Read More >>"> Ben & Cori (32. Ini, nyata? ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

"Tentu. Aku sold out-nya sama si Gadis Ketumbar yang sedang kebingungan ini."

Aku? Si gemuk yang nggak cantik-cantik amat ini? protesnya tak percaya di kepala. 

"Ini maksudnya apa? Abang, tolong jangan bikin aku bingung." Sendi tulangnya melemas, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Cori ... takut kecewa dengan kesimpulannya sendiri. 

"Aku sukanya kamu. Bukan Agni. Bukan perempuan lain. Bukan dia yang entah siapa."

"Tapi ... kenapa aku?" Gadis itu menjauhkan diri dari piring kwetiaw goreng dan fokus seratus persen pada Ben. Cori, butuh penjelasan yang sangat masuk akal!

"Karena aku ingin menjalani hubungan yang lebih serius dengan anak Papa Sudjana. Aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar teman kantor, teman SMA, dan tetangga. Aku ingin kamu seutuhnya. Jadi ... istriku."

Gadis itu terkesiap dan membekap mulutnya.

Istri Abang? Ini, beneran? Ini, nyata? batinnya tak percaya. 

"Abang..."

Cori menahan napas dan tak mampu bergerak seinci pun ketika Ben menjamah jemarinya yang bengkak satu per satu.

"Kayaknya kita perlu ke toko perhiasan untuk meng-adjust ukuran cincinnya supaya pas di jari manis kamu."

Dalam sekejap pandang, cincin yang sedari tadi Ben sandingkan ke semua jemari telah bersarang dengan manis di jari terkecilnya.

"Cincin ini sudah berada di tangan pemiliknya yang baru. Simpan baik-baik untukku, Coriander Romaine Sudjana," ucapnya pelan, lembut, dan langsung ke dalam bola mata si tetangga nomor 5.

Cori tak lepas menatap sendu jari kelingkingnya. Tetap indah, meski bukan di tempat yang tepat. 

"Kalau kamu masih belum percaya, aku akan menawarkan sekali lagi sebuah proposal kerja sama seumur hidup dengan keuntungan seumur hidup juga."

Ini dia! Cori menunggu-nunggu Ben mengungkit soal proposal misterius ini. 

"Baiklah. Apa proposal yang sering Abang janjikan itu?"

"Judul proposalnya, 'Menikahlah denganku, Cori'."

Lidahnya mengelu karena saking kagetnya. Tidak pernah terpikirkan olehnya kata 'menikah' keluar dari mulut Ben. 

"Abang..."

"Begini gambaran umum proposalnya." Ben meraup tangan kanan Cori dan mengurungnya dalam geganggamannya. "Jadi istriku, jadi ibu untuk anak-anak kita nanti. Kalau dikasih rezeki anak, ya syukur. Tapi kalau enggak dikasih, tetap bersyukur."

Senyum Ben di akhir kalimat membekukan otaknya dan melenyapkan suaranya. Sebab, baru saja ia diberi guyuran khayalan yang sangat indah. Cori sempat membayangkan sebentar saja bagaimana jikalau ia menjadi Nyonya Adriansyah. Hanya khayalan, tak mau berharap lebih.

Karena Cori diam saja, Ben melanjutkan. Ia meremas tangan Cori yang mendingin.

"Keuntungan dunia dan akhirat akan kita raih bersama hanya jika aku menjadi imam kamu, dan kamu menjadi makmumku dengan segala kekurangan dan kelebihan kita. Aku manusia yang nggak sempurna, Cori. Akan tetapi, aku mau belajar. Syarat proposalku hanya ini: kita berdua harus mau sama-sama belajar menjadi pribadi baik untuk keluarga kita nanti. Belajar itu luas cakupannya. Belajar jadi istri, jadi suami, jadi orang tua, belajar berumah tangga, belajar mengendalikan emosi, belajar bertanggung jawab, dan belajar-belajar yang lain."

Cori menekan dadanya dengan tangan yang bebas. Dentamannya terasa kencang di telapak tangannya, malah semakin bertabuh cepat.

