Hujan turun dengan lebat segera menyapu api yang menjunjung tinggi sebelumnya. Sudah 5 menit kami berdiam tidak bergerak di bawah hujan yang mulai terasa dinding. Teriakan kesal, sedih apa pun itu untuk meluapkan semua emosi.
“Velarius sialan, kenapa kau bodoh sekali padahal ku kira sebelumnya kau lah yang terpintar di antara kami.”
Aku tidak tahan, aku mendatangi Cedric yang tetap berdiri tegap di bawah hujan. Aku tidak tau dia sedang memandang apa di bawah sana.
Aku menamparnya telak di pipi.
“Kenapa Cedric.” Aku diam sejenak, menatap matanya yang tidak bergetar sedikit pun. Tatapan tangguh itu belum juga runtuh. “Hum? Jawab aku!” Aku kembali diam di balik hujan yang semakin deras.
Hela nafasnya terdengar sedikit, matanya berkedip lambat, pipinya penuh dengan tetasan air hujan. Aku tidak yakin dia sedang menangis atau hanya menghelas nafas.
“Dia sudah pergi Rika, tidak ada yang perlu kau pertanyakan lagi.”
“Apa maksud mu? Membiarkan semua ini terjadi begitu saja....” Lagi-lagi diam, tidak membalas. Mata elangnya kini sedikit bergetar, ketangguhan itu mulai roboh. Tapi dia laki-laki yang kuat, tidak seperti ku, aku sudah kehilangan banyak hal dan tidak mau kehilangan lagi.
Aku menunduk berketus kesal.
“Aku akan menyesali hari ini hingga aku mati.” Aku berbalik tidak peduli apa yang akan terjadi setelah ini. Jika mati maka matilah. Tubuh kami juga tidak mudah sakit aku yakin setelah ini tidak ada yang demam, tersiram air langit akan membuat kami tenang sejenak, menangis sepuasnya tanpa di ketahui.
15 menit berlalu, Cedric masih berdiam diri tegap badannya. Hujan lebat telah selesai berganti menjadi rintik kecil. Angin tidak sekencang sebelumnya, tapi badan kami terasa mulai menggigil. Tepat sebelum aku pergi meninggalkan tempat ini Cedric balik kanan menghampiri tangan Luna dan Freya yang sudah tidak kuat berdiri. Mata mereka kosong seolah kehilangan arah tujuan.
“Rika, maaf. Ini salah ku tapi ini juga demi kebaikan kita. Velarius tidak akan memaafkan ku jika menolak memberikan perintah terakhir itu.” Matanya tidak bergetar lagi. Kondisinya sedikit emosional sekarang, aku juga demikian bahkan yang lain masih lebih buruk. Sejenak aku berpikir keputusan Cedric adalah yang terbaik dari seribu langkah yang terpikirkan. Aku tidak menyalahkan dirinya atau Luna dan Freya. Aku hanya menyalahkan diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa karena begitu lemah.
***
Tidak terasa 1 jam kami berjalan lambat sudah sampai ke villa. Tempat kami tidur, bercanda tawa dan saling bekerja sama untuk kehidupan yang baru—juga keluarga baru, walaupun baru sehari-semalam aku berada di rumah kayu ini.
“Ayo semua segera bersihkan badan kalian. Setelah ini kita akan berkumpul di ruang makan.” Kami menurut apa kata Cedric tanpa mengeluarkan satu kata pun menyahut seruan itu. Di rumah ini hanya ada satu kamar mandi, kami harus bergantian saling menunggu tanpa berbicara apa pun. Rasanya berbeda dengan pagi tadi, kami tertawa bergiliran saling mengobrol di batasi pintu.
20 menit berlalu, sudah berganti pakaian yang basah menjadi kering. Aku turun melalui anak tangga yang berdecit. Sesekali tertahan berharap tangga ini tidak roboh sekarang. Dari 5 meter aku melihat Cedric yang memasak sesuatu, sepertinya itu hanya makanan penunda lapar yang kami bawa di ransel hasil jarahan hari ini.
“Eh, Rika cepat turun, kamu harus mengisi perut supaya tidak sakit.” Aku mengangguk membalasnya dengan tersenyum. Iya ini hanya senyuman penghargaan untuknya. Dia tampak tidak sedih sama sekali sehingga aku juga tidak ingin berlarut-larut dalam kenangan buruk itu.
“Dimana Luna dan Freya?” Cedric bertanya, tangannya cekatan mengangkat telur dan air panas untuk menyeduh mie cup. Dia sangat ahli mengerjakan banyak hal sekaligus.
“Mereka berdua belum keluar dari kamar.” Aku menjawab pelan, suara ku masih serak karena berteriak sebelumnya.
“Rika.” Aku menoleh menatap punggungnya, tangan itu bergerak lincah menyiapkan makanan ke meja di hadapan ku. “Bisa tolong panggilkan mereka berdua, aku yakin perut mereka lapar tapi emosional itu menutupi semuanya sekarang.” Aku mengangguk pergi ke atas mengetuk kamar Luna terlebih dahulu.
Tok-tok-tok, tidak ada yang menjawab. “Luna, makan yuk, kamu perlu makan.” Hening sebentar, tidak ada jawaban. Aku paham kondisinya pasti masih terpukul. Aku mendengar keluh selama perjalanan, Luna terus meminta maaf berkata ‘maafkan aku, semua gara-gara ku, kalau saja aku bersabar menghampiri pintu gudang itu mungkin tidak akan mengaktifkan pemicu perangkap.’ Aku sedikit mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan bom-bom tempel itu. Ternyata mereka memasang perangkap—aku tidak menyalahkan Luna, dia masih SMA seperti ku. Aku paham apa yang dia rasakan sekarang.
