Read More >>"> Ben & Cori (10. Kluster Kepodang ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Berhubung Cori setuju dengan permainan kecilnya, maka Ben meminta Cori untuk menonton sandiwaranya.

Selagi Ben menggeser tombol hijau dan mengaktifkan speaker, dada Cori mulai bergemuru.

"Sayang, kamu di mana sekarang? Kamu nggak jadi ikut reuni SMA, kan? Katanya kalau nggak ada aku, kamu nggak mau pergi. Kamu lagi ngapain, Sayang? Aku ganti ke video call, ya? Sayang... Halo... Suara kamu kok nggak ada?" Arga langsung memborbardir Cori begitu hubungan telepon tersambung. 

Mendehem beberapa kali, Ben mulai beraksi. "Halo, sekarang Cori sedang tidak bisa menerima telepon. Saya bicara dengan siapa, ya?" tanya Ben seramah mungkin.

"LU SIAPA? Kenapa lu yang jawab ponsel Cori?! Ngapain kalian berdua-duaan? Kalian di mana?!" Suara Arga berubah gusar dengan cepat.

"Saya..." Sebelum menjawab, Ben melirik Cori yang juga ikut-ikut menegang. "...teman dekat Cori. Kami sedang jalan-jalan di tepi pantai."

Si Penonton menajamkan pendengarannya demi mendengar pembicaraan dua lelaki ini. Akting Ben sangat luar biasa tenang meski kekasihnya seperti orang yang kebakaran rumah di ujung sana. 

"TEPI PANTAI?!"

"Betul. Dia kecewa karena tidak jadi datang ke reuni SMA-nya. Jadi saya bersedia menemani gadis cantik ini ke manapun dia ingin pergi."

"TEMAN DEKAT? GADIS CANTIK? Cori tidak punya dekat teman laki-laki. Beraninya lu muji-muji cewek gua!"

Kak Ben! protes gadis itu tanpa suara.

Ben justru membalasnya dengan kekehan kecil.

"Kamu memang cantik. Aku tidak membual untuk yang satu ini," bisik Ben serius. Cori sampai melempar tangannya ke udara.

Dia bukan pembunuh berdarah dingin, tapi tukang gombal kelas kakap, satu circle sama Denny Cagur! dumel Cori di kepalanya. 

"Berarti Anda tidak mengenal 'pacar' sendiri. Lagi pula, Cori memang cantik. Rugi besar ada orang yang sia-siain wanita seperti dia."

Tarikan kuat di lengan kemejanya membuat Ben menoleh pada si pelaku.

"Kak Ben mulai ngelantur. Udahan aja," desis Cori mengancam. Sayangnya, wajah serius Cori diartikan berbeda oleh Ben.

Ya ampun. Kenapa pipinya lucu begitu? batin Ben. 

"HEH! Jangan macam-macam sama pacar gua! "

"Yang macam-macam itu saya atau Anda, sih? " Ben mendengkus geli.

Si Gadis Cantik memutar bola matanya dramatis. Namun, tak pelak garis senyumnya tertarik jua ke kiri dan ke kanan.

Astaga, kenapa aku nggak merasa bersalah sama Mas Arga? bersitnya. Cori mulai merasakan kalau ide ini tidaklah terlalu buruk.

"Siapa lu?! Ketemu kita sekarang!"

"Tidak perlu bertemu, soalnya kami mau pergi bersenang-senang."

"Woy, tunggu! Gua mau bicara dengan pacar gua!"

Klik. Komunikasi dimatikan sepihak.

Arga mencoba menghubungi Cori beberapa kali. Yang didapat Arga? Dia dikacangi.

Puas, itu kata yang menggambarkan isi hatinya. Cori tanpa sadar terus tersenyum. Namun, detik berikutnya senyum itu lenyap dari wajah cantiknya. 

