Read More >>"> Ben & Cori (39. Calon Mertua) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Setelah lari 7 putaran (Ben) dan jalan cepat ngos-ngosan 3 putaran (Cori) di jalur lari Alun-alun Engku Putri, Cori membawa Ben ke sebuah tempat yang telah ia janjikan. 

"Romaine Bakery?" tanya Ben. Mobilnya baru saja berhenti di pinggir trotoar, tepat di depan toko roti kepunyaan Mutia Adnan yang sudah ramai pengunjung.

"Yep."

"Nama tokonya nama tengah kamu."

"Benar sekali."

"Restoran Papa juga pakai nama kamu. The Coriander Taste."

"Lucu, kan? Namaku dijadikan nama toko-toko terkenal." Cori terkekeh kecil. Ia tidak minder lagi dengan nama pemberian Sudjana.

"Bangga, dong?"

"Banget."

Setelah menyeringai, Cori menepuk-nepuk lengan Ben tak sabaran. "Yuk, turun. Roti dan dessert punya Romaine Bakery enak-enak, lho."

Meski Cori deg-degan saat melangkahkan kaki ke dalam toko, tapi rasa exciting lebih mendominasi dirinya. Ia terbuai dengan kue-kue cantik buatan mamanya, meski di saat yang sama, Cori juga was-was mengantisipasi kedatangan Mutia entah dari pintu mana saja di toko kecil ini.

Di satu sisi, Cori merindukan ibu kandungnya. Namun, di sisi lain, masih ada rasa marah dan kecewa yang ia sendiri tak tahu, apakah semua emosi itu suatu saat akan terobati atau makin menggerogoti hati.

Ketika Cori tenggelam dengan pikirannya, Ben malah kalap memasukkan berbagai roti dan kue yang menggiurkan ke dalam keranjang belanja. Ada cupcake dengan berbagai variasi krim, pai susu, egg tart, lemon cake, dua loaf roti gandum, dan...

"Cori, lihat ini!"

Saat menoleh, apa yang Cori temukan membuat senyumnya mengembang otomatis.

"Orange Coriander Cookies, Cori!" Ben langsung memasukkan setoples kukis ketumbar itu ke dalam keranjang. "Enggak cuma nama restoran, nama kamu juga dijadiin nama kukis."

"Yah, begitulah." Terima kasih... Mama? Cori mendengkus geli. "Menurutku, rasanya unik. Cocok dimakan dengan teh melati."

"Benarkah? Abang akan membuktikannya nanti."

"Sebentar, deh. Apa nggak kebanyakan? Yakin bisa habis sendirian?" tunjuk Cori dengan dagunya pada keranjang yang sudah over load.

"Kita makan berdua. Buat kamu juga, Coriander."

"Hehe, terima kasih, Abang."

"Nak ... Cori?"

Deg.

Yang dipanggil memutar tubuhnya pelan-pelan menghadapi sumber kemarahan, kesedihan, kekecewaan, dan ... kerinduan yang terpendam bertahun-tahun.

Halo Ma... "Halo Bu Mutia," sapa Cori ramah, tersenyum layaknya seorang front liner profesional perusahaan keuangan menghadapi nasabahnya. Ben ikut-ikutan menghadapi sosok yang menyapa kekasihnya.

"Sudah lama tidak kemari."

"Saya sedikit sibuk akhir-akhir ini, Bu."

"Tolong, luangkan waktu untuk diri sendiri. Jangan sampai bekerja terlalu keras membuatmu lupa bahwa kita bekerja juga untuk menyenangkan diri sendiri. Bukan begitu, Nak Cori?"

"Baik, Bu. Akan saya ingat nasihat Ibu."

Aku akan mengingat nasihat Mama...

"Dan ini ...." Pandangan mata Mutia jatuh pada seorang pemuda yang tersenyum ramah dengan sekeranjang makanan di tangan kirinya.

"Kenalkan Bu, beliau calon suami saya."

Calon menantu Mama...

Untuk sesaat, Mutia hening di tempatnya. Namun, semua juga bisa melihat keterkejutan yang terlukis di wajah tuanya yang masih awet muda. Kedua matanya membola dan kedua alisnya naik setinggi-tingginya. Setelah setengah menit penuh meneliti pria itu, Mutia kembali pada dirinya.