"Abang ... yakin denganku bisa memberikan keuntungan dunia dan akhirat?"

"Ya, jika niatnya memang untuk ibadah. Itu kata salah seorang ustadz yang pernah aku dengar," jawabnya tegas.

Sungguh, transaksi yang amat besar dan berat konsekuensinya. Laporan pertanggungjawabannya langsung ke Tuhan, batin Cori.

"Abang ... serius mau sama aku?" Suaranya mulai bergetar.

"Tidak pernah lebih serius daripada hari ini, seumur hidupku," ucapnya yakin.

Bulir-bulir air mata turun tanpa bisa dicegah. Cori sampai menarik tangannya dan menyembunyikan wajahnya dalam kedua telapak tangan. Malu, sedih, bahagia, semua bersorak serentak dalam dadanya, membuat gadis itu terisak tertahan, tak mau membuat pengunjung Angkringan Onthel tertuju padanya.

"Cori! Kamu nggak apa-apa? Aku buat kesalahan, ya? Maafin aku. Hm? Cori, please stop nangis," mohon Ben.

Justru pria di depannya berubah panik. Padahal barusan ia melamar Cori, menjanjikan masa depan, dan ingin membahagiakannya. Kenapa si Gadis Ketumbar menggemaskan ini justru menangis? Ben benar-benar tidak mengerti wanita. 

"Aku ... pasti ... lagi mimpi," ucapnya tergugu, masih di dalam telapak tangannya.

"Kamu nggak lagi mimpi," ucapnya lembut.

Pelan, Ben menarik kedua tangan Cori lalu mengeringkan air mata yang masih saja mengalir di pipi si chubby dengan tisu. Cori memasrahkan diri.

"Tapi Abang tahu konsekuensi menikah denganku, kan?"

"Konsekuensi apa?" Keningnya berkerut samar.

"Pertama, aku gendut." Cori tahu Ben akan menyela, jadi Cori cepat-cepat bicara lagi. "Apa kata mereka kalau kita jalan bareng? Secara fisik aku enggak pantas bersandingan dengan ... Abang."

"Mereka siapa?" kesal Ben.

"Siapa aja," ucapnya putus asa.

Percayalah, aku nggak peduli. Next."

"Tapi—"

"Coriander," potongnya tak sabar. Ben tidak mau berlama-lama dengan alasan 'gendut' yang tidak masuk akal.

Cori memutar bola matanya. Tidak bisa semudah itu untuk percaya kalau mantan seorang Benjamin Malik Adriansyah sekelas Agni.

"Mas Arga meninggalkanku demi Kak Riri."

"Si berengsek itu bodoh karena meninggalkan wanita seperti kamu. Kamu mempunyai segalanya, Cori. Kamu baik, cantik, cerdas, punya prinsip, meski kadang-kadang aku suka gemas dengan insecure kamu yang enggak ketulungan. Aku punya banyak PR bikin kamu lebih pede menghadapi dunia. Oh, last but not least, masakan kamu enak. Yang terakhir adalah bonus." Ben tersenyum bangga untuk kriteria terakhir.

Mau tak mau gadis itu menarik kedua ujung bibirnya. Sangat tipis. Itu sudah cukup bagi Ben.

"Baiklah. Abang menang." Cori menyerah.

"Good. Yang ketiga?"

"Yang ketiga ... kalau kita menikah nanti, Papa nggak akan bisa menikahkan aku. Lalu semua orang akan tahu aku anak..." Cori tak sanggup melanjutkannya.

"Kamu ... sudah yakin dengan itu?"

Lihat, lihat. Wajah meragu Abang sudah mengatakan semuanya, cebik Cori dalam kepalanya.

"Ya. Karena aku dengar langsung dari kedua orang tuaku."

Cori sampai berkedip berkali-kali, berusaha memercayai penglihatannya. Sebab, Ben baru saja tersenyum, senyum teduh yang membuat gundahnya menghilang seketika dan beban dipundaknya menjadi seringan bulu.