Aku beranjak pergi ke ruangan di sebelahnya, pintu kayu yang sama persis bertuliskan Freya di depan pintu itu. Aku mengetuknya
Tok-tok-tok!, hening.
Tok-tok-tok!
“Freya, ayo makan. Cedric juga menunggu di bawah. Perut kita perlu di isi.” Masih juga hening walau sesaat aku mendapatkan jawaban
“Tinggalkan aku sendiri Rika, aku tidak selera makan.”
Aku menghela nafas “Nanti ke meja makan jika perlu mengisi perut, Freya.” Aku beranjak turun. Aku tidak bisa memaksakan mereka untuk makan sekarang. Aku pernah merasakan kehilangan seperti mereka. Efeknya tidak selera makan selama 2 hari. Tubuh ku menjadi kurus tirus.
Aku di sambut Cedric setiba di meja makan dengan pertanyaan khawatir.
“Bagaimana?” Tanya Cedric, wajahnya masih bersinar di antara kesedihan yang menggelap. Matanya masih fokus tanpa bergetar sedikit pun.
“Luna tidak menjawab, Freya tidak mau turun untuk makan.” Aku menghela nafas khawatir mereka kenapa-kenapa di atas sana. Sekarang sudah pukul 6 sore, menjelang malam. Mereka belum makan sedikit pun dari siang.
“Rika.” Cedric memecah lenggang. Dia mengambilkan sendok dan peralatan makan, sangat suka berbicara ketika sedang bekerja. Aku menoleh ke depan.
“Iya?” Suara serak ku terasa besar di ruang sepi ini.
“Maaf dan terima kasih untuk segalanya.” Suara Cedric juga serak. Dia seperti habis menangis tapi aku tidak tahu kapan dia mengeluarkan air mata.
Aku balik bertanya heran “Untuk maaf aku tau maksudnya, tapi terima kasih untuk apa?”
“Terima kasih karena masih tersenyum di rumah ini, di tempat ini, di hadapan diriku dan yang lain.”
Aku menggeleng, tidak sependapat.
“Aku masih bisa tersenyum karena belum mengenal jauh Velarius, aku juga sudah sering merasakan kehilangan sejak kecil. Air mata ku sudah mengering sejak lama, aku sudah bisa tersenyum tipis sesaat seseorang meninggalkan ku.
“Terdengar psikopat kan, Atau mungkin terdengar seperti tidak punya hati nurani. Tapi aku sadar, kalau kalianlah yang lebih bersedih dariku, jika semuanya sedih siapa yang akan memberikan cahaya kepada kelompok ini.
“Aku memutuskan untuk tersenyum walau setipis tisu, setidaknya tidak cemberut atau menyeka pipi yang basah karena air mata.”
Wajah Cedric tersenyum semakin lebar. Mata elang yang tajam menatap ku seolah ada sesuatu di mataku. Aku memalingkan mata, itu kontak mata secara langsung membuat ku gugup.
“Aku bersyukur kamu ada di sini Rika, aku orang dewasa tapi kalah pemikiran dengan anak remaja seperti mu.”
Aku menggeleng lagi, tidak sependapat
“Justru kamu yang menang tentang memahami kondisi, masih bisa tersenyum lepas dengan pendirian yang kuat setelah kehilangan sosok sahabat bagimu, jika aku jadi dirimu mungkin akan memutuskan mati karena kesepian, tidak ada teman bicara seperti di rumah lama ku.”
Suasana kembali hening, kami menghabiskan jatah makanan masing-masing. Tersisa 2 telur mata sapi dengan 2 cup mie rebus.
“Cedric.” Aku memutuskan membuka topik.
“Iya?”
“Setelah ini kita akan ke mana?”
“Aku belum memutuskan.” Cedric berdiri balik kanan menuju kompor dan memanaskan air.
“Rika, kamu mau teh, kopi atau susu?”
Ternyata dia akan membuat minuman hangat.
“Susu saja.” Aku membalas dengan senyum selebar yang ku bisa. Aku berdiri memunguti piring kotor dan peralatan yang kotor.
“Rika, duduk saja biarkan aku yang kerjakan, Kamu pasti lelah di hari pertama bertugas.”
Aku menggeleng tidak setuju.
“Aku akan tetap membantu menyelesaikan tugas dapur, aku tau kamu juga lelah, Cedric.” Cedric dia tidak bisa membantah ku, tubuhnya memang sangat lelah bahkan kakinya mungkin masih sakit. 5 menit menunggu susu ku siap di sajikan, sedangkan Cedric memutuskan minum kopi alasannya mungkin menambah stamina atau apalah yang bisa membuat tubuhnya tetap terjaga semalaman. Kami menghabiskan malam di ruang tamu yang juga terhubung dengan ruang dapur dan makan. Villa ini tidak besar dan buruk. Banyak rayap yang sudah memakan temboknya, pencahayaan juga kurang kami hanya mengandalkan lilin yang kami daur ulang dengan hanya mengganti sumbunya lalu melelehkan lilin itu dan mencetaknya yang baru.
Di saat sepi dengan suara jangkrik dan burung hantu yang hinggap di pohon Cedric memecah lenggang dengan suaranya yang jantan.
“Kamu pergilah tidur.”
Aku menggelengkan kepala, menolak.
“Kenapa?” Cedric masih bertanya, dia tampak khawatir walau sedang kelelahan.
“Aku tidak berani tidur sekarang, setiap malam selalu bermimpi buruk dan mungkin malam ini mungkin lebih buruk.” Sebentar menjadi hening, Cedric menyeruput kopinya.
“Semua akan baik-baik saja, Rika.” Tangannya menyeka rambut ku yang panjang. Terasa lembut dan nyaman. Dia seperti abang ku.