"Benarkah?" Tak dapat Mutia sembunyikan betapa ia senang dengan kabar baik ini. Seulas senyum mengambang dengan cepat sambil menatap bergantian dua anak muda di hadapannya.

"Astaga, di mana sopan santun saya? Saya Ben," ucapnya sembari mengulurkan tangan pada pada Mutia.

"Mutia Adnan, owner The Romaine Bakery." Uluran tangan Ben disambut hangat dan erat. "Sekaligus," Mutia melempar lirikan pada Cori dan mereka bersitatap penuh arti selama beberapa detik. "nasabah di PT. Sejahtera Bersama."

Tak sadar Cori menghembuskan napasnya yang tertahan sejak tatapan itu Mutia buat. Cori ternyata melambungkan harapannya sesaat.

"Anda pemilik Romain Bakery?" Suara Ben menyurutkan air mata Cori yang sudah menumpuk di ujung matanya.

"Betul."

"Cori yang merekomendasikan toko ini. Kata Cori saya harus coba roti dan dessert toko Ibu."

Mutia bersemu dipuji barusan. Kata-kata Ben telah dibuktikan dari isi keranjang belanjaannya.

"Terima kasih. Sebentar, Nak Ben. Fani," panggil Mutia pada salah seorang pramuniaga tokonya. "Tolong bawa belanjaan Nak Ben ini ke kasir. Langsung dibungkus."

"Baik, Bu."

"Terima kasih, Bu Mutia," ucap Ben.

"And it's all on me."

Dua anak muda itu saling menatap dan bertanya-tanya dalam diam.

"Tapi kami niatnya mau belanja, Bu," kata Cori akhirnya setelah menemukan suaranya lagi.

"Hari ini Ibu yang traktir," tegas Mutia, ditambah senyum di akhir kata.

Lagi-lagi Cori dan Ben saling berbalas tatap. Dan gesture kecil ini tak lepas dari pengamatan Mutia. Wajah kebingungan anaknya dan calon menantunya yang kalau dilihat lama-lama ... ternyata mirip. Mutia tersenyum diam-diam.

"Terimalah pemberian ibu tua ini."

Tak tahu lagi Cori apa yang harus ia katakan ketika suara Mutia begitu lembut dan memohon. Cori hanya ingin menangis, merengek, dan dipeluk oleh Mutia sambil melayangkan protes mengapa ia ditinggal pergi. Tapi khayalan seperti itu terpaksa ia simpan rapat-rapat dan menjatuhkan air matanya ke dalam rongga mata.

"Terima kasih, Bu Mutia." Akhirnya Ben bicara.

"Sama-sama. Nak Ben bekerja di mana?"

"Sejahtera Bersama, sekantor dengan Cori, Bu."

"Oh, ya?" Mutia kelihatan tertarik. "Sudah berapa lama bekerja di Sejahtera Bersama?"

"Tahun ini memasuki tahun ke sembilan, Bu." Mutia mengangguk.

"Sebentar, apa Nak Ben ada hubungannya dengan Popy Jayusman? Karena Ibu menemukan kemiripan di antara kalian. Dan nama anak Mbak Popy juga Ben."

"Lho, kok Ibu tahu Bunda? Saya anaknya Bunda Popy, Bu."

"Ah, pantas saja. Kalian mirip banget. Mbak Popy teman dekat saya. Waktu Mbak ke Batam, dia sempat mengunjungi toko ini. Dianter Nak Cori. Lalu bla... bla... bla... "

Untuk beberapa saat, Cori merasa menjadi orang ketiga di antara kekasihnya dan Mutia. Sebab, pertanyaan demi pertanyaan terus bergulir untuk Ben. Hanya pada Ben. Seperti ... wawancara kepantasan dari owner kepada calon pekerjanya. Pertanyaan Mutia tidak ada habisnya.

"Orang tua kalian ... sudah bertemu?" tanya Mutia penuh antisipasi, kemudian menatap bergantian pada Cori, lalu pada Ben.

"Belum, tapi sqya sudah mendapatkan restu papa Cori," ungkap Ben begitu bahagia sembari menatap mata kekasihnya penuh cinta.

