Saudari kembarku bisa sangat menyebalkan kadang-kadang. Dia menyebalkan kalau mulai mengirimkan video-video pendek berisi ceramah tentang hijab atau menutup aurat. Kalau tentang rezeki, jodoh, berbakti kepada orang tua, sih, tidak apa-apa. Namun, tentang hijab? Biasanya aku membiarkan pesannya kubaca saja tanpa kubalas. Sudah malas aku.
Elysa mulai mengenakan kerudung saat kelas dua belas. Aku tidak terlalu peduli apa yang dikenakannya. Aku memang orangnya tidak pedulian dengan urusan orang lain, kecuali orang itu mengganggu privasiku. Dia sendiri juga tidak memaksaku mengikutinya. Namun, makin ke sini dia mulai secara halus menyugestiku untuk mengenakan kerudung juga.
Aku tidak suka cara berpakaianku diatur-atur.
Kalau saja Elysa itu orang asing, nomornya pasti sudah kublokir. Beberapa kali aku mendapat direct message di Instagram dari orang asing yang sok-kenal-sok-dekat denganku, menasihatiku untuk menutup aurat. Halo? Anda siapa? Kenal saja tidak, tapi sok-sokan memberi nasihat. Biasanya isinya seperti ini:
Wah, makasih sudah sharing, Kak. Jadi tahu cara memanfaatkan baju-baju bekas (emoji hati) Btw, Kakaknya cantik banget, kalo pakai kerudung pasti tambah cantik, Kak.
Atau:
Betul sekali, ukhti… Allah memerintahkan kita menjaga lingkungan, tapi jangan lupa Allah juga memerintahkan kita menutup aurat (emoji senyum)
Tentu saja orang-orang seperti itu otomatis kublokir. Kenapa sih mereka begitu peduli aku menutup aurat atau tidak? Orang tuaku saja tidak pernah mengatur-atur caraku berpakaian. Yang penting sopan dan tahu tempat.
Jadi, ketika saudariku yang sedang berkuliah di kota lain itu mulai mengirimiku video-video ceramah tentang aurat, aku kesal dibuatnya. Namun, aku bisa apa? Tidak mungkin aku memblokirnya, kan? Dia saudariku, kami selalu berbagi sejak di dalam kandungan hingga dewasa. Satu-satunya caraku berkompromi adalah membuka pesannya tanpa membalasnya.
Suatu kali, salah seorang influencer lingkungan angkat suara soal hal yang serupa. Yes! Akhirnya ada yang sependapat denganku. Aku membagikan video milik Intan Cleopatra itu kepada Elysa.
Intan mengatakan dia sebelumnya mengabaikan saja “suara-suara sumbang” yang kerap kali mewarnai kolom komentar atau DM-nya. Namun, kali ini dia mengangkat suara tentang hal itu sebagai pernyataan sikap. Intan bilang dia menghormati siapa saja yang mengenakan hijab. Mengenakan hijab itu pilihan, ujarnya. Namun, tolong jangan memaksa orang lain melakukan hal yang sama. Setiap orang punya pertimbangan sendiri memilih A atau B, memilih mengenakan hijab atau tidak.
This!! Aku padamu, Mbak Intan (emoji hati ungu 3x), tulisku di kolom komentar video itu. Komentarku langsung menuai puluhan likes.
Kuharap saudariku lebih open-minded. Aku sudah merasa di atas angin. Setelah melihat video itu pasti Elysa akan berhenti mengirimiku video ceramah tentang hijab. Ternyata, Elysa membalas pesanku.
Kalau ingin tahu tentang gaya hidup hijau, tanya pada orang yang tepat. Mungkin Intan Cleopatra memang orang yang tepat untuk didengarkan dalam hal itu. Tapi kalau tentang aturan agama, kita perlu mendengarkan orang yang paham agama. Dengarkan ustaz/ustazah, bukan sembarang orang yang membahas agama berdasarkan preferensi pribadinya aja, yg gak paham seluk-beluk agama.
Rasanya ada yang menusuk ulu hatiku. Dadaku terasa panas dan sempit. Ketersinggungan menguasai hatiku. Aku bertindak berdasarkan emosi. Tanpa pikir panjang, aku membalas pesan Elysa.
Kayak ustazmu udah bener aja…
Pesanku sudah dibaca tetapi tidak dibalasnya.
***
Ada satu momen yang membuatku sangat kesal. Saudariku pulang dari Jogja untuk liburan semester. Kami sedang di ruang tengah, masing-masing memegang ponsel.
