Read More >>"> Ben & Cori (27. Langit Natuna) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Hari minggu kelabu.

Bukan cuacanya. Tapi hati seorang gadis yang sedang merana dirundung lara.

Cori baru saja selesai mengadu pada Tuhan selepas salat subuh. Ia tidak sanggup menahan bebannya sendirian.

Mau mengadu pada Sudjana? Tidak. Ia tidak mau. Cori begitu menyayangi Sudjana. Cori tidak mau papanya tercinta syok karena wanita yang telah meninggalkannya hidup bahagia. Dan lagi, ia tidak mau Sudjana tahu wanita jahat yang meninggalkan mereka berdua hidup berdekatan dengan dengan puyrinya. Demi Tuhan. Perempuan itu telah menyakiti papanya tersayang. 

Sudah cukup ia membebani papanya dengan berita batal menikah. Karena Cori yakin, bila kabar ini sampai ke telinga Sudjana, papanya kembali berlari ke Batam dalam kubangan kekhawatiran.

Tiba-tiba, satu wajah dengan senyum menawan muncul di benaknya. Wajah yang begitu murung ketika berpamitan padanya sebelum berangkat ke Bandara Hang Nadim.

Tidak. Ben juga tidak boleh tahu. Cori ... belum siap membuka kebenaran dirinya di depan pria itu. Ya, mengadu pada Tuhan adalah jalan terbaik. 

Menjalani hari seperti biasa setelah menemukan toko Romaine Bakery tidaklah mudah. Setiap langkah, setiap helaan nafas, membuat trauma merasa ditinggalkan kembali menguasainya. Rasa tidak diinginkan mengerubungi jiwanya hingga membuat ia tak bisa bernapas dengan normal. 

Apa ada mantan mama? Atau ... mantan anak? Andai Cori bisa membuat status itu. Masalahnya, ia lahir ke dunia lewat rahim Mutia. Rambut lurusnya berasal dari Mutia. Kepintarannya juga menurun dari Mutia. Apa ia mesti bersyukur atas semua kebaikan yang ada pada dirinya? 

Mukena dilepas. Ia rebahkan dirinya di atas sajadah, menutup mata, dan mencoba melupakan nasib jeleknya barang sebentar. Namun, dua kata yang ingin ia lupakan kembali terngiang. 

Anak haram. 

Cori telah mengubur istilah itu dalam-dalam dalam kotak memorinya dan membuang kuncinya. Caranya menguburnya adalah dengan makan, bekerja di dapur papanya sampai mampus, dan mulai bekerja di PT. Sejahtera Bersama. Ditambah, sedikit banyaknya kehadiran Arga cukup membuatnya memiliki harapan untuk diterima lagi sebagai manusia normal, walaupun sesudahnya Arga pula yang menghempaskan harapan itu.

"Haaah."

Mata gadis itu memanas, membuat kerongkongannya tersumpal kenyataan busuk. Lama-kelamaan ia terisak, menumpahkan kesedihan yang terpendam melalui linangan air mata yang membasahi sajadah.

Suara ponsel menggema di kamar, ikut membersamai tangisan diamnya. Cori tak bersemangat meraih gawainya di atas nakas.

"Bang Ben video call?"

Cepat-cepat Cori duduk dan hapus sisa-sisa menyedihkan di wajah bengkaknya. Kemudian sedikit sentuhan sisiran jari di rambutnya yang kusut masai. Setelah berdehem, mengatur raut wajahnya sedemikian rupa, gadis itu menggeser tombol hijau.

Yang muncul di layar Cori bukan wajah Ben, tapi pemandangan menakjubkan yang langsung memanjamakan mata sembab Cori: langit Natuna yang sedang memerah dibalik bongkahan batu-batu amat besar yang tersebar sejauh mata memandang.

"Indah, ya?" kata suara itu.

"Iya." Sangat indah, ulangnya dalam hati. 

