Read More >>"> Ben & Cori (11. Malik) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Kenapa Ben harus tinggal di depan rumahnya? 

Oh, Tuhan. Betapa dirinya ingin menciut menjadi semut dan melarikan diri dari tampang jahil Ben tempo hari. Dan yang lebih konyol, ia menuduhnya berbuat mesum!

Bodoh. Cori tidak tahu ada penghuni baru kluster Kepodang. Dan penghuni baru itu memilih rumah kosong tepat di depan rumahnya. Skill bersosialisasinya memang payah. Cori bertekad akan sungguh-sungguh belajar 'berteman' dengan Ben. 

Tapi bagaimana mau belajar bila si Teman pergi selama seminggu ke Tanjung Pinang pada pagi hari setelah kejadian memalukan itu? Kabar baiknya, ia tidak perlu menanggung malu selama 7 hari. 

Setidaknya, Ben menepati janji untuk tidak membiarkannya ditinggal tanpa pesan seperti dulu. Dan itu hal bagus, bukan?

***

Cori mengabaikan pesan kekasihnya yang masuk untuk kesejuta kali pagi ini. Cori masih sakit hati meski ia ingin meminta penjelasan Arga. Namun, ia juga butuh waktu untuk menata diri, agar ia bisa mengonfrontasi Arga dengan elegan. Untuk sementara, ia menolak bersentimentil meski sialnya, pedih diselingkuhi masih menetap di dadanya.

Berita heboh di kantornya pagi ini lebih penting daripada berlarut-larut dalam kepedihan.

Penemuan kasus transaksi fiktif bernilai ratusan juta pada salah satu kantor cabang di Tanjung Pinang membuat warga PT. Sejahtera Bersama se-Indonesia terkaget-kaget, tak terkecuali kru Cabang Mega Legenda. Acungan jempol dianugerahkan pada Malik si auditor muda asal Pekanbaru yang dengan kejeliannya menemukan kecurangan tersebut. 

"Bapak minta, setiap pekerjaan harus didasari dengan kejujuran. Kalian sudah digaji tiap bulan. Bonus juga menanti tiap akhir tahun. Apa lagi mau kalian? Mau membesarkan ego dengan menuruti nafsu belanja sana sini tanpa melihat kondisi dompet, dan mencari jalan pintas untuk menghasilkan uang dengan cepat?" nasihat Yusuf dalam briefing pagi di ruangan nasabah lantai satu untuk semua stafnya. 

"Fraud seperti itu tidak bisa ditolerir di mana pun kalian bekerja. Sekali berbuat, label jelek akan mengikuti. Tidak ada lagi yang akan memercayai kalian. Ingat! Setiap tindakan kalian akan mencerminkan perusahaan tempat kalian mengabdikan diri. Untuk itu, Bapak minta kita semua bekerja dengan hati-hati, tetap dalam koridor SOP. Bila ada masalah, segera beritahu Bapak."

"Baik, Pak," ucap bawahannya serentak.

"Pak."

"Apa, Win?"

"Kapan Pak Malik menempati kantor atas?" Telunjuk Winnie mengarah ke langit-langit. 

"Harusnya hari ini. Katanya mereka langsung ke sini setelah selesai bertugas di Tanjung Pinang." Yusuf menjeda sebentar dan menoleh pada pintu masuk transparan. "Nah, itu mereka."

Winnie menyikut lengan rekan front liner-nya antusias demi menyambut si auditor muda yang di gadang-gadang sangat tampan.

"Winnie, Winnie." Cori geleng-geleng kepala.

"Selamat Pagi," sapa seorang wanita paruh baya berhijab. Dia adalah Farida, salah satu auditor senior yang menjadi rekan Malik.

"Selamat Pagi." Seseorang menyusul di belakang Farida. 

Semua membalas sapaan itu, tapi tidak dengan satu orang yang sedang membeku di tempat, menganga, dan memelototi sosok jangkung yang melangkah masuk dengan tenang dan berwibawa.

“Kak, guanteng orangnya!” bisik Winnie, tapi rungu Cori menuli. 

"Nah ini yang ditunggu-tunggu kru Mega Legenda. Mas Malik akhirnya datang juga," sambut Yusuf.

