Cori, Winnie, dan kru Cabang Mega Legenda lainnya tertahan di kantor. Mereka tidak bisa pulang gara-gara salah satu pengelola unit belum melapor ke kantor cabang.
Pengelola unit itu hampir sama dengan kepala cabang, tapi dalam ruang lingkup yang lebih kecil. Mereka mengepalai sebuah unit, mengambil keputusan sendiri, dan menjadi pemimpin bagi kasir dan sekuriti kantor mereka. Hanya saja, kekuasaan mereka mempunyai batas tertentu, tidak seluas dan setinggi Yusuf si Kepala Cabang.
"Cori, kamu ke Unit Batu Besar sekarang. Pengelolanya nelepon Bapak. Ada selisih dua juta lebih waktu tutup buku."
"Apa?! Dua juta lebih?" teriak Cori.
"Dua juta lebih?" kata seseorang membeo.
Cori memutar bola matanya. Padahal ia sedang mogok bicara, seseorang itu malah ikut nimbrung.
Cori kembali ke mode dirinya yang mandiri. Maksudnya berangkat ke kantor sendiri, pulang juga sendiri. Membuat Ben tidak bisa apa-apa selain mengikhlaskan diri menyaksikan si chubby berjalan ke depan gerbang kompleks sendirian dengan hati tak rela.
Semua gara-gara Ben. Lagian, siapa suruh mengingkari janji pulang bersama sehabis ngantor, eh malah mengantar Agni ke mana-mana.
Ben mati kutu karena Cori menolak semua persuasi permintaan maaf yang ia lancarkan. Maka Ben akan melakukan segala cara juga untuk membuat Cori bicara lagi padanya.
"Saya aja yang antar, Pak Yusuf," celetuk Ben. "Sekalian saya ikut bantu periksa."
"Boleh, boleh. Pas banget dong. Mata jeli auditor memang diperlukan untuk mencari kesalahan pembukuan di Unit Batu besar," wajah Yusuf langsung ceria.
"Tapi Pak, Cori bisa sendiri. Dianter sama Pak Yusep aja pake mobil kantor. Nggak perlu ditemenin Pak Malik."
"Udah, pergi kalian sana. Semakin lama tertunda, kita nggak pulang-pulang, lho, Cori. Udah jam setengah tujuh, ini."
Cori terpaksa menuruti titah Yusuf. Ben berselebrasi diam-diam.
Si Gadis Ketumbar hanya bisa pasrah melakukan perjalanan sepuluh kilometer ke Batu Besar dalam keadaan super canggung, sebab ia tidak berniat sama sekali membuka suara. Kalau pun Ben bertanya, jawaban yang didapat singkat, padat, dan to the point. Ben jadi mati kutu.
Tapi Ben tidak mau menyerah membuat Cori bicara. Misalnya, dengan melempar pertanyaan sensitif ini.
"Kamu sudah tahu siapa Agni, kan?"
Pertanyaan ini memantik sesuatu dalam diri Cori. Namun, ia mati-matian meredam gejolak aneh yang terus muncul bila nama Agni berada di tengah mereka.
"Tim legal, kan?"
"Maksudku, 'siapa' dia untukku dulu."
"Mantan calon istri?" jawab Cori tanpa ragu. Sejujurnya, Ben meringis mendengar tegasnya suara Cori. Seakan-akan, kalimat tadi tidak memiliki arti penting.
"Ya."
"Abang mau balikan lagi sama Mbak Agni? Udah dikasih restu tuh, sama Pak Yusuf."
Ben mendelik tidak senang pada lawan bicaranya. "Kok malah Pak Yusuf yang kasih restu?"
"Mana aku tahu?"
"Ck! Pak Yusuf nggak tahu-menahu soal aku dan Agni." Pria itu berusaha melihat ekspresi wajah tetangganya di temaram cahaya lampu jalan. Tapi yang dapati hanya bayangan pipi Cori yang menggemaskan. "Dan enggak. Aku nggak balikan sama Agni."
Cori mengangkat bahunya samar. "Bukan urusanku."
"Kamu ... nggak suka aku balikan dengan Agni?" Ben mencoba berjudi dengan sesuatu tak berwujud bernama: perasaan
"Kenapa tanya aku?" Cori tak dapat menahan suaranya yang sedikit melengking. Sedetik kemudian, ia menyesal.
"Aku mau tahu pendapat kamu, Coriander."
"Eh, udah sampai," ucap Cori cepat-cepat.
Ben membelokkan si Brio putih ke dalam halaman bangunan Unit Batu Besar dan menahan diri untuk tidak tersenyum lebar. Ia yakin pertanyaannya tepat sasaran.
