“Ibuuu, ayah, Rika pergi,” sapaku pada ibuku dan ayahku.
Omong-omong namaku Rika, seorang gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA, setidaknya sampai beberapa bulan ke depan. Usiaku 18 tahun, dan aku masuk sekolah agak terlambat karena beberapa hal di masa laluku. Rambutku panjang dan sering tergerai, terutama karena angin di kota Nusantara ini begitu sejuk saat menyapu rambutku, tinggi badan ku setara anak perempuan SMA pada umumnya di Indonesia, mataku lebar dengan bibir pink mengkilap. Lalu kalau untuk sifat, mungkin lebih tepat di katakan sedikit pemalu dan periang—aneh kan? Seperti dua sifat yang saling berlawanan, atau mungkin saja aku bisa di katakan ambivert.
Namun lupakan tentang ciri-ciri itu sekarang, biarkan waktu yang membawa kalian mengenali kehidupan sekolah ku yang riang. Karena sekarang aku benar-benar harus buru-buru, berlari secepat mungkin sebelum bus terbang terakhir pagi ini melintas melewati halte yang teronggok bisu di pinggir jalan.
Tubuh ku mulai mengucur keringat membasahi seragam putih dengan rok biru muda. Selama pengejaran jadwal bus terbang, aku hanya mengeluh sana sini. Termasuk kelalaian ku tadi malam. Bergadang hingga jam 1 malam hanya untuk menonton drama kesukaan ku Kvk experimen.
“Eh nak Rika kenapa buru-buru?” tetangga menyapa ku dari halamannya. Aku menjawab dengan tergesa-gesa.
“Rika terlambat Bu!
“Gawat, tinggal 8 menit lagi.” Lari ku mantap, seiring di kejar waktu semakin cepat juga aku lari. Mungkin lebih mirip di kejar anjing dari pada di kejar waktu. Rambut dan tas di punggungku bergoyang-goyang seiring dengan langkahku yang tergesa-gesa menuruni jalan yang menurun.
Nafasku tersengal. “Akhirnya sampai, ku kira aku akan terlambat,” belum lagi nafasku pulih, seseorang memanggil.
“Oiiiii, Rika,” teriak seorang perempuan lebih muda setahun dariku, wajahnya cerah dengan sedikit pipi tembam, badannya langsing, matanya lebar dengan tatapan ceria, rambutnya pendek yang diterpa angin. Dia mendekati halte yang sama dari arah kanan.
“Pagi, Sayla,” sambutku.
“Pagi juga, Rika. Tumben kamu telat?” tanya Sayla heran dengan nada terbata-bata.
“He-he-he, semalam aku menonton film sampai jam satu malam,” aku menjelaskan sambil merapikan rambutku. Sesekali aku menyemprotkan pewangi karena keringat telah melumuri tubuhku.
Sayla masih antusias bertanya.
“Kayaknya seru. Ngomong-ngomong, Rika, kamu tahu tentang kejadian malam ini?”
“Oh, yang katanya ada komet melintas, namanya Hilley kan?”
“Pffft—apaan, wajahmu yang percaya diri ini? Itu salah, yang benar Halley.” Sayla menahan tawa.
“Ha-ha-ha.”tawaku karena malu—kenapa aku salah sebut sih, udahlah kepedean. “Eh, busnya sudah datang. Ayo, bergegas naik.” Baguslah busnya tiba tepat waktu.
“Eeeh, iya, bentar,” Sayla menyusul di belakangku.
Ngomong-ngomong aku sangat cinta dengan kota ini. Kota Nusantara utama, kota hijau bagai rumah ras elf dalam cerita dongeng, setiap paginya senja terasa lebih indah jika berada di kota ini. Teknologi mutahir juga sangat berkembang. Mulai dari tiang yang bisa memberikan informasi jalan, lalu aspal jalanan juga bisa mengisi daya kendaraan terbang di yang lewat di atasnya, sebagian besar pembangkit listrik juya menggunakan bahan bebas karbon dan paling keren yang tidak ada di kota manapun di dunia adalah, kota dengan robot dan ai yang membantu operasional kebutuhan umum. Seperti bus terbang sekarang menggunakan teknologi AI sehingga ketepatan waktu menjadi lebih akurat. Oh iya satu lagi, semua kendaraan di kota ini menggunakan energi listrik. Energi minyak bumi sudah lama di tinggalkan.