"Kak Ben?" Cori berteriak dengan lantang, membuat Yusuf dan semua staf Mega Legenda terdiam. 

"Ben? Namanya Malik, Cori" Yusuf meluruskan sesuatu yang tidak bengkok. 

Ben terkekeh membuat semua yang hadir di briefing pagi menjadi bingung. 

"Nggak apa-apa, Pak Yusuf. Saya mohon izin untuk memperkenalkan diri, mumpung lagi pada ngumpul." Ia berdiri tegap dan menatap satu demi satu kru Mega Legenda yang juga memandangnya penuh rasa ingin tahu, terutama pada Cori. "Nama saya Benjamin Malik Adriansyah. Malik adalah nama panggilan saya sejak pertama kali bekerja di perusahaan ini. Sedangkan Ben," Ben mencari mata tetangganya. "adalah nama panggilan saya di sekolah. Saya adalah auditor baru yang akan berduet dengan Bu Farida menggantikan auditor sebelumnya. Mohon kerja samanya, rekan-rekan."

Ben merasa kejutannya sesuai ekspektasi.

***

Sejak ia tahu Cori bekerja di atap yang sama dengannya, Ben langsung mencari tahu di kantor mana Cori berada. Dan dari 7 cabang PT. Sejahtera Bersama yang tersebar di Batam, Tuhan menetapkan takdirnya untuk bekerja satu kantor dengan Cori! Perpisahan 12 tahun yang dibayar dengan indah. Sepertinya ia akan betah bekerja di pulau kecil ini. 

Ben ingin mengejutkan Cori sekali lagi. Namun, langkahnya terhenti saat salah seorang staf Mega Legenda mengajak Cori bicara. 

"Cori, muka lo kok pucet banget? Kalo duduk di garda depan itu ya harus kayak muka Winnie, tuh. Dandan dikit, kek."

"Gue udah dandan. Lagian yang penting kan service excellent, Moza." ucap Cori setengah kesal. Kenapa Moza tidak pernah berhenti mengganggu hidupnya? 

"Kurang. Masa bodi lo yang udah gembrul begini nggak lo imbangin dengan muka lo? Usaha dikit, dong. At least dipermak dengan makeup. Kan nasabah berhadapan sama wajah lo. Badan lo ketutupan meja."

Ya Tuhan. Sudjana sendiri tidak pernah mengurusi badannya yang melar. Kenapa justru orang lain terganggu dengan bentuk tubuhnya?

"Kak Moza, lo bukannya udah body shaming, ya?" sela Winnie blak-blakan. Tapi yang namanya Moza tidak peduli dengan sindiran.

"Big no! Gue cuma ingetin Cori supaya dia lebih aware dengan muka dan bentuk tubuhnya. "

“Moza, gue nggak perlu lo ingetin.”

"Siang."

Tiga pasang mata tadi menoleh cepat ke sumber suara yang tiba-tiba mendekat.

Cori berpaling pada komputernya. Ia memejam matanya erat-erat karena didera gelombang malu. Sejauh apa Ben mendengar percakapan tidak berfaedah tadi? 

"Kayaknya lagi asyik ngobrol, nih."

"Lagi ngobrol santai aja kok, Pak. Pak Malik periksa unit apa hari ini?" tanya Moza ramaaah sekali.

"Unit Gemilang."

"Ooh."

"Tidak ada survey lapangan, Moza?"

"Ada sih, Pak. Saya tunggu Marzuki dulu baru jalan."

"Hm." Ben menganggukkan kepalanya. "Apa surveynya termasuk mengotak-kotakkan calon nasabah dari bentuk tubuhnya? Apa dia gemuk, kurus, tinggi, atau pendek memengaruhi kelayakan dia meminjam pada perusahaan kita?"

"Maksud Pak Malik?"

Diam-diam Cori menegakkan punggungnya dan menyimak setiap kata-kata Ben.

"Apa wajahnya berjerawat, korengan, tampan rupawan, atau cantik jelita menentukan jumlah pinjaman yang akan kita beri?"

"Tentu tidak, Pak." Moza dalam keadaan bingung, menerka-nerka ke mana arah pembicaraan ini berujung. Tapi dia tetap menjawabnya. "Tentu saja dari sifat, kepribadian si calon peminjam, serta kelayakan usahanya." Moza seakan sedang ditanyai tim asesor kenaikan pangkat. 

