Aku sadar betapa tinggi harga cinta yang kupupuk...
"Bisakah kau menganggap "kita" ini ada? Setidaknya letakkan sebentar saja ponselmu itu, Daya. Aku mohon dengan sangat," pinta lelaki itu di masa lalu, tulus.
"Kau sudah berhasil! Sedangkan aku apa?!"
"Daya, mengertilah. Aku—"
Hingga aku kehilangan kehangatannya, kesetiaannya, detak jantungnya... Selamanya...
...
Bagaimana aku memulai cerita ini? Oh ya.
Lelaki itu dulunya sepaket kutu buku saat SMP. Berkacamata. Pendiam. Gemar bersarang di perpustakaan. Teman dekat? Aku meragukannya. Sayang, dia juga tidak begitu cerdas.
"Hei," sapaku padanya yang asik mengartikan huruf tertempel di lembaran buku.
"Ouweah... H-hei." Reaksinya tampak kikuk dari gagapnya.
"Kau gemar membaca?"
Dia mengangguk sekali. Sama kikuknya.
"Emm... Aku kagum dengan kegigihanmu dalam belajar. Mau mengajariku?"
Astaga, apa aku harus menyesal bertanya? Wajahnya berubah pucat pasi ketika ia mengiyakan permintaan sederhanaku, tapi itu adalah saat perasaan itu tertanam. Perasaan abstrak di saat aku mengenalnya jauh dari kata "culun."
...
Kini, kami sudah SMA. Apa kata takdir? Kami masih diberi satu sekolah, satu kelas yang sama. Kadang jika mujur, satu kelompok belajar yang sama.
"Lepaskan kacamatamu. Kau terlihat jauh lebih tampan tanpanya."
"Benarkah?"
"Kau seperti Nobita. Hanya saja rambutmu yang acak tidak berkata begitu."
Sepertinya dia panas dada mendengarku berucap lontaran ejekanku. Maju dua minggu, lelaki itu nekat tampil maskulin di koridor sekolah. Betul yang kukatakan, ketampanan emas itu akan terumbar. Para gadis pasti bersikeras mencuri hatinya bila ada kesempatan. Belum lagi ia adalah salah seorang murid bernotabene pintar sekarang. Apalah diriku ini...
...
Rabu sore itu, ya, hari yang sangat memaksa hatiku menggebu liar. Di tempat kami belajar fisika, sekaligus tempat kami kali pertama tegur sapa...
"Kau paham dengan penggunaan rumus ini?"
"Agak sulit, tapi..."
Seketika aku membisu selepas menatap matanya yang berbalas sejuk. Padahal dia tidak menyimpul secuil senyum sama sekali. Kenapa rasanya seperti ini? Apa maunya?
"Hari ini ulang tahunku. Kau tidak akan memberi sesuatu?"
Ah, aku lupa itu hari ulang tahunnya. Dia terbiasa menutup mulut akan itu pada publik, tapi tidak biasanya ia meminta hadiah. Lantas, apa niatnya menanyakan itu hanya padaku?
"Maaf, aku lupa. Besok ya?"
Namun, rautnya jelas... merajuk. Kenapa dia seolah sangat menginginkannya? Apa tidak ada yang memberinya sesuatu di hari pengulangan kelahirannya? Orang tua? Teman dekat? Siapa pun?
"Memangnya... Kau ingin apa?"
Aku baru ingat ini ulang tahun ke 18-nya. Gemas sekali caranya memohon.
"Bolehkah aku sedikit kelewatan dengan meminta satu ciuman?"
Aku membelalak diikutinya yang tersipu parah. Itukah alasannya? Alasan dia memilih tempat belajar di pojok perpustakaan? Alasan dia mengode lewat tuturan kakunya? Alasan dia merajuk? Payah, tapi keren dan aku salut untuk ukuran pendiam. Baiklah, satu kecupan biasa di pipinya. Biar enggan, tapi aku sadar. Di saat itu, dia telah memilihku, dan hatiku ikut memilihnya menenun rasa baru.
...