Mutia bisa langsung menyimpulkan bahwa pria ini sedang tergila-gila pada anaknya. Mutia bahagia untuk alasan yang ia sendiri meringis memikirkannya. Ia bahagia karena akhirnya bisa merasakan menjadi orang tua yang sebentar lagi akan mempunyai menantu. Namun, memikirkan menjadi calon mertua yang tidak pernah membesarkan anaknya ... membuat dadanya sesak.

"Syukurlah. Restu orang tua. Itu yang paling penting," ucap Mutia sambil menatap kedua pasang mata di hadapannya.

"Benar, Bu," ucap Ben tersenyum, senyum yang ... dipaksakan.

"Sudah ada rencana kapan kalian akan menikah?" tanya Mutia lagi.

Sepasang sejoli itu kembali mencari mata pasangannya, saling bertanya dalam diam. Ada hal yang tak mampu mereka ungkapkan, tapi terbaca di pantulan lensa hidup kepunyaan mereka masing-masing.

"Terus terang kami belum membahas sampai ke sana, Bu. Tapi kami mau sesegera mungkin. Benar kan, Cori?"

Cori mengangguk menyetujui. "Iya, Bu Mutia."

"Ibu mengerti. Tidak perlu terburu-buru. Semua harus dipersiapkan dengan matang. Terutama kesiapan kalian. Mulai dari restu orang tua, kesiapan materi, hingga kesiapan mental kalian berdua. Menikah tidak hanya untuk setahun dua tahun. Menikah itu untuk selamanya, selama kalian bernapas dan masih diberi kesempatan hidup bersama dalam ikatan bernama pernikahan."

Cori dan Ben mendengarkan dengan khidmat.

"Dan ingat! Kalian tidak hanya menikahi pasangan kalian, tapi juga keluarga Cori dan keluarga Ben. Penyesuaian dan pengertian akan selalu dilakukan setiap waktu. Ingat ya, setiap waktu. Menikah tidak melulu bahagia selamanya tanpa bertengkar. Tidak. Jangan harap kalian akan menjalani pernikahan damai tanpa konflik. Tidak ada yang namanya pernikahan tanpa pertengkaran, badmood, salah sangka, dan lain-lain. Hal-hal seperti itu yang perlu kalian bicarakan. Berkompromilah untuk segala hal. Dan yang paling penting, bila ada masalah, jangan pendam sendiri. Bicarakan dan komunikasikan, agar tidak ada hal-hal negatif yang menumpuk di dada dan ujung-ujungnya salah satu kalian meledak tak terkendali. Hal seperti itu sangat memengaruhi kualitas sebuah pernikahan."

Cori terkesiap ketika Ben diam-diam menggenggam tangannya dan meremasnya pelan.

"Ah, satu lagi."

Suara Mutia membuat Cori kembali memusatkan perhatian pada ibu kandungnya setelah terbuai dengan kehangatan genggaman kekasihnya.

"Sebelum ijab kabul terjadi, Ibu mohon, jaga diri kalian masing-masing. Konon, cobaan sebelum menikah lebih dahsyat efeknya dibanding pernikahan itu sendiri."

Maksud Mama? "Maksud Ibu?"

"Godaan untuk berbuat hal-hal 'menyenangkan'." Mutia menggerakkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan. "Ketika kalian menyangka Tuhan tidak melihat, godaan seperti itu harus kalian tepis kuat-kuat. Kadang godaan itu datang dari diri sendiri, Anak Muda. Kita tidak mau ada hal yang merusak hubungan sakral ini sebelum kalian sah menjadi suami istri, bukan?"

Mutia menyampaikannya sambil setengah bercanda. Namun, Cori sangat paham dengan nasihat terakhir tadi.

"Kami akan menjaga diri kami, Bu Mutia," sahut Cori tepat ke dalam bola mata Mutia. "Papa saya sudah mewanti-wanti kami untuk menjaga diri. Ya, karena hanya saya yang ... Papa punya."

Mutia menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Kembali, rasa bersalah mencungkil nuraninya sebagai ibu, sebagai ... kekasih. 

"Terima kasih, Bu. Nasihat Ibu sangat berharga bagi kami yang akan memasuki sebuah kehidupan baru. Kami akan mengingatnya." Ben berucap sungguh-sungguh.

