Read More >>"> Ben & Cori (44. Maaf Yang Terlambat ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Ben mendongak dari komputernya, mendapati seorang sekuriti berdiri ngos-ngosan di depan ruangannya. Lantai tiga memang membuat respon tubuh seperti itu.

"Ada apa, Pak Yusep?"

"Ada ibu-ibu yang cari Bapak di bawah. Katanya, Bisa bertemu dengan Nak Ben?"

Si Auditor mendekati Yusep dengan keningnya yang mengernyit dalam. Sebab, tidak ada yang memanggilnya Ben di Batam selain orang-orang terdekatnya. Termasuk ... dia

"Ibu itu memperkenalkan dirinya, Pak?"

"Namanya Bu Mutia, Pak."

"Suruh tunggu di ruang nasabah, Pak. Saya akan turun dalam lima menit," tegas Ben tanpa pikir panjang. Ben harus bicara dengan mama Cori, sekarang atau tidak selamanya.

Dua sosok beda generasi itu tengah berada di Good Day Bakery di Pasar Mega Legenda—satu-satunya tempat yang paling layak untuk bicara serius. Mereka duduk berhadapan dalam diam meski jalan pikiran seperti pasar. Semua terlihat dari wajah masing-masing.

"Ibu minta maaf, Nak," getaran suara itu mengalirkan penyesalan. Ben mengangkat kepalanya cepat dari cangkir kopi.

"Kenapa Ibu minta maaf?" Interaksi mereka untuk pertama dan terakhir kalinya terjadi ketika Ben dan Cori belanja di toko roti Mutia. Jadi Ben dalam keadaan sangat bingung, apa kesalahan yang diperbuat Mutia padanya.

"Karena, gara-gara Ibu, pernikahan kalian batal. Maafkan Ibu."

"Gara-gara Ibu? Ibu nggak berbuat salah pada kami, Bu. Jadi berhenti minta maaf, ya," ucapnya menenangkan.

"Tidak, Nak." Mutia memijit-mijit ujung jarinya sembari mempersiapkan dirinya dengan sebuah cerita. "Ibu mau jujur."

Dan cerita Mutia tumpah ruah. Dengan susah payah Mutia menggelontorkan rahasia kelam masa lalunya, tanpa ada yang ditutupi. Mengenai dia, Sujdana, Cori, dan Popy, hingga Mutia yang sudah tahu siapa Cori sebenarnya. Mutia tidak akan menyembunyikan apapun lagi pada orang siapa pun. 

"Ma..."

Terbelalak mata Mutia dibuatnya. "Kamu memanggil Ibu, Ma?"

"Boleh Ben panggil mama kan, Ma?" ucap Ben lembut.

Setelah menyeka sudut matanya, Mutia mengangguk bahagia. "Boleh, Nak. Sangat boleh."

Ben mengucapkan terima kasih, kemudian berkata, "Meskipun Mama memberi tahu Bunda fakta tentang Cori, Ben sudah tahu Bunda tidak akan menyetujui kami. Ben sudah mempersiapkan diri untuk itu. Jadi, Mama tidak boleh merasa terbebani, ya?"

"Tapi Nak, gara-gara Mama, gara-gara kebodohan kami dulu, Mbak Popy membenci status Cori. Mbak Popy jadi menentang rencana pernikahan kalian. Mama sudah memohon berkali-kali agar Mbak Popy mengubah keputusannya. Namun, sampai sekarang dia kukuh dengan pendiriannya. Katakan Nak, apa yang harus Mama lakukan?" mohon Mutia dalam keputusasaannya.

"Seperti kata Cori ke Ben waktu itu, bila memang berjodoh, kami pasti akan bersatu bagaimanapun caranya," ucap Ben pahit. Dadanya berdenyut nyeri, seakan baru semalam Cori mengatakannya dengan suara rapuhnya yang memporakporandakan dunianya dalam lima menit.

"Ben ...."

