Read More >>"> Evolvera Life (Episode 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Evolvera Life
MENU
About Us  

30 Juli 2061. Dalam hitungan singkat, dunia semakin merosot. Kematian menyapu bersih, mayat-mayat tergeletak membusuk, diserang oleh sengat alam. Hanya tersisa sedikit kesempatan untuk hidup, hanya 15% kemungkinan untuk hidup. Tak ada lagi harapan bagi kebanyakan, sehingga banyak yang memilih kebinasaan untuk mengakhiri penderitaan menunggu kematian. 

Saat ini, 1,8 miliar nyawa telah melayang dari seluruh penjuru dunia. Bukan hanya di Indonesia, tapi di mana-mana kekacauan merajalela; perang, pembunuhan, pencurian, dan perjuangan untuk merebut kekuasaan. Intuisi dasar manusia telah bangkit, keegoisan, keserakahan, haus akan validasi—sifat-sifat itu berseliweran di tengah runtuhnya peraturan dan hukum.

Pemerintah dunia dan WHO telah sepakat untuk melakukan penguncian total hingga solusi ditemukan. Namun, masyarakat tidak menyerah begitu saja. Seperti yang pernah ku katakan, keserakahan telah tertanam dalam jiwa manusia. Banyak yang terlibat dalam pertempuran sia-sia demi mendapatkan sedikit oksigen murni dari rumah sakit. Namun, berapa lama lagi mereka bisa bertahan dengan oksigen yang tersisa?

                              ***

Hari telah menjelang senja, suara teriakan adikku menusuk kedamaian kamar. Aku melompat keluar dengan cepat, hati berdegup kencang oleh rasa takut akan keburukan yang mungkin terjadi.

Namun, ketika aku tiba, semuanya sudah terlambat. Mataku terbelalak, tangan gemetar mengepal erat, wajahku yang panik berubah menjadi pucat dan lemas, tubuhku membeku tak berdaya.

Dengan suara yang serak, aku bertanya dengan gemetar, suara teriakan adikku melingkupi suasana petang itu.

“Apa yang terjadi, Abang?” Tanyaku dengan suara bergetar setelah melihat kakek, nenek, mama, dan ayahku terbaring tak bernyawa, tubuh mereka membiru, mulut mengeluarkan busa putih, dan matanya yang dulu penuh warna kini hanya berubah menjadi putih kosong.

Tidak ada jawaban yang langsung keluar, bahkan pertanyaanku diacuhkan. Sebaliknya, tindakan diambil dengan cepat, memanggil ambulans untuk membawa mereka ke rumah sakit. Namun, lagi-lagi, ketika kami sampai di sana, semuanya sudah terlambat. Bahkan bisa dikatakan bahwa tak ada yang bisa dilakukan. Di sekelilingku, sudah banyak contoh orang-orang yang imunitasnya tak mampu menyesuaikan diri dengan udara yang tercemar oleh partikel komet. Begitulah penjelasan dari dokter yang menangani kedua orangtuaku dan kakek nenekku.

Kembali, teriakan dan tangisan menjadi suara latar utama di rumah sakit. Tidak terhitung berapa banyaknya jenis teriakan setiap jam, setiap menit, dan setiap detiknya. Termasuk diriku yang kelelahan menangisi kepergian orang-orang yang kucintai.

Rumah sakit dipenuhi dengan aktivitas yang tak pernah berhenti, 24 jam penuh. Setiap menit, pasien baru datang untuk menjemput ajalnya. Para dokter berjuang dengan keras untuk menyelamatkan, meskipun mereka tahu, itu semua sia-sia. Bahkan para pejuang berjubah putih itu bersedia mengorbankan nyawa demi sesuatu yang tak pasti hasilnya.

Pada saat yang sama, di tengah keramaian teriakan dan tangisan, aku berjalan tanpa arah, tubuhku lunglai meski tidak pingsan. Pikiranku kosong, tatapan mata yang tak berdaya melingkupi ruang yang dipenuhi oleh jasad.