"Lalu kenapa? Masa lalu kedua orang tua kamu enggak memengaruhi keputusanku untuk tetap mengajak kamu menikah, Cori," ucapnya lembut. "Aku sudah memikirkannya masak-masak setelah kita teleponan terakhir kali. Aku menerima kamu dengan segala yang melekat denganmu. Baik dan buruknya kamj sudah sepaket aku terima sebagaimana kamu nanti juga menerima baik dan burukku."

"Apa nanti kata orang tentang kita?"

"Dengar. Aku menikah bukan karena mendengar kata orang. Dengan siapa pun Aku menikah, keputusan ada di tanganku."

"Lalu... Bunda dan Boni?"

Ben membeku sekejap. Detik berikutnya ia langsung memasang wajah serius, meski hatinya dilanda kalut. 

"Bunda dan Boni adalah urusanku. Aku yang akan membuat mereka mengerti mengapa aku memilih kamu. Aku akan memperjuangkan kamu, Coriander."

Meski Bunda nggak setuju, sambung Ben dalam hati. 

"Oh Abang..."

"Selagi apa yang aku lakukan tidak melanggar aturan agama dan hukum, aku tidak peduli. Rasa di sini..." Ben menunjuk dadanya. "... tidak akan berubah. Aku tetap yakin untuk menjadikan kamu istriku."

***

"Ini, beneran?" tanyanya pada refleksi dirinya sendiri pada cermin meja rias.

Pertanyaan itu sudah bergema ratusan kali di kepalanya semenjak Ben mengatakan isi hatinya.

"Tolong pikirkan baik-baik, Coriander. Aku nggak akan minta jawabanmu malam ini juga. Kalau kamu sudah siap, maka jawablah aku. Tapi jangan lama-lama." Kata-kata itu ditutup dengan senyum manis Ben yang memikat, seperti biasa.

Permohonan Ben di depan pintu rumahnya tadi bagai pita kaset rusak di gendang telinganya.

"Bang Ben bukannya tadi ngelamar aku?" katanya bermonolog.

Si Gadis Ketumbar menggenggam semua helai rambutnya dan menariknya ke atas seakan sedang membuat model pony tail dan menahannya dengan tangan kiri. Ia mematut-matut wajahnya dari segala sisi.

"Kok, Abang suka padaku? Aku cantik dari mananya? Lihat pipi itu. Bulat dan menggemaskan," sarkasnya.

Lalu Cori menjatuhkan rambutnya dan merapikannya dengan jemari bengkaknya.

"Tentu aja menurun dari orang tuaku." Cori tertawa sendiri.

"Papa itu gantengnya mirip Ray Sahetapy waktu muda. Tuanya menakutkan seseorang. Bikin Mas Arga kicep." Lagi-lagi Cori tertawa.

Arga? Cori tak ada rasa lagi ketika menyebut nama itu. Pria itu tidak akan memengaruhi hidupnya lagi!

"Dan Mama," Tiba-tiba Cori berubah sendu. "cantiknya nyaingin Desy Ratnasari waktu muda," gumamnya.

"Tapi ... aku nggak sempurna. Aku lahir sebelum wanita cantik dan pria tampan itu menikah."

Kedua bahunya melorot dan segala ruh semangat yang ia himpun tadi terbang menjauhinya.

Karena tak jua menemukan ketenangan batin, Cori menyelipkan lagi cincin bermata biru di jari kelingkingnya—hanya jari kelingking yang bisa dimasukkan cincin indah itu.

Sebuah pesan ia kirim pada tetangga lima langkahnya.

Abang serius mau memperistri aku?

Dalam hitungan detik, jawaban dari Ben masuk.

Iya. Salat Istikharah gih, kalau masih ragu. Karena aku juga melakukan salat yang sama.

Tak sadar garis senyum Cori tertarik ke kiri dan ke kanan.

"Ya, mungkin ini jawaban yang aku cari dari tadi."

***

Sudah tiga hari sejak Ben melamarnya di bawah cahaya lampu taman lesehan angkringan. Tanda-tanda si tetangga nomor lima memberi jawaban belum muncul jua. Ben jadi gelisah tak menentu. Ternyata jawaban Cori sangat memengaruhi kualitas pekerjaannya.