Butuh waktu 20 menit bagi Cori dan Ben menemukan di mana letak kesalahan perhitungan kasir. Mereka membongkar semua kertas transaksi hari ini, menghitung uang masuk, sampai mengecek CCTV.
"Jadi lain kali hati-hati ya Mbak Hilda. Lebih teliti memberi uang pada nasabah," ujar Ben. "Kalau perlu hitung dua kali, walaupun nominalnya hanya ratusan ribu."
"Baik, Pak," Hilda mengangguk malu.
Cori bersyukur, akhirnya sumber kehilangan terpecahkan karena Hilda salah hitung dan memberi nasabah dua kali lipat uang pinjaman. Si nasabah sendiri syukurnya mau kembali ke kantor dan mengembalikan uang yang berlebih karena memang tempat tinggalnya masih berdekatan dengan kantor. Kalau kata nasabahnya, dia memang belum hitung uangnya sejak keluar dari Unit Batu Besar.
Dan Cori juga bersyukur akhirnya bisa pulang dan menghindari si tetangga lebih cepat. Tapi itu menurut Cori, karena sesudahnya, Ben 'menculik' dirinya untuk makan di Angkringan Onthel—tempat makan lesehan pertama mereka dahulu.
***
Seperti biasa, Bapak Sudjana mengabsen putri satu-satunya karena masih 'berkeliaran' di luar rumah di pukul delapan malam.
"Habis makan langsung pulang, Nak. Nggak boleh keluyuran. Bilang sama Ben pulangnya jangan ngebut," titah Sudjana.
"Yes, Chef." Setelah mendengar salam dan kekehan Sudjana, hubungan telepon berakhir.
"Apa kata Papa?"
"Nggak boleh keluyuran. Habis makan langsung pulang. Abang nggak boleh ngebut bawa mobil."
"Oke."
Cori melanjutkan menghabisi sate telur puyuh coklat secepat kilat. Lalu beralih ke sate ati ampela. Tak cukup sampai di sana, masih ada ayam penyet, nasi kucing dua biji, dan untuk makanan penutup ada kue mochi, nagasari, lumpia, dan gorengan tahu isi yang belum tersentuh.
Ben sampai menjeda makan kwetiau goreng demi menyaksikan lahapnya Cori makan.
"Yakin semuanya bisa habis?"
Cori mengangguk.
"Kalau nggak habis, mubazir Cori."
"Ya Abang yang habisin," katanya enteng.
Ben geleng-geleng kepala heran. Asalkan Cori tidak ngambek lagi, Ben rela menghabiskan makanan sisa si Gadis Ketumbar.
"Kalau kita cerita-cerita sambil makan nggak apa-apa?" tawar Ben.
"Boleh aku selesein makan dulu?"
Karena firasat Cori mengatakan pembicaraan nanti bisa saja membuat nafsu makannya menghilang.
Tak butuh waktu lama bagi Ben berpikir untuk mengiyakan, karena kemudian Ben tersenyum dan mengatakan, "Boleh."
Tapi sepertinya, kesabaran Ben mesti diuji lagi karena Cori benar-benar memanfaatkan waktu makannya dengan sa-ngat san-tai. Seakan-akan sedang menggunakan waktunya yang berharga untuk menikmati suap demi suap nasi kucing lauk teri dan sepotong demi sepotong suwiran daging ayam penyet. Belum lagi cara makannya yang bak putri keraton.
Lama-lama, kesabaran Ben mulai terkikis. Maka dari itu Ben berkata, "Aku dan Agni pernah berencana untuk menikah."
Jedeeer!
Sendok Cori dibuat mengawang di udara. Padahal ini adalah suapan terakhir nasi kucingnya. Dessert-nya bahkan belum disentuh!
Cori sepertinya tidak akan melanjutkan makannya lagi. Seleranya langsung menguap entah ke mana. Dan yang lebih parah, jantungnya berdegup tidak menyenangkan untuk alasan yang masih absurd.
"Pak Yusuf pernah memberi tahu kami soal itu," ujarnya kalem lalu meletakkan sendoknya di atas daun pisang si bungkus nasi kucing.
"Pak Yusuf lagi," gumam Ben kesal. "Aku ingin kamu mendengar ceritaku dari sumbernya langsung."
"Apa untungnya Abang menceritakan masa lalu ke aku?"
"Supaya kamu mendapatkan cerita yang lengkap dan tidak bertanya-tanya dalam hati."
"Kapan aku—"
"Dan supaya kamu nggak ngambek lagi padaku," sela Ben buru-buru.
"Yang benar saja," ucap Cori gelagapan. "Mana ada aku ngambek?"
"Aku merasakannya. Aku melihatnya." Ben mengangkat bahunya samar. "Jadi tolong, dengarkan ceritaku," mohon Ben.