"Kamu pernah ke Natuna?"

"Belum."

"Kalau begitu, suatu saat nanti aku mau ajak kamu ke sini. Menikmati sunrise di awal hari, lalu menjelajahi pantai dengan batu-batu granitnya yang sangat besar. Makan latoh silong di tepi pantai, lalu wisata kuliner seafood sampai perut begah. Kemudian menikmati apa pun yang kita temui selama dalam perjalanan. Terakhir, kita akan menutup hari dengan sebuah sunset megah di tepi pantai," urai Ben sepenuh hati.

Kita. Terdengar sangat indah... bersit Cori 

Dan kalimat itu terus Cori ulangi hingga tak sadar, bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis selama beberapa detik, dengan hati diremas pedih.

Ada apa dengan 'kita'? Apa Ben mulai memasukkan dirinya dalam rencana-rencana hidupnya? Apa dirinya mulai penting bagi Ben? Tapi, tubuhnya gendutnya bagaimana? Apa kata Ben kalau tahu ia lahir di luar penikahan sah orang tuanya? Nasabnya tidak segaris dengan … Sudjana. 

Karena Cori tak jua bersuara, Ben memutuskan mencari wajah yang dia rindu sejak menjejak di Ranai, ibukota Kabupaten Natuna. Dan yang Ben temukan adalah...

"Cori, kamu ... menangis."

"A-apa?"

Ketika ia sadar, langit Natuna sudah berganti menjadi wajah seorang pria tampan yang terlihat sangat khawatir. Cori seka air matanya dengan punggung tangan cepat-cepat.

"Mau berbagi denganku? Biasanya membantu mengurangi beban di dada," ucapnya lembut.

Apa Ben bisa dipercaya? Atau, Ben malah lari pontang-panting setelah mengetahui sejarah hidupnya? Pertanyaan demi pertanyaan melompat bagai bunga api di benak Cori. 

Kita tidak akan tahu kalau tidak bertanya, kan? Maka dari itu, Cori akan memeriksanya sekarang.

"Bang, sebenarnya aku ..." Kerongkongannya lagi-lagi tercekat, seperti ada gulungan kaus kaki di kerongkongannya.

"Ya?"

Ben tersenyum, menunggu dengan sabar, tanpa ada tendensi memaksa.

"Kedua orang tuaku ..." Suara Cori mulai bergetar.

Kali ini Ben diam-diam menelusuri ekspresi Cori yang kebingungan mencari kata. Dia menatap bola mata si Gadis Ketumbar yang berkaca-kaca karena sedang menahan luapan emosi yang sebentar lagi siap meledak.

"Sebenarnya aku anak yang ... yang lahir ... Ah, maaf..."

Sedetik kemudian, layar gawai Ben berganti cepat dengan gambar langit-langit sebuah kamar, membiarkan Ben sendirian dalam sambungan video dua arah ini. Sebab, Cori baru saja melempar ponselnya ke atas sajadah. Ia tidak mau Ben melihat wajah nelangsanya.

Cori terisak-isak menahan tangis di dalam kedua lututnya entah berapa lama. Ternyata ia tidak seberani pikirannya mengeluarkan isi kepala dengan mudah. Cori malu pada Ben yang lagi-lagi melihatnya rapuh, jelek, menangis seperti anak kecil. Dan yang lebih penting, ia belum sanggup dengan apapun reaksi yang akan Ben beri. 

Apakah 5, 10 menit? Cori tak tahu berapa lama ia menangis. Sejujurnya, setelah meluapkan emosinya, hatinya sedikit selesa seiring dengan cahaya matahari yang mengitip melalui celah jendelanya sejak sunrise di Natuna.

"Sunrise di Natuna?" gumamnya. 

Cori mengelap wajahnya yang basah dengan lengan baju, kemudian menghirup oksigen dalam-dalam agar paru-parunya terisi udara pagi yang segar dan menghembus pelan karbondioksida dari mulutnya demi menghalau kabut dalam kepala.

