Read More >>"> Ben & Cori (38. Apa Rasanya? ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Perjalanan bolak balik antarpulau yang dilakukannya dalam seminggu membuat tubuhnya butuh istirahat. Ben sedang berada dalam posisi jenuh dan butuh dijauhkan dari yang namanya pemeriksaan unit, laporan, komputer, laut, perahu, dan kantor.

Dan Ben butuh menyegarkan matanya dengan pemandangan yang segar-segar seperti ... menatap wajah si Gadis Ketumbar.

Ben rindu gadis gempalnya.

Maka dari itu, ia sudah berdiri di depan pintu nomor 5 lengkap dengan celana basket selutut, baju kaus putih, topi, dan sepatu kets. Sedikit berkeringat di pagi nan cerah ini tidak akan menyakitkan. 

"Cori, ini aku," sorak Ben, kemudian ia mengetuk daun pintu 3 kali.

Sudah 5 menit menunggu, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam yang Ben dengar.

"Apa Cori belum bangun?" gumam pria itu.

Ben mengetuk pintu itu sekali lagi. Setelah satu menit penuh menunggu, Ben mendengar langkah kaki terseok-seok mendekati pintu. Dada Ben berdebar entah untuk apa dan ia berdehem beberapa kali. Padahal, baru semalam mereka menghabiskan waktu di restoran Korea dan Ben hampir melakukan hal di luar nalarnya.

Pshhh...

Pipi pria ini memanas mengingat kelakuannya. Lebih tepatnya pikirannya yang meliar.

Sadar Ben! Jaga Cori dari pikiranmu! peringatnya dalam kepala. Ben kembali menata ekspresinya.

Muka bantal, mata setengah tertutup, rambut mencuat di mana-mana, dan wajah polos tanpa apa-apa menyambut Ben di pangkal pintu. Tak sadar garis senyumnya tertarik ke kiri dan ke kanan.

"Pagi, Coriander," sapa Ben riang.

"Hm. Pagi," balas suara serak itu. Cori menyugar rambut kusut masainya agar lebih presentable, sedikit.

"Baru bangun?" Cori mengangguk, kemudian mulutnya menguap lebar.

"Salat Subuh?"

"Lagi libur."

"Ooh."

"Abang mau ke mana? Rapi bener." tanyanya. Ia mulai mengintip dari balik kelopak yang terekat erat demi sosok tegap yang sudah rapi dan ... harum. Indra penciumannya menangkap aroma kayu, rempah, dan alam, membuat mata Cori terbuka lebih mudah. Begitulah efek Ben pada dirinya.

"Olahraga, yuk?" ajak Ben tanpa basa basi.

"Yang benar aja, Abang." Gadis itu memutar bola matanya. "Aku masih pengen tidur," protes Cori. Cori memilih duduk di kursi rotannya dan menyandarkan diri sambil memejam mata.

Sisa mengantuk tadi masih ada dan kalau bisa Cori ingin memanfaatkan waktu yang sedikit ini untuk menyambung mimpi.

Meski kecewa, tapi Ben tetap mengekori kekasihnya untuk duduk di seberang meja. Pria itu mengamati wajah gadisnya yang disapu sinar keemasan mentari pagi dan lampu teras yang tak lagi berfungsi, sebab matahari perlahan bangkit dan kini menyinari teras kecil rumah nomor lima.

Diam-diam, Ben mengambil kesempatan merekam seseorang yang mencoba berinisiasi untuk tidur kembali. Rambut legamnya tergerai berantakan, herannya tetap berkilau. Tangannya tak sadar menjangkau sejumput rambut Cori di bahunya dan mengelusnya pelan-pelan.

Lembut...

Kini, matanya menelusuri alis kekasihnya yang bak semut berarak. Tebal dan tumbuh alami. Matanya ... sedikit bengkak. 

Kemudian pandangan Ben jatuh pada hidung kekasihnya yang bulat menggemaskan. Rasanya ingin Ben cubit cuping hidungnya yang menurut Ben ... imut. Sangat pas dipasang oleh Sang Pencipta yang Maha Sempurna di wajah Cori.

Dan pipinya demi Tuhan! Menggembung sempurna dan sangat menggemaskan. Ingin rasanya Ben gigit gemas pipi itu. Giginya sampai menggeretak kesakitan saking gemasnya. Namun, kalau sampai ia gigit pipi Cori, bisa-bisa teriakan Cori menggema kencang di Kluster Kepodang yang sepi ini dan mengundang satpam komplek menangkapnya. Rumahnya berganti ke sel tahanan Polsek Barelang. Yang ada, titel mesum melekat padanya.

