15 menit berjalan, tidak banyak yang kami bicarakan atau, lebih tepatnya, kami semua kelelahan dan memilih untuk menghemat energi hingga tiba di markas, lalu segera menjauh dari Yeriko.
Sesampainya di depan gerbang masuk, seorang penjaga menghalangi kami. Dia tampak berbeda dari penjaga pagi tadi.
“Tahan sebentar, sebutkan keperluanmu.”
“Hey, kami tinggal di sini, jadi biarkan kami masuk!” protes Freya.
“Tenanglah, Freya, biar aku yang berbicara,” kataku. Freya mundur dan Cedric maju.
“Kami habis latihan dengan pelatih Lilyfa,” ucap Cedric.
Prajurit itu diam sejenak, memperhatikan apakah Cedric berbohong atau tidak, lalu mengangguk dan segera membuka pintu besi itu.
“Lah, kok bisa?” tanya Freya.
“Kau dokter, seharusnya tahu kan?” balas Cedric.
“Apa?”
“Fakta bahwa komunikasi yang baik itu penting, jadi jangan marah-marah atau pasien yang datang bakal lebih sakit setelah pulang dari klinikmu.”
Aku tertawa mendengarnya. Itu ungkapan yang lucu. Ketika seseorang yang sakit datang lalu dimarahi oleh dokternya.
“Serah, ayo, Rika, aku harus mandi,” kata Freya, menarik tanganku.
“Eh, iya, aku juga belum mandi.”
***
Singkat cerita, aku dan Freya sibuk merapikan barang-barang kami setelah membersihkan diri. Cedric juga sudah mendapatkan izin untuk meninggalkan markas dan hidup mandiri di luar markas. Mereka memberinya uang 15 juta untuk hidup selama sebulan, cukup untuk kami berempat karena mata uang kertas sedang naik lagi setelah inflasi akibat digantikannya mata uang digital yang relatif tahan inflasi. Namun, berbeda dengan sekarang, mata uang kertas sudah hampir punah dan tidak dicetak ulang sehingga harga setiap uang kertas menjadi naik.
Di saat lengang fokus dengan tas dan barang masing-masing, Cedric berseru memecah kesunyian.
“Freya, di mana kau meletakkan bubuk kopi milikku?”
“Huh? Kenapa aku?”
“Kau yang sering minum kopi, sama seperti Luna juga.”
“Heh, sejak kapan aku minum kopi lagi sejak kita pergi?”
“Mana aku tahu, mungkin kau minum diam-diam kan.”
“Tidak, tidak ada yang seperti itu.”
“Hey, kembalikan!”
“Apa sih, aku tidak mengambilnya.”
“Serius!”
“Iya, serius, lagi pula ngapain kau membawa kopi?”
“Iya, untuk jaga-jaga.”
“Tidak berguna.”
“Hey!”
Mereka masih terus mengoceh tentang hal yang sama hingga mengulik kesalahan masa lalu. Aku menutup telingaku dan menjauh membiarkan mereka bertengkar, sudah hal biasa.
“Biarlah, paling sebentar lagi mereka diam.”
***
Beberapa jam berlalu hingga memasuki awal sore. Kami berpamitan dengan beberapa penjaga dan dokter yang merawat kami dengan baik. Tidak ada Yeriko, dia tidak bisa ditemui kapan pun. Dia pasti sibuk dan aku juga tidak ingin bertemu dengannya. Aku benci tokoh politik.
“Jadi, kemana kita akan pergi?”
“Ikut saja aku.”
“Hm, oke,” jawab Freya. Aku hanya menyimak dan segera mengangkat tas, lalu kami beranjak pergi meninggalkan halaman depan pintu besi.
“Mari berangkat!” seru Cedric dengan semangat, mengangkat tangan kanannya.
5 menit perjalanan memasuki wilayah penduduk. Tidak banyak yang bisa dilihat dan terlalu sepi. untuk kota industri. Di saat aku memutuskan memecahkan kesunyian, beberapa pertanyaan mengganggu pikiranku.