"Terus setelah ini apa?" Tiba-tiba Cori panik sendiri. "Kalau Mas Arga minta penjelasan, aku harus jawab apa? Yang bohong kan, Kak Ben, bukan aku." Cori tak dapat menyembunyikan kegundahannya. Dia sampai menggerakkan tangannya tak tentu arah.

Ben sampai harus memerangkap kedua pergelangan tangan Cori dalam genggamannya. "Tenang dulu, Cori."

"Yang bakal ketemu Mas Arga setelah telepon tadi tuh aku, Kak. Bukan Kak Ben. Toh setelah ini kita nggak akan bertemu lagi."

Terus terang Ben tidak menyukai ucapan Cori. Ben tidak menyukai perpisahan. Telah banyak adegan perpisahan yang menyakitkan yang dia alami. Untuk itu, kali ini Ben tidak akan membiarkan dirinya dan Cori berpisah untuk yang kedua kali.

"Cori, dengar!" Ben memastikan Cori hanya menatap matanya dan meremas lembut kedua tangan adik kelasnya agar dia sadar. "Urusan Arga sudah menjadi urusanku bila menyangkut kamu dan Riri. Aku tidak akan membiarkan pria berengsek macam dia menyakiti kalian."

Karena Cori diam saja, Ben menyerahkan ponselnya sendiri pada adik kelasnya.

"Simpan nomor kamu di sini. Kalau Arga menghubungi kamu, bilang padaku. Selama kita masih berada di satu pulau yang sama, kita tidak akan berpisah," jawabnya mantap langsung ke bola mata yang khawatir itu.

Entah bagaimana, Cori bisa merasakan kali ini janji barusan benar-benar akan ditepati.

"Kak Ben janji?"

"Janji."

Dan Cori pun menyimpan nomornya di ponsel milik Ben dengan nama, Coriander Romaine Sudjana.

***

Untuk makan malam, Ben meminta Cori membawanya ke restoran mi Tarempa, makanan khas Kabupaten Anambas. Ia ingin membuktikan apakah rasanya sesuai dengan klaim yang disombongkan kawannya saat masih bertugas di Pekanbaru. 

"Jadi, suka sama mi Tarempa?" tanya Cori.

Ben melicinkan piringnya, baru bicara. "Lidahku kaget ada potongan ikan. Sejujurnya bukan tipeku. Tapi bumbunya enak. Cocok sama teh tarik dingin."

"Kak Ben nggak suka ikan tongkol."

Ben tersenyum. "Tebakan yang tepat."

"Sebentar, HP-ku bunyi." Tampang memelas Cori muncul saat tahu siapa yang menghubunginya. "Papaku nelepon. Kayaknya Kak Ben harus bicara sama papaku."

"Kenapa?"

"Sekarang pukul 07.30 malam dan aku masih di luar rumah. Papa harus tahu aku sedang sedang apa, sedang di mana, dengan siapa, dan pulang jam berapa. Daddy's only daughter." Cori menunjuk dirinya malu-malu. "Oh, satu lagi. Papaku galak," katanya cepat-cepat. 

"Oke," ucap Ben tanpa perlu berpikir.

Ha? Secepat itu? bersit Cori. 

"Hm, baiklah. Beri aku waktu lima menit bicara sama papa."

Cori menjelaskan semua informasi dasar yang harus diketahui oleh Sudjana, semata-mata agar papanya tidak khawatir.

"Cori sama temen SMA, Pa," ucap Cori pada ponselnya.

"Teman yang mana?"

"Duluuu banget Cori pernah cerita, Cori bantuin kakak kelas tiga nyariin cincinnya dia."

Yang sedang dibicarakan mengulum senyum malu. Ia tidak menyangka pernah menjadi topik pembicaraan Cori dengan papanya.