Dan bibir itu... Matanya berlama-lama menatap bibir penuh Cori yang sedikit terbuka.

Gadis itu. Apa ia benar-benar tertidur di depannya? Ketika ia datang? Lelaki itu justru tertawa kecil. Dari bibir itu keluar tawa yang menyenangkan, suara yang merdu, kalimat demi kalimat cerdas mengejutkan dan mampu membuat hatinya damai dalam sekejap.

Dan bibir itu... Apa rasanya, ya?

Hampir saja Ben menyapa bibir itu dengan bibirnya di restoran Myong-Ga, berkenalan mengenai rasa dan sensasi yang akan ditinggalkan di bibirnya sendiri.

Kalau saja ia dibuat lupa diri sedang berada di mana... Apa Cori akan mengizinkan dirinya mengecapnya? Memikirkannya saja membuat perutnya digelitik dengan rasa aneh, tapi menyenangkan.

Astaga Ben .... Berhentilah! mohonnya tak berdaya.

Walaupun demikian, Ben bersyukur akal sehatnya tidak jadi jatuh ke jurang gara-gara pertanyaan Cori mengenai resign.

Berikut secuplik kecil percakapan semalam yang lumayan membuat telinga Ben memanas.

Belum sempat Ben menjawab soal resign, Cori sudah tertawa lepas. Demi Tuhan! Ben tidak rela orang lain ikut terpana seperti dirinya gara-gara tawa Cori. Cukup Ben saja yang terpesona. Cukup tawa tadi untuk dirinya!

"Abang nggak mau resign dari Sejahtera Bersama," celetuk Cori.

Pernyataan itu membuat Ben kelabakan dengan instan.

"Apa? Bukan Begitu. Jangan asal menyimpulkan, Coriander."

"Terus? Kenapa mikirnya kelamaan?" godanya.

Itu karena ia terlalu fokus dengan bibir si Gadis Ketumbar!

"Aku memang belum memikirkannya sampai ke situ. Tapi jika kamu masih mau kerja di Sejahtera Bersama, aku akan cari solusi. Aku akan mulai mencari lowongan kerja dari sekarang."

Cori terpana dengan jawaban pria yang pipinya sedang kemerahan ini. Hatinya menghangat. Lumayan mengobati luka gara-gara debat menyebalkan di kantor tadi.

"Emang Abang kasih izin aku bekerja setelah menikah? Aku boleh jadi istri yang bekerja? Kalau dibolehin..."

"Sebentar, sebentar." Cori mendengkus kecil. Sudut bibirnya terangkat. "Sejujurnya, aku mau ... kamu ... jadi ... ibu rumah tangga." Terbata-bata Ben mengungkapkan jalan pikirannya.

"Kenapa?"

"Dengarkan aku baik-baik, Coriander. Kamu harus tahu aku sudah merancang rencana masa depan untuk kita berdua sebelum ide kamu untuk jadi istri yang bekerja muncul. Jadi, aku mohon dengarkan aku dulu," mohon Ben sungguh-sungguh.

"Baiklah. I'm all ears."

"Kamu sudah tahu kan pekerjaanku, pekerjaan kita. Permintaan mutasi dari kantor pusat selalu datang dengan nama yang nggak diduga-duga di dalamnya. Kita bisa dipindahkan ke mana saja ke seluruh Indonesia sesuka tim HRD. Kalau aku dipindah jauh dari kamu dan kamu tetap bekerja, aku nggak bisa membayangannya, Coriander." Ben memelas. "LDR, apalagi LDM ...." Ben menggeleng pelan. "Bukan prinsipku, Cori. Waktu bertugas di Natuna aja aku udah uring-uringan jauh dari kamu. Apalagi beda pulau sejauh Sumatera dan Kalimantan. Prinsipku, menikah dilakukan agar kita melakukan semua hal bersama-sama. Komunikasi yang hanya bergantung pada telepon dan pesan menurutku nggak efektif sama sekali. Apalagi video call.  Aku enggak bisa nyentuh kamu, kamu juga enggak bisa melayani aku baik secara fisik dan emosional. Apa gunanya menikah bila aku dan kamu terbangun di ranjang yang berbeda? Makan sendiri-sendiri, jalan-jalan sendiri, nonton TV sendiri, sampai mandi—"

"Setooop! Shhht! Kita lagi di restoran, Abang!" Ben terpaksa mengulum bibirnya dan menahan tawanya sembari membelai rambut panjang Cori di punggungnya.