“Cedric, bolehkah aku bertanya?”
“Iya, tentu saja.”
“Bagaimana kondisi Luna saat kita tinggal di markas itu?”
“Dia akan baik-baik saja, aku tahu dokter di sana profesional dan mereka tidak terikat dengan apapun. Benar, kan, Freya?”
“Tergantung pada kepribadian dokternya. Namun, aku berharap mereka tetap melakukan tugas mereka karena kemanusiaan.”
“Kalau bukan karena kemanusiaan?” tanyaku.
“Mereka mungkin akan memasukkan beberapa obat-obatan murahan dan buruk,” jawab Freya.
“Jadi itu berbahaya, kan? Apa kita tidak segera kembali?” tanyaku cemas.
“Tidak bisa, Rika. Walaupun terdengar egois, kita juga harus berkembang. Kamu tidak ingin, kan, kita terus di sini dan bergantung pada mereka?” Cedric menjelaskan.
“Iya, Rika, Cedric benar. Aku juga selalu mengawasi obat-obatan yang masuk ke tubuh Luna setiap saat dan memberikan saran obat yang tepat, dan respon dokter di sana sangat bagus. Mereka menuruti saranku hingga kita pergi sore ini,” tambah Freya.
“Begitu ya,” aku mengangguk.
“Sudah, jangan bersedih, dia pasti akan sembuh,” ucap Cedric, membesarkan hatiku lagi. Aku mengangguk balas tersenyum kepada mereka berdua. Mereka benar-benar seperti ayah dan ibuku di rumah. Sedangkan Luna lebih mirip adikku.
“Meow!”
“Heh, kucing,” seruku, segera menunduk dan mendekati kucing yang tergeletak di tengah jalan. Kondisinya buruk, bulunya orange kusam dan lebat seperti kucing anggora.
“Rika, lepaskan, kucing itu kotor, hey!” tegas Freya, menyuruhku dengan keras.
“Tapi, Freya, kucing ini butuh perawatan,” jelasku.
“Rika, kucing itu sakit. Lihat, satu kakinya sudah pincang, dan bulunya setengah hitam karena kotoran. Mungkin saja kucing ini punya penyakit lain,” kata Freya, mencoba meyakinkanku.
“Tidak masalah kan? Kalau dia sakit, bukan berarti kita akan tertular. Kita ini sudah jadi Hyper, Freya,” aku membantah.
“Sekali lagi, kukatakan tidak!”
“Eee, ayolah, Freya, plissssssss,” aku memohon dengan mataku yang lebar berbinar.
“Tidak, nanti kau sakit, aku yang repot. Aku juga belum tahu apakah kemampuan healing bisa menyembuhkan penyakit karena virus atau tidak,” kata Freya dengan keras.
“Ya sudah, aku tidak peduli. Aku akan tetap membawanya,” dengusku, meskipun Freya terus menolak.
“Ya sudah, bawalah, nanti aku akan membuangnya ketika kau tidur,” jawab Freya akhirnya menyerah.
“Hey-hey, bisakah kita lanjut berjalan? Bentar lagi matahari akan terbenam,” kata Cedric, mengalihkan perhatian kami.
“Cedric, bisakah kau memperhatikan situasi di depan?” tanyaku.
“Ya sudah, bawa saja kucingnya. Nanti kita akan membersihkannya,” kata Cedric.
“Tapi, Cedric, itu kucing kotor dan bisa saja membawa masalah bagi kita,” protes Freya.
Cedric menatapku dengan serius.
“Rika!”
“I-iya?” jawabku gemetar.
“Kamu pecinta kucing?”
“Iya, benar. Aku sangat mencintai kucing. Makanya, aku tidak tega meninggalkan kucing apa pun di jalanan,” aku menjawab dengan senyum polos.
“Lalu, jika selama perjalanan ke penginapan kau menemukan 10 kucing, akan kau bawa semua?” Cedric bertanya.
“Iyap,” jawabku dengan senyum lebar.
