Cori saat ini sedang belajar untuk menerima kehilangan, lagi.
Sulit memang. Tapi bukannya tidak bisa, kan? Dulu saja dia bisa menerima kehilangan sosok seorang ibu kandung. Dan sakitnya dulu bukan main. Luka tapi tak berdarah. Lalu, kenapa kepada seorang manusia yang tidak ada hubungan apa-apa dengannya, seakan-akan dunia kiamat?
Selagi belajar, ia juga tidak dibiarkan berlama-lama patah hati sendirian oleh sebentuk support system yang selalu ada untuknya.
Ada Sudjana, Super Dad yang rela terbang ke Batam demi menghibur dirinya. Lalu ada tetangga nomor empat yang membuat harinya lebih berwarna setelah hanya kelabu yang ditorehkan mantan kekasih. Ah, Ben dengan segala sifat melindunginya. Cori bersyukur akan itu.
Namun, ada sisi lain dari Ben yang masih belum bisa Cori pahami hingga sekarang.
Ben bilang, ia sangat benci kebiasaan menggosip karyawan PT. Sejahtera Bersama, tapi dia juga yang (setengah) memaksa agar mereka berangkat bareng setiap hari. Dan di sinilah dia dengan Bapak Auditor di dalam Brio putih sedang di jalan menuju kantor untuk hari kesekian. Berangkat ke kantor saja begitu mendebarkan. Seperti main kucing-kucingan!
Bukankah lebih baik mereka tidak perlu terlihat acap bersama-sama di luar urusan kantor? Kalau staf Mega Legenda tahu Cori dan Ben sering berada dalam satu mobil, sudah pasti akan menggemparkan dunia persilatan PT. Sejahtera Bersama dan memberi makan ego pribadi-pribadi yang suka dengan berita hangat dan aktual.
"Sampai kapan kita kayak gini, Bang?" keluhnya.
"Diungkit lagi." Ben memutar bola matanya. "Bukannya kegiatan seperti ini seru?" Tolehan yang sebentar disambut bibir cemberut Cori yang seperti biasa, menggemaskan.
Ben tidak pernah merasa keberatan melakukan kegiatan menyenangkan ini setiap hari karena sudah mendapat izin dari Sudjana untuk mengantar-jemput Cori. Ben senang bukan kepalang.
"Abang suka cari perkara, deh! Mau semua orang tahu kalau kita sering berangkat bareng? Ujung-ujungnya mereka bakal tahu kita tinggal satu kluster di Perumahan Nuri 1."
Ben mengelus dagunya yang baru dia cukur tadi pagi sambil berpikir dan menempatkan tangannya yang lain di setir.
"Kalau dipikir-pikir, buat apa sembunyi dari orang kantor, ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Mereka bebas kok berpikir kalau aku bisa aja nebengin kamu. Bener, kan?"
"Nggak se-simple itu, Bang," ujar Cori gemas. Dia sampai memutar tubuhnya menyerong ke arah si supir tampan agar kata-katanya tidak dianggap lalu. "Kalau mereka mikir macam-macam? Kalau mereka pikir kita ada hubungan tertentu, gimana? Rumah kita hadap-hadapan!"
"Kamu ... nggak mau mereka berpikir kita punya sesuatu?" selidik Ben.
"Ya enggak, lah. Kita memang nggak punya hubungan apa-apa selain rekan kerja dan teman SMA," ucap Cori ngos-ngosan. "Dan tetangga," sambungnya cepat-cepat.
"Padahal aku pikir itu bukan ide yang buruk," gumam Ben lirih di antara geliginya yang merapat dan bibirnya yang hampir terkatup.
"Gimana, Bang?"
"Oh, aku bilang kamu nggak keberatan kan, kita berhenti satu blok sebelum kantor?" kata Ben cepat. Pria itu menoleh sebentar lalu matanya kembali ke jalan mengaburkan gugup yang melanda.