Membayangkan pertemanan seperti apa yang akan terjadi bila mereka tidak berpisah membuat Ben menderita karena angan-angan yang tak pernah sampai. Dunianya seakan hancur ketika tahu ia akan pindah ke luar kota. Permintaan Ben untuk tetap melanjutkan sekolah di sekolah lama ditolak mentah-mentah oleh orang tuanya. Ben patah hati. Bagaimanapun, memori yang tak sampai sepuluh hari itu begitu membekas.

"Yang namanya Ben?"

Cori takjub dengan ingatan papanya. "Papa masih ingat Kak Ben?"

Ben kembali menegakkan telinganya.

"Tentu saja. Gara-gara dia anak Papa patah hati dan di-bully penggemarnya. Dia yang bikin anak Papa menderita di tahun terakhirnya di SMA!"

"Cory nggak semenderita itu," bisiknya. Takut Ben akan mendengarnya.

"Mana dia? Papa mau memastikan kamu pulang diantar pulang dengan aman." Cori memutar bola matanya.

"Kak," panggil Cori enggan. "Papa." Ben mengangguk dan menerima ponsel Cori.

"Halo"

"Hm."

"Perkenalkan namaku Benjamin, Om, kakak kelas Cori waktu SMA."

"Sudah tahu," jawab Sudjana dingin, tapi tak membuat Ben gentar. "Sekarang sudah malam. Jangan keluyuran ke mana-mana. Langsung antar anak saya pulang. Sebelum pulang, suruh Cori foto mobilmu. Yang ada nomor polisinya. Kirim nomer ponselmu ke nomor saya."

"Baik, Om. Ben akan antar Cori sampai ke depan rumahnya."

Ke depan rumah? Mana bisa Bambang? Mobil bukan penghuni kluster nggak akan bisa masuk sembarangan, cemooh Cori dalam kepalanya.

"Oke. Setelah sampai hubungi saya lagi!" Bukannya ketakutan, Ben malah tersenyum.

"Baik, Om."

Klik.

"Apa kata Papa?"

"Harus antar anaknya pulang dengan selamat sampai tujuan. Terus papamu minta kirim nomor HP-ku dan foto mobilku yang ada nomor polisinya."

Cori meringis malu. "Galak kan, papaku?"

Pria itu menggeleng tidak setuju. "Aku akan melakukan hal yang sama bila adik perempuanku berada di posisi kamu."

Cori menghembuskan napas lega. "Baiklah. Terima kasih sudah mau menyanggupi perintah papaku."

"Sama-sama. Itu gunanya teman, kan?"

"Memangnya kita temenan?"

"Not again, Coriander!" Ben pura-pura cemberut.

Pernyataan si Gadis Ketumbar 12 tahun yang lalu terulang kembali.

"Kenapa? Aku cuma tanya, kita temenan lagi?"

"Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban." Ben memutar bola matanya dramatis.

Si Gadis Ketumbar tertawa lepas, seakan kata-kata Ben selucu materi para komika stand up comedy.

Ben ... terhipnotis (lagi). 

"Ya Tuhan, Kak Ben terlalu lucu!"

"Hah?"

"Thanks, Kak."

"Untuk apa?" Pertanyaan bodoh itu terucap saja dari mulutnya. Mungkin otaknya masih berkabut dengan tawa memesona tadi.

"Untuk semuanya. Ngobrol sama Kak Ben sejujurnya bikin level stresku menurun." Cori bahkan sempat melupakan keberadaan Arga di dunia. 

"Hm ... s-sama-sama," tutur Ben terbata-bata.

"Dan terima kasih telah meladeni papaku dengan baik. Nggak semua temenku bisa bicara sama papa tanpa gemetar terlebih dahulu. Bahkan ... Arga sekalipun."

Ketakutan. Ini adalah kata terbaik untuk mewakili Arga bila itu berhubungan dengan Sudjana. 

Ben tersenyum manis setelah mampu menguasai dirinya lagi. "My pleasure, Cori. So, jangan buat papamu lebih cemas lagi. Ayo segera angkat kaki dari tempat ini."