“Hoaaaaah.”
“Tuh kan udah menguap, sana pergi tidur aku juga akan menyusul tidur setelah kopi ku habis.”
Aku akhirnya menurut pergi dari ruangan itu menaiki anak tangga yang berdecit. Bergerak pelan supaya tidak membangunkan Luna dan Freya yang pasti sudah tidur. Sekarang sudah jam 11 malam. Kami terlalu banyak bercerita, termenung hingga tidak sadar bulan sudah hampir tegak lurus jika di tarik sebuah garis.
Aku memejamkan mata sesampainya di kasur tampak tua. Ini malam kedua ku tidur di tempat ini, tempat yang kumuh tapi lebih nyaman dari rumah lama ku.
Aku menguap lalu langsung menutup mata dan tertidur.
***
Jam 3 malam atau mungkin jam 3 pagi. Terdengar suara keras seperti kaca yang pecah datang dari lorong, aku memastikan apa yang sebenarnya terjadi ikut keluar menghidupkan sebuah lilin di meja.
“Hey apa kalian mendengar sesuatu?” Aku melihat ke kanan, Freya ikut keluar dari kamar dan Cedric juga keluar dari kamar. Hanya satu orang yang tidak keluar dari kamarnya.
“Itu bukan dari kamar kalian?” Tanya Cedric.
Kami hanya menggeleng kan kepala.
“Tunggu mana Luna?” Tanya ku menyadari sesuatu.
Beberapa saat kami melihat ke segala arah memastikan apakah Luna ada di luar atau tidak. Kemudian suara pecahan kaca yang semakin keras terdengar lagi.
“Huh suara itu dari kamar Luna.” Seru Freya.
“Oh tidak... Kalian semua mundur.” Cedric menggunakan kekuatan untuk melubangi pintu dan menghancurkannya, pintu itu roboh sekali pukul. Aku berpikir tanpa kekuatan Hyper pintu itu tetap akan hancur jika di dobrak secara normal.
Mata kami menyipit tidak melihat siapapun di dalam, kondisi gelap tanpa penerangan. Kami masuk perlahan, mata kami membesar, pupil mata kami mengecil bergetar. Tubuh kami refleks berlari mendekat. Seruan Cedric menggema di ruangan.
“LUNA HENTIKAN.”
Tidak bisa di sangka-sangka—Luna hendak bunuh diri. Luna tidak mendengarkan, Cedric telat 1 detik sebelum menangkap tubuh Luna sebelum dia memotong urat nadinya, darah terciprat dari tangan keluar mengalir seperti air—terasa begitu cair dan ngeri.
“Freya cepat gunakan healing mu. Rika ambilkan kain apa pun.” Perintah Cedric sembari memegang tangan Luna yang sudah lemas dan pingsan, ia berusaha menghentikan pendarahan dengan menekan area yang terluka.
Aku segera pergi dan kembali secepat mungkin membawa kain dari kamar ku. Itu adalah baju ku yang ku koyak begitu saja. Tidak peduli jika itu baju mahal atau berharga, Luna lebih berharga dari pada baju itu.
Aku menyerahkan ke Cedric dan dia segera mengikat dengan sekuat tenaga hingga darah itu mendapatkan gerak yang sempit untuk keluar. Luna dengan kemampuan penyembuhan berusaha menjahit sel-sel rusak dan menyambungkan kembali nadi yang terputus.
10 menit menegangkan berlalu. Freya mengusap peluhnya di leher, semuanya terasa panas saat melewati golden hour. Cedric mengangkat Luna ke kasur setelah terbaring di lantai, bersandar di pangkuan Cedric.
Aku melihat mata Cedric, saat ini ada kecemasan yang sangat besar di kepalanya—Bola mata itu bergetar ketakutan, bibirnya terlihat pucat, matanya menyipit menahan air mata, tangannya yang besar terus memegang tangan Luna yang mulai menghangat. Itu seperti obat mujarab walau tidak teruji medis. Kata orang-orang rasa sakit akan berkurang ketika seseorang memegang tangan yang sedang sakit.
Suasana menjadi lengang sejenak, Cedric memutuskan mencari topik bicara.
“Luna, dia gadis kecil yang kuat.”
Aku menatap punggung Cedric. Sepertinya dia sangat sentimental sekarang.
“Dia dulunya seorang idol muda yang baru saja merintis karir. Kalau tidak salah dia baru menempuh dunia idol di IKN 48 selama 2 tahun.”
“Lalu setelah itu apa yang terjadi dengan Luna?.” Aku ikut tertarik mengetahui rahasia Luna selama ini.
“kedua orang tuanya di bunuh.”
Aku sontak kaget, menutup mulut, Freya tampak biasa saja sepertinya dia sudah tau kejadian sebenarnya.
“Siapa yang membunuhnya?” Aku bertanya karena aku merasa tidak pernah mendengar berita itu dari seorang idol bernama Luna.
“Fans Luna yang membunuhnya, setidaknya itu yang ku tau dari berita dan kabar burung.
“Tapi, Luna mengatakan orang tuanya masih hidup dan sedang berada di jakarta.”
“Tapi aku belum pernah mendengar nama idol bernama Luna.”
“Iya, itu benar karena idol bernama Luna memang tidak pernah ada. Itu nama palsunya sekarang di dunia yang baru ini.
“Nama asli Luna di dunia idol adalah Lily.” Wajah ku kaget mendengar fakta itu. Aku menutup mulut merasa tidak yakin ternyata selama ini seseorang yang di depan ku terbaring adalah idol yang hilang selama 1 tahun terakhir—dia adalah idol terkenal yang mendapatkan penghargaan besar di usia mudanya, idol jenius, cemerlang dan hangat.