"Intinya..."

"Iya aku paham banget. Aku nurut kata Abang. Aku akan resign dan setelah menikah, aku akan menempeli Abang seperti permen karet ke mana pun Abang dimutasi."

Ben tersenyum amat lebar.

"Coriander."

"Apa?"

"Boleh peluk kamu?"

Plak!

"Aw! Sakit, Coriander. Untuk apa pukulan barusan?" Walaupun sudah tahu konsekuensinya, Ben bandel tetap meminta permintaan yang enggak bakal dikabulkan. Pria itu menggosok-gosok lengannya. Lumayan perih pukulan sayang bertenaga tadi di kulitnya.

"Omongannya dijaga, Abang. Minta-minta peluk. Minta aku dulu ke Chef Sudjana, halalin aku. Setelahnya..." Kerlingan Cori membuat jantung Ben berdebar.

"Setelahnya...?"

"Terserah Anda, Bapak Benjamin Malik Adriansyah."

"Siap, Nyonya."

Namun, Ben sangat tahu. Di balik kata 'siap' yang sangat semangat itu, masih ada Bunda yang perlu Ben yakinkan.

Ingatan itu berakhir ketika suara burung berkicau merdu dan matahari makin meninggi, menandakan ia masih setia menunggu Cori di teras rumahnya, sudut favorit Ben.

Kepalanya kemudian dipenuhi oleh bunda kesayangan dengan penyataannya tentang bibit, bebet, bobot calon istrinya kelak.

"Haaah." Desahan Ben mengusik ketenangan Cori.

"Mau berapa lama Abang natap aku begitu?"

Tahu-tahu mata merah Cori mengunci mata pria yang juga sedang menatapnya, walaupun Cori tahu mata teduh itu sedang menerawang entah ke mana.

"Kamu nggak tidur?"

"Mana bisa tidur di sini, Abang?" Cori menegakkan punggungnya dan menghadap si tetangga nomor 4. "Apalagi dilihatin Abang kayak gitu. Abang mau ke mana?" tanya Cori sekali lagi.

"Rencananya mau ajak kamu ke Alun-Alun Engku Putri."

"Haruskah? Di Minggu pagi yang cerah dan cuaca yang mendukung untuk bergelung di dalam selimut? Abang yakin? Hari Minggu adalah jam tersibuk aku untuk—"

"Untuk tidur seharian. Aku tahu," sambung Ben tak sabaran. "Tapi apa nggak sayang melewatkan Minggu pagi yang luar biasa ini dengan sedikit bergerak, menghirup udara segar, menyerap vitamin D, dan menghabiskan waktu bersama ... Abang?"

Persuasi yang lagi-lagi berhasil untuknya. Ia tidak bisa menolak Ben!

"Iya, Iya," jawab Cori setengah menit kemudian. "Dan setelah kita berolahraga, aku ingin ajak Abang ke suatu tempat. Aku jamin Abang bakalan ngiler lihat isi tokonya."

"Siap, Nyonya!"

Asalkan dirinya masih dilibatkan dalam rencana si Gadis Ketumbar, Ben akan mematuhinya tanpa banyak tanya.

Bersambung


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Are We Friends?
3058      942     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2524      970     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Faith Over Fear
211      149     1     
True Story
Menjelajah dunia dengan Keyakinan
Love Warning
1324      581     1     
Romance
Dinda adalah remaja perempuan yang duduk di kelas 3 SMA dengan sifat yang pendiam. Ada remaja pria bernama Rico di satu kelasnya yang sudah mencintai dia sejak kelas 1 SMA. Namun pria tersebut begitu lama untuk mengungkapkan cinta kepada Dinda. Hingga akhirnya Dinda bertemu seorang pria bernama Joshua yang tidak lain adalah tetangganya sendiri dan dia sudah terlanjur suka. Namun ada satu rintanga...
Ketika Sang Mentari Terbenam di Penghujung Samudera
153      130     2     
Short Story
Tentang hubungan seorang ayah dan putranya yang telah lama terpisah jauh
I Hate My Brother
360      254     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
Para Pencari Keadilan
841      575     1     
Mystery
Cerita ini merupakan terinspirasi dari kasus yang sekarang penomenal.
The Maze Of Madness
4004      1592     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
29.02
387      186     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
4375      1584     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...