Perempuan tua itu kembali fokus pada anak muda di depannya. 

"Hanya nasihat yang bisa Ibu beri, Nak."

"Bu..."

Panggil lembut itu membuat Mutia menoleh cepat-cepat, demi segera memandang wajah anaknya yang ... menegang.

"Ya, Nak Cori?"

"Kami ... kami akan ... mengirim undangan ke Ibu. Ibu ... mau datang, kan?" Susah payah tawaran itu keluar dari mulut Cori.

Ingin rasanya ia berteriak dengan bebas dan mengatakan, Datanglah ke pernikahanku, Ma. Akan tetapi suara itu hanya bisa digaungkannya dalam kepala karena sebuah prinsip yang Cori pegang bagai bara api: Mutia sendiri tidak pernah mencarinya, jadi untuk apa Cori yang mengaku duluan bahwa ia anaknya?

"Itu..."

Mengapa Mama sulit menjawabnya, Ma?

"Jika Bu Mutia ada waktu, maka datanglah. Benar kan, Cori?" Ben merasakan kecanggungan yang nyata, walaupun ia sendiri tidak tahu apa alasannya.

"I-Iya. Benar, Bu."

Mutia hanya bisa tersenyum tipis, seolah kehilangan suara untuk menjawab pertanyaan sederhana tadi.

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
WulanaVSurya
424      296     1     
Romance
Terimakasih, kamu hadir kembali dalam diri manusia lain. Kamu, wanita satu-satunya yang berhasil meruntuhkan kokohnya benteng hatiku. Aku berjanji, tidak akan menyia-nyiakan waktu agar aku tidak kecewa seperti sedia kala, disaat aku selalu melewatkanmu.
TERSESAT
581      418     6     
Short Story
Cerpen Romantis penuh kejutan
BROWNIES PEMBAWA BENCANA
426      271     3     
Short Story
Sejak pindah, Bela bertemu dan mulai bersahabat dengan tetangga rumahnya, Dika. Di suatu kesempatan, Bela mencoba membuat brownies untuk Dika dan akhirnya juga membuat Dika pergi meninggalkan tanda tanya dengan memberi sebuah surat bersambung untuknya. Akankah, brownies buatan Bela mendatangkan bencana?
Pensil Kayu
336      218     1     
Romance
Kata orang cinta adalah perjuangan, sama seperti Fito yang diharuskan untuk menjadi penulis buku best seller. Fito tidak memiliki bakat atau pun kemampuan dalam menulis cerita, ia harus berhadapan dengan rival rivalnya yang telah mempublikasikan puluhan buku best seller mereka, belum lagi dengan editornya. Ia hanya bisa berpegang teguh dengan teori pensil kayu nya, terkadang Fito harus me...
Seloyang kecil kue coklat
498      354     5     
Short Story
karena wanita bewrpikir atas perasaan dan pria berpikir atas logika.
Daniel Whicker
7793      1695     13     
Mystery
Sang patriot ikhlas demi tuhan dan negaranya yang di khianati oleh negara dan dunia.. Dan Ayahnya pun menjadi korban kesadisan mereka...
sahabat vs pacar
1236      730     5     
Short Story
pacar boleh tergantikan dengan seiringnya waktu tapi sahabat terlalu susah
CINTA DALAM DOA
2192      872     2     
Romance
Dan biarlah setiap doa doaku memenuhi dunia langit. Sebab ku percaya jika satu per satu dari doa itu akan turun menjadi nyata sesungguhnya
Bifurkasi Rasa
88      75     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Premium
Cinta Guru Honorer
6229      2156     0     
Romance
Pak Baihaqqi seorang guru honorer di SMA 13 Harapan. Dirinya sudah mengajar hampir 15 tahun tetapi tidak masuk ke dalam honorer Kategori 2 (K2). Di tahun 2022 ini pula, ia tidak termasuk ke dalam daftar yang bisa mengikuti seleksi Calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (CPPPK). Di sekolah, Pak Baihaqqi bekerja sebagai pesuruh. Bu Nurma, Bu Rosmala, Pak Adam, guru-guru lain, dan samp...