Semua kembali hening, aku memutuskan membuat teh di bawah memberikannya untuk Cedric dan Freya yang berjaga di kamar Luna. Cedric tampak lelah, matanya kantuk sebenarnya, tapi dia menahan diri hingga hampir tertidur dalam posisi duduk tidak bergerak. Freya juga hampir tertidur di lantai bersandar. 30 menit berlalu, aku terus memperhatikan dengan seksama tubuh Luna. Aku sengaja tidak membangunkan mereka berdua, aku masih kuat berjaga hingga pagi.
Tangan Luna terlihat bergerak, aku yakin aku tidak salah lihat. Sekali lagi tangannya merespon gerakan walaupun kaku. Aku berseru membangun Cedric dan Freya.
“Ced, Freya. Bangun.”
Mereka sontak bangun, matanya langsung terang. Itu tatapan khawatir, mereka pasti tidak tidur 100% hanya fisiknya yang beristirahat, tapi tidak dengan raganya.
“Huh... Apa ini di neraka?” Luna siuman dari pingsannya, matanya mengercap-ngecap.
“Aku tau tempat ini gelap tapi ini bukan neraka.” Sahut Cedric, mencoba untuk melucu tapi sepertinya itu cukup efektif sekarang memecah tegang.
Luna yang tadinya terbaring langsung duduk menarik kerah Cedric lalu berkata dengan nada amarah.
“Ke-kenapa aku tidak mati. Kenapa kalian menyelamatkan ku.”
Itu pertanyaan buruk Luna. Freya yang mendengarnya langsung berjalan mendekat. Mata itu mata yang mengancam, mata yang membuat ku ngeri.
“Kau bodoh, orang di luar sana ingin tetap hidup tapi ada seseorang yang sangat bodoh dan memarahi rekannya yang sudah menyelamatkan nyawanya.” Nadanya jelas meninggi, dia pasti sangat marah. Sedangkan Luna seperti seseorang yang tidak tau hutang budi.
“Tapi aku tidak minta untuk di selamatkan.”
Luna menampar untuk kedua kalinya.
“Hey freya.” Cedric menyambar tangan Freya setelah menampar keras pipi Luna.
“Huh.” Freya menghela nafas panjang, dia melepaskan pegangan Cedric. “Cedric lebih baik kau saja yang bicara dengan perempuan ini. Rika ikut aku, sebelum aku muak mendengar kan ocehan bocah 17 tahun.”
Ini lebih baik, dari pada harus membuat mereka berdua bertengkar pagi-pagi buta begini. Aku juga menguap ngantuk tapi harus tetap terjaga demi yang lain, setidaknya hanya ini yang bisa ku lakukan sekarang.
“Luna kamu kenapa?”
Aku mendengar percakapan mereka dari balik pintu. Freya duduk meringkuk tubuhnya, dia tampak ngantuk banget.
“Tidak ada.” Jawaban Luna terdengar samar dari tempat ku berdiri.
“Huh.” Cedric menarik nafas lega lalu duduk di sampingnya dan merapikan rambutnya yang panjang.
“Luna kamu masih ingat janji mu di saat demam, kalau tidak salah itu hari-hari pertemuan kita kan. ”
“....” Luna hanya terdiam mendengarkan lalu menundukkan kepalanya.
“Saat itu aku tidak tahu ternyata sosok bocah cantik berdiri tengah hujan deras dengan seragam SMA imut itu ternyata adalah idol papan atas. Aku tidak mengikuti dunia idol atau sejenisnya.
“Kemudian aku tau sesaat memeriksa bajumu yang basah, aku tidak berani membukanya tapi demam mu makin parah. Aku takut bocah itu mati karena hipotermia, lalu aku menemukan kartu identitas keanggotaan IKN48.
“Siapa yang tidak tahu grup sister yang sama seperti JKT48 yang sedang naik daun. Aku langsung tahu sesaat melihat wajah mu. Walaupun sudah berusaha sebaik mungkin kamu merubah wajah hingga tingkah laku, tapi tetap saja itu kurang untuk menutupi popularitas mu.
“Mungkin di zaman sekarang orang-orang tidak peduli tentang idol atau hiburan, mereka terlalu sibuk bertahan hidup setelah kenikmatan dan kemudian dunia teknologi.
“Luna, sebenarnya apa yang membuat mu berani melakukan hal sama seperti sebelumnya?.”
Luna tidak langsung menjawab. Suaranya sayup menghanyutkan suasana.
“Tapi aku tidak bisa menceritakannya atau kalian akan celaka.”
“Apa maksud mu?”
“Seseorang yang mirip suaranya dengan mamaku mengatakan sesuatu kepada ku.’
“Kalau begitu aku tidak masalah menanggung resiko, jadi katakanlah dan biarkan setidaknya aku tau.”
“Baiklah.” Luna langsung mendekat bibirnya ke telinga Cedric, berbisik. Aku tidak bisa mendengarkan dari jarak 4 meter dari mereka, tepat di balik pintu mengarah ke luar.
“Itu tidak mungkin. Itu pasti hanya ilusi mu saja Luna, karena terlalu depresi dan menganggap dirimu bersalah atas kematian velarius.” Cedric berkomentar.
“TIDAK, aku memang bersalah dan suara itu memang ada.” Luna membantah opini Cedric yang lebih masuk akal.
Sesaat lengang, udara di ruangan menjadi dingin dan menipis, nafas ku sesak seolah oksigen di sedot keluar, jendela tiba-tiba terbuka lebar dengan suara yang seram dan langit menggelap seperti badai, petir muncul entah dari mana. Aku merasakan kekuatan pengekangan yang besar.
