Read More >>"> Ben & Cori (9. Ide Cemerlang ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Lagu Havana Camila Cabello mengudara dari radio Singapura, menemani dua mantan remaja yang sedang diam-diaman sejak mobil Ben meninggalkan kafe 10 menit yang lalu. Mulut keduanya terkunci rapat karena pikiran masing-masing yang sedang riweuh

Si Supir sedang mempertanyakan kebodohannya mengapa tidak ia bikin pria berengsek itu babak belur sebelum membawa Cori menjauh dari Arga? 

Sedangkan si Penumpang menyandarkan kepalanya yang berat ke kaca jendela. Ia juga sedang mempertanyakan tindakannya yang bodoh: kenapa ia mau-mau saja diantar pulang oleh 'pria asing' ini? Cori tidak lagi mengenal siapa sosok yang sedang duduk di balik kemudi. Demi Tuhan, sudah dua belas tahun dan selama itu, Ben bisa saja berubah menjadi seorang pria tampan baik hati di siang hari dan menjadi pembunuh berantai berdarah dingin di malam hari. Arga membuat pikiran menjadi irasional! 

Desahan kecil Cori terdengar oleh si supir.

Cori sudah berusaha menepis wajah itu dengan segala cara. Namun, pikirannya telah kurang ajar membayangkan untuk kesekian kali wajah Arga tersenyum menatap penuh cinta pada kakak kelasnya. Tak sadar air matanya mengalir lagi memandangi jalanan yang mengabur.

Lagi-lagi Cori mendesah pelan.

"Kamu ... baik-baik aja?"

"Menurut Kak Ben?!" Cori memutar bola matanya tanpa perlu menoleh. Bukankah pertanyaan tadi tidak membutuhkan jawaban?

"Maaf, nggak peka."

Gadis itu mendengkus pelan.

"Kamu yakin langsung pulang? Nggak mau pergi ke suatu tempat buat ngilangin stres?"

"Emang mau ke mana?"

"Makan, nge-mall, atau ngebolang ke pantai, mungkin?" ucap seseorang yang usia kependudukannya baru beberapa hari di Batam. Padahal ia tak tahu-menahu tentang pulau ini. 

Sebut saja Cori sudah tidak waras karena kalimat selanjutnya membuat hati nuraninya menjerit tidak terima.

"Kalau gitu kita ke Ocarina."

Astaga! Apa yang baru saja aku katakan, sih? Tenang. Masih bisa aku cancel, bersitnya menyakinkan diri. 

"Oke. Kita ke Ocarina. Tapi Cori..."

"Kenapa?"

Seharusnya Cori menolak Ben! Bukan bertanya kenapa.

"Aku nggak tahu apa itu Ocarina."

Cori tertawa kecil. "Masa nggak tahu? Udah berapa lama Kak Ben tinggal di Batam?"

"Secara teknis, hari ini hari ketiga."

"Apa?!"

"Yep, itu benar." Ben melipat senyum.

"Ngapain ke sini? Cuma buat datengin reuni?"

"Dan untuk beberapa hal lain," sambung Ben. 

"Oh." Cori tidak tertarik menggali informasi tadi. 

"Cori."

"Apa?"

"Kamu harus segera memberi tahu aku ke mana arah Ocarina, karena sebentar lagi kita akan melewati persimpangan lampu merah," tunjuk Ben ke jalan.

Tanpa pikir panjang, Cori menjawab, "Belok kiri dan setelah itu lurus melewati tiga kali simpang lampu merah, lalu belok kanan."

Sedetik kemudian, Cori menyesal telah menunjukkan jalan pada Pak Supir.

"Got it."

***

Ocarina adalah sebuah taman wisata seluas 40 hektar yang diisi dengan pelbagai wahana permainan, kuliner, dan pantai. Itu sebabnya Cori mengajak Ben ke sini. Ia ingin menenangkan diri dengan memenuhi pendengarannya dengan simfoni deburan ombak yang dipecah batu. 

Kini mereka sedang duduk dalam diam di pinggir jalan setapak yang berhadapan langsung dengan laut, seakan sedang menikmati bias matahari sore yang memantul pada riak air. Kilau perak kecil bak ribuan permata yang terapung menjadi hiasan indah sejauh mata memandang.