***

"Kamu kerja di mana?" tanya Ben saat si Brio putih memasuki jalan raya.

"PT. Sejahtera Bersama."

Ben seketika menoleh. "Oh ya? Sejak kapan?"

"Sudah lima tahun."

Ben mengangguk. "Perusahaan yang bagus. Hanya orang-orang terpilih yang bisa bekerja di sana."

"Aku cuma beruntung."

Ben menggeleng tegas. "Semua orang juga tahu masuk ke PT. Sejahtera Bersama sangat sulit. Dan kamu kan memang pintar. Murid akselerasi yang lompat kelas dua kali!" puji Ben tulus.

Cori menggeleng samar. 

"Percayalah, kelas akselerasi nggak berguna di dunia kerja. Aku hanya tamat lebih cepat dari yang lain dan akibatnya aku melewatkan proses belajar bersosialisasi karena terlalu cepat tamat di SMP, SMA, dan kuliah. Aku jadi nggak punya banyak teman. Sedangkan dalam dunia kerja, mereka tak hanya butuh ijazah, tapi juga butuh soft skill dalam bersosialisasi dengan pekerja lain dan untuk mengatasi masalah hidup yang nyata. Jadi, nggak ada yang pantas diglorifikasikan dari kelas akselerasi."

Ah, Gadis Ketumbarnya yang malang. Kali ini Ben ingin sekali lagi mencampuri hidupnya. 

"Aku kan sudah bersedia menjadi teman sejak dulu. Kalau begitu, belajar bersosialisai bersamaku. Bagaimana?" tawar Ben.

Cori malah terkekeh. Ben yakin, mulai detik ini, tawa Cori akan selalu menjadi salah satu kesukaannya.

"Bagaimana, Cori? Kamu mau memulai berteman dengan benar denganku?" ulang Ben. "Dan aku janji nggak akan pergi ke manapun tanpa memberi kabar."

"Kak Ben, Kak Ben. Baiklah. Kenapa tidak?" jawab Cori santai.

Yes. Ben berselebrasi dalam kepalanya.

"Rumah kamu di mana?"

"Perumahan Nuri 1." Ben menaikkan kedua alisnya sempurna. 

"Kluster?"

"Kepodang."

"Nomer rumah?"

"Buat apa? Toh Kak Ben nggak bakal bisa masuk."

"Supaya bisa nganterin kamu sampai depan rumah, lah. Sesuai janjiku ke papa kamu."

Walaupun sejak tadi Ben tidak pernah berbuat aneh-aneh padanya, tapi alarm waspada langsung menyala di belakang kepalanya. Ben membuat Cori was-was setelah pria itu menyuruhnya menyebutkan alamat rumahnya dengan detail. Demi Tuhan, mereka baru saja bertemu.

Cori senang mereka berteman lagi, tapi tidak grasak-grusuk seperti ini. Cori tidak nyaman memberitahu 'wilayah pribadinya' pada sosok asing ini. Cukup dengan urusan Arga saja dia mau terbuka. Yang lain? Pelan-pelan dulu.

"Nggak usah mikir yang macem-macem, Kak. Kak Ben baru tiga hari di sini. Ini tanya-tanya Perumahan Nuri 1. Tempatnya aja pasti nggak tahu. Udah, ikutin aja arahan dari aku," pungkas Cori cepat-cepat.

"Aye-aye, Capt." Ben tersenyum misterius tapi tetap melajukan mobilnya.

Ketika sampai di depan gerbang utama Perumahan Nuri 1, Ben menurunkan kaca jendela dan tersenyum pada satpam. Herannya, Satpam yang bertugas mengangguk dan palang diangkat tanpa meminta KTP Ben. Kening Cori mengernyit heran.

Selagi Cori masih berkutat dengan keheranannya, mobil Ben sudah berbelok ke dalam Kluster Kepodang.