Lagi-lagi Ben mengangguk.

"Bagaimana kalau dia luar biasa cantik jelita, proposional, anggun dan menawan, dan segala kesempurnaan yang diinginkan seorang wanita ada padanya, terlebih usahanya lancar, tapi..." Ben mengunci pandangannya pada bola mata Moza dengan tatapan dingin sekaligus tajam. "...attitude-nya minus, berkata kasar, suka merendahkan orang lain, suka berbohong. Apakah kamu akan tetap memberikan dia pinjaman? Apa kamu sebagai petugas yang melakukan survei senang berkomunikasi dengan si pemilik usaha?"

"Tentu saja tidak, Pak. Mana ada yang mau bicara degnan orang seperti itu?" Moza mulai merasakan dirinya tersudutkan.

"Itu artinya kita tidak menilai orang lain dari fisik ya, Moza?"

Kini Moza sangat yakin, seluruh perkataan Ben barusan ditujukan padanya. Wajah cantiknya merah padam. 

"Pak, sepertinya Marzuki sudah selesai dari ruangan Pak Yusuf. Saya permisi berangkat survei."

Setelah Moza pergi, rasanya sesak yang menghimpit dada Cori sejak tadi menghilang entah ke mana. Lega rasanya. Cori menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Ternyata dia menahan lelahnya dari tadi. Lelah hati, lelah jiwa, lelah raga.

"Saya boleh pinjam komputernya, Cori?" tanya Ben, membuat Cori berjengit kaget.

"Bo-boleh, Pak."

Segera Cori menyingkir dan memberi tempat duduknya pada Ben.

"Kak, sabar ya. Mulut Kak Moza itu emang kayak comberan," bisik Winnie.

Tapi Win, sepertinya Ben masih bisa mendengar bisikan kamu, deh. Ben memasang telinganya baik-baik sambil klik sana dan ketik sini di komputer Cori.

"Ssst, entar kedengaran," jawab Cori tak kalah berbisik.

"Habisnya, nggak sekali dua kali dia kayak gitu. Pengen gue tabok tapi apalah daya, gue cuma kasir. Dimutasi ke Natuna mampus gue."

Cori terkekeh dan memukul lembut lengan Winnie, bertepatan dengan selesainya pekerjaan Ben.

"Cori, bisa bantu saya di belakang sebentar?

Cori menyipit curiga, tapi tetap menjawab Ben, "Baik, Pak."

Bukannya ke 'belakang', Ben membawa Cori ke ruangan pantry lantai dua. Cori sudah tahu kok, Ben pasti akan memanggilnya untuk alasan di luar pekerjaan.

Dan yang dikatakan Cori pertama kali setelah ngos-ngosan mendaki tangga adalah...

"Ada apa Pak Malik?"

Ben malah tertawa kecil. Terdengar aneh di pendengarannya saat Cori memanggilnya 'pak'."

"Jangan panggil aku Pak."

"Aku mau kita profesional di tempat kerja. Tapi tunggu dulu, deh. Kenapa nggak bilang kalau Pak Malik kerja di sini?"

"Surprise!"

Cori menggigit bibir bawahnya menahan tawa. "Iya, Pak Malik berhasil ngejutin aku."

“Ingat, kan, janjiku? Aku nggak akan tinggalin kamu, Cori. Kita sepulau, bahkan sekantor.”

"Dan Pak Malik masih ingat, kan, ada yang namanya surat MUTASI?"

Ugh, Ben lupa sama yang satu itu. 

"Ada yang lebih penting dari mutasi."

"Apa?"

"Moza sering begitu ke kamu?" Ben berubah dingin. 

Sekali lihat, Cori langsung bisa menilai lawan bicaranya bisa saja meninju dinding di belakangnya. Orang waras mana yang akan diam mendengar kata-kata penuh motivasi tadi?

Tapi dia sedang malas membahasnya. Jadi  sebagai jawaban, Cori mengatakan, "Nggak ada urusannya sama Pak Malik."

"Aku bisa melakukan sesuatu soal itu. Kamu bisa manfaatkan aku," kata pria itu sangat serius. "Tidak boleh ada tukang rundung yang bisa hidup tenang. Tidak bila dalam pengawasanku."