“Selfie, yuk, Lys!” Tiba-tiba aku terpikir melakukan itu. Mumpung dia di rumah, bikin kenang-kenangan foto sebagai mahasiswi, bukan lagi anak SMA.
“Eh, aku gak pakai jilbab,” tolak Elysa sambil menutup kamera ponselku.
“Gak akan ku-upload juga,” ujarku tersinggung.
“Oh. Boleh, kalo gitu.”
Aku tersenyum ke arah kamera, meski di dalam hati aku dongkol kepadanya. Elysa melakukan hal yang sama. Kami berpose beberapa kali.
“Janji jangan diunggah ke mana-mana, ya?” Ujar Elysa.
“Iya, janji, ukhti.” Jawabku sebal. Aku memang sering mengejeknya dengan sebutan ukhti.
“Makasih. Kamu juga, gak usah upload foto kamu yang gak berhijab. Followers kamu kan bukan cuma cewek, ada cowok juga. Berapa pasang mata yang lihat aurat kamu karena kamu sengaja menampakkannya, sebanyak itu pula kamu menuai dosa.”
“Followers-ku juga gak banyak, kok,” dalihku.
“Halah. Memangnya aku gak tahu? Followers kamu udah sepuluh ribu lebih. Itu manusia semua, kan?”
“Ya, iya, lah! Masak bot?”
“Nah! Justru itu. Malah kalau ada yang terinspirasi darimu enggak pakai hijab, kamu ikutan berdosa, lho, karena mencontohkan hal yang tidak baik.”
“Kan, aku sharing hal bermanfaat di medsosku. Aku tidak mengajak orang berbuat dosa.”
“Memangnya buka aurat gak dosa?”
“Tapi kan aku enggak mengajak mereka untuk ikutan gak berhijab. Kalau mereka mau berhijab, silakan. Kalau enggak, juga silakan. Itu pilihan mereka sendiri. Aku enggak memaksa mereka. Mereka juga enggak berhak mengatur-atur aku harus pakai jilbab.” Kamu juga tidak berhak mengatur-aturku, batinku. “Jadi, kalau mereka memutuskan enggak pakai jilbab, itu tanggung jawab mereka sendiri. Enggak usah bawa-bawa aku di pengadilan Allah nanti.”
Elysa menggeleng sambil mengucap istighfar. “Betul, yang kamu ucapkan itu betul. Tapi kita akan ditanya juga sama Allah di akhirat nanti atas perbuatan kita. Kamu punya followers banyak, di situ kamu punya power untuk memengaruhi mereka. Dengan kamu enggak menutup aurat sesuai aturan, di situ kamu memengaruhi mereka untuk melakukan hal yang sama, tahu.”
Aku mengerutkan hidungku. Aku tidak suka Elysa yang suka ceramah. “Sudah, ah. Jangan bahas itu lagi. Ayo kita nonton Netflix.”
Untungnya, Elysa tidak mempermasalahkan lebih lanjut. Dia juga tidak pernah mengungkit hal itu lagi selama kepulangannya. Namun, ketika Elysa sudah berangkat untuk merantau lagi, aku menemukan tas kertas bermotif batik di kasurku. Saat kubuka isinya, ternyata dua helai kerudung dengan warna kesukaanku, tosca dan magenta. Selembar kertas disisipkan di antara keduanya. Isinya:
Erica, saudariku sayang … menutup aurat itu kewajiban sebagai muslimah, sama wajibnya dengan salat dan puasa Ramadan. Memang, menutup aurat itu sebuah pilihan, pilihan untuk taat atau tidak, kepada Tuhan kita Allah Ar-Rahman, yang telah memberi kita banyak nikmat. Kalau kamu belum siap memakainya, simpan saja di lemarimu. Love, Elysa.
***
Setelah makan malam bersama Mama, Papa, dan adikku Erwan, dan salat Isya, aku memutuskan bersantai di kamarku. Saat aku membuka aplikasi Instagram, muncul pemberitahuan Intan Cleopatra sedang melakukan siaran langsung. Tanpa pikir panjang, aku mengklik dan masuk siaran live itu.
Apa mataku salah lihat? Intan sedang mengenakan kerudung! Bukan sembarang kerudung, tapi jenis french khimar yang panjang menjulur sampai di bawah dada. Dia juga mengenakan sejenis gamis atau abaya. Apa-apaan ini?
Intan tersenyum ke layar. Sepertinya siarannya baru dimulai dan dia masih menunggu penonton lebih banyak.