"Lho, kenapa Kak Ben bisa masuk ke kluster ini? Kenapa satpam kluster bolehin Kak Ben masuk?"

Ben mengulum senyum sambil terus melajukan mobil, lambat seperti siput.

"Rumah kamu nomor berapa?" Ben memilih untuk tidak menjawab Cori.

"Mending Kak Ben berhenti. Aku bisa jalan ke rumahku sendiri." Suara Cori mulai gusar. Ia sudah bersiap-siap membuka pintu mobil kalau-kalau Ben berbuat mesum padanya.

Cori dihujani perasaan was-was, takut, dan merinding. Perumahan ini cukup lengang karena baru dibuka dua tahun yang lalu. Di kluster ini saja baru terisi lima unit. Dia tidak mengenal siapa tetangganya karena setiap hari pergi pagi pulang malam. Akhir minggu ia habiskan untuk beres-beres rumah. Mana sempat bersosialisasi dengan tetangga? 

"Ayolah. Rumah di kluster ini cuma delapan unit."

Bulu kuduk Cori berdiri tegak! "Kenapa Kak Ben tahu berapa jumlah unit Kluster Kepodang?! Kak Ben stalking aku? Kak Ben mau berbuat mesum? Mau jahatin aku?!"

Cori semakin ingin lari saat Ben mematikan mesin si Brio putih. Pria itu memutar badannya pada gadis yang mulai panik. 

"Rumahku nomor empat. Rumah kamu nomor berapa, Coriander?"

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sebuah Musim Panas di Istanbul
351      246     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
ADITYA DAN RA
16427      2683     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
Last Hour of Spring
1441      748     56     
Romance
Kim Hae-Jin, pemuda introvert yang memiliki trauma masa lalu dengan keluarganya tidak sengaja bertemu dengan Song Yoo-Jung, gadis jenius yang berkepribadian sama sepertinya. Tapi ada yang aneh dengan gadis itu. Gadis itu mengidap penyakit yang tak biasa, ALS. Anehnya lagi, ia bertindak seperti orang sehat lainnya. Bahkan gadis itu tidak seperti orang sakit dan memiliki daya juang yang tinggi.
Sherwin
345      227     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Kepada Gistra
458      343     0     
Short Story
Ratusan hari aku hanya terfokus mengejar matahari. Namun yang menunggu ku bukan matahari. Yang menyambutku adalah Bintang. Kufikir semesta mendukungku. Tapi ternyata, semesta menghakimi ku.
Fallen Blossom
522      332     4     
Short Story
Terkadang, rasa sakit hanyalah rasa sakit. Tidak membuatmu lebih kuat, juga tidak memperbaiki karaktermu. Hanya, terasa sakit.
Mata Senja
555      386     0     
Romance
"Hanya Dengan Melihat Senja Bersamamu, Membuat Pemandangan Yang Terlihat Biasa Menjadi Berbeda" Fajar dialah namaku, setelah lulus smp Fajar diperintahkan orangtua kebandung untuk pendidikan nya, hingga suatu hari Fajar menemukan pemandangan yang luarbiasa hingga dia takjub dan terpaku melihatnya yaitu senja. Setiap hari Fajar naik ke bukit yang biasa ia melihat senja hingga dia merasa...
Ghost Hunter
1929      1080     2     
Horror
sekelompok pemuda masih berstatus mahasiswa yang menyukai kegiatan mistis, kerap melakukan penelusuran tiap malam Selasa dan malam Jumat Kliwon. Mereka ditemani oleh Mbah Susilo sang sesepuh desa yang mempunyai kemampuan yang tak biasa.
Anderpati Tresna
2393      923     3     
Fantasy
Aku dan kamu apakah benar sudah ditakdirkan sedari dulu?
Dealing with Change
680      456     3     
Short Story
Perubahan-perubahan bagai batu benturan yang tidak terhindarkan. Sekalinya kita berkelit, ia akan datang lagi dan lagi.