Read More >>"> Ben & Cori (3. Cincin Bermata Safir) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Ben berjalan jongkok layaknya jalan maling TV yang baru ditangkap polisi. Sudah berapa lama dia seperti ini? Sepuluh? Lima belas menit? Tak tahu waktu lagi, Ben.

Matahari hari ini benar-benar tidak membantunya sama sekali. Kulitnya memerah karena terbakar. Seragamnya basah oleh keringat, tapi cincin yang dia cari masih tak tahu rimbanya.

"Astaga! Si Ketumbar." Tak sampai sedetik, Ben menepuk mulutnya. Dia berdoa si Cewek Ketumbar tidak mendengarnya. Ben tidak mau disamakan derajatnya dengan tukang rundung.

Persis seperti dirinya, Cori juga berjalan jongkok di tengah lapangan. Tapi Ben tidak mau Cori berlama-lama memanggang dirinya.

"Hei." Tepukan lembut mendarat di bahu Cori.

"Ya, Kak?" jawabnya tanpa menoleh. Sebab matanya sedang berusaha menemukan benda berkilat itu.

"Istirahat dulu." Ben menunjuk deretan pohon Mahoni di pinggir lapangan. 

"Tanggung."

"Gue juga mau istirahat."

"Istirahat aja duluan."

Astaga. Cewek ini keras kepala, dumel Ben dalam hati. 

"Ya udah. Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!"

Akhirnya Cori mendongak kemudian  berdiri. "Aku juga nggak tahu mesti ke mana. Ini kali pertamaku bolos," ucapnya tanpa bersalah.

"Selama lo sekolah?"

"Iya."

Ben bertepuk tangan. Ceritanya memberi selebrasi kecil-kecilan untuk si Cewek Ketumbar.

"Bagus. Lo harus rasain gimana rasanya bolos, biar bisa lo ceritain lagi ke anak cucu lo. Masa mau jadi siswa baik-baik mulu?" Ben terkekeh.

Astaga Ben. Apa dia tidak sadar sedang memberi apresiasi pada tindakan yang salah?

Ben sadar, kok. Dia hanya ingin memberi Cori selamat atas tindakannya yang 'nekat'.

"Hmm, bener juga, ya?" Cori tersenyum lebar menyetujui ide barusan.

Lagi-lagi Ben terpana. Karena merasa aneh, cepat-cepat ia gelengkan kepala.

"Gu-gue ke kantin. Kalo ada guru lewat, ngumpet aja. Oke!" Ben segera pergi tanpa menunggu respon si Cewek Ketumbar.

Dalam sepuluh menit, Ben muncul lagi di lapangan basket dengan membawa minuman soda dingin dalam plastik. Apa yang dilihatnya? Si Cewek Ketumbar masih menyisir lapangan basket!

Ben tahu cincin itu amat berharga, tapi tidak lantas membuat Ben tega membiarkan seorang cewek panas-panasan demi mencari barang kepunyaannya. Dan demi Tuhan! Ben  tidak tahu nama cewek itu!

"Hei. Minum dulu."

"Tunggu seben-,"

Dalam sekali sentakan, si Cewek Ketumbar dipaksa berdiri.

"Eeeh, aku mau diapain?"

Tanpa diberi waktu untuk memroses apa yang terjadi, tangan Cori ditarik dan diseret untuk duduk di hamparan rumput di bawah naungan mahoni raksasa.

"Nih, buat lo."

"Wah! Makasih, Kak." Dalam hitungan detik, Cori menyedot isi plastik hingga tersisa sedikit.

Diam-diam Ben tersenyum.

"Gue nggak tahu nama lo." Selain panggilan Ketumbar, sambung Ben dalam hatinya.

"Ya ampun! Iya, ya?" Cori terkekeh. "Nama, ya?"

Cori tertarik untuk melihat sesuatu dari kakak kelasnya. Apa dia akan sama saja dengan teman-teman sekelasnya? Cori akan segera mengetahuinya.

"Namaku Coriander. Tapi kalau mau panggil Cori juga boleh. Kepanjangan kalau Kakak mesti panggil aku, Coriander, Coriander." Cori tertawa kecil.

Ben menaikkan kedua alisnya spontan. Ia akhirnya paham mengapa bacot-bacot tempo hari meledekinya ketumbar. 

"Gue Ben."

Cori juga meniru polah Ben dengan menaikkan kedua alisnya.

Dia enggak mau ngetawain namaku, gitu? Hm... Menarik.

"Tapi aku udah tahu nama Kakak."

Ben menyipit curiga. "Kok bisa tahu?"

"Siapa yang nggak kenal Benjamin? Ketua OSIS, striker klub bola SMANSA, dan pujaan cewek-cewek satu sekolah?"

"Perasaan, gue nggak seterkenal itu, deh."

"Yah, dia nggak mau ngaku." Cori mencebik.

"Beneran." Ben pura-pura lugu. 

"Jangan merendah untuk meninggi, Kak. Wajahnya nggak cocok jadi tukang bohong."

Ben tertawa lepas. Cori jadi ikut-ikutan tertawa.