“Mengapa ini harus berakhir tragis? Mengapa harus kakek, nenek, dan kedua orangtuaku? Mengapa tidak aku saja?”

Langkahku terhenti, bahuku terhuyung-huyung, tanpa tujuan, meninggalkan ruangan yang dipenuhi oleh mayat. Tatapanku kosong.

“Aku benci Tuhan! Mengapa Engkau merenggut keempat orang yang kucintai dalam hitungan jam? Mengapa Engkau membenciku? MENGAPA!” Air mataku mengalir deras, aku berteriak kesal ke langit. Berkali-kali, tanganku memukul tembok dengan keras, tak peduli siapa yang mencoba menghentikanku.

“Aku MINTA lebih sakit lagi!” Bentakan dan pukulanku terhenti, bukan karena sakit di tangan berhasil menyamarkan rasa sakit di hatiku, tapi karena tak cukup tenaga untuk melanjutkannya. Suaraku terisak-isak, sesekali aku menyeka air mata yang terus mengalir.

Angin malam menyapu tubuhku, tetes hujan membasahi bumi, cahaya senja tidak merubah suasana. tidak muncul hari ini. Awan memilih untuk menutupi cahaya pertanda berduka.

Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sekarang aku sudah tidak tahu lagi jam berapa ini, tidak tahu apa yang harus kulakukan, atau kemana arahku. Aku merindukan kehangatan sekarang, dan seseorang yang mampu memperbaiki kecacatan dalam diriku.

Hug!

Sebuah pelukan tiba-tiba menyergapku dari belakang. Suaranya lembut, mengoceh di telingaku.

“Sudah, Rika. Abang di sini, menjadi penghangat bagimu.”

Wajahku tak menunjukkan keterkejutan. Bahkan, aku tidak lagi peduli dengan sekitar. Tak peduli siapa yang menyerangku, rasanya aku takkan bisa bertarung. Hidupku bagai kaca rapuh yang telah retak beberapa waktu lalu.

“Kenapa bisa seperti ini?” suaraku redup, hampir hilang ditelan angin kencang.

“Inilah takdir, Rika. Jangan khawatir, Abang akan selalu menjagamu. Abang berjanji...” Dia tegar seperti batu karang di tengah badai. Meski seharusnya aku memilih untuk tidak percaya, bahkan berharap.

                              ***

Adikku yang satu-satunya meninggal pada pukul sembilan malam. Di ruangan yang sama, tempat empat orang yang kucintai menghembuskan napas terakhir. Tempat itu kini hening, tak ada lagi teriakan dan tangisan. Setidaknya seharusnya aku yang melakukan itu.

Namun kini, berdiri pun rasanya sudah terlalu berat, tangisku tak mampu lagi mengeluarkan air mata. Setiap kata penyemangat dari abangku, kupandang sebagai omong kosong. Hanya semacam dogma sementara untuk menyatukan pecahan-pecahan hatiku yang hancur.

“Rika, mau kemana?” teriak abangku memecah keheningan di ruang perawatan itu. Aku mengabaikannya, terus melangkah keluar tanpa menjawab atau menoleh.

Langkahku sempoyongan, rasanya kepala ini benar-benar pusing. Seperti orang yang habis minum-minum.

Suara langkah kaki yang monoton menjadi latar belakang di lorong ini, termasuk langkah kaki abang yang mengejar dari belakang. Aku memilih duduk di kursi, mendengarkan omong kosong abangku, meski itu hanya bisa memperbaiki sedikit pecahan yang hancur dari diriku.

Aku tak tahan lagi. Gumamku dalam hati terdalam. Tangan kuatku mengepal kain celana di pangkuanku. Air mata jatuh membasahi pahaku.

“Percuma,” gumamku teredam oleh tangis. Air mataku terus jatuh, tak peduli betapa keras aku menahannya, tak peduli betapa aku mencoba untuk mengesampingkan kemungkinan terburuk.

“Cukuplah, Bang. Rika tahu semuanya omong kosong. Abang juga akan pergi kan?” teriakku, mengguncang lorong. Orang-orang yang lewat berhenti sejenak memperhatikanku, lalu melanjutkan perjalanan mereka.

