"Agni! Kamu kenapa?" Ben menjauhi meja dan Cori.
"Aku ... aku hampir di lecehin sama supir taksi," ucapnya tergugu menahan tangis.
"Astaga! Kamu di mana sekarang?"
Agni menyebutkan alamatnya. Tapi sayang, Ben tidak tahu di mana wanita itu berada. Pengetahuannya akan tempat-tempat baru di Batam amat sangat kurang. Ben bertekad setelah ini akan berguru pada seseorang yang lebih senior darinya mengenai Batam: tentu saja Coriander, tetangga chubby-nya.
"Bisa share lokasi kamu? Kirim padaku sekarang."
"Oke."
"Cari tempat ramai, Agni. Aku akan ke sana secepat yang aku bisa. Mengerti?"
"Ya."
"Bagus."
"Ben..."
"Hm?"
"Cepat datang. Aku ... takut."
"Ya, tentu."
Klik.
"Tuhan, semoga dia baik-baik saja," gumam Ben menuju mejanya bersama Cori.
Sementara itu di waktu yang sama, Cori diserang segerombolan emosi yang membuat jiwanya awut-awutan. Tidak rela, khawatir, kecewa, sedih, dan deg-degan tak menentu muncul sejak Ben menerima telepon Agni. Ia tidak suka Ben bicara dengan Agni untuk alasan apapun. Ah, tidak mungkin perasaan aneh ini ... tandanya ia cemburu, kan?
Cori ingin menyangkalnya, tapi ia juga tidak bisa mengingkari ketika dirinya tidak menyukai Ben masih berhubungan dengan mantan calon istrinya.
Sisa makanan yang tak termakan sudah masuk ke dalam tasnya. Cori juga sudah menyandang tas ranselnya dan bersiap meninggalkan Angkringan Onthel, dengan atau tanpa Ben! Saat akan 'kabur', Ben terburu-buru berjalan ke arahnya dengan wajah kehilangan darah.
"Cori, aku butuh bantuan kamu."
"Untuk?"
"Mencari alamat Agni."
Hah!
"Untuk apa aku membantu Abang mencari alamatnya? Nggak ada urusannya denganku!"
"Dia ... hampir dilecehkan supir taksi. Aku harus segera menemukannya, Cori," mohon pria itu cemas.
"Oh astaga!" Cori terkesiap dan membekap mulutnya yang ternganga.
Persetan dengan rasa cemburuku. Mbak Agni lebih penting, bersit Cori.
"Ayo Bang, kita berangkat sekarang."
***
Butuh waktu lima belas menit menuju BCS Mall dari Batam Center, sesuai dengan tempat yang Agni sebutkan tadi pada Ben. Cori mengeluarkan kepalanya melalui jendela mencari sosok Agni di antara banyaknya pengguna jalan yang lalu lalang di trotoar dan halte bis.
"Telepon Mbak Agni, Bang." Ben mematuhi perintah Cori detik itu juga.
"Kamu di mana?" serbu Ben setelah dering pertama bergema.
"Aku deket gerobak bakso yang rame pembeli."
"Gerobak bakso," katanya lebih keras agar Cori ikut mendengar.
"Itu Bang!"
Mereka berdua sama-sama melihat target pencarian yang sudah kuyu, kedinginan, dan ketakutan. Ben segera menepikan mobilnya.
Pria itu setengah berlari menjemput Agni. Setelahnya, Cori terpaksa memalingkan kepalanya dengan hati jauh lebih pedih dari pada saat di angkringan tadi.
Agni mencari suaka di dada Ben. Pelukannya berbalas, erat, tak berjarak.
Cori takut, ada air mata yang tak seharusnya hadir di tengah suasana seperti ini. Maka ia memejam matanya beberapa detik, menarik nafas panjang, dan menghembuskannya pelan, demi mengguyur bara cemburu yang hampir membakar akal sehatnya.
Yang anak gadis Sudjana lakukan adalah memeluk hatinya sendirian dan berpura-pura tegar saat keluar dari pintu penumpang.
"Mbak Agni nggak apa-apa? Mbak nggak luka, kan?"
Sial, umpat Ben dalam kepalanya.
Suara Cori memutus pelukan ketakutan Agni. Ben cepat-cepat memisahkan diri. Untuk sesaat, Ben lupa ada wanita berpipi chubby yang ia bawa serta mencari Agni, dan Ben merasa bersalah saat itu juga.