"Ma, cukup doakan kami, ya? Apapun yang digariskan Tuhan pada kami, Ben percaya itu yang terbaik bagi kami, bagi semua orang."

"Mama selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian. Hanya itu yang bisa Mama beri. Dan Mama merasa harus meminta maaf langsung pada pada kamu, pada Cori juga. Tapi Ben, kok tadi ndak ada Cori, ya? Biasanya dia duduk di meja depan."

"Cori ... nggak menemui Mama sebelum dia pergi?"

"Pergi? Pergi ke mana Cori, Nak Ben?! Kenapa Cori ingin menemui Mama?" desak Mutia.

Ah, ternyata hingga detik ini, Cori tidak mau jujur pada ibu kandungnya. Pikir Ben, mungkin Cori butuh waktu, lagi. 

"Cori dimutasi ke kantor cabang Bekasi, Ma. Sudah 3 bulan."

Diam-diam Ben menekan dadanya yang makin nyeri.

"Anakku ...." bisiknya pilu.

“Mama, ada satu hal yang harus Mama tahu."

“Apa, itu?”

"Sebenarnya Cori sudah tahu siapa Mama sejak Mama datang di kantor Cabang Mega Legenda untuk bertransaksi."

Bergetar bahu Mutia menahan tangis di keramaian pengunjung kedai kopi. Ben segera pindah duduk di sebelah Mutia dan menenangkanya.

"Apa yang ada dipikiran anak itu setelah mengetahui mamanya masih hidup? Tuhan, bagaimana ini?" katanya pada diri sendiri. Berkali-kali Mutia memijit ujung jarinya yang sudah memerah.

"Ben mohon pengertian Mama untuk memahami Cori, kenapa sampai detik ini dia belum bisa mengakui dirinya di depan Mama. Cori pasti punya alasan mengapa dia memutuskan untuk diam, Ma."

***

Belasan purnama kemudian...

"Pak Yusuf!"

Sambutan hangat langsung Yusuf terima dan ia mendapati mantan stafnya mencium punggung tangannya dengan hormat.

"Jangan pergi dulu, Pak. Ngobrol sebentar di sini," mohonnya.

Permintaan yang mudah bagi Yusuf. Dia juga kangen dengan stafnya yang ini.

"Duh, duh. Manglingi kamu sekarang." Yusuf memasuki kantor kecil Cori dengan semringah.

Cori hanya menyeringai. "Bapak ke Jakarta karena pertemuan dengan Dirut dan pimpinan cabang se-Indonesia, ya?"

"Iya. Kalau nggak salah para pejabat auditor juga datang."

"Ooh." Ada nyut kecil barusan menyapa dadanya.

Too much information, Pak, protes Cori di kepalanya. 

Segera Cori tepis rasa pedih tadi. Ia memilih memusatkan perhatian pada sosok yang tiba-tiba muncul di kantor barunya. Sudah sebulan ia menjejak di Jakarta sejak surat pemberitahuan promosi keluar ketika dirinya bertugas di Sejahtera Bersama Cabang Bekasi.

"Anak Bapak yang satu ini sudah jadi Manajer Marketing. Bapak sih dari pertama kamu di Cabang Mega Legenda sudah yakin kamu bakal cepat melesat dibanding senior kamu."

"Cori masih butuh banyak belajar, Pak. Doain Cori ya, Pak."

"Selalu, tho. Kalau kamu dulu jadi resign karena menikah, kesempatan seperti ini sudah terlewat sia-sia."

"Semua ada hikmahnya, Pak," pungkas Cori. Ia tak mau berlama-lama membahasnya. Sudah setahun lebih tidak ada yang menyinggung hubungannya yang kandas, Cori sudah mulai nyaman dengan kesendiriannya, tapi Yusuf malah menarik memori itu ke permukaan. Hatinya mulai beriak.

Tentu saja Pak Yusuf tidak akan melewatkan apa pun. Cori memutar bola matanya samar.