“Haaaah! Akal anak ini sudah rusak. Serahmu, Cedric. Lagian, kamu yang bertanggung jawab,” protes Freya dengan kesal, melipat tangannya.
“Iya-iya, aku akan membantu Rika merawat kucing ini. Benarkah, Rika?” tanya Cedric.
“Serius nih?”
Cedric mengangguk sambil tersenyum. Aku langsung memeluk kucing itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan teriakan senang.
“Horeeeee, terimakasih, Cedric.”
“Pastikan kucing itu baik-baik saja dan jangan membebani orang lain, bahkan dirimu. Mengerti?”
“Siap, mengerti, Kapten!”
“Bagus, sekarang ayo segera lanjutkan perjalanan.”
“Iya,” balasku sambil tersenyum. Kami melanjutkan perjalanan beberapa kilometer lagi. Meskipun cukup jauh dari markas bawah tanah, kami merasa aman untuk menjauh dari situasi politik yang berbahaya bagi kami. Di dunia sebelumnya, hingga dunia sekarang, politik adalah sesuatu yang berbahaya bagiku. Mereka yang berkuasa membuat aturan dan memaksa orang-orang terikat pada aturan tersebut, tanpa memberikan kebebasan.
“Cedric, berapa lama lagi?” tanyaku.
“Bentar, aku sedikit lupa,” jawab Cedric.
“Bentar, jangan bilang tidak tau jalan ke sana?”” tanyaku heran.
“Bukan tidak tahu, hanya saja lupa,” jawab Cedric sambil menopang bahunya dengan tangan, mencari petunjuk di sekitarnya.
“Iya, itu sama saja, kan? Kalau begini, kita bisa tersesat dan mungkin saja bertemu dengan orang-orang itu,” protes Freya.
“Tidak mungkin, Freya, kita masih jauh dari perbatasan,” ujar Cedric, mencoba menenangkan.
“Bisakah kita bertanya ke seseorang?” tanyaku, mencoba memotong perdebatan mereka.
“Mungkin jika ada seseorang yang lewat. Tapi lihatlah, tidak satupun yang lewat kecuali sampah berterbangan,” kata Freya, mood-nya sedang buruk karena masalah kucing tadi.
“Mungkin ke simpang di sana belok kanan, kita bisa menemukan orang-orang,” usul Cedric. Kami segera melanjutkan perjalanan.
Namun beberapa saat kemudian, “Hey, kucing Oren, tunggu!” Kucingku lari dari pelukanku menuju gang sempit di antara reruntuhan bangunan yang telah tertutup beberapa dahan pohon besar.
“Cedric, Freya, aku akan pergi mengejar Oren. Tunggu di sini!” kataku.
“Heh, tunggu, jangan pergi sendirian!” teriak Freya. Cedric, yang mengetahui, langsung berlari mengejar.
“Kan sudah kukatakan kucing itu akan merepotkan kita nantinya,” ketus Freya sebelum akhirnya pasrah ikut mengejar.
Kucing Oren menghilang di balik bongkahan bangunan. Karena masih sore, reruntuhan bangunan itu tidak terlalu gelap. Aku masih bisa melihatnya tanpa senter. Tetapi tetap saja sulit menemukan kucing yang sama kotornya dengan bongkahan material.
“Oren, dimana kamu?” teriakku mencoba menangkap perhatiannya. Tidak ada respon.
“Oreeeeen, mengeong lah!” seruku.
“Meow.” Akhirnya kucing itu merespon. Meowngannya terasa dekat.
Langkah kaki terdengar di belakangku.
“Rika, dimana kucing itu?” tanya Cedric.
“Haaaaah!” aku terkejut ketika Cedric tiba-tiba menepuk bahuku. Diikuti dengan nafasnya yang terengah-engah sambil mengoceh memarahiku.
“Lepaskan saja kucing itu, dia hanya akan merepotkan kita.”
“Tidak, Freya. Aku tidak akan melepaskan kucingku.”
“Meow.”