Kawasan Mega Legenda itu diisi oleh pasar tradisional dan bangunan-bangunan berupa ruko yang digunakan untuk tempat usaha atau pun gedung perkantoran. Kelompok bangunan ruko tersebut dipisah oleh jalan beraspal menjadi beberapa seksi atau blok sehingga setiap blok diberi tanda dengan huruf A sampai G.
Kantor Cabang Mega Legenda sendiri ada di Blok C. Jadi seperti biasa, Ben menurunkan Cori di Blok A.
"Kan aku udah pernah bilang buatku nggak masalah. Jalan pagi bagus untukku!" sarkas Cori.
"Kamu marah."
“Enggak. Aku cuma kesel sama ide konyol Abang.”
Ben meringis meski tidak ada raut penyesalan terdeteksi di wajahnya. Masalahnya Ben terlanjur menyukai kegiatan ini.
"Tapi sayangnya, mulai hari ini dan seminggu ke depan aku nggak berkantor di Mega Legenda. Jadi kita nggak bisa bareng."
Cori terkesiap. "Kenapa?"
Ben berdoa kalau dia tidak salah dengar. Sebab di pendengarannya barusan, suara Cori terdengar ... kecewa. Namun, Ben tidak mau melambungkan harapan terlalu tinggi. Terlalu dini untuk menyimpulkan apapun sementara Ben sendiri belum tahu apa arti gejolak perasaannya yang selalu menggebu-gebu ketika berada di dekat gadis yang pipinya menggemaskan ini.
Apa yang aku pikirkan, sih? Dia baru saja putus dari kekasih tiga tahunnya, Ben, peringat Ben dalam kepalanya.
"Setelah dari sini aku langsung ke Tiban. Sudah jadwalku dan Buk Farida untuk mengaudit kantor Cabang Tiban. Aku akan pergi lebih cepat dari biasanya. Maaf."
Jarak perumahan Nuri 1 ke Tiban memakan waktu lebih dari 30 menit, belum macet yang tak terprediksi dan durasi lampu merah yang lama, itu sebabnya Ben tidak bisa mengantar Cori karena ia harus berangkat lebih awal.
Cori ber-oo ria. "Nggak apa-apa. Lagian sebelum ada Abang aku udah terbiasa pergi sendiri."
Diam-diam Cori menggigit bibir bawahnya. Ah, kantornya pasti akan sepi tanpa Ben.
***
"Coba lihat, Malik pamer makanan enak di status WA-nya." Ujug-ujug Yusuf datang mengejutkan Cori dan Winnie. "Bapak kira Malik orangnya kaku. Tapi dari keterangan statusnya, sepertinya dia manusia biasa. Malah kayak lagi kasmaran." Tawa khas bapak-bapak pejabat yang sudah berusia hampir kepala lima menggema.
Yusuf itu suka tidak betah duduk terlalu lama di kantornya. Kalau bosan melanda, ia akan pergi ke meja sekuriti, atau ke meja front liner dan ikut bercengkerama dengan nasabah atau pun dengan anak buahnya sendiri, seperti sekarang ini.
"Mana-mana, Pak?"
Kata kasmaran membuat Winnie kepo maksimal. Tidak hanya Winnie, rekan semejanya ini diam-diam ikut mengintip layar ponsel Yusuf.
"Nih."
Ben membagikan sebuah status berupa gambar kotak Tupperware hijau yang penuh dengan potongan sausage rolls alias sosis gulung—makanan khas Lady Diana berasal. Penampilannya pun tampak menggiurkan. Daging cincang yang dibalut dengan kulit pastri berlapis, mengkilat oleh butter, berhias mayones, saus sambal, dan taburan parsley kering.
Itu adalah sausage rolls yang dijanjikannya tempo hari. Ben senang bukan kepalang menerima bekalnya tadi pagi.
"'Terima kasih sausage rolls-nya. The best break fast ever. Aku akan jadi pelanggan setia kalau kamu mau jual harta karun selezat ini setiap hari.'," baca Winnie keras-keras. "Iiih, Pak Malik udah punya pacar?" Gadis 21 tahun itu kecewa.
Deg.