"Eh, Bapak lihat kamu banyak berubah." Yusuf memindai mantan anak buahnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Kalau kamu ketemu Ben, dia pasti kelepek-kelepek lagi. Manglingi soalnya," ulang Yusuf.

Mantan atasannya terkekeh, tapi tidak dengan Cori. Yusuf telah membongkar paksa masa lalu yang ingin ia lupakan. Namun, Tuhan berkehendak lain. Tak lagi beriak, gelombang kecil mulai membuat hatinya terombang-ambing.

"Cerita lama ah, Pak. Cori dan Abang—maksudnya Cori dan Pak Malik kan udah nggak sama-sama lagi."

“Kamu sih, kenapa putus?”

“Ya, gitu deh, Pak.” Seringaian ngeles Cori tidak akan membuat Yusuf berhenti sampai di situ. 

"Tahu nggak, kamu bikin Malik kayak kehilangan roh waktu namamu muncul di daftar karyawan mutasi. Dia sampai nelepon temennya di HRD nanyain kebenaran namamu. Puanik dia, Cori."

Nyut tadi kembali hadir. Namun, ada sesuatu yang mengganjal dadanya, mengganggu nuraninya.

"Panik?"

"Iya. Buk Farida yang cerita. Terus setelah kamu pindah, Malik makin parah!"

"Parahnya ... gimana, Pak?" korek Cori tertahan.

"Kadang bikin Buk Farida kesel. Soalnya Malik suka nge-blank kalau lagi kerja."

"Mungkin lagi enggak konsentrasi aja, Pak," respon Cori, meski ia tahu penyebab mantan kekasihnya seperti itu.

"Yah, mungkin gara-gara patah hati?" Kerlingan Yusuf membuat Cori salah tingkah. "By the way, udah nikah, kamu?"

"Belum, Pak."

"Calon, ada?"

"Enggak ada, Pak."

"Ck, ck, ck. Kalian bedua sama aja!" Yusuf geleng-geleng kepala.

"Kalian ... siapa, Pak?"

"Ya, kamu sama Maliklah."

"Bukannya ... Pak Malik dan Mbak Agni..." Cori sengaja berhenti di tengah jalan. Sebab, nyut tadi semakin gencar menyakiti jantungnya.

"Yah, kamu kudet, Cori."

"Kudet gimana, Pak?" tanyanya bingung.

"Agni kan udah nikah sama Kepala Cabang Bank BUMN."

"Oh, begitu." Percaya atau tidak, nyut di dadanya berkurang signifikan.

"Pokoknya percaya deh, sama Bapak. Kalau Malik bertemu kamu lagi, dia enggak bakalan berkedip. Udah, balikan lagi aja, sana."

***

"Bahan promosi ke komunitas sudah fix ya, Ren? Diskon, free administrasi transaksi minimal pembelian emas 5 gram, voucher belanja, brosur?"

"Sudah, Bu. Tinggal konfirmasi kapan mereka bisa kita kunjungi."

"Bagus."

Cori memeriksa poin-poin rapat yang sudah terceklis semua.

"Ada yang perlu dibahas lagi? Rendy? Imas?" tanyanya pada dua staf di seberang meja bundar.

"Bu, Bu. Kemarin ada auditor senior guanteng karismatik ngelewatin kantor kita. Dia langsung jadi inceran cewek-cewek marketing, Bu! Habisnya dia husband material banget. Meleleh aing," beber Imas semangat.

Dadanya bergemuruh. Apa kabarnya dia ya? batinnya

"Elah! Ganteng aja, gercep lu. Nggak bisa lu lihat gua aja?" sela Rendy sewot.

"Gue enggak mau resign gara-gara nikah sama lo. Enggak ada masa depan sama lo."

"Terserah elu dah, Imas. Yang jelas gua selalu available."

Cori terkekeh. "Kan, peraturan larangan menikah sesama karyawan udah dicabut, Imas. Forum serikat pekerja heboh lho gara-gara peraturan baru Dirut," celetuk Cori. "Saya malah sudah dapat beberapa undangan nikah dari temen-temen seangkatan saya yang cinlok."