"Pak." Helaan napasnya keluar begitu saja. "Moza urusanku. Aku bisa mengatasinya."

Setidaknya sampai detik ini aku berhasil menahan tanganku untuk tidak menjambak rambut hasil catoknya, batin Cori. 

"Tapi Cori—"

"Kenapa Pak Malik ajak aku ke sini? Nggak mungkin mau ngomongin kerjaan, kan?" potongnya. Cori sedang tidak mau membahas Moza. 

Ben tahu dia harus bersabar menghadapi wanita ini. Mungkin nanti, pikirnya. 

"Baiklah. Apa ... pria berengsek itu masih menghubungi kamu?"

"Dia meneleponku, tapi nggak aku angkat. Pesannya juga nggak aku gubris."

"Kenapa?"

"Aku masih kesel."

"Nggak apa-apa. Take your time. Tapi aku sarankan jangan terlalu lama. Bagaimanapun kalian harus membicarakannya. Kalau dia cari masalah, beri tahu aku. Biar aku yang membereskannya," janji Ben.

Cori mengangguk. "Udah selesai kan? Aku mau ke mejaku sekarang."

Ben menggeleng. "Tunggu. Ini terakhir. Janji."

"Baiklah. Apa, Pak Malik?!"

Pak Malik! Saking menggelikannya panggilan 'Pak' dari mulut Cori membuat Ben memutar bola matanya.

"Jangan beri tahu siapa pun kalau kita bertetangga."

Bersambung
Body shaming is not cool, everyone! πŸš¨β›”πŸš«βŒ

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ADITYA DAN RA
16427      2683     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
About Secret Admirer
551      351     0     
Romance
Untukmu yang bernasib sepertiku Hanya bisa menyimpan sebuah nama Selalu menyimpan rasa rindu dan cinta Namun tak bisa memiliki hati dan raganya Menyelami lautan rasa penuh luka Merajut kisah sendiri bersama puluhan rasa dalam diam Berharap dia tahu tanpa kita mengatakannya Hatinya berisik, mulutnya bungkam Selamat menikmati πŸ˜ƒπŸ˜ƒ Based on true story πŸŒƒπŸŒƒ
ALL MY LOVE
519      356     7     
Short Story
can a person just love, too much?
My Lovelly Doll
550      381     3     
Short Story
\"Diam dan memendam menunggu saat terbaik untuk menciptakan momen terindah.\"
Innocence
4481      1503     2     
Romance
Cinta selalu punya jalannya sendiri untuk menetap pada hati sebagai rumah terakhirnya. Innocence. Tak ada yang salah dalam cinta.
Kala Badai Menerpa
918      455     1     
Romance
Azzura Arraya Bagaswara, gadis kelahiran Bandung yang mencari tujuan dirinya untuk tetap hidup di dunia ini. Masalah-masalah ia hadapi sendiri dan selalu ia sembunyikan dari orang-orang. Hingga pada akhirnya, masa lalunya kembali lagi untuknya. Akankah Reza dapat membuat Raya menjadi seseorang yang terbuka begitu juga sebaliknya?
Jawaban
349      219     3     
Short Story
Andi yang digantung setelah pengakuan cintanya dihantui penasaran terhadap jawaban dari pengakuan itu, sampai akhirnya Chacha datang.
Renjana: Part of the Love Series
225      186     0     
Romance
Walau kamu tak seindah senja yang selalu kutunggu, dan tidak juga seindah matahari terbit yang selalu ku damba. Namun hangatnya percakapan singkat yang kamu buat begitu menyenangkan bila kuingat. Kini, tak perlu kamu mengetuk pintu untuk masuk dan menjadi bagian dari hidupku. Karena menit demi menit yang aku lewati ada kamu dalam kedua retinaku.
MASIHKAH AKU DI HATIMU?
620      404     2     
Short Story
Masih dengan Rasa yang Sama
Petualangan Angin
164      143     1     
Fantasy
Cerita tentang seorang anak kecil yang bernama Angin. Dia menemukan sebuah jam tangan yang sakti. Dia dengan kekuatan yang berasal dari jam itu, akan menjadi sesuatu kekuatan yang luar biasa, untuk melawan musuhnya.