***
Pukul tujuh tepat, sampai di depan gerbang sekolah. Bus terbang itu bisa mengantarkan kami langsung ke depan gerbang dan kabar menyenangkannya anak sekolahan mendapatkan diskon 50% ongkos transportasi.
“Ayo cepat lari Rika!” Sayla menarik tangan ku. Tanpa di suruh dua kali aku bergegas mengikutinya berlari menuju lorong lalu menaiki lift dan terakhir berlari lagi menuju kelas.
Nafas ku terengah-engah. Aku mengusap peluh di dahi. “Untung saja guru belum masuk.” Ucapku dengan suara yang lega. Tanpa pikir panjang aku segera menuju kursi ku di barisan paling depan dekat jendela kemudian segera duduk dengan rapi, mengeluarkan buku pelajaran.
Ding-dang-dong! “Pelajaran pertama di mulai” ding-dang-dong!
Omong-omong pelajaran kesukaan ku adalah sastra. Tapi hari ini tidak akan ada pelajaran itu, justru hitung-hitungan yang menyebalkan sepanjang waktu. Jadi mau bagaimana lagi, walaupun aku berencana menceritakan materi kesukaan ku di sastra Indonesia, hari ini tidak bisa ku lakukan, jadi skip saja.
***
“Hooaaaaah. Akhirnya selesai, otakku sudah panas,” keluhku sambil mengedipkan mata, mengangkat tangan untuk meregangkan otot.
“Apaan sih, Rika? Tadi saja tidur, gimana mungkin otak panas,” goda Layla, temanku. Tidak banyak yang bisa kukatakan tentangnya selain jarinya yang lentik dan keahliannya dalam hitungan.
“Mungkin dia belajar di dalam mimpi,” sahut Sayla sambil membawa bekalnya ke meja. Yang lain hanya tertawa, kecuali aku.
“Heeehey, cukup....” Aku tidak benar-benar memarahi mereka, tapi harapannya mereka mengerti — ini sangat memalukan.
Setelah memalingkan wajah sejenak, Sayla memecah keheningan.
“Dah-dah, ayo makan,” ajak Sayla mengalihkan pembicaraan.
“Untung aku bawa bekal makan siang,” kata Layla.
Kemudian, aku membuka bekal makan siang yang disiapkan ibuku dan terkejut melihat makanan yang begitu lezat.
“Apa ada yang salah, Rika? Kok terkejut begitu?” tanya Sayla.
“Tidak, tidak,” ku jawab dengan singkat.
Singkat cerita, bekal di buka satu persatu, Kami makan bersama sambil membahas banyak hal, mulai dari gosip sekolah, gosip cowok, bahkan guru pun tidak luput. Namun, kali ini ada pembahasan yang berbeda di antara kami.
“Eh, kalian tahu gak, katanya komet malam ini bisa mengabulkan permintaan,” kata Sayla.
“Huh, serius? Kalau begitu, aku mau punya kekayaan,” ujar Layla.
“Heh.” Sayla menyikut, Layla mengaduh.
“Apa heh? Sakit tauuu.”
“Ngapaij jadi kaya, seharusnya minta yang lebih besar. Kalau jadi kaya semua orang bisa, cukup jadi dpr aja kan lalu makan uang rak—”
“Heh!”
“Shtttttt!”
Percakapan terhenti, suasana kembali lenggang. Barusan kami berdua sontak menghentikan karena pembahasannya berbahaya. Bisa-bisa kami kena masalah juga nantinya.
“Hati-hati dong ngomong” Ucap Sayla.
“Pelan-pelan aja, nanti guru atau teman yang bapaknya pejabat dengar gituan gimana dong.” Aku menambahkan kemungkinan. Sayla tertunduk merasa bersalah.
“Sudah-sudah, mari lanjut gosipnya.” Ucap ku memecah lenggang. Membawa kembali suasana
“Kalau aku sih, aku mau punya hidup yang bahagia aja,” kata Sayla.