“LUNA, KENAPA KAMU MEMBATAH PERINTAH MAMA.” Suara yang bergema terdengar jelas di seluruh rumah.
“Maaf mama. Tolong jangan berikan hukuman kepada kami semua.” Luna yang mendengarnya sontak berdiri dan memohon
Tidak mungkin kan itu nyata. Sebenarnya apa yang terjadi, lalu suara dan angin ini datang dari mana. Mataku sesekali terkena abu, aku mengecek pelan perlahan mendekati mereka. Angin dari jendela terasa kuat di ruangan ini, rambut lurus ku terbang mengibaskan rambut panjang yang hitam mengkilap.
“Apa yang Terjadi, kami merasakan kekuatan besar dari sini.” Freya berteriak berusaha mengalahkan suara badai entah dari mana dan kapan tibanya.
“Aku tidak tau.” Cedric membalas.
“KALIAN AKAN MERASAKAN AKIBATNYA KARENA TELAH MENGGANGGU ANAKKU.”
“Suara itu lagi.” Ucap ku.
“Kalian mendengar suara itu juga?” Tanya Cedric
“Iya, tapi suara siapa itu. Kenapa bisa.” Tanya Freya.
“Itu suara mama, dia sepertinya murka karena memberitahukan masalah ku kepada Cedric.” Jawab Luna yang masih berdiri menatap jendela. Rambutnya berantakan terbawa angin.
5 menit berlalu tidak terasa, angin terasa semakin kencang di seluruh ruang kosong di dalam rumah. Rumah ini tidak mungkin bertahan dari badai ini. Kami harus mencari jalan keluar.
Ctar!
petir menggelegar hebat di atas sana dan sepertinya menyambar genteng.
“Apa lagi.” Tanya Cedric.
“Kapten, kita harus keluar, rumah ini mulai terbakar karena petir, lalu rumahnya mulai rubuh.” Seru ku berteriak ngeri.
“Kalau begitu cepat lakukan evakuasi.” Perintah Cedric
“Baik kapten.” Sentak kami.
Kami hanya punya waktu 4 menit sebelum rumah ini roboh, rata dengan tanah, belum lagi api di atas atap terlihat mulai merambat masuk dan menyebar cepat karena dorongan angin yang kuat, membuat api menjadi lebih besar.
“Cepat menjauh dari bangunan apapun.” Seru Cedric, mengangkat tas Carrier.
Kami berhasil keluar tetapi masih terlalu dekat dan berbahaya.
“Kenapa anginnya makin kencang.” Tanya Freya menundukkan kepalanya, berlari keluar membawa barang penting.
“Sebenarnya kekuatan apa iniiiiii aaaaa.” Luna terbawa angin tetapi berhasil di tangkap Cedric.
“Hap. Untung ke tangkap.” Cedric bernafas lega.
Kami terus menjauh dari lingkaran badai yang mengelilingi villa. Rasanya setiap langkah sangat berat untuk menginjak tanah. Baju kami basah dan ku mulai kaku, gerakan semakin lambat tertahan oleh tarikan lingkaran badai di belakang kami. Kekuatan yang begitu besar.
Di saat-saat genting aku terpikirkan sesuatu yang mungkin bisa membantu.
“Kapten, aku ingin mencoba sesuatu.”
“Lakukan apa pun yang penting bisa membantu kita keluar.” Cedric balik berseru.
“Kalau begitu semuanya dekat dengan ku.” Aku berteriak keras mengalahkan suara riuh badai. Luna, Freya dan Cedric berusaha mendekat walau dengan merangkak sekalipun tidak masalah.
“Rika, semuanya sudah mendekat, Cepat lakukan sesuatu yang membantu.”
“Baik kapten.” Aku menghela nafas panjang-panjang berusaha merelakskan seluruh tubuh ku yang hampir beku oleh udara dingin. Perlahan tapi pasti, aku memejamkan mata— jangan hiraukan kericuhan di luar sana. Tutup pendengaran dan rasakan sesuatu itu. Sesuatu yang hangat melindungi, sesuatu yang tidak bisa di masuki badai ini.
“Imagination: Hollow dome.”
Aku mengintip setelah menutup mata dan fokus. Berhasil mengeluarkan kemampuan untuk menahan segala jenis benda termasuk molekul kecil sekalipun untuk masuk. Aku berseru senang ‘Yes’
“Apa yang terjadi.” Freya berjalan di pinggir kubah dan menyentuh keluar.
“Ini seperti Barrier ku, tetapi areanya lebih luas dan tidak ada benda sekecil apa pun bisa masuk maupun keluar dari sini termasuk udara.” Sahut Cedric yang ikut kagum, matanya membesar meraba sesekali dinding kubah.
“Ahhhhhcck.”
“Apa yang terjadi Rika.”
“Otak ku terasa sangat panas. Aku tidak bisa menahan lebih lama lagi.”
“Kalau begitu Luna. Bisa buat aura kehadiran kita menghilang?”
“Bisa, tapi buat apa?”
“Sudah, cepat lakukan perintah ku saja, jangan banyak tanya, Rika tidak akan bertahan lama.”
“Baik kapten.” Luna menarik nafas panjang kemudian menghela. Matanya tertuju ke depan kemudian tangannya merentang kanan dan kiri. Luna menyebutkan kalimat perintahnya.
“Illusion: thick fog.
Hanya berlangsung 15 detik seluruh area di penuhi kabut tebal dan membuat hawa kehadiran menjadi sangat tipis.
“Shtttt, Semuanya diam.” Cedric berdesis. Suara menjadi hening dengan menyisakan suara angin dan deritan derita dari dari panas di kepala—Berusaha tetap fokus apapun yang terjadi. Lima menit kemudian angin mulai menghilang begitu juga dengan hujan dan petir yang terus menyambar tanah.