“Rika, apa maksudmu?” Wajahnya kaget, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi.

“Tidak usah berbohong lagi, Bang... Abang akan mati dalam waktu dekat, kan? Tubuh abang tidak akan mampu bertahan, Rika tahu semua itu sejak awal—”

“RIKA, CUKUP!” bentakan abang menghentikan ucapanku. Wajahnya yang tegar kini penuh dengan air mata. Dia menundukkan kepalanya dengan terisak.

“abang yakin akan sembuh, abang yakin dengan kemampuan tubuh abang. Ini hanya gejala mutasi. Tolong percayalah padaku. Jika pun abang pergi, abang tidak akan pergi lebih dulu dari Rika.” Suaranya lembut seperti biasanya, menenangkan hatiku meski sebelumnya dia hendak menampar pipiku.

Aku tidak menjawabnya, aku tahu ini adalah kebohongan baru. Aku hanya menundukkan kepala, menahan air mata dan meremas kain celana di sisi kanan dan kiri.

“Aku tidak mengerti, kenapa abang begitu keras kepala tentang ini,” gumamku lebih lemah kali ini.

“Hanya satu hal, Rika. Karena Rika adalah adikku, dan keluarga terakhir yang harus kubela. Jadi, tolong percayalah padaku.”

Tanpa kata-kata, dia memelukku erat seperti takut akan kehilanganku lebih dari nyawanya sendiri. Meski aku tahu siapa yang akan pergi lebih dulu dari dunia yang hina ini.

                              ***

31 Juli 2061, laporan terbaru menyebutkan bahwa 1,5 miliar jiwa telah meninggal dalam sehari. Suara-suara samar dari bisikan-bisikan perawat menyampaikan sedikit informasi padaku. Aku sendiri tengah berusaha menemukan obat untuk Abang, setidaknya itu yang bisa kulakukan sebagai upaya terakhir.

Namun, penjelasan dari dokter meyakinkanku bahwa menemukan obat adalah hal yang mustahil. Semuanya tergantung pada antibodi masing-masing tubuh. Informasi lain yang ku dapatkan mengenai molekul sub-atomik pada partikel debu dari ledakan komet Halley yang memengaruhi struktur atom oksigen, membuat oksigen yang sekarang tersebar menjadi terkontaminasi dengan energi positif yang sangat besar. Sayangnya, kelebihan energi ini menjadi racun yang perlahan-lahan membunuh siapa pun yang menghirupnya. Satu-satunya cara adalah dengan mengurangi jumlah oksigen yang terkontaminasi yang kita hirup, tapi siapa yang bisa bertahan hidup tanpa bernafas? Dan oksigen tabung yang masih steril sudah habis dibawa pergi oleh Hyper.

Suara bisikan menarik perhatianku.

“Hei, hati-hati dengan Hyper, mereka seperti monster rakus,” beberapa pasien berbicara kepada perawat. Namun perawat hanya tersenyum, mengusap peluh di dahinya.

Omong kosong tentang Hyper yang sering disebut-sebut, hanya nama panggilan resmi dari WHO untuk manusia berkekuatan atau yang selamat dari mutasi.

Seharusnya hal ini membuatku bersemangat karena keinginanku terkabul, tapi siapa yang menyangka bahwa dunia akan menjadi sangat kacau hanya untuk mewujudkan impian itu. Ditambah lagi, sosok terakhir, keluarga terakhirku yang penuh dengan janji-janji kosong akan segera pergi.

                              ***

“Bang, ayo kita cepat ke rumah sakit,” ucapku panik, berusaha membantunya berjalan.

“Sudah tidak usah—Uhuck,” Darah terus mengalir dari mulutnya setiap kali ia batuk, tubuhnya mulai berubah kebiruan, kondisinya semakin memburuk. Aku tak sanggup berkata-kata lagi melihat keadaan yang sudah pasti.