“Heh! Itu kan permintaan biasa saja, kenapa pula aku tidak boleh minta jadi kaya.” Layla menyahut membalas perbuatan Sayla sebelumnya. Aku hanya tertawa melihat pertengkaran kecil mereka.
“Dengae ya, Layla. Kamu itu naif. Bahkan orang terkaya belum tentu mendapatkan kebahagiaan. Makanya aku ingin meminta kebahagiaan yang lebih berharga dari harta yang kau minta.”
“Hmmmm!” Layla memasang wajah cemberut yang imut. Itu membuat ku tambah tertawa hingga butiran nasi tumpah.
“Kalau kamu, Rika?” tanya Sayla.
Tangan ku terhenti menyendok, menaruh sebentar di atas bekal.
“Apa ya?” terdiam sejenak memikirkan sesuatu yang ku inginkan selama ini. ”Oh iya, aku ingat.”
“Ingat apa?” Tanya Layla.
“Aku ingat ingin meminta.”
***
“Pemirsa pada tanggal 28 Juli 2061, sebuah komet terlihat di cakrawala IKN Nusantara, Kalimantan Timur. Komet ini muncul sekali setiap 76 tahun. Inilah komet Halley. Saksikanlah di langit kalian semua dan jangan lewatkan kesempatan sekali seumur hidup ini,” terdengar ucapan pembicara berita dari televisi ruang tamu.
“Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini untuk memohon,” ucapku dari balkon rumah yang terbuka, melihat langit cerah dengan cahaya biru berekor. Sesekali, aku melihat ke bawah, banyak orang ikut mengabadikan momen ini. Langit gelap menjadi biru bercahaya, dan sedikit demi sedikit komet itu terasa membesar, terus melintasi cakrawala katulistiwa dengan ekor debu biru yang membentang memotong langit gelap — bahkan bulan kalah indah kali ini.
Aku menatap komet itu lagi, menarik nafas lega dengan tersenyum hingga lesung pipiku terlihat. Mataku membesar dan memancarkan cahaya, tangan kananku mengangkat, berusaha meraih komet itu — aku mengucapkan keinginan.
“Aku berharap dunia ini,” mataku memejam. “memiliki kekuatan sihir atau semacamnya,” tangan kananku yang terangkat ku kepalkan dengan kuat. “seperti dunia fantasi yang kugemari.” Tangan kiriku juga mengangkat dan mengepal di dada. “Aku juga ingin bertualang di dunia yang baru.” Rambutku yang tergerai panjang terbang terbawa angin. “Aku mohon....”
Dua detik setelah aku mengakhiri kata-kataku, aku mendengar keributan di telingaku, dan aku mencoba mengintip sedikit.
"Komet itu pecaaaaaah." Mataku melotot tidak percaya dengan apa yang kulihat di langit. Pecahan komet itu seolah-olah menciptakan Aurora yang indah bertabur kristal biru yang memantulkan cahaya bulan. Semua orang begitu takjub. Dadaku berdebar seolah-olah dunia yang ada dalam pikiranku benar-benar terwujud.
Zttt-tak!, lampu rumah padam — bukan hanya lampu rumahku, tapi seluruh kota kehilangan listrik secara bersamaan. Aku berpikir ini pertunjukan yang sangat menakjubkan; pemerintah mungkin sengaja memadamkan listrik agar masyarakat bisa melihat cahaya biru dari komet itu dengan lebih jelas.
"Sungguh indah," aku berbalik dari loteng rumah dan turun ke bawah untuk bergabung dengan yang lain dari tangga, memanggil mereka sekuat mungkin.
"Pah, listrik mati. Panel Surya belum terisi sepenuhnya," teriak ibuku dari dapur.
Aku masih menatap cahaya yang menerangi separuh langit gelap di atas sana, seperti ribuan bintang jatuh ke bumi.
"Mama, Ayah, Adek, Abang, Kakek, Nenek, lihatlah keluar," aku memanggil keras-keras dari tangga. Mereka semua keluar untuk melihat apa yang kusampaikan.