Ben berusaha menikmati kesunyian ala Cori, diiringi bunyi tapak kaki pengunjung lain yang berlalu lalang di belakang mereka. Tapi karena Cori masih betah dalam kediamannya, lama-kelamaan Ben tidak tahan. Maka ini yang dilakukan Ben.

"Apa kabar, Coriander?"

Cori menoleh. Walaupun keningnya mengernyit, Cori tetap menjawab, "Aku ... lagi nggak baik." Kedua bahunya terangkat samar.

Ben terpaksa menggigit lidahnya karena hampir meyemburkan pertanyaan, Karena Arga, kan?

"Sudah lama tinggal di Batam?"

"Satu tahun."

"Sebelum di Batam?"

"Aku kerja di Jakarta. Kantor yang pindahin."

Ben mengangguk-angguk. "Seru tinggal di sini?"

"Enggak," jawab Cori singkat, padat, jelas.

Ben sampai menaikkan kedua alisnya. "Kenapa? Kalau aku boleh tahu."

Sebelum menjawab, Cori mendesah lelah. "Sebenarnya Batam nggak sejelek itu. Nggak semacet Jakarta, ke Singapura tinggal nyeberang pake feri, makanannya juga enak-enak. Tapi aku jadi jauh dari Papa, ya walaupun pulang ke Jakarta cuma makan waktu sejam lebih. Terus temenku nggak asyik. Mereka makhluk paling berisik yang pernah aku temui. Dan tempat ini, tempat aku dikhianatin diam-diam."

Cori memeluk lututnya, menyembunyikan getir ingatan pedih yang tertinggal di parkiran kafe. Bayangan Arga mencium kakak kelasnya benar-benar melukai jantungnya dengan pisau berkarat.

Ben sengaja diam. Mungkin kali ini Cori hanya ingin didengar, bukan dikomentari. Dan dia akan berada di posisi itu, untuk sementara.

Sementara? Kamu gila, Ben? protes Ben dalam hatinya. 

"Kapan-kapan mau tunjukin aku makanan enak versi kamu? Kata temenku mi Tarempa juara di sini. Aku nggak tahu apa-apa soal makanan itu selain makanan itu pasti berbentuk mi." Ben terkekeh kecil.

Cori menoleh cepat demi menatap wajah Ben yang sedang menunggu jawabannya. Kali ini ia bisa melihat kakak kelasnya dengan jelas. Ben jauh berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Dulu Ben memang tampan. Tapi hari ini, kadar ketampanan Ben jauh meningkat beratus kali lipat. Tidak ada tubuh ceking, kulit gelap karena terbakar matahari, dan muka dekil khas anak sekolah yang suka olahraga out door. Yang ada adalah wajah rupawab khas karyawan eksekutif dengan tubuh proposional dan sedikit ... berotot.

Tiba-tiba ia dilanda insecurity detik itu juga. Ia dan Ben tak pantas duduk bersisian seperti ini. Bahkan ia tak pantas bila dibandingkan dengan Riri. 

"Kenapa?" 

"Ya, karena kamu lebih senior di kota ini. Jadi guide-ku, mungkin?"

"Maksudku, kenapa Kak Ben mau temenan sama aku lagi? Kalau Kak Ben tiba-tiba pergi lagi tanpa kabar seperti dulu?"

Ben tertawa lepas, membuat Cori sempat terpana dan menikmati tawa itu.

"Maaf. Dulu kami sekeluarga pindah mendadak ke Semarang. Aku lupa kita tidak pernah bertukar nomor ponsel atau email untuk berkomunikasi."

"Jadi Kak Ben pergi tanpa kabar hanya karena pindah kota?"

"Sadly, yes," jawab Ben penuh penyesalan.

"Aku pikir Kak Ben nggak mau temenan sama aku lagi."

"Nggak ada alasan aku nggak mau temenan sama kamu. Ruang dan waktu yang memaksa kita berpisah," ucap Ben menerawang ke panorama yang sudah menjingga.