Diam-diam Cori meremas tangannya.
Kenapa mesti di pamerin, sih? keluh Cori.
Tapi jauuuh di dalam lubuk hatinya, ada rasa bangga makanan hasil buatan tangannya diapresiasi sampai-sampai dipamerkan di jagad maya. Habisnya, si mantan berengsek tidak pernah memuji makanan buatannya sama sekali.
Apa selama ini Cori dibutakan oleh cinta?
"Pak. Pak Malik udah punya pacar?" desak Winnie.
Suara cempreng Winnie memutus kenangan pahit yang tak sengaja melintas di benak Cori.
"Kabarnya waktu itu dia hampir nikah sama tim Legal kantor Wilayah Pekanbaru, tapi sampai sekarang nggak ada tuh saya dapat undangan mereka. Heboh-heboh di grup WhatsApp pimpinan cabang juga nggak ada."
"Apa, Pak?! Bang ... Ehem, maksudnya Pak Malik mau nikah?" tanya Cori tiba-tiba.
Yusuf ini tipe pejabat yang tahu segala berita dan murah informasi karena saking luasnya jaring koneksi yang ia miliki dengan pejabat lain.
"Bapak cuma bilang 'kabarnya'. Udah. Itu ada nasabah kamu, Cori."
Dalam sekejap dua front liner itu menampilkan senyum profesional pada seorang wanita yang berjalan ke arah mereka. Urusan Ben yang kabarnya mau menikah Cori simpan dulu di laci memorinya meski hatinya beriak tak tenang
***
Di tengah konsentrasinya membaca tumpukan laporan dari dua kardus Indomie, Ben diinterupsi oleh getar ponselnya sendiri. Ben tidak suka diganggu ketika sedang bekerja.
"Agni?" gumam Ben. Keningnya mengernyit tidak senang menatap ponselnya yang masih bergetar, dan ikut-ikutan menggetarkan jantungnya. Ben benci bila jantungnya harus bereaksi hanya gara-gara perempuan ini.
"Hai, Ben. Apa kabar?" Sapa Agni pertama kali.
"Kenapa nelepon aku?" Dia bahkan tidak menjawab pertanyaan Agni.
"Masih aja dingin seperti dulu. Aku sedang di Batam. Mau meet up?"
"Aku sibuk. Lagi periksa unit."
Ben tidak membual. Lagian ia tidak mau berlama-lama bicara dengan perempuan ini.
"Nggak mau ya ketemu mantan?" goda Agni di seberang.
Ben memutar bola matanya. Ingin menyangkal tapi setelah di pikir-pikir, Agni ada benarnya. Mungkin Ben memang tidak mau lagi berurusan dengan mantannya.
Tapi bila sama-sama bekerja di satu atap bernama PT. Sejahtera Bersama, suatu saat pasti akan bersinggungan, kan?
"Kerjaanku masih banyak, Agni. Kalau nggak ada hal penting yang mau dibicarakan, sebaiknya teleponnya aku tutup," pungkas Ben.
"Ya ampun. Iya, iya. Aku mau minta bantuan kamu cari tempat tinggal."
"Karena ngurus karyawan yang dituduh merugikan nasabah itu?" tebak Ben.
"Ya, salah satunya."
Ben sampai memutar mata. Salah satunya. Berarti kehadirannya di Batam tidak sekedar sehari dua.
"Ditugaskan sama siapa?"
"Priyono. Aku nggak nyaman berdua aja cari tempat tinggal sama dia. Kamu tahu kenapa, kan?"
Ketidaknyamanan Agni mengingatkan Ben akan cerita masa lalu perempuan itu. Sepertinya Ben terpaksa mengalah kali ini.
"Baiklah. Nanti aku hubungi kamu lagi."
"Yes. Makasih, Benjamin."
Ben menghembuskan napas lelah. Pekerjaannya segudang, waktu bertemu Cori makin sedikit, dan sekarang Agni muncul lagi dalam hidupnya.
Ah, Agni. Ben tidak menyukai kehadirannya di Batam.
Bersambung