"Ada masalah, Lik?"

"Enggak ada, Buk," katanya pada Farida.

"Itu kenapa laporan pemeriksaan Cabang Batu Aji nggak pindah-pindah halamannya?"

Otomatis Ben menunduk pada sebundel kertas di tangannya. "Ini ... Saya masih memikirkan balasan yang tepat untuk hasil pemeriksaannya, Buk. Kelalaian. Kasus klise yang sering dilakukan penaksir. Penaksirnya sangat ceroboh, Buk. Penyimpanan lima barang jaminan perhiasan bisa nyasar ke kabinet laporan. Kan bahaya, Buk. Kalau hilang dia sendiri yang akan mengganti kerugiannya," kilah Malik panjang lebar sok serius.

"Aaah, si Mega itu. Iya. Tolong buat balasan yang lengkap. Nanti saya juga akan sampaikan ke kepala cabangnya. Biar di-training lagi penaksirnya."

Diam-diam Ben menghembuskan napas lega. 

"Lik, jadi kamu beneran sold out? Taken?" tanya Farida out of the blue.

Walaupun terkesan kepo dan Ben tidak terlalu menyukainya, tapi pertanyaan Farida tetap ia jawab.

"Alhamdulillah saya sudah, Buk."

"Tapi kayaknya Agni nggak begitu, deh. Tempo hari dia seneng banget waktu saya dan Pak Yusuf jodohin sama kamu lagi."

Ben memutar bola matanya diam-diam. "Urusan hati Agni bukan urusan saya lagi, Buk," ungkapnya jujur.

Farida tersenyum lebar. "Terus siapa orangnya?"

"Nanti Buk Farida akan terima jadi undangannya aja."

Yaaa, itu pun kalau Cori menerima lamaranku, batinnya

Memikirkannya saja membuat usia Ben berkurang sepuluh tahun. Sungguh penantian tiga hari yang berat dan panjang. Ben tidak sabar. 

Farida tertawa lepas. "Sok-sok misterius. Ya udah. Semoga langgeng. Padahal mau saya jodohin sama anak saya."

Ben hanya bisa nyengir.

Daripada pertanyaan Farida melenceng makin jauh, Ben memutuskan turun. Ia ingin melihat si Gadis Ketumbar bekerja. Percuma membaca laporan-laporan tebal itu kalau pikirannya hanya dipenuhi seseorang di lantai satu.

Baru saja kakinya menapaki tangga terakhir lantai satu, Tonggo si sekuriti ramah memanggil Ben dengan suara khasnya yang lantang beserta logat dari Sumatera bagian utara yang kental.

"Pak Malik! Pas kali Bapak turun," katanya blak-blakan.

"Ada apa, Pak?"

Tonggo kemudian mencari sesuatu di antara tumpukan amplop yang ia pegang.

"Ini. Surat untuk Bapak. Baru datang lima menit yang lalu."

Amplop coklat itu berpindah tangan. "Makasih, Pak."

"Sama-sama, Pak Malik." Tonggo beralih ke surat yang lain. "Buk Cori!"

"Ya Pak Tonggo?" Cori balas berteriak tanpa menoleh.

Mata Ben hanya tertuju pada si Gadis Ketumbar yang rambutnya dicepol minimalis. Tanpa pikir panjang, pria itu langsung melangkahkan kaki ke meja front liner. Ia menarik kursi kosong ke sebelah tetangga nomor lima dan mengenyakkan pantat di sana. 

"Pak Malik?!" Jantungnya gonjang ganjing berdebar tak keruan gara-gara kemunculannya Ben. Apa karena tahu bahwa Ben menyukainya? Atau karena parfum maskulin Ben yang segar menari-nari di rongga hidungnya? Atau jawaban yang belum ia persiapkan? Cori tak tahu pasti.

"Sibuk?"

"E-enggak."

Cori memilih menoleh ke Tonggo demi kesehatan jantungnya. Padahal ia hanya tidak sanggup menghadapi tatapan maut Ben.

"Ada surat untuk Buk Cori. Ini, Buk."

"Makasih, Pak Tonggo."