“Huh? Itu suaranya, aku yakin dia di kiri.”
“Hey, tunggu, haduh,” keluh Freya, menyusulku yang berlari antara runtuhan dan rumah kosong ini. Begitulah yang kuduga sebelumnya sebelum menemukan sesuatu yang mengejutkanku.
“Tu-tunggu!” Aku memotong jalan Cedric dan Freya. Wajah mereka penuh pertanyaan.
“Kenapa?” tanya Cedric.
“Ada beberapa orang di depan.”
“Rika, mundur lah. Aku akan memeriksa,” ucap Cedric berbisik. Aku langsung mundur dan Cedric mengintip dari balik tembok.
“Ada 5 orang dewasa dan 2 anak kecil,” bisiknya.
“Siapa mereka?” tanya Freya.
“Aku tidak tahu tentang anak-anak itu, tapi dari 5 orang dewasa itu sepertinya mereka bukan dari teror malam.”
“Baguslah, kalau begitu kita segera pergi,” kata Freya segera berbalik.
“Tunggu, Freya,” tahananku.
“Kenapa lagi?”
“Kucingku ada di sana.”
“Iya di ambillah.”
“Iya tunggu sebentar.” Saat hendak pergi tangan ku di tahan “Tahan Rika, kita tidak tau apa mereka orang baik atau buruk.”
“Tapi kucing ku?” tanyaku.
Cedric berdiri menatapku dengan penuh keyakinan.
“Aku yang akan mengambilnya, dan jangan keluar sebelum aku menyuruh,” katanya tegas.
Belum sempat Cedric melangkah, suara teriakan wanita terdengar jelas melengking. Bukan teriakan kesakitan, tapi teriakan ketakutan, seolah sedang dipaksa untuk melakukan sesuatu.
“Cedric, suara siapa tadi?” tanya Freya, wajahnya mulai khawatir.
“Shttt!” Cedric berdesis pelan, menyuruh kami diam mengamati.
Dua pria lainnya muncul dari balik pintu lain. Mereka menangkap seorang wanita cantik, sepertinya wanita itu ibu dari kedua anak itu. Kedua anak kecil itu terus memanggilnya “Mama”.
“Bos, wanita ini mau kita apakan?” tanya salah satu pria, yang terus mendekap tangan wanita cantik itu ke belakang, membuatnya sulit melawan.
“Rencana akan kujual ke pasar budak,” jelas seorang laki-laki besar berkulit coklat dengan pakaian rompi.
“Ide bagus, bos. Wanita secantik ini pasti laris di pasar lelang,” timpal pria lain.
“Bos, aku ada ide. Bagaimana jika kita santap dulu wanita ini, lalu besoknya atau lusa kita jual ke pelelangan gelap?”
“Iya, bos, kami semua setuju, benar tidak?”
“Benar-benar,” timpal yang lain.
“Baiklah, kalian bebas melakukan apapun kepada wanita itu, dengan syarat aku yang melakukannya duluan.”
“Baik, bos!”
“Bos, dua anak kecil ini mau kita apakan?”
“Jual saja.”
“Tapi harganya kecil, mending jual ginjal mereka di pasar gelap, mana tau ada yang butuh kan. Harganya pasti meroket.”
“Benar juga.”
Mereka saling menimpali tanpa menyadari kehadiran kami yang masih mengutip mendengarkan. Pria berbadan besar, yang merupakan bos di antara mereka, mendekati wanita yang masih berusaha melepaskan diri dari dekapan pria yang memegangnya.
“Kalian tidak perlu pikirkan itu, sekarang kalian jaga dua anak ini dan aku akan bermain dengan wanita cantik ini,” ucapnya sembari mencolek leher wanita tersebut.“
Kalian tunggu di sini,” Cedric keluar dari persembunyiannya, wajahnya merah padam bukan karena malu, melainkan karena marah. Jelas, siapa pun akan marah melihat semua ini di depan mata mereka, kecuali mereka yang sudah kehilangan esensi kemanusiaannya.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22