantas cukup membuatku terkesima. Kucing hitam itu menguap, memamerkan gigi taring tajamnya. Selanjutnya ia hanya melirik sekilas diriku yang tengah payah, terduduk lemas setelah berlarian menuju halaman kafe tempat kotak pos merah berada. Kucing hitam itu mengayunkan kaki panjangnya, berjalan pongah mengibaskan ekor kiri, kanan, kiri, kanan, serasa anggun sekaligus elegan berjalan menjauh pergi. Kaki-kaki lincah membawanya lenyap dalam perlindungan dinding pertokoan.
Wajahku basah sempurna, senyuman menghiasi bibirku, misiku selesai.
Terngiang senandung lagu di kafe malam itu.
Saat gerimis pertama turun di bulan Desember, temukan sebuah kotak pos berwarna merah di halaman Kafe Gerimis, hujan mulai menggila dan mesin waktu mulai bekerja, antar surat-suratmu pada tahun 2001, silakan beri pesan pada seseorang pada masa lalu, kucing hitam akan menandaimu.
Lagu tersebut cukup berteka-teki, karena lirik berikutnya berbunyi ....
Sepucuk surat akan mendatangimu, mereka datang menembus waktu dengan bantuan kekuatan gerhana bulan.
Seringai di bibir berubah getir seiring jalan pikirku. Jika masa kini berubah, jika seseorang menyampaikan pesanku pada ibuku di tahun 2001, mungkin saja aku tidak akan pernah terlahir di bumi. Tentu saja jiwaku akan terlepas dari belenggu yang mengikat ini bukan?
Sesungguhnya aku tak benar-benar mengetahui kapan tepatnya lubang mesin waktu akan terbuka, saat gerhana bulan ataukah gerimis pertama di bulan Desember. Lalu aku memilih waktu terdekat, gerhana bulan malam ini, karena aku tak sabar. Keputusanku bisa saja salah, rasa percaya pada rumor yang beredar bisa juga keliru. Kotak pos merah masih menjadi sebuah misteri. Namun aku cukup tertarik dengan tahun 2001 yang tersebut dalam nyanyian gerimis pemilik kafe. Berkaitan dengan takdir hidupku, tahun itu adalah tahun yang ingin aku ubah.
Ya, 2001 adalah tahun pertemuan antara dua remaja yang kini menjadi orang tuaku. Hubungan mereka tidak berhasil dan saling menyakiti. Bertahun-tahun ibuku bertahan meskipun hidup dalam penderitaan dan itu semua ia lakukan karena kelahiranku yang menjadi bentuk tanggung jawabnya.
Ibu merasa wajar mengesampingkan kebahagiaannya agar anak-anaknya mendapat keluarga utuh. Tentu saja itu adalah keinginan mulia dari seorang ibu. Seandainya saja ... ya, seandainya saja pasangan hidupnya memberlakukan tujuan yang sama. Ibu masih sangat muda ketika perangai ayah kami perlahan mulai berubah. Ayah mulai sering membentaknya dengan kasar. Tak jarang mempermalukan diri ibu di hadapan umum. Ayah menganggap dirinya superior karena mencari nafkah, tidak sedikitpun ia berusaha menyelami pikiran ibu yang selalu berkutat merawat anak sepanjang hari.
Perlahan tapi pasti rasa cinta ayah memudar. Aku sering memergoki ibu kesepian sendirian melamunkan kehidupannya yang berubah drastis. Sementara ayah akan pulang larut disertai bau alkohol juga parfum wanita malam. Ayah menjadikan hiburan malam sebagai pelarian atas kegagalannya dalam tiap bidang usaha dan menumpahkan segala kesalahannya pada ibu, seolah ibulah yang menyebabkan seluruh bisnis yang digeluti ayah menemui jalan buntu.
Lambat laun sikap ayah membuatku muak. Puncaknya pertengkaran kami setahun lalu, aku ikut berteriak ketika ayah meneriaki ibu. Aku benar-benar menumpahkan segalanya, yang selama ini kupendam. Terlalu lama kutahan. Karena aku menghormati ayah. Tapi sikap dan perbuatannya sungguh di luar batas, menyakiti ibu kami dengan sikap melecehkan. Ayah mulai secara terang-terangan membanggakan kekasih gelapnya yang berprofesi sebagai penyanyi dan menghina ibu yang pernah gagal mengikuti audisi menyanyi dan berakhir di dapur saja. Aku sangat marah mendengarnya, sebab aku tahu jelas, mengapa dulu ibu gagal pada tahap audisi, itu semua karena keberadaanku. Pada waktu ibu lolos seleksi dan akan maju pada tahap selanjutnya, disitulah ia mengetahui dirinya berbadan dua, sehingga diurungkan niatnya melanjutkan tahapan audisi. Kata ibu, ia ingin menyambut kehadiranku di dunia ini dengan penuh percaya diri.
Hujan mulai mereda kendati langit masih begitu pekat, seseorang datang tergopoh menghampiri aku yang duduk terkulai dengan tubuh basah kuyup serta bibir gemetar.
Seseorang itu menyeret paksa lenganku dengan sibuk mengomel. Sepertinya ia marah karena aku begitu saja meninggalkan tugasku memisahkan biji kopi sesuai ukuran. Apakah benar harus seperti itu, rasanya aku tidak terima jika segala hal harus sesuai takaran, sesuai ukuran. Jika benar seperti itu lalu bagaimana orang sepertiku, masuk ke dalam takaran seperti apa diriku yang untuk tidur dalam keadaan kenyang saja harus berjuang lebih keras.
Aku menatap punggungnya yang juga basah, nampaknya ia langsung berlari sesaat setelah melihatku terduduk di atas tanah bersandar kotak pos merah di antara derai hujan malam ini. Nampaknya ia juga kesal karena gagal melihat gerhana bulan tanpa tertutup awan kelabu. Aku mengikuti langkah kaki orang itu namun arah pandanganku masih tertuju pada kotak pos merah yang semakin jauh kutinggalkan. Hmm, aku bergumam sendiri dan berdoa.
Hembusan angin malam membawa surat-surat itu terbang melayang menyusuri lorong waktu, berkejaran dengan air mata yang mulai mengering. Harapanku seseorang yang tepat menemukan surat-surat itu, ia akan temukan cerita tentang diriku di dalamnya.
Bersambung