“Assalamu alaikum, semua,” sapa Intan sambil tersenyum. Beberapa menulis komentar:
Waalaikumussalam (emoji hati)
Waalaikumussalam, Kak Intan cantik banget berhijab (emoji peluk)
Adem ngeliatnya …
Masyaallah, barakallah Kak Intan, semoga istikamah
“Sudah banyak yang masuk, ya. Halo, semuanya. Seperti yang teman-teman lihat, penampilanku sekarang berbeda. Ini yang mau aku ceritakan sama teman-teman malam hari ini …”
Aku terduduk tegak. Perasaanku tidak karuan. Wajah saudariku terbayang-bayang. Di dalam benakku, aku seperti bisa merasakan Elysa tersenyum mengejek. Aku menggeleng-geleng untuk mengusir bayangan itu. Tentu saja Elysa tidak akan bersikap seperti itu. Mungkin setan, atau rasa bersalahku, yang membuatku berpikir demikian.
Di titik ini, aku sebenarnya sadar aku melakukan kesalahan, tapi selama ini aku tidak mau mengakuinya dan mencari-cari pembenaran dengan menjadikan Intan Cleopatra sebagai tameng. Bahwa tidak berhijab itu tidak menghalangi seseorang untuk menjadi orang baik dan menebarkan manfaat. Hanya saja… sekarang orang yang kujadikan tameng itu kini berbalik.
Aku kembali memusatkan perhatian pada siaran Intan.
“... masih sama seperti sebelumnya, bahwa aku menghargai siapa pun yang berhijab atau tidak berhijab. Kita semua bersaudara, tidak selayaknya meremehkan atau menjelekkan satu sama lain karena pakaian yang kita pakai. Tapi… karena kita bersaudara, aku ingin mengajak teman-teman yang hadir di sini untuk pelan-pelan menutup aurat kita, bagi yang belum. Yuk! Memang, aku sendiri baru saja mengenakan hijab. Baru beberapa hari ini. Namun, saat memakai hijab, rasanya tuh… tenang. Menenteramkan. Karena apa? Tahu nggak?”
Intan diam sejenak untuk memberi penekanan. Komentar-komentar mendukung mengalir deras tak henti-henti.
“Karena menutup aurat itu kewajiban, dan kita mengenakannya untuk taat sama Allah.”
Deg! Itu kalimat yang persis diucapkan, atau ditulis, Elysa di surat pemberiannya beberapa pekan yang lalu.
“Sama saja seperti salat. Kalau sudah masuk waktunya salat, kita akan merasa gelisah kalau belum mengerjakannya. Betul? Setelah mengerjakan salat, hati menjadi tenang, karena kita sudah melaksanakan kewajiban, serta kita mengharapkan Allah rida dan senang sama kita. Pakai hijab begitu juga. Kita sudah baligh, sudah ‘masuk waktunya’ menutup aurat properly, dan dengan melakukannya kita sudah melaksanakan kewajiban kita, yang ada rida Allah di situ. Allah sudah menjadikan kerudung, hijab, atau jilbab itu identitas kita sebagai perempuan muslimah, ciri kita sebagai muslimah.
“Kupikir, kenapa sih aku masih enggan untuk dicirikan sebagai muslimah? Bukankah nanti di hari kiamat aku ingin diakui sebagai muslimah, sebagai hamba Allah yang taat, yang berhak mendapat berbagai kenikmatan di surga? Dulu aku berpikir, aku enggak mau cara berpakaianku diatur-atur. Tapi, ini yang mengatur Allah, lho. Allah Sang Penguasa dunia dan akhirat. Aku hidup di buminya Allah. Kalau aku mati, harapannya aku masuk surganya Allah, yang kenikmatannya tidak bisa dibayangkan itu. Lantas, kenapa aku enggak mau melaksanakan perintah-Nya? Kenapa aku pilih-pilih dengan perintah-Nya? Salat mau, puasa mau, kenapa menutup aurat enggak mau?”
Cara ngomongnya aja jadi lebih menenangkan, ya, sekarang. Masyaallah.
Tak sengaja aku membaca komentar itu di kolom chat siaran. Iya, aku pun menyadari itu. Intan meyakini dengan keyakinan penuh atas setiap yang diucapkannya. Itulah yang membuatnya bisa berkata-kata dengan tenang. Itu pula yang membuatku gelisah.