Di saat suaranya hampir hilang, tubuhnya sudah sangat kebiruan, ia masih sempat menyampaikan pesan. “Kamu jangan pergi ke rumah sakit, nanti akan terpapar virus di sana. Abang ingin kamu tetap hidup.”

“Tapi Bang, Abang telah berjanji untuk pergi terakhir. Abang tidak mau meninggalkan Rika lebih dulu kan?”

Dia hanya tersenyum, tawa kecilnya seolah mengatakan bahwa dia baik-baik saja—sosok Abang kandungku sekali lagi berbohong untuk yang kedua kalinya.

“Maaf, Rika, tapi ini yang terbaik untukmu—.” Kata-kata terakhir sebelum dia meninggalkan dunia ini. Kata-kata yang membuatku kesal, ingin sekali memukul wajah abangku sendiri.

Aku menunduk, berlutut di hadapan tubuhnya yang sudah kebiruan total dengan pupil mata hitam yang berubah menjadi putih. Suaraku samar di tengah keheningan, “Terbaik? Abang berpikir begitu karena merasa penderitaanku tidak akan berlangsung lama. Kenyataannya, aku tak bisa mati dan mengikutinya lebih cepat.” Sudah menunjukkan pukul 5 sore. Matahari akan segera meninggalkan bumi juga. Aku akan sendirian di malam tanpa bulan purnama ini. Langit begitu gelap di atas sana, angin kencang yang berdebu menyapu wajahku.

Aku tarik napas panjang. Dengan posisi yang sama, aku memutuskan, “Sudahlah, air mataku sudah kering, mental ku sudah siap untuk kematiannya, rasanya hanya sedikit terpukul.”

Sore menjelang malam berakhir tanpa teriakan, hanya tersisa suara angin yang meniup debu jalanan. Hingga akhirnya aku terjatuh tidak sadarkan diri setelah bersusah payah memapah tubuhnya menuju rumah sakit untuk dimakamkan.

                              ***

Aku terbangun dari tidur. Mataku mengerjap-ngerjap, cahaya lampu silau mengenai kornea mataku. “Apa yang terjadi?” suaraku lemah, napasku sedikit tersendat karena tersentak. Sepertinya aku kelelahan. Aku juga mengenali atap ini.

Pandanganku menyapu ke kanan dan kiri. Seorang dokter laki-laki dan seorang perawat berpakaian putih bersih sedang menyiapkan sesuatu di troli khas mereka.

“Di mana abang saya, dokter?” Aku teringat padanya, seorang dokter laki-laki yang tinggi dan putih dengan rambut pendek mendekat, menjawab sambil berjalan menuju kasur tempatku terbaring tak berdaya.

“Maaf, nak, kami menemukan kalian di halaman rumah sakit dan, abangmu sudah tiada,” ucap dokter itu dengan wajah perihatin. Aku menghela nafas pendek, menelan ludah, sesuatu yang basah membasahi pipi—kenapa aku mengeluarkan air mata? Bukankah sebelumnya air mataku sudah kering?

“Dokter, ada televisi? Saya ingin melihat berita.” Dengan pipi yang basah dan mata yang bengkak serta sembab, aku bertanya serius setelah mengusap air mata.

“Di ruang tunggu ada,” dokter itu menjawab tegas.

“Kalau begitu saya kesana, dok.” Aku berdiri dari kasur dan melepaskan infus lalu berlari di lorong.

“Hey, tunggu....” Teriak dokter itu memanggil, berusaha menghentikanku keluar. Aku tidak peduli, aku bisa berjalan sendiri. Sebenarnya aku baik-baik saja, hanya saja pingsan karena kurang tidur dan istirahat.

Sesampainya di depan TV, sebuah berita sedang berputar di layar kaca. 1 Agustus 2061, korban jiwa menyentuh 1,3 miliar kematian pada hari itu dan manusia yang tersisa hanya 7,37 miliar, begitulah inti berita yang kudengar pagi ini.