"Aku nggak apa-apa. Dia sempat nyentuh-nyentuh aku di tangan dan paha, tapi aku segera menghindar," jelas Agni dengan wajah ketakutan dan meringis jijik.
Cori paham bagaimana rasanya berada di posisi Agni walaupun tidak pernah mengalaminya. Sesama wanita harus saling melindungi dan saling menumbuhkan empati dan simpati yang tinggi. Cori berpinsip, 'women support women'.
"Yuk Mbak, kita masuk ke dalam mobil. Sambil angetin badan."
Cori menyimpan kecewa di laci hati paling tak terjangkau agar tidak terdeteksi di wajah dan tindakannya. Kemudian ia merangkul Agni dan menggiringnya ke kursi belakang dengan lembut, seakan-akan Agni barang rapuh yang perlu dilindungi eksistensinya.
Diam-diam Ben memperhatikan gadis chubby-nya, tak mau mengalihkan penglihatannya sedetikpun dari Cori. Wajah gadis ketumbarnya ... tak terbaca.
Hati Ben dilanda gundah sepanjang jalan. Matanya tak henti melirik spion tengah, memastikan gadis chubby-nya baik-baik saja. Saat Ben tahu Cori tak melepas tangannya dari bahu Agni, ia makin merasa bersalah.
Cori tak henti merangkul tubuh Agni meski tubuh itu sudah berhenti menggigil setelah pemanas mobil dihidupkan. Elusan di lengan tak luput Cori berikan. Cori ingin memberi ketenangan dan rasa aman, seolah ia ingin mengatakan, Kamu akan baik-baik aja, Mbak Agni, tanpa Cori perlu berucap sepatah kata pun.
Ketika mobil Ben berhenti di depan rumah Agni, sebuah kalimat menambah daftar ketidaknyaman hati Cori sejak nama Agni berada di tengah makan malam mereka.
"Ben, temani aku malam ini," rengek Agni.
Spontan rangkulan hangat tadi menjauhi tubuh Agni. Dirinya sendiri tak sadar memberi jarak perlahan. Dan kalimat ini terucap begitu saja. "Mbak Agni, aku duluan pulang, ya. Aku akan pesen ojek dari sini. Deket kok ke rumahku."
"Apa?! Enggak! Kita pulang sama-sama," perintah Ben.
"Bang, Mbak Agni butuh Abang." Ingin rasanya Cori memotong lidahnya setelah mengucap kalimat barusan.
"Ben, please malam ini aja," mohon Agni. Suara paraunya begitu menyedihkan, membuat siapa pun yang mendengar langsung luluh seketika.
Ben bisa saja masuk ke dalam salah satu orang-orang yang luluh, tapi itu dulu. Ben yang sekarang bukan lagi Ben yang cinta mati pada Agni Paramitha. Dia sudah imun dari Agni sejak perempuan itu memilih melepaskan diri dari dirinya.
"Cori, pindah ke depan!" perintah Ben. "Kita pulang!"
Cori memutar bola matanya dan memilih untuk keluar. Sebelum membuka pintu, gadis itu berkata, "Kalian berdua, silakan bicara dengan nyaman."
"Cori. Cori!" terial Ben. Cori sepertinya tidak berminat menoleh bahkan sekali. Bahkan setelah pintu dihempas kuat.
Ben mengekori ke mana si Gadis Ketumbar pergi. Beberapa detik berikutnya pria itu menghembuskan napas lega karena Cori tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya berdiri semeter dari mobilnya sambil memeluk tas ranselnya.
Lalu Ben baralih pada mantan kekasihnya yang terlihat sangat merana.
"Agni, aku tahu kamu butuh seorang teman malam ini," ucapnya lembut. "Tapi hubungan kita tidak seperti dulu lagi. Aku nggak bisa lagi menemani kamu, like we used to."
"Tapi kamu kan tahu, kalau aku udah kayak gini, it's only getting worst when I'm alone, Ben," mohonnya mengiba.
"Ingat semua terapi dan sesi konseling kamu, Agni. Atau kamu bisa menelpon mama atau adik kamu."
Selamat Ben. Kamu telah menjadi 'the bad guy' bagi seorang penyintas pelecehan seksual! sesal Ben dalam hati.