Aku merasa telanjang. Tidak punya tameng lagi. Tidak bisa lagi berlindung di balik pernyataan “dia saja gak menutup aurat, gak papa tuh”. Terlebih ketika aku mendengar pernyataan penutup Intan di siarannya:
“... oleh karena itu, aku akan mengarsipkan semua postinganku yang tidak mengenakan hijab. Kalau teman-teman punya screenshot aku yang nggak menutup aurat, tolong dihapus juga, ya. Tolooong banget. Aku tidak mau aku terus menerus mendapat dosa. Pasti di antara kalian berpikir, sayang banget, kan? Followers sudah sekian juta, postinganku sudah ribuan, lalu dihapus begitu saja? Tapi aku enggak khawatir. Postingan bisa dibikin ulang. Aku lebih khawatir sama ember bocor. Apa tuh? Yaitu aku mengisi hari-hariku dengan kebaikan, tapi ada dosa yang terus mengalir karena gambar diriku yang tidak menutup aurat, seperti mengisi air di ember yang bocor saja.”
Terjadi peperangan di dalam hatiku. Sebenarnya aku tahu menutup aurat itu kewajiban. Aku juga tahu rambut dan leher wanita itu termasuk aurat yang harus ditutup. Namun, ada sisi lain diriku yang enggan mengakui kesalahanku. Ada suara di dalam hatiku yang berkata “tidak apa-apa tidak berhijab, yang penting kamu tidak meninggalkan salat, tidak durhaka pada orang tua, tidak zalim ke orang lain”, tapi suara itu makin lama makin lemah. Ya, itu tadi, karena aku tahu menutup aurat itu juga kewajiban, sama seperti salat, berbakti ke orang tua, dan tidak berlaku zalim ke orang. Uh!
Masih dengan penyangkalan di dalam hati, aku berdoa kepada Allah: “Ya Allah, kalau memang sudah waktunya aku harus pakai kerudung, berikan pertanda kepadaku…”
***
Entah sudah tertidur berapa jam, tapi aku terbangun karena AC di kamarku mati. AC itu tidak pernah mati sebelumnya. Apalagi baru di-service dua minggu lalu. Aku melempar selimutku ke samping dan bangun untuk mengambil remote AC. Saat aku menjejakkan kaki ke lantai kamar, aku terjatuh menembus lantai ke tempat yang sangat gelap. Lebih gelap dari kamarku yang lampunya memang kuredupkan. Lebih gelap… dan sempit… dan pengap…
Aku meraba-raba. Tidak ada apa pun. Keringatku membanjir. Entah bagaimana, kegelapan itu terasa makin pekat dan makin pekat. Dadaku sesak, seperti terimpit. Udaranya juga makin panas.
Tiba-tiba dari kanan dan kiriku muncul wanita-wanita dengan hijab mereka yang bercahaya meluncur menembus gelap. Mereka melaju ke depan dengan sangat cepatnya.
“Hei! Tunggu aku!” seruku sambil berjalan tersaruk-saruk. “Berilah sedikit cahaya untukku!”
Namun, tak ada yang menggubrisku. Aku tidak bisa mengambil sedikit cahaya mereka untuk menerangi jalanku. Aku panik. Rasanya makin sempit dan sesak… Makin gelap dan gelap dan gelap…
“Beri aku sedikit cahaya…” ujarku lemah.
Seseorang menjawab, dengan sangat jelas, seakan-akan dia berbicara di samping telingaku. “Ambil cahayamu di dunia!”
Aku terbangun karena AC di kamarku mati. AC itu tidak pernah mati sebelumnya.
Hal yang sama terjadi selama tiga hari berturut-turut. Mimpi itu menakutkanku. Terus menghantuiku bahkan berjam-jam setelah aku terbangun. Aku teringat dengan doaku. Tidak salah lagi, mimpi itu adalah pertanda yang kuminta.
“Cukup, Ya Allah. Aku mengakui kesombonganku,” ujarku lirih.
***
Aku masih belum menyentuh kerudung pemberian Elysa. Kerudung-kerudung itu masih terlipat rapi di lemariku. Setiap kali membuka lemari dan melihatnya, aku membayangkan diriku dalam balutan hijab. Ada kerinduan yang makin hari makin besar untuk segera memakai kerudung itu. Aku tidak lagi menyangkal kewajibanku, tapi juga merasa belum siap memakainya. Segera, batinku.
Kali berikutnya Elysa mengirimkan video pendek tentang hijab, aku tidak mengabaikannya. Ini balasanku:
Terima kasih reminder-nya. Doakan aku supaya bisa menyusulmu pakai hijab, ya, Lys.