Aku tidak tahan dengan semua ini, aku berlari keluar rumah sakit tanpa memberitahu dokter yang merawatku sebelumnya. Di kanan dan kiri selama berada di lorong yang pengap rumah sakit, aku hanya melihat keluarga pasien yang bersedih kehilangan keluarga mereka. Aku yakin mereka orang yang sama denganku, memiliki kekuatan dan tidak bisa mati karena bencana mutasi ini.

Berlari 4 menit, akhirnya keluar gerbang rumah sakit. Aku terus berlari ke kanan jalan menuju rumah yang telah ditinggalkan. Aku tidak punya tujuan sekarang selain menutupi air mata dan berlari ke rumah tanpa memikirkan apa yang harus kulakukan berikutnya.

20 menit berlalu, aku berlari dengan cepat dan tidak terasa lelah. Mungkin ini efek energi positif yang meningkatkan daya tahan fisik serta stamina. Sesampainya di hadapan pintu, aku mengetuknya kemudian mengucap salam, berharap seseorang menjawab dari dalam.

“Aku pulang.” Membuka pintu rumah yang sudah rusak parah. Kemudian melangkah masuk lalu pandanganku langsung tertuju di ruang keluarga yang merupakan hari terakhir kami bercanda tawa, tapi tidak ada gunanya sekarang, Rika, ayolah sadar diriku... Sekarang bukan saatnya berlarut-larut dalam kesedihan.

Dengan semangat yang sedikit pulih, aku membuka kulkas dan mengecek persediaan makanan yang ada dan hanya menemukan mie instan sebagai makanan yang layak dimakan. Walaupun seharusnya aku tidak akan mudah sakit setelah bermutasi genetik. Tapi ayolah, aku pasti bisa bangkit dari keterpurukan ini. Semangatku belum runtuh hingga beberapa hari ke depan, semuanya memburuk.

                              ***

Ini belum berakhir, kematian terus bertambah.

2 Agustus 2061, kematian menyentuh 1,1 miliar perhari.

3 Agustus 2061, kematian menyentuh 940,5 juta.

4 Agustus 2061, kematian mulai terus merosot seiring jumlah manusia yang ikut terancam, dan kini kematian harian menyentuh 799,5 juta.

5 Agustus 2061, kematian menyentuh 679,5 juta.

6 Agustus 2061, kematian menyentuh 417 juta.

7 Agustus 2061, merupakan kematian terakhir akibat tragedi ini, dengan angka kematian terakhir yaitu 417 juta.

Setelah beberapa hari yang sangat singkat, jumlah manusia di dunia turun menjadi 2,36 miliar dari yang berawal 12 miliar jiwa. Kemudian peristiwa ini diingat dengan sebutan "Ledakan Evolvera." Mereka yang bertahan oleh seleksi alam akan mendapatkan ganjaran berupa kekuatan yang sesuai kepribadian mereka, dan manusia yang selamat itu disebut sebagai Hyper.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • silvius

    Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.

    Comment on chapter Episode 22
  • silvius

    Halo pembaca. Ini merupakan novel pertama saya. Saya sangat senang jika mendapatkan kritikan atau saran atau mungkin hal bagus yang membangun. Mari bersama membangun komunitas terbaik. Terimakasih telah membaca dan memberikan tanggapan yang jujur

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Yu & Way
925      488     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
Finding Home
1949      916     1     
Fantasy
Bercerita tentang seorang petualang bernama Lost yang tidak memiliki rumah maupun ingatan tentang rumahnya. Ia menjelajahi seluruh dunia untuk mencari rumahnya. Bersama dengan rekan petualangannya, Helix si kucing cerdik dan Reina seorang putri yang menghilang, mereka berkelana ke berbagai tempat menakjubkan untuk menemukan rumah bagi Lost
Surat untuk Tahun 2001
3147      1736     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
Anak Magang
51      48     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Lost Daddy
4341      931     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Waktu Awan dan Rembulan
4134      2230     16     
Romance
WADR
Premium
RESTART [21+]
5115      2235     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
Dua Warna
424      311     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Gloomy
536      345     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
After School
1509      868     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...