"Beneran, Bu?!" Rendy teriak tertahan. "Imas darling. Yuk!"

Cori tergelak dengan kelakuan stafnya, meski kata menikah membuat suasana hatinya mendung.

"Ogah! Pak Malik udah jadi standar calon laki gue. Lo enggak sesuai standar!"

"Pak Malik?!" Nama itu membuat jantung Cori serasa di tusuk paku. Sakit. "Pak Malik yang mana, Imas?"

"Itu lho, Bu. Dia auditor senior yang jalan temenin Pak Dirut ke kantor kita dan divisi lain kemarin siang. Oh iya, Ibu kan rapat sama tim Humas, jadi enggak ketemu beliau."

***

Ibu paham, pesan ini pasti sangat terlambat bagimu. Namun, Ibu akan tetap mencobanya. Nak, maukah kamu bertemu dengan ibu tua ini di Restoran The Coriander Taste dan mendengar cilotehan Ibu mengenai ... kata maaf yang terlambat?

PS: Ibu sudah mendapat izin dari pemilik restoran dan memberikan Ibu ruangan terbaik bagi kita bertiga untuk sedikit mengobrol.

Mutia Adnan.

Demikian pesan Mutia yang masuk ke ponsel Cori setelah prahara nama Malik si auditor husband material mengguncang hidupnya yang tenang. Berkali-kali Cori ulang pesan itu dalam benaknya menuju restoran papanya. Ia makin melajukan mobilnya lebih kencang demi membuktikan kehadiran seseorang yang telah pergi dari hidupnya sejak hari ke satu Cori hadir ke dunia.

Irama jantungnya makin tak berima ketika kakinya semakin mendekati ruangan Romaine, salah satu ruangan VIP restauran The Coriander Taste.

Di balik pintu kayu, Cori menemukan dua sosok sedang bercengkerama hangat, tersenyum padanya.

"Nak, sudah datang?" sapa Sudjana pertama kali.

Mutia spontan berdiri. Ia mendekat ragu pada sosok yang ditunggunya dengan gelisah sejak sejam yang lalu. Mata yang tak putus melekati si buah hati 

"Mama?"

Mutia memejam khidmat ketika kata Mama mengalun merdu di pendengarannya. Ia meresapinya dan bersyukur, karena masih dianggap mama oleh anak gadisnya.

"Mama ... menemui Papa? Menemui ... aku?" tanyanya tak percaya.

"As you can see, Nak. Mutia datang menemui kita."

Makin mendekat Mutia pada anak perempuannya. Kini ia bisa memandang wajah Cori lebih jelas.

"Bolehkah ...." Tangan tua itu sudah terangkat. Hanya sejengkal jaraknya dari pipi Cori.

Anggukan Cori adalah persetujuan paling mahal yang pernah Mutia dapatkan.

Sentuhan itu menggetarkan jiwanya, meluruhkan air matanya, dan membuat kepalanya tertunduk pasrah menikmati belaian terlambat di kulitnya. Elusan di pipinya yang lembab membuat Cori menumpu kepalanya yang berat pada telapak tangan ringkih itu, meresapi kasih sayang sebenarnya dari seorang Ibu setelah sekian puluh tahun. Tangis Cori tumpah sudah.

Meski ragu, Mutia memberanikan diri melangkah lebih dekat lagi sehingga tak ada jarak di antara mereka. Mutia mendekap tubuh yang tak lagi gempal itu dengan kedua tangannya, membawanya ke dalam pelukan terlambat dan terisak bersama dengan sang buah hati.

"Maafkan Mama, Cori."

Cori makin tak kuasa dengan semua tumpukan emosi ini. Tangisnya makin menjadi-jadi di tempat yang semestinya, di pundak seorang ibu...

"Mama salah. Ampuni Mama, hm?" ucapnya di sela tangis.