Semua mata tertuju pada satu hal, dan beberapa saat kemudian, kepingan kristal komet menghilang dan menipis, terbakar di atmosfer.
***
Keesokan harinya, setelah malam yang indah, kami berkumpul di ruang keluarga untuk menonton berita pagi sekitar jam sembilan. Untungnya, energi listrik dari panel surya terisi, sehingga semua kebutuhan listrik rumah terpenuhi. Meskipun demikian, mungkin kami harus berhemat dan mengurangi waktu menonton televisi.
Berita pagi ini menyoroti tanggapan pemerintah terhadap pemadaman listrik massal yang terjadi semalam. Para peneliti juga memberikan pendapat mereka tentang gelombang elektromagnetik yang menyebabkan pemadaman listrik global, tidak hanya di negara ini, tapi juga di hampir setengah dunia. Mama tampak kesal karena pemerintah belum bisa memberikan perkiraan kapan listrik akan kembali normal. Ini benar-benar bencana besar dan hampir seperti kiamat untuk mereka yang ketergantungan internet dan listrik. Untungnya, siaran televisi tetap berjalan tanpa gangguan.
Namun, berita tiba-tiba berubah menjadi peringatan dini dari menteri pertahanan, diikuti oleh berita terkini.
“Selamat pagi, pemirsa. Liputan terbaru tanggal 29 Juli 2061, munculnya manusia berkekuatan super yang asal-usulnya tidak diketahui dan kini menyerang beberapa penduduk. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai negara di seluruh dunia. Saat ini, militer sedang berupaya untuk mengamankan manusia berkekuatan super yang berkeliaran. Sekian berita terkini.”
“Doaku terkabul?” gumamku dengan pelan, sambil merasa sesak napas dan jantung berdegup kencang.
Keluargaku tampaknya menganggapnya sebagai berita biasa, tidak seperti diriku yang menyadari bahwa mungkin ada keterkaitan dengan apa yang kutemui semalam. Namun, aku cepat beranjak ke dapur, tetapi langkahku terhenti ketika Mama memanggilku.
“Rika,” panggil Mama.
“Ada apa, Ma?” jawabku dengan baik dan tersenyum, meskipun pikiranku langsung panik — apakah Mama tahu sesuatu?
“Mau kemana Rika?” tanya Mama. Suaranya lembut khas seorang ibu.
“Rika mau membuat teh di dapur,” jawabku dengan lebih lembut.
“Kalau begitu, tolong buatkan Mama juga ya!” pinta Mama.
“Baik, Ma.” Memberi senyuman hangat.
Huh, aku kira orang tuaku mengetahui sesuatu, tapi itu tidak mungkin. Aku berjalan ke dapur dan membuat teh, hanya melakukan tahapan-tahapan biasa seperti membuat teh pada umumnya. Teknologi sudah maju sekarang, tidak seperti zaman dahulu di mana proses membuat teh lebih rumit.
"Mungkin itu juga alasan mengapa teh begitu mahal pada abad pertengahan," aku melamun sejenak, tangan ku bergerak otomatis menuangkan air panas ke dalam gelas yang kudukung di bawahnya, namun masalah kecil timbul.
"Ahrg, tangan ku," teriakku ketika tangan ku terkena air panas saat sedang menyeduh teh.
"Rika, ada apa?" Keluarga mendengar teriakanku dan segera datang untuk melihat tangan ku yang terpapar air panas. Meskipun sebenarnya semuanya baik-baik saja, orang tua ku panik seolah-olah pisau telah menembus urat nadiku.
"Tidak apa-apa, Ma, udah tidak sakit," ucapku mencoba menenangkan mereka. Wajah Mama terlihat tidak percaya, dan terus memeriksa tangan ku dari bawah hingga atas. Tidak ada satu pori-pori pun yang terlewat.
"Huh, lain kali hati-hati ya, Rika," kata Mama.
"Iya, Ma, maaf," jawabku.
Lagi-lagi Mama memarahiku, tapi aku tahu ia hanya khawatir dengan ku.
“Eh, Rika, kenapa urat nadimu terlihat bercahaya biru?” Tanya Mama, masih memeriksa sekujur lengan.