Ben tidak akan memungkiri bahwa dia merasa sangat bersalah. Namun, Ben juga ingin menjaga hati seseorang agar tidak berprasangka yang macam-macam lagi padanya.
"Kamu mau ninggalin aku dengan kondisiku kayak gini? Aku bisa stres sendirian di kamar mengingat semua perlakuan orang tadi. Bayangan masa laluku ... itu begitu menakutkan!" Agni mulai gusar dan mulai menjambak rambut ikalnya yang lepek karena keringat dan debu.
Sekali lagi, Ben harus menjadi 'the bad guy' karena telah menyakiti hati orang lain. Bukan untuk Agni, tapi untuk si Gadis Ketumbar.
Mengapa demikian? Karena ia memohon pada Cori agar menemani Agni di rumahnya, setidaknya sampai suasana hati Agni cukup membaik hingga bisa ditinggalkan sendiri.
Dengan hati selapang Samudera Hindia, Cori membuatkan Agni teh chamomile dengan madu—kebetulan memang ada di kabinet lemari dapur Agni. Seharusnya dia sudah berada di rumahnya dan mungkin menonton TV atau bergelung dalam selimutnya, bukan terjebak bersama sepasang mantan kekasih yang sedang duduk di kursi tamu.
Sedetik kemudian, Cori menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mengusir pikiran tadi.
"Women support women, Cori," gumamnya menguatkan hati. Cori kembali menata hati sebelum memasuki ruang tamu.
"Diminum dulu tehnya, Mbak. Semoga bisa membantu merilekskan pikiran dan tubuh."
"Thanks, Cori." Cori mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis. Ia duduk di seberang meja.
"Minum, Bang Ben."
Mata Agni langsung awas ketika Cori memanggil mantannya dengan sebutan 'Bang Ben'.
"Terima kasih, Cori."
Malam ini begitu melelahkan bagi semua orang di ruang tamu ini. Mereka bertiga menyisip lambat teh hangat dengan berbagai pikiran berkecamuk dalam kepala.
"Makasih, Ben, kamu udah nyelametin aku."
"Kalau nggak ada Cori, aku nggak akan bisa datang dengan cepat, Agni. Dia yang menunjukkan jalur tercepat untuk jemput kamu."
"Oh, thanks, Cori."
"Bukan apa-apa, Mbak."
Dan diam kembali menjadi latar belakang tiga manusia dewasa ini selama beberapa menit.
"Sebaiknya kami pulang, Agni." Ben memecah hening. "Sudah pukul sepuluh malam. Aku sudah berjanji mengantarkan Cori pulang dalam setengah jam."
Cori spontan mengangkat kepalanya dari cangkir teh dan melirik tetangganya.
"Kamu ... bisa kembali ke sini lagi setelah mengantar dia?"
Si Gadis Ketumbar menegang di kursinya menunggu jawaban Ben.
"Maaf." Ben menggeleng pelan. "Tapi kamu bisa meneleponku untuk hal yang ... sangat darurat saja."
"Abang yakin?" Cori hanya ingin memastikan tidak ada lagi drama kejutan setelah hari ini berakhir.
"Ya, Coriander. Sangat yakin."
Dua penghuni Kluster Kepodang berbalas tatap selama setengah menit penuh tanpa satu patah kata keluar dari mulut mereka.
Pada akhirnya, yang bisa dilakukan Agni adalah menjadi penonton dan memandang sebal dua sosok di seberang meja dengan hati serapuh kerupuk.
"Apa sih yang aku pikirkan?" Agni tertawa canggung. "Mungkin aku masih berharap. Maaf. Baiklah. Terima kasih karena masih peduli denganku, Ben. Sungguh."
"Hanya karena aku tahu apa yang dulu telah terjadi pada kamu, Agni. Aku bertindak berdasarkan rasa kemanusiaan. Tidak lebih."
Hah! Tidak lebih. Kamu yakin, Ben? Setelah semua hal yang pernah kita lalui? cemooh Agni di kepalanya.
"Kita pulang Cori," ucap Ben sambil menyandang tas ransel Cori.
Halaman rumahnya telah kosong dari mobil Ben, tapi Agni masih berdiri menyandar pada kusen pintunya.
"Aku nggak terima Ben menolakku demi perempuan gendut itu!" desis Agni.
Bersambung