"Sepertinya aku memang harus ke Natuna bersama Abang. Tunggu. Natuna? Abang?" Cori terperanjat sendiri. "Astaga! Abang!"

Ternyata ponselnya masih menyala di atas sajadah dan segera Cori cari wajah pria tampan tadi.

"Abang, maaf," mohonnya. "Aku tadi enggak bermaksud ninggalin Abang sendirian. Aku—"

"Nggak apa-apa, Cori. Jangan panik, okay?" sela Ben. 

"Tapi aku jadi anggurin Abang."

Ben terkekeh. "Aku malah seneng, kamu nggak murung lagi. Udah mendingan?" tanyanya lembut.

Cori meringis malu. "Udah. Ya ampun. Kenapa nggak dimatiin aja video call-nya?"

"Sepertinya kita belum selesai bicara. Dan aku pikir kamu butuh waktu, Jadi..." Ben mengangkat bahunya samar.

Mau tak mau, Cori mendesah lega. "Terima kasih atas waktunya. Aku jauh lebih baik sekarang."

Ben tersenyum. "Syukurlah. Itu yang penting."

"Tadi itu... Oh Tuhan. Memalukan. Maaf, Abang lihat aku nangis lagi untuk hal yang nggak penting."

Seketika wajah pria itu mengernyit tidak setuju. "Jangan bilang nggak penting, Cori. Aku tahu kamu nggak baik-baik aja. Aku menghormati kesedihanmu. Sungguh. Aku malah senang sepertinya sekarang kamu jauh lebih baik walaupun aku nggak punya andil bikin kamu tenang."

"Abang salah." Cori tak terima. "Sunrise-nya, video call-nya, dan ... Abang. Kombinasi terbaik pagi ini untuk bikin dadaku lega. Walaupun aku belum bisa mengeluarkan isi hatiku, tapi terima kasih," ucapnya sungguh-sungguh. 

Ben menggaruk pelipisnya asal. Pujian barusan bikin lelaki ini salah tingkah.

"Sama-sama. Dan aku juga berterima kasih karena kamu mau meluangkan waktu menikmati matahari Natuna bersamaku. I wish you were here, Cori," ucapnya pelan di akhir kalimat. 

"Kenapa?" tanyanya lugu.

"Karena berdua lebih baik daripada sendiri."

"Ha?"

"Kamu masih ingat tentang proposalku dengan keuntungan seumur hidup, kan?"

Ben melihat Cori memutar bola matanya. Dengan begitu, Cori terlihat lebih hidup sekarang.

"Abang mempersiapkan proposal apa, sih?" Rasa penasaran Cori lama-lama makin menggunung.

Ben tersenyum misterius. "Tunggu aja. Setelah aku sampai di Batam, kamu harus bersiap-siap untuk menerima proposalku, Coriander Romaine Sudjana."

Cori terkekeh. "Can't wait, Abang..."

***

Baru kali ini Mutia berani meminjam uang ke lembaga keuangan pemerintah. Sisa saldo di tabungannya benar-benar mengenaskan, sebab ia baru saja membeli oven baru dengan kapasitas lebih besar. Dan tepat setelah oven itu dipasang di dapurnya, Miko, si anak satu-satunya menelepon butuh uang untuk membeli buku. Mutia harus putar otak agar mendapatkan uang dengan cepat. Kini saatnya ia membayar utang.

Wanita paruh baya itu membaca lagi kertas transaksi tempo hari untuk menghitung berapa biaya pelunasan yang akan dibayar nanti—sesuai dengan ketentuan yang tertera pada kertas transaksi. Sebab, ia baru saja menerima uang panjar pemesanan kue pengantin. Mutia tak sabar ingin bebas dari utang.

Namun, matanya malah tertarik untuk membaca sebuah nama unik yang tercetak tebal di sudut kiri bawah kertas tersebut.