"Tapi kalau mau jujur dari sekarang juga nggak apa-apa. Aku nggak secantik Kak Riri. Aku perempuan yang nggak menarik. Kalau mau ninggalin aku kayak Mas Arga meskipun kita hanya temenan, kasih aku kisi-kisi. Biar aku nggak kaget nantinya. Jadi aku mohon, jujur ya Kak kalau memang Kak Ben nggak mau temenan sama aku sejak awal."

Ben mendengkus kesal. Baru kali ini ia mendengar kata-kata paling putus asa selama ia hidup di bumi. Bahkan, ketika ayahnya memutuskan berpisah, Popy adalah sosok paling gigih untuk menegakkan mahligai pernikahannya hingga tetes darah terakhir.

"Jangan pernah berkata seperti itu mengenai diri kamu sendiri, Cori!"

"Aku hanya berkata apa adanya," ucapnya berusaha tegar, padahal suaranya sudah bergetar.

"'Apa adanya' yang terdengar seperti tidak menghargai diri sendiri!" Amarah Ben tak mampu dibendung lagi.

"Aku hanya berkata jujur tentang diriku. Apa aku salah?" ucapnya lemah, menunduk memandang sepatu kets putihnya.

Padahal, seingat Ben, Cori adalah perempuan paling cuek dengan penampilannya sekaligus paling baik hatinya yang pernah dia temui. Cori adalah perempuan langka yang menyadarkannya bahwa pertemanan jujur dan apa adanya adalah nyata di dunia ini.

Ben mendesah kalah. Suara rapuh barusan segera melenyapkan amarahnya. Semudah itu emosinya menguap tak bersisa gara-gara Si Gadis Ketumbar.

Gadis Ketumbar, ulangnya dalam hati. 

Sudah lama julukan manis itu menghilang dalam ingatannya. Mengingatnya kembali ternyata ... menyenangkan. 

"Cori—"

Ucapan Ben terpotong oleh getar ponsel Cori. Dan yang telah kurang ajar menginterupsinya adalah Arga.

"Nggak mau dijawab?"

Gadis chubby itu menggeleng pelan.

Sebuah ide cemerlang melintas di benaknya. Ben memutar duduk agar merek berhadapan, membuat Cori ikut-ikutan membeo.

"Mau aku yang jawab?"

Cori menaikkan alisnya sebelah. "Untuk apa?"

"Dia nggak tahu kita berteman."

"Lalu?"

"Aku hanya ingin beri pelajaran pria berengsek macam dia," katanya santai. 

Mulut Cori menganga melihat betapa antusiasnya Ben dengan ide gila ini. Cori kehilangan kata-kata.

"C'mon, Cori. Are you in?" desak Ben. 

Bersambung

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Titik berharga di era pandemi
194      138     1     
True Story
"Bagaimana ya rek kalo libur selama satu tahun itu diberlakukan? Ah seketika indah pasti duniaku," celetuk gadis berkerudung itu. "Ah jangan ngaco toh kamu! imposible itu mah," Jawab salah satu dari kami. Ketika impian seorang bocah remaja yang duduk dibangku SMP menjadi realita nyata di depan mata. Perpaduan suka duka turut serta mewarnai hari-hari di era masa pandemi. P...
KING MIDAS AND HIS GOLDEN TOUCH
355      232     1     
Short Story
As greed for gold takes over a king, bad things happen.
PALETTE
495      262     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
Monday
253      198     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
Namaste Cinta
9562      1842     5     
Romance
Cinta... Satu kata yang tak pernah habisnya menghadirkan sebuah kisah...
One
404      261     1     
Short Story
A kid who wants to become one with his personalities
Kapan Pulang, Dean?
455      339     0     
Short Story
Tanpa sadar, kamu menyakiti orang yang menunggumu. Pulanglah...
SIBLINGS
6528      1152     8     
Humor
Grisel dan Zeera adalah dua kakak beradik yang mempunyai kepribadian yang berbeda. Hingga saat Grisel menginjak SMA yang sama dengan Kakaknya. Mereka sepakat untuk berpura-pura tidak kenal satu sama lain. Apa alasan dari keputusan mereka tersebut?
ILUSI DAKWAH
429      302     0     
Short Story
kisah aktivis dakwah kampus yang sangat berat dan tidak sesuai dengan harapan dan rencana.
Peringatan!!!
2081      877     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...