"Sama-sama, Buk. Wah, sama-sama dapat surat. Jangan-jangan jodoh? Ha ha ha..." Setelah berceletuk tak tahu diri, Tonggo berlalu meninggalkan dua anak manusia itu yang ternganga seperti orang bodoh.

"Ya, kali aja." Winnie ikut-ikutan memercik bensin. Akibatnya, ia mendapat tatapan menyipit penuh bara api dari wanita (pura-pura) garang di sebelah kirinya. 

"Ssst!"

Winnie juga tidak mau tahu diri dan berbisik, "Gue mau pajak jadian." Kemudian si Kasir pura-pura sibuk dengan komputernya. 

Si Penaksir Cabang Mega Legenda hanya bisa geleng-geleng kepala. Matanya menangkap nama si pengirim surat: Arga. 

Ngapain Mas Arga pake kirim surat segala? Cori membatin kesal. 

"Kapan aku bisa bicara sama Papa? Biar kamu bisa traktir Winnie," bisiknya amat lirih.

"Abang! Nggak sekarang." Ben dipelototi.

"Lalu kapan?" Ben malah memelas. 

Oh Tuhan. Ben seperti anak anjing menggemaskan kalau sudah memelas. Ingin sekali Cori berkata IYA. Namun, Cori masih butuh sedikit waktu lagi untuk memantapkan hati. Mungkin setelah dua atau tiga jam sesi brain storming dengan Sudjana. 

Sambil menunggu jawaban Cori, Ben mencari nama si pengirim surat.

"Hanari Anjani?" gumam Ben. Tak pelak Cori langsung menolehkan kepalanya.

"Dari Kak Riri?" bisik Cori.

Ben mengangguk lalu mengeluarkan sebuah amplop berwarna lavender yang disimpul dengan tali jerami di tengahnya. Urusan 'jawaban' jadi tak tersentuh lagi. 

"Undangan pernikahan Riri," ucap Ben lirih.

Mereka saling bertukar pandang penuh makna.

Kata 'undangan' membuat Cori curiga dengan amplop Arga. Ia buru-buru mengeluarkan isi amplopnya.

“Undangan ... yang sama." Cori tercekat.

"Dari siapa?!" desak Ben.

"Mas Arga."

Bersambung


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Merelakanmu
406      288     1     
Short Story
Mencintaimu itu mudah apa merelakanmu juga mudah?
SENJA
505      390     0     
Short Story
Cerita tentang cinta dan persahabatan ,yang berawal dari senja dan berakhir saat senja...
Senja Kedua
3179      1210     2     
Romance
Seperti senja, kau hanya mampu dinikmati dari jauh. Disimpan di dalam roll kamera dan diabadikan di dalam bingkai merah tua. Namun, saat aku memiliki kesempatan kedua untuk memiliki senja itu, apakah aku akan tetap hanya menimatinya dari jauh atau harus kurengkuh?
The Last Mission
560      329     12     
Action
14 tahun yang silam, terjadi suatu insiden yang mengerikan. Suatu insiden ledakan bahan kimia berskala besar yang bersumber dari laboratorium penelitian. Ada dua korban jiwa yang tewas akibat dari insiden tersebut. Mereka adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai peneliti di lokasi kejadian. Mereka berdua meninggalkan seorang anak yang masih balita. Seorang balita laki-laki yang ditemuka...
SESUATU YANG TELAH PERGI
556      408     5     
Short Story
Hargailah sesuatu yang ada,karna sesuatu yang telah pergi tak mungkin untuk kembali
Power Of Bias
1058      608     1     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
LASKAR BIRU
7293      2023     6     
Science Fiction
Sebuah Action Science-Fiction bertema Filsafat tentang persepsi dan cara manusia hidup. Tentang orang-orang yang ingin membuat dunia baru, cara pandang baru, dan pulau Biru. Akan diupdate tiap hari yah, kalau bisa. Hehehe.. Jadi jangan lupa dicek tiap malamnya. Ok?
Campus Love Story
6094      1508     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Asoy Geboy
4208      1279     1     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
FORGIVE
1861      650     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.