“Hah,” aku tidak bisa menyembunyikan kenyataan, tangan ku terlihat bercahaya di sepanjang pembuluh darah dan urat nadiku — apa jangan-jangan.
“Ti-tidak, itu hanya pena yang kubeli di supermarket karena suka dengan karakter di suatu film, aku menirunya, jadi terlihat bercahaya karena tintanya bercahaya setelah beberapa waktu,” jelasku, berusaha menahan rasa panik.
“Hm, ya sudahlah, sekarang hapus ya. Bikin Mama khawatir saja,” pinta Mama.
“Ha-ha-ha, baik Ma, aku langsung ke kamar untuk menghapusnya.” Setelah kejadian itu, aku berlari ke kamar dan membuka bajuku.
“HAAAHH!!!”
“Heh, mengapa aku harus berteriak sih....” wajah ku masih kaget melihat hampir seluruh tubuhku bercahaya biru menyala di sepanjang pembuluh darah, seolah ada sesuatu yang mengalir di dalamnya. Aku tidak mengerti, tetapi apakah aku sudah memiliki kekuatan super? Baiklah, ku coba saja.
“Fireball!”
“Ice!”
“Water!... Air...!”
“Tanah!...” Aku menunduk kecewa, “ya sudahlah,” ucapku sambil melepaskan ketegangan tubuh dan terbaring di tempat tidur — Tetapi, jika ini bukan karena kekuatan super, lalu apa ini? Kalau penyakit, seharusnya akan terasa sakit. Tetapi justru sebaliknya, aku merasa ada energi positif yang besar mengalir di tubuhku.
“Huh, terasa panas lagi. Andai saja ruangan ini penuh dengan udara sejuk.” Sesaat aku mengatakan itu, tidak sengaja terbayangkan udara pantai.
“Huh? Apa ini? Tunggu, mungkin....” Entah dari mana, padahal ruangan ini tertutup dan jendela tidak terbuka kecuali dari ventilasi, tapi aku yakin udara lembut ini dekat menyentuh kulit dengan jelas, terasa sejuk menyela di lorong bajuku.
Aku penasaran, aku akan mencoba sesuatu dengan menutup mata dan fokus, membayangkan suasana di tengah lapangan di bawah matahari terik. Hitungan lima perlahan kulakukan, kulitku mulai terasa hangat dan kemudian panas. Aku yakin ini panas dari cahaya matahari. Aku belum membuka mataku, terus meyakinkan diri dengan imajinasi. Semuanya semakin jelas hingga tubuhku berkeringat.
Aku membuka mataku, berteriak panik. Kulihat ke kiri dan kanan, ke atas, dan melihat jam atau ponsel. Tidak ada yang berubah, suhu udara di luar tetap sama. Namun, aku merasa panas ini 8 derajat di atas suhu luar ruangan sekarang.
“Ah, sudahlah, sekarang balik ke suhu sejuk,” ucapku, menutup mata dan membayangkan suasana yang sejuk di pegunungan.
“Tidak kusangka kekuatan itu bisa keluar hanya dengan membayangkan. Kalau begitu, bisakah aku menggerakkan benda?” Aku melihat telapak tanganku sejenak, lalu mengarahkannya ke meja belajar.
“Baiklah, aku ku coba gerakan meja belajar itu....” Dengan antusias, aku mencoba dengan menutup mata, fokus membayangkan meja itu bergerak walaupun hanya beberapa centimeter.
Aku mendengar derit meja dan langsung membuka mata karena kaget.
“Haaaa, berhasil! Ini keren, jika begini aku harus menunjukkan pada yang lain.” Langkahku terhenti sebelum membuka pintu.
“Eh, tapi—mungkin sebaiknya tidak.” Aku berubah pikiran, aku tidak tahu apa penyebab jika orang-orang mengetahui aku bisa menggerakkan meja dan mengubah suhu ruangan. Mungkin aku akan ditangkap tentara karena dianggap pemberontak negara.
Seiring berjalannya waktu, cahaya biru di pembuluh darahku mulai memudar. Aku melihat tangan ku—mungkin tanda biru itu hilang karena aku menggunakan energi terlalu besar sebelumnya.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22