Rasanya seperti masa-masa dulu, ketika kami masih sekolah. Aku sedang mendengarkan curhat Erica. Saudariku itu punya pemikiran yang begitu kompleks, rumit, dan punya emosi yang meletup-letup. Kurasa karena itulah Allah menakdirkan aku menjadi saudarinya, sebagai penyeimbang. Aku lebih berkepala dingin. Bedanya, waktu sekolah dulu, aku hanya bisa menjadi pendengar dan memberikan saran sekadarnya. Sekarang, setelah kami lebih dewasa, aku bisa memberikan saran yang lebih bijak, bahkan menyelipkan nasihat takwa (karena agama itu adalah nasihat, bukan?), dan Erica pun lebih berpikiran terbuka, dia bisa mempertimbangkan nasihat-nasihat dariku.
Saat itulah aku melihat Mama sedang berdiri di ambang pintu, tersenyum memandangi kami. Aku tersenyum padanya.
“Mama, kenapa senyum-senyum? Ayo, sini duduk sama kita,” ujarku. Erica menoleh ke belakang ke arah Mama dan menyerukan hal yang sama.
Mama pun duduk di sofa, di samping Erica. Mama berkata, “Mama senang melihat putri-putri Mama akrab begini. Kalian itu salah satu hal yang Mama syukuri dalam hidup…”
Ah, siapa yang ngiris bawang di sini? Ucapan Mama berikutnya membuatku tersekat.
“Kadang Mama berpikir, bagaimana kalau Evita berumur panjang. Pasti rumah ini akan lebih ramai lagi.”
Aku dan Erica otomatis saling berpandangan. Aku tidak tahu mesti merespon apa, dan kurasa begitu pun Erica. Belum sempat kami menanggapi ucapan Mama yang memilukan itu, Mama sudah mengalihkan pembicaraan. Kami mengobrolkan berbagai hal, tapi ucapan Mama itu tidak bisa hilang dari benakku.
Sebenarnya, aku terlahir sebagai kembar tiga. Erica, Evita, dan Elysa (aku). Namun, Evita meninggal di usia dua bulan karena sakit. Entah sakit apa, aku lupa. Kami bertiga terkena sakit yang sama, tapi Evita tidak sekuat kami rupanya. Aku jarang memikirkannya, tapi Mama pasti tidak pernah lupa dengan satu putrinya yang telah tiada.
Berhari-hari aku galau. Masih terngiang-ngiang ucapan Mama itu. Aku merasa aku perlu melakukan sesuatu. Harus melakukan sesuatu. Entah apa. Aku pun mencurahkan perasaanku kepada Erica.
“Aku juga kepikiran, sih,” ujar Erica. “You know what? Sebentar lagi, kan, wedding anniversary Mama dan Papa. Bagaimana kalau kita ngasih hadiah yang istimewa?”
“Hadiah yang kayak gimana?”
“Aku pernah lihat seliweran di Instagram, jasa bikin ilustrasi gitu. Kita minta bikinin aja ilustrasi foto keluarga, tapi ditambah muka Evita. Jadi di ilustrasi itu ada Papa, Mama, kita berdua, Evita, dan Erwan. Gak sulit kan bikin muka Evita? Tinggal duplikasi muka kita aja.”
“Boleh juga. Aku punya banyak kenalan yang buka jasa ilustrasi kayak gitu, teman-teman kuliahku dulu. Tapi kita harus siapkan dulu foto keluarga sebagai referensi.”
“Ya sudah, pakai foto wisuda S-1 saja.”
Aku mengerutkan kening. “Wisuda aku, atau kamu?”
“Aku, lah!”
“Kenapa harus kamu?”
“Soalnya foto wisudaku pake jas dokter. Keren!”
“Memangnya foto wisudaku jelek? Enak aja!”
Setelah perdebatan sengit, akhirnya kami memutuskan menggunakan foto wisuda Erwan. Wisuda tamat SMA. Alasannya? Karena foto keluarga ketika wisuda Erwan adalah foto keluarga kami yang terbaru. Jadi lebih mutakhir, lebih mirip dengan wajah kami sekarang.
Sebulan berlalu. Hadiah istimewa itu sudah kami siapkan. Ilustrasi foto keluarga yang dicetak dengan ukuran 30 x 40 cm dan diberi bingkai kayu dengan sepuhan warna emas. Foto itu juga kemudian kami bungkus dengan kertas kado dan pita. Tak lupa kami sisipkan kartu ucapan di dalamnya, yang ditandatangi oleh aku, Erica, dan adik lelaki kami, Erwan.
Kami merahasiakan kado itu sampai acara makan malam wedding anniversary tiba. Bukan acara besar, hanya kami berlima makan malam di sebuah restoran. Kami memesan sebuah kue glasir marble warna biru keperakan, yang dibawakan waiter setelah kami selesai menyantap hidangan penutup. Di atas kue tersebut ada hiasan bunga dan ucapan happy 30th anniversary. Mama langsung mengabadikan kue itu dengan kamera ponselnya.
“Ma, kami juga punya sesuatu buat Mama dan Papa,” kata Erica antusias. Erica pergi ke belakang untuk mengambil hadiah. Kami memang sudah menitipkan hadiah itu di resepsionis, agar tidak ketahuan oleh orang tua kami.