"Coriander Romaine ... Sudjana, SE?"

Mutia terkesiap. Tiba-tiba tangannya gemetar, membuat kertas yang dia pegang ikut berguncang.

Sekali lagi nama Coriander bergema di kantor kecilnya. Kali ini dibacanya lebih pelan, berharap ia salah baca.

"Coriander ... Romaine ... Sudjana?"

Harapan Mutia tidak terwujud, karena nama itu mau berapa kali pun dibaca, tidak akan ada yang berubah.

Jantungnya bergemuruh gelisah. Mutia bangkit dari kursinya, melangkahkan kaki tak tentu arah di kantor kecilnya sambil meraup segenggam rambut dari kepala yang mulai memutih. Tangannya yang bebas menekan dada, hendak meredam dentaman yang tak kunjung melambat.

"Ingat, namanya Coriander Romaine Sudjana, Ti. Gabungan hal kesukaan kita. Sebab, dia ada karena kita. Benih kita berdua."

Ingatan usang itu terlintas dalam kepalanya. Pelan tapi pasti, keringat dingin mulai mengalir di pelipis.

"Coriander. Dia ... anakku?"

Pening mendera wanita itu. Kakinya tiba-tiba lemas menyangga tubuh. Mutia tak sanggup berdiri tegap, seolah dengan nama itu saja telah menyerap habis energinya. Tertatih-tatih Mutia berjalan ke sofa dan menghenyakkan pantatnya tanpa tenaga.

"Mas Djana ..."

Kerongkongannya tercekat, matanya mengabur dengan cepat.

Sore itu, Mutia menangis sejadi-jadinya atas sebuah nama yang ia sendiri tidak ikut andil merangkainya. Sebuah nama yang tidak pernah ia bayangkan dalam hitungan detik membuatnya menjadi manusia paling hina dan paling buruk yang hidup di muka bumi.

Sepertinya, Mutia tidak akan bisa bebas dari utang hak darah dagingnya ... Selamanya.

Bersambung


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PurpLove
237      212     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
The Final Journey
384      263     5     
Short Story
Will they reached the top of the mountain with Fay's ashes?
Loker Cantik
500      377     0     
Short Story
Ungkapkan segera isi hatimu, jangan membuat seseorang yang dianggap spesial dihantui dengan rasa penasaran
Seteduh Taman Surga
1377      568     3     
Romance
Tentang kisah cinta antara seorang santriwati yang barbar dan gemar membuat masalah, dengan putra Kyai pengasuh pesantren.
LOVE, HIDE & SEEK
467      311     4     
Romance
Kisah cinta antara Grace, seorang agen rahasia negara yang bertemu dengan Deva yang merupakan seorang model tidak selalu berjalan mulus. Grace sangat terpesona pada pria yang ia temui ketika ia menjalankan misi di Brazil. Sebuah rasa cinta yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali saat Grace mulai berusaha menyingkirkan pria itu dari ingatannya. Akankah me...
Motor yang tertukar
353      224     1     
Humor
memalukan memang.
Kesempatan
281      176     0     
Short Story
Pada dasarnya, manusia itu penakut. Seringkali menghindari situasi yang membuat dirinya merasa tidak nyaman. Pada dasarnya, manusia itu selalu menginginkan kebahagiaan atas dirinya sendiri. Dan seringkali melupakan kebahagiaan orang lain.
Foods
385      278     4     
Short Story
You Can
1050      662     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
She Is Mine
311      199     0     
Romance
"Dengerin ya, lo bukan pacar gue tapi lo milik gue Shalsa Senja Arunika." Tatapan Feren makin membuat Shalsa takut. "Feren please...," pinta Shalsa. "Apa sayang?" suara Feren menurun, tapi malah membuat Shalsa bergidik ketakutan. "Jauhin wajah kamu," ucapnya. Shalsa menutup kedua matanya, takut harus menatap mata tajam milik Feren. "Lo pe...