“Huh—Huh—Haaaaaaa— ” nafas ku tersengal mulai tidak teratur, aku terduduk tidak kuat berdiri dan suara di luar mulai menghilang, sepertinya pendengar ku juga terkena efeknya. Sedikit demi sedikit padangan ku mulai pudar dan gelap.
“tahan bentar rika.” Freya memberi semangat tapi itu percuma. Aku sudah di ambang batas. Maaf Cedric, aku tidak kuat lagi—ini sisa kekuatan yang ku miliki. Maaf tidak bisa memenuhi ekspektasi, terimakasih.
***
“hah— huh— hah....” Nafas ku terasa tertahan lalu berhasil lepas begitu saja. Mataku membuka lebar tidak mengercap-ngecap. Aku langsung pada posisi prima.
“Tenang Rika. Semuanya sudah aman.” aku siuman di pangkuan Luna, kemudian aku berusaha bangkit dan duduk menghadap Luna. Beberapa kali aku melihat ke ke kanan dan ke kiri menyapu pemandangan, lalu bertanya.
“Dimana—”
“Cedric? Dia sedang cari kayu bakar dengan Freya.”
Luna langsung menyahut dan membalas tanpa membiarkan pertanyaan ku selesai. Aku mendongak ke atas melihat langit sudah pagi. Sepertinya aku tertidur beberapa jam, mungkin ini jam 9 pagi. Eh, villa itu bagaimana kondisinya, mataku menyapu pemandangan melihat kondisi rumah kayu itu sudah rata dengan tanah—benar-benar tidak tersisa. Sekarang dimana kami tinggal?, Terucap di benakku.
“Apa yang kalian bicarakan selama aku pergi?” Cedric menyapa dari jarak 5 meter menuju kami tepat di bawah pohon rindang yang menyejukkan.
“tidak ada hal penting kok.” Luna menjawab dengan senang.
Freya yang dari jauh bersusah payah membawa barang yang berat langsung membuang segalanya setelah melihat Rika yang sudah siuman dan berlari memelukku hingga meneteskan air mata.
“Ku kira aku akan kehilangan seseorang lagi. Maaf kan aku karena tidak berguna sebelumnya.” Ucap Freya. Aku tidak peduli apa yang telah terjadi, biarlah berlalu.
“sudah. Lagian aku baik-baik saja.” Suara ku lembut ikut memeluk erat. Cedric tidak ikut berpelukan, dia menyiapkan kayu bakar untuk memasak sesuatu. Setidaknya kami harus mempersiapkan perbekalan dan rencana hari ini. Mungkin begitu yang Cedric pikirkan.
Malam tiba dengan cepat. Kami menghabiskan makan pagi, siang dan malam kemudian pergi mencari buruan hewan dan tumbuhan yang bisa di makan. Aku mempelajari ilmu survival dari Cedric dan ilmu obat-obatan alam dari Freya. Sedangkan aku dan Luna hanya ikut membantu sesuai perintah.
Kayu bakar menyala membuat api unggun kecil yang hangat. Kami mengelilinginya. Pembicaraan di mulai setelah makanan malam ini kami habiskan.
“Cedric habis ini kita akan kemana.” Aku bertanya memutuskan membuka topik.
“Kita akan pergi ke kota tanpa hukum.” Beberapa saat lenggang, aku tidak tahu ada kota dengan nama itu di sekitar kami. Yang ku tau IKN utama menjadi pusat provinsi dan di IKN utama di kelilingi 6 kota pendukung lainnya.
“Kau gila?” Freya akhirnya menyahut. Matanya membesar seperti ketakutan. Aku bertanya memastikan
“Ada apa dengan kota itu?”
“Itu kota berbahaya Rika! Kota yang membebaskan penjahat dan kabarnya sering terjadi perang antar kubu kekuatan politik.” Freya menjelaskan dengan baik walau sepertinya berlebihan, aku menoleh Cedric memastikan cerita itu. Cedric mengangguk kemudian bersuara.
“Itu benar, tapi tidak sepenuhnya selalu perang dan seburuk itu, Kota tanpa hukum adalah kota IKN produksi yang paling dekat dengan pelabuhan terdekat, kita terpaksa melewati itu.”
“Melewati itu, untuk ke pelabuhan, kita akan ke mana sebenarnya?”
Cedric tersenyum nyengir, matanya bercahaya menatapku antusias.
“Kota yang sudah lama tenggelam dan masih tetap ada di bawah sana, kota Jakarta underwater.
“Untuk apa kesana?” Luna akhirnya ikut bersuara.
“Aku berhasil melacak kekuatan besar itu saat berusaha menghancurkan kita bersama badai, lalu aku menemukan posisinya di jakarta.”
“Apa maksud mu, kau ingin mendatangi mara bahaya?” Freya tegas menolak.
“Aku juga awalnya tidak menginginkan ini, tapi sepertinya sosok itu punya hubungan dengan Luna.” Mata kami langsung tertuju menatap wajah Luna yang berseri-seri di terpa cahaya api.
“Inu bukan kali pertama Luna mendapatkan gangguan itu, ini sudah ke tiga kalinya dan yang pertama itu saat pertama kali aku menemukannya di bawah hujan deras tepat memandang kosong ke depan.
“Yang kedua gangguannya masih berupa komunikasi satu sisi kepada Luna saja, aku tidak bisa mendengarnya atau merasakan kehadiran aura tertentu, awalnya aku menganggap ini hanya halusinasi terhadap trauma kehilangan ibunya dan keluarga.
“Gangguan ke tiga adalah kemarin malam, ini serangan dan gangguan paling mengerikan selama ini, tidak terbayangkan ada manusia yang dapat mengirimkan kekuatan sebesar itu untuk menggerakkan alam dan bahkan multi komunikasi.”