Tak lama, Erica datang di meja kami sambil memegang kado itu dengan kedua tangannya. Dari bentuknya, Mama dan Papa pasti sudah bisa menebak. Namun, mereka tidak akan menduga apa yang ada di dalamnya.
Papa menyerahkan kepada Mama untuk membuka pembungkus kadonya. “Takut rusak,” kata Papa. Mama tak henti-hentinya tersenyum saat membuka kertas kado itu. Pertama-tama, Mama membaca kartu ucapan. Beliau mengucapkan terima kasih kepada kami. Mama lalu menyerahkan kartu itu untuk dibaca Papa. Selanjutnya…
Mama tersenyum memandangi ilustrasi foto keluarga itu. Aku, Erica, dan Erwan menunggu Mama menyadari apa makna hadiah itu. Ketika Mama sadar bahwa ada tiga anak perempuan di situ, bukannya dua, beliau meletakkan tangan di depan mulut beliau karena tak percaya.
“Pa, coba lihat,” ujar Mama. Wajah Mama tidak bisa ditebak. Yang jelas, beliau kaget. Papa yang belum menyadari kejutannya memandangi foto itu sambil tersenyum. Namun, kami bisa melihat ketika Papa akhirnya menyadarinya juga. Yang tak kami duga, Papa terisak.
Papa melepas kacamatanya dan meletakkanya di atas meja. Beliau lalu menutupkan telapak tangan ke mata beliau. Bahu Papa berguncang. Sesekali isakan Papa terdengar. Mama mengusap-usap pundak Papa.
Aku dan Erica berpandangan. Dia sama terkejutnya denganku. Kutatap Erwan, dia terlihat tidak nyaman. Kami sama-sama tidak tahu mesti melakukan apa. Kami sama-sama tidak menduga reaksi Papa.
Setelah beberapa menit yang terasa sangat panjang, Papa mengusap matanya. Tangis beliau sudah reda.
“Kalian tahu,” ujar Papa memulai, tapi dia terisak lagi. “Kalian tahu, kalian semua adalah hadiah terindah di dalam hidup Papa. Sewaktu Mama hamil dan dinyatakan tengah mengandung anak kembar, Papa ketakutan. Bisakah Papa menghidupi kalian? Bisakah Papa mendidik kalian dan membahagiakan kalian? Ketika kalian bertiga lahir, ketakutan itu langsung hilang. Justru Papa merasa sangat berbahagia. Tiga anak perempuan yang cantik jelita.”
“Kehadiran kalian membuat Papa ingin menjadi orang yang lebih baik. Papa ingin memperlakukan Mama kalian lebih baik lagi. Dia yang mengandung kalian selama sembilan bulan, yang kian hari kian berat, bahkan saat istirahat pun kalian masih menempel di perutnya… lalu mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan kalian… rasanya apapun yang Papa lakukan, tidak akan bisa membayar semua kesulitan yang dilalui Mama.”
Papa menenangkan diri sebelum melanjutkan monolognya. Aku tidak berani berkata-kata.
“Ketika Evita… meninggal, itu adalah salah satu hari terberat di dalam hidup Papa. Papa menguburkan Evita, di dalam buntalan kecil itu, tapi rasanya sangat berat. Seperti harus melepaskan beban ratusan kilogram. Tapi Papa harus kuat. Demi kalian, demi Mama kalian.”
Mama dan Papa bertatapan. Papa melanjutkan mencurahkan perasaannya.
“Meski kadang Papa bersikap keras sama kalian, itu karena Papa ingin menjaga kalian. Terlebih kepada kamu,” Papa menatap Erwan. “Kamu anak laki-laki. Papa mendidik kamu supaya bisa jadi pemimpin, bisa melindungi Mama dan kakak-kakak perempuanmu.”
Seseorang terisak-isak. Aku melirik ke sampingku, ternyata wajah Erica sudah basah oleh air matanya. Melihat itu, air mata yang sedari tadi kutahan-tahan ikut tumpah. Mengikuti naluri, aku bangkit dari kursiku dan menghampiri Papa. Memeluknya sambil terus terisak-isak. Kurasakan seseorang ikut memeluk dari belakangku, Erica. Tak peduli kami menjadi tontonan pengunjung lain.
Malam itu aku menyadari, betul kata orang, bahwa laki-laki itu bagaikan ‘makhluk Mars’. Untuk menunjukkan kasih sayang, mereka menyampaikannya dengan bahasa yang berbeda. Mungkin selama ini aku masih belum peka, tidak memahami bahasa kasih seorang ayah. Ayah yang berusaha melindungi, menghidupi, mendidik kami anak-anaknya. Ayah yang tidak menampilkan kerapuhannya di depan anak-anaknya. Padahal, Papa juga manusia yang tentu bisa merasakan kedukaan.
Selama ini aku mengira Mama yang paling merasa kehilangan atas kepergian Evita. Namun, ternyata, Papa juga sama berdukanya.
Aku dan Erica membicarakan lagi momen malam itu beberapa hari kemudian. Yang awalnya kami ingin memberi surprise dengan kado yang dipikirkan sangat matang itu, malah kami yang dikejutkan dengan reaksi Papa.
“Kalau aku menikah suatu hari nanti,” ujar Erica, “Aku ingin menikah dengan lelaki yang punya kualitas yang sama seperti Papa.”
“Aku juga,” ujarku mantap. “Aku juga.”