Cori tak jua bersuara. Namun, kedua tangannya justru membalas pelukan Mutia.

"Mama manusia paling pengecut menghadapi masa depan. Mama ndak akan membela diri atas kelakuan Mama dulu. Mama pikir, Mama bisa membenci makhluk tak bedosa yang mama lahirkan dulu dan hidup dengan tenang. Ternyata Mama salah besar. Asal kamu tahu, tak sedetik pun hidup Mama tenang setelah meninggalkan kamu, Nak. Mama hidup dalam penyesalan. Itu adalah hukuman Tuhan untuk Mama. Mama menerimanya. Sungguh. Mama ... minta maaf."

Hanya maaf membuat luruh segala dendam, hanya maaf membuat hilang segala sesal. Tuhan ... hanya maaf yang Cori inginkan dari Mutia.

Cori terpaksa mengurai pelukan hangat ini demi menatap wajah yang dirindukannya. Kini ia tak lagi ragu menggapai pipi Mutia dan mengusap sisa air mata di sana.

"Ma..."

"Mama sudah ikhlas dengan apa pun jawabanmu, Nak."

Cori menggeleng pelan dan menyunggingkan seulas senyum.

"Maafnya Mama yang Cori tunggu selama ini dan Mama sudah mengucapkannya. Cori hanya butuh maafnya Mama. Terima kasih telah mengakuinya, Ma."

"Oh, Cori ...."

"Mama udah bisa berhenti minta maaf, ya?"

Kini Mutia tanpa ragu memeluk anaknya sekali lagi, erat, tak berjarak.

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hello, Troublemaker!
1117      494     6     
Romance
Tentang Rega, seorang bandar kunci jawaban dari setiap ujian apapun di sekolah. Butuh bantuan Rega? mudah, siapkan saja uang maka kamu akan mendapatkan selembar kertas—sesuai dengan ujian apa yang diinginkan—lengkap dengan jawaban dari nomor satu hingga terakhir. Ini juga tentang Anya, gadis mungil dengan tingkahnya yang luar biasa. Memiliki ambisi seluas samudera, juga impian yang begitu...
Dari Hati ke Hati
294      188     1     
Romance
Kumpulan kisah yang dibalut dalam bingkai prosa liris. Mengajak pembacanya untuk melihat kehidupan dari segala sisi.
Furimukeba: Saat Kulihat Kembali
411      280     2     
Short Story
Ketika kenangan pahit membelenggu jiwa dan kebahagianmu. Apa yang akan kamu lakukan? Pergi jauh dan lupakan atau hadapi dan sembuhkan? Lalu, apakah kisah itu akan berakhir dengan cara yang berbeda jika kita mengulangnya?
DIAMNYA BAPAK
456      301     5     
Short Story
Kata Bapak padaku bahwa hidup itu ibarat senja, hadirnya selalu ada walau hanya sementara. Harus kutelusuri jejaknya dengan doa.
Ballistical World
9085      1761     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
Aku Bilang, Aku Cinta Dia!
500      332     1     
Short Story
Aku cinta dia sebagaimana apa yang telah aku lakukan untuknya selama ini. Tapi siapa sangka? Itu bukanlah cinta yang sebenarnya.
Redup.
456      276     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Save Me
913      544     7     
Short Story
Terjebak janji masa lalu. Wendy terus menerus dihantui seorang pria yang meminta bantuan padanya lewat mimpi. Anehnya, Wendy merasa ia mengenal pria itu mesipun ia tak tahu siapa sebenarnya pria yang selalu mucul dalam mimpinya belakangan itu. Siapakah pria itu sebenarnya?dan sanggupkah Wendy menyelamatkannya meski tak tahu apa yang sedang terjadi?
Our Tears
2558      1088     3     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
Lukisan Kabut
523      367     4     
Short Story
Banyak cara orang mengungkapkan rasa sayangnya kepada orang lain. Hasilnya tergantung bagaimana cara orang lain menerima perilaku ungkapan sayang itu terhadap dirinya.