Suasana lenggang kembali. Kami semua tau ini keputusan berbahaya tapi mungkin jika di biarkan maka sosok itu akan meraja rela untuk membunuh kami kapan pun.
“Cedric ini berbahaya, aku tidak mengizinkan rencana ini.” Freya menolak. Cedric tidak langsung menjawab dia memperhitungkan setiap keputusannya.
“Ini sudah malam, lebih baik kita akhiri ini sampai di sini dan aku akan memikirkan ulang tentang keputusan ini, jangan khawatir semuanya akan baik-baik saja.
“satu hal lagi, kita hanya punya satu tenda dum, kalian tidurlah di tenda, Aku akan tidur di luar.”
Tidak butuh waktu lama dan perintah dua kali kami para perempuan masuk ke tenda. Bersiap untuk tidur walau sesekali kami bergosip tentang satu dua hal tak jarang juga membicarakan Cedric diam-diam dari tenda.
20 menit berlalu, aku belum bisa tidur—mata ku masih terang belum mengantuk, sedangkan Freya dan Luna di kanan dan kiri ku sudah tertidur pulas seperti kucing yang imut. Dari dalam tenda suara jangkrik, burung hantu dan serangga nokturnal sangat terdengar jelas, juga suara api yang masih membakar.
Tuck!
Itu suara dahan patah. Apa ada binatang yang menginjaknya.
Aku membuka resleting pintu tenda sedikit, mengintip dengan jelas terlihat Cedric yang masih termenung duduk di dekat unggun.
“kapten kamu belum tidur kan?”Aku memanggil dari dalam tenda. Suara ku kecil tapi itu cukup membuatnya mendengar suara ku.
“Belum, kenapa?” Matanya terlihat bersinar di terpa cahaya kuning dari api, dia tampak seram terkadang.
“Boleh aku di keluar tenda?”
“Iya boleh.
Aku membuka resleting lebih besar dan menutup kembali mencegah nyamuk masuk dan menjadikan Freya dan Luna santapan malam yang lezat.
“Kamu sedang apa kapten?”
“shtt... Jangan panggil aku kapten ketika bukan bertugas, panggil aja namaku.”
“Maaf kapten... E maksudnya ce-cedric.” Terkadang aku tidak terbiasa memanggil namanya langsung, terutama dia lebih tua dari ku. Tapi ya sudahlah, aku menurut karena ini juga sudah menjadi kebiasaan kelompok ini untuk menyebut nama langsung tanpa embel-embel pak, kak, tuan, nona atau sejenisnya.
“Nah mantap.” Sejenak dia berhenti berbicara “kalau di tanya ngapain yang pasti aku hanya memandang langit berbintang di atas sana.”
“Apa kamu suka bintang-bintang?” Tanya ku. Kemudian merangkak duduk di sebelahnya, jarak kami hanya 30 cm.
“Kurasa mungkin.”
“Jawaban macam apa itu.”
“Entah lah—rasanya lelah sekali hari ini, Kalau tadi aku mati mungkin aku akan menyesalinya.”
“Huh kenapa? Bukannya mati lebih menyenangkan dari pada hidup di dunia ini sekarang.” Aku balik bertanya dengan rasa penasaran.
Cedric buru-buru menggeleng-gelengkan kepala, menatap ku dengan bola matanya yang besar. Tampak seolah ingin mengatakan ‘apa yang sebenarnya telah di pikirkan bocah satu ini?’
Cedric balik menghadap langit berbintang. Wajahnya tampak menawan di terpa cahaya unggun.
“Tidak, hidup itu lebih berharga dari kematian, hidup itu lebih menenangkan dari kematian dan hidup itu lebih menyenangkan dari pada kematian.”
Aku tidak mengerti, maksud ku bagaimana bisa hidup di dunia ini lebih menyenangkan dan menenangkan. Dunia ini sebelumnya saja sudah hancur apalagi di tambah dengan fakta miliaran manusia mati dalam beberapa Minggu.
“Rika. Apa kamu punya tujuan sekarang?” Mendadak rasanya ini menjadi percakapan yang mendalam.
“Tujuan? Kurasa aku ingin cepat mati tanpa rasa sakit.”
“Beh, tujuannya seram banget—tapi aku merasa itu bukan tujuan, aku meyakini jika memiliki ambisi terhadap tujuan justru membuatnya tidak ingin mati.”
“aku tidak mengerti.” Aku menghela nafas, menatap bintang terlihat di sana rasi bintang Orion yang indah. “Sekarang aku balik bertanya. Kenapa Cedric, kamu tidak meninggalkan kami di tempat ini dan pergi sendirian menemui keluarga mu.” Ia tidak langsung menjawab.
“Kenapa ya,” sekejap menjadi lengang, tatapannya lurus ke depan.“ Karena kalian keluarga ku sekarang, aku tidak yakin keluarga ku di Sumatra masih bertahan, rasanya akan sangat menyesal mengorbankan keluarga ku yang lain untuk mendapatkan sesuatu yang tidak jelas.”
Sesaat aku melihat matanya berkilau terkena cahaya unggun, apakah pria ini menangis atau sedang sentimental sekarang. Kurasa tidak mungkin, aku belum pernah melihatnya berlarut dalam kesedihan.
“Bagaimana jika keluarga mu di Sumatra ternyata masih hidup?”
“Justru itu tidak akan membuat ku khawatir, mereka adalah orang-orang kuat. Karena aku terlahir di keluarga petani dengan mental dan fisik sekuat baja. Aku yakin mereka pasti jadi petarung terbaik di kampungnya.”