Apalah cinta ibarat karangan itu, yang katanya sangat lancar merasuk hati pembaca. Dewasa yang kami alami justru menjadi perkara. Aku terlalu sibuk mengampu Pendidikan dan pekerjaan bersamaan hingga lupa "kami" ini pernah ada.
"Daya, setidaknya ceritakan jika kau punya masalah. Kita bisa saling berbagi, kan?"
"Kau tidak akan mengerti. Ini terlalu berat bagimu."
Begitu saja terus selama dua tahun. Monoton. Tertebak. Kaku. Retak. Kusam. Dan semuanya karenaku. Aku selalu saja menyindir keberadaannya yang sukses sebagai dosen muda secara halus. Aku membenci diriku sendiri...
Sampai hari itu, hari dimana aku baru sadar perihnya kehilangan separuh jiwaku. Dia di sana, terkapar di aspal, bermandikan darah dihantam bus kota. Wajahnya yang semula murah senyum padaku hancur tergilas roda raksasa. Dia telah tiada, begitu pula hatiku yang semakin rapuh hanya dengan melihat piguranya dihiasi bunga berlambang kematian.
...
"Setelah itu, kau bisa tebak. Tidak jauh dari depresi berat. Dua bulan lalu, aku pun menutup usia dengan racun. Ironis. Yah, begitulah ceritaku. Tinggal menunggu waktu menjerumuskanku ke dalam api neraka," tutup Daya pada seorang malaikat maut yang tengah berpantang di sampingnya. Sekeliling mereka berselimut kegelapan, dihiasi api menyengat, dan dialiri bara mendidih.
Malaikat itu menatapnya serius di balik bayangan kupluk yang menutupi wajahnya. Dia mengembus napas pelan. Akhirnya, dia membuka mulut untuk menyuarakan isi hatinya.
"Ceritamu... rasanya sangat nyata. Aku pernah menaruh hati pada seorang manusia hingga melupakan teman, orang tua, bahkan Tuhan-ku sendiri. Seolah membuka celah bagi mereka untuk cemburu dan menyakitiku."
Daya menoleh pelan padanya. Matanya memanas. Tangannya diangkat penuh getar, hendak mengelus pipi si malaikat maut yang tak lagi lembut. Dia mengenali suara serak itu. "Kreole?"
Malaikat itu akhirnya tersenyum dan menurunkan kupluk penutup sebagian wajahnya. Separuh ketampanannya tampak sirna oleh daging dan tengkoraknya yang timbul. Namun, Daya tidak gentar—tahu benar lelaki ini tak kan melukainya.
"Rupanya kau masih mengingatku. Gadis yang menahanku hidup sebagai malaikat maut hanya untuk terpukau setianya."
Daya tidak tahan melepas rindu. Dia lantas terjatuh dalan dekapan Kreole yang berwujud maut, tempat paling hangat dalam panas menyala di sekitar mereka.
"Kenapa kau menangis? Kita sudah bertemu," tanya Kreole dengan seringai penuh damai.
"Apa aku semudah itu kau maafkan, Kreole?" Titik air mata menggumpal di sudut mata Daya, tapi lelaki itu sigap mengusirnya dengan jari.
"Aku mengerti keadaanmu saat itu. Itu adalah saat yang berat dimana kita bisa menjadi orang lain dibuatnya. Sebut saja kisah cinta yang belum mekar sempurna, sebuah kesalahan kecil..."
Kreole lalu membantu Daya berdiri. Mereka menatap alam yang ganas dan siap melahap jiwa tak pandang bulu kapan saja. Di saat itu pula, malaikat maut itu mengulurkan tangannya.
"Pegang tanganku. Kita akan keluar dari derita ini bersama dan memulainya lagi. Kali ini, akan berakhir sempurna, atau setidaknya lebih baik dari hari ini," ujarnya yakin.
"Aku..."
Awalnya ragu, tapi Daya kemudian memantapkan diri dengan menggenggam erat tangan Kreole. Dua insan ini berlanjut hilang bagai kilau cahaya beterbangan di udara, melayang tak berarah, mengitari semesta raya, memilih penggalan perjalanan untuk dilanjutkan...
The End