Setelah mendesah kecil, Cori menjawab, "Baiklah. I'm all ears."
"Terima kasih." Lalu Ben mendehem sebelum memulai. "Kami bertemu tiga tahun yang lalu saat workshop di Jakarta. Dan sejak saat itu kami dekat, lalu memutuskan untuk serius enam bulan kemudian."
Cori menghilangkan kegugupannya mendengar 'cerita' Ben dengan meremas selembar tisu.
"Seharusnya setahun yang lalu aku dan Agni mengadakan acara lamaran di restauran The Coriander Taste."
Ben sengaja diam menunggu reaksi si Gadis Ketumbar ketika ia menyebutkan nama restauran papanya. Dan prediksinya tepat sekali. Cori terkesiap dan bola matanya membesar. Ben memberikan senyum tipis.
"Ya, benar. Dan kamu tahu alasan mengapa aku pilih restauran itu?"
Cori menggeleng pelan.
"Bukan karena restauran itu milik Chef Sudjana dan tahu anaknya papa adalah si Coriander yang ini, tapi karena nama kamu dijadikan nama sebuah restauran yang terkenal. Saat itu aku berpikir, Seharusnya Cori bangga namanya dijadikan nama salah satu restauran terkenal di Jakarta. Dia tidak perlu minder bila ada yang merundung dan mengatainya dengan nama Ketumbar."
Cori memiringkan kepalanya ke kanan.
"Kak Ben tahu aku di-bully gara-gara namaku Coriander?"
"Kamu pernah cerita."
Cori meringis malu. "Oh iya. Masa-masa kelam. Lupakan yang tadi. Terus?"
"Dua hari sebelum hari H, dia membatalkan lamaran sepihak dan mengkhiri hubungan kami." Suara Ben sarat dengan luka. Begitu rapuh tapi tegar di saat yang sama.
"Kenapa?" Cori mulai prihatin.
"Dia tiba-tiba tidak percaya dengan komitmen."
"Aku turut menyesal mendengarnya, sungguh," ucap Cori tulus.
Oh, reaksi yang sama. Cori selalu bersimpati dengan kisah sedih hidupnya. Ia menyukai sisi ini dari Cori. Dan Ben mulai merasa tembok 'ngambek'-nya Cori perlahan runtuh.
"Nggak apa-apa. Lagi pula, aku tidak mau bersedih terlalu lama untuk orang yang mengkhianatiku."
"Maksud Abang?!"
"Dia menjalin hubungan spesial dengan salah seorang temanku beberapa bulan sebelum kami berpisah. Dan ternyata Agni nggak mau mengundurkan diri karena peraturan perusahaan. Padahal kami sudah sepakat soal itu jauh-jauh hari. Pernikahan sesama karyawan, kamu tahu peraturan itu, kan?"
PT. Sejahtera Bersama melarang pernikahan sesama karyawan. Jadi, bagi karyawan yang terlanjur saling jatuh cinta dan mau menikah, pasangan tersebut terpaksa memilih salah satu dari mereka untuk mengundurkan diri. Ah, peraturan ‘aneh’.
Cori mengangguk sebal. "Sinetron banget! Kalau nggak mau serius dari awal jangan cari alasan putus dengan berselingkuh dan bawa-bawa peraturan perusahaan!"
Ben tertawa lepas, membuat beberapa pasang mata kaum hawa menatapnya tak berkedip. Termasuk Cori.
"Memang."
"Lalu sekarang?"
"I'm okay."
"Tapi sepertinya kalian nggak move on."
Mana mau Cori percaya Ben? Beberapa hari ini mereka berdua menempel seperti permen karet.
"Kamu salah. Aku benar-benar sudah move on darinya."
"Beneran?" Cori menaikkan alis kanannya tak percaya.
"Benar. Untuk apa aku mengejar Agni, kalau ada wanita lain yang jauh lebih berharga untuk diperjuangkan?" ucapnya misterius.
Mana mungkin aku? jawab Cori dalam kepalanya.
Cepat-cepat Cori buka bungkus plastik naga sari dan menggigit sepotong besar kue lembut itu.
Ponsel Ben bergetar dan Cori masih bisa melihat dengan jelas siapa yang menelepon tetangganya.
Agni Paramitha.
Yeah, right. Katanya udah move on, cebik Cori diam-diam.
"Sebentar, Cori. Aku harus terima telepon Agni," izin Ben. Ben segera menempelkan ponsel ke telinganya.
"Ben, tolong aku!"
"Agni! Kamu kenapa?"
Ben spontan berdiri dan meninggalkan Cori ternganga, sendirian, dan tak mampu menelan nagasarinya lagi.
Bersambung