“Begitu ya.” Aku terdiam menunduk sekaligus takjub tidak menyangka Cedric terlihat keren sesekali di bawah sinar bulan. Beberapa saat lenggang, hanya ada suara api yang membakar ranting.
“Sudah, saatnya kita tidur. Besok kita harus bergegas pagi-pagi.”
“Hoaaaaa, aku juga sudah mulai mengantuk.” Aku berdiri bergegas menuju tenda, membuka pintunya. Pergerakan ku terhenti sejenak, menoleh ke belakang
“Cedric, besok bangunkan aku ya, aku mau melihat petualangan yang indah dari mu.”
“Ha-ha-ha, aman, selamat tidur Rika.”
Balik membalas dengan senyuman, suara ku lembut tergerus angin,
“Malam, Kapten ku.
***
“Semuanya bangun, kita sudah kesiangan.” Cedric berteriak ke arah tenda, mataku langsung terbuka lebar, matahari di luar sudah terang mulai meninggi.
“Huh? Tidak mau bangun ya, aku masuk ini.” Cedric membuka resleting tenda. Pukulan kuat menghantam telak batang hidungnya hingga berdarah.
Bum!
“Ahckkk. Kenapa kalian?” Cedric berseru ketus.
“Kami lagi ganti baju, kenapa kau masuk.” Teriak Freya dari tenda.
“Mana ku tau bodoh, kalian tidak jawab saat ku bangunkan.
“Iya-iya maaf, aku tunggu ini.” Cedric akhirnya mengalah.
15 menit berlalu
“Hei kalian ngapain lama kali? Cuman ganti baju dan susun barang ke tas kok bisa sampai 15 menit lebih.” Suara ketus Cedric terdengar keras ke dalam tenda. Aku hendak menjawab tapi Freya menghentikan teriakan ku.
“Shttt, biarkan aja Rika, dia memang tidak tahu cewek butuh banyak waktu hanya untuk siap berpakaian.”
Aku mengangguk, kemudian melangkah keluar dengan tas kecil yang ku bawa di punggung. Seketika udara dingin dan segar menerpa wajah ku, cahaya matahari tampak kuning soft.
“Wah pagi yang indah.”Ucap Luna menyahut pemandangan indah pagi ini.
“Iya indah, kalau tidak di pukul sekuat tadi.” Suara itu terdengar lagi menyindir Freya dengan jelas. Aku menghela nafas hendak tertawa melihat mereka berdua yang terus bertengkar setiap saat. Seperti ayah dan ibu sedangkan aku dan Luna adalah anak mereka.
Aku melangkah mendekat, menyuruhnya menunduk membawakan tas P3K. Menghapus bercak darah dan memberikan kapas untuk menyumbat aliran darah yang menetes.
“Cedric maaf ya. Tadi Freya tidak sengaja memukul.”
“Eh, tidak apa-apa, Santai saja. Seharusnya dia yang minta maaf.” Cedric melirik tajam ke Freya yang sedang merapikan tenda.
“Huh, Iya-iya maaf deh ketua.” Freya yang sadar posisinya buruk saat ini, akhirnya luluh untuk meminta maaf.
“Nah gitu dong, jangan sia-siakan perjuangan vel—.” Argh sial aku tidak sengaja mengucapkan nama itu. Semuanya jadi terlihat sedih sekarang.
“sudah-sudah, cukup sedih-sedihnya.” Cedric menyelamatkan lenggang dan sedih untuk sekian kalinya. “Hari ini aku resmikan kelompok Cefraluri akan membuka chapter baru hari ini.”
“Huh? Cefraluri apaan, suka hati kau saja buat nama.” Freya dengan gaya kritiknya, sedikit menyebalkan sebenarnya.
“Lah memang tidak bagus? Itu kan gabungan dari nama Cedric, Freya, Luna, Rika.” Jawab Cedric
“tidak-tidak, ganti saja!”
“Eeeeee... Tapi yang lain setuju kan?”
“Maaf Kapten pemilihan nama mu buruk.” Ucap Luna dengan wajah seolah mengatakan ‘nama dari planet mana itu’
“Maaf Cedric, kali ini aku tidak setuju dengan mu.” memang nama itu terdengar menjijikkan dan alay.
“Terus apa dong? Tidak mungkin kita pergi sebagai party tidak punya nama.” Cedric balas berketus, terlihat wajahnya sedang sebal. Beberapa menit hening, tidak ada jawaban dari siapa pun tentang nama yang cocok. Bahkan suara angin lembut melerai rambut ku yang panjang terdengar jelas ke telinga— oh iya keknya itu bagus.
“Aku tau-aku tau, bagaimana kalau Alaya. Memiliki arti rumah, karena di rumah ini lah kita berjumpa, tidur bersama, canda tawa, serta senang dan sedih. Aku berpikir saat kita pergi dan hanya kenangan dalam rumah ini yang harus kita bawa untuk di ceritakan selama perjalanan.”
Tanpa basa-basi semuanya langsung serempak berkata. “SETUJU.”
“Baguslah dengan ini aku sebagai pemimpin Party Alaya meresmikan chapter baru kami untuk The new world era is powerful .” Semua terpukau sesaat Cedric mengeluarkan aura kuning yang kuat dengan semangat membara tangannya yang mengepal terangkat.
“Apa lagi yang kalian tunggu? Kita sudsh mepet ini, Cepat dikit.” Mendadak sosoknya yang berwibawa hilang dalam sekejap setelah kembali meneriaki kami untuk bergegas.
“Huh? Sabar lah, jangan kau bawa sistem Akmil-akmil itu, bukannya lolos sok belagu .”
Kalau kondisinya tidak kejar waktu pasti aku akan tertawa keras mendengar celotehan Freya.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22