Semudah itu Cori melupakan fakta bahwa tadi dia sempat mencurigai Ben. Habisnya, Ben tidak pernah mengungkit-ngungkit nama anehnya. Cori ... merasakan kelegaan yang menyenangkan untuk pertama kalinya.

Angin sepoi-sepoi mengeringkan keringat, menghalau letih, meredakan tawa dan hawa panas dua remaja yang kelelahan, dan mengundang mata-mata mengantuk. Cori mulai menguap. Tapi Ben tidak mau cewek unik ini mengantuk. Maka Ben mulai berperan sebagai wartawan gadungan.

"Kenapa bolos?"

"Males masuk kelas."

"Nggak takut dicariin guru?"

"Takut, sih, tapi lagi nggak mood ke kelas. Kalo pun dimarahin, dimarahin deh entar. Aku terima," ucap Cori putus asa.

Ben ingin tahu, tapi tidak mau terkesan memaksa. Maka begini cara Ben mengorek cerita adik kelasnya.

"Nggak usah cerita kalau nggak mau, tapi gue siap jadi pendengar yang baik."

Halaaah. Kalimat apaan tadi? Bisa-bisanya lo jadi sok bijaksana, cemooh Ben pada diri sendiri

"Kak Ben masih ingat, Kakak yang biarin aku masuk ke barisan waktu pembukaan MOS* meskipun aku datang sangat terlambat? Biar nggak dihukum sama kakak panitia."

Perubahan topik yang tiba-tiba membuat Ben mengernyit diam-diam.

"Ooo, lo cewek yang ngos-ngosan lari dari seberang sekolah terus hampir ketabrak angkot, kan?" tunjuk Ben tepat ke wajah Cori.

Ingatan seorang cewek lari tertatih-tatih dengan segala perlengkapan MOS di tubuh mungilnya membuatnya menyunggingkan senyum.

Cori malu dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "He-he, iya."

"Gue nggak tega lo dimasukin ke ruangan khusus hukuman. Habisnya, lo ... gimana, ya? Dulu lo kurus, kecil, ..."

"Kerempeng kayak triplek. Idup lagi," sambung Cori. Cori terkekeh kecil.

"Bukan begitu." Ben jadi tak enak hati. "Gue nggak bermaksud ngeledek elo."

"Santai aku, mah. Udah biasa diledekin temen sekelas."

Ben menaikkan alisnya sebelah.

"Tapi beneran, lo kayak masih kecil. Kalo gue perhatiin lebih mirip anak SMP."

"Dulu aku kan, memang bocah SMP. Tapi tahun depan aku mau enam belas, lho. Mau kuliah." 

“Apa?!" Ben terperanjat. 

“Aku akselerasinya dari SMP. Makanya...”

“Pantesan." Ben sampai menjentikkan jemarinya. "Lo cewek hebat. Berarti otak lo encer banget," tutur Ben sungguh-sungguh.

"Hm, makasih," balas Cori datar.

Ben mengernyitkan kening. "Kok dipuji kayak nggak seneng?"

"Seneng kok dibilang hebat."

"Tapi?"

"Tapi Kak Ben tulus nggak, muji aku?"

"Ya iya, lah. Buat apa gue bohong?"

"Kalau gitu makasih." Kini suaranya lebih ringan dan ada nada senang merambat di pendengaran Ben.

"Emang kenapa, sih? Cuma muji doang, gue."

Cori menarik napas dan menyemburkan napas lelah. Dan sesudah itu, Cori turut menyemburkan isi kepalanya yang mulai bikin sesak. 

"Aku nggak ngerti kenapa temen-temenku bahagia banget kalo ngeledek aku. Aku dibilang sok kepinteran karena loncat kelas, sampai mereka merasa nggak bersalah ngelecehin nama yang udah dikasih papa dan mamaku. Apa yang salah dengan nama Coriander? Papa menyukai bumbu ketumbar sampai-sampai beliau memberi namaku dengan bumbu kesukaannya. Padahal aku nggak berbuat salah, nggak melanggar norma apa pun. Aku nggak ganggu hidup mereka. Aku nggak iri dengan mereka. Kalau temen-temenku tahu Bu Yan merekomendasi aku untuk ikut olimpiade matematika, aku nggak yakin bakal bisa mengontrol mulut mereka." 

Ben kaget. Di balik senyumnya yang manis, ternyata Cori menyimpan luka.

Jadi ini yang bikin lo nggak mood masuk kelas, Cewek Ketumbar? tanya Ben dalam kepalanya. 

"Temen-temen lo minta gue kepret banget!"

Cori terkekeh geli. "Jangan. Aku nggak suka kekerasan. But thanks, anyway udah bela aku."

"Lo nggak marah?"

"Marah."

"Lo lawan mereka, kan?"

"Buat apa? Aku hanya akan mengipasi ego mereka yang sekecil kerikil."

Lagi. Ben terpana. Kali ini karena betapa dewasanya Cori menghadapi perundungnya. 

"Ayah gue nggak pernah ngajarin untuk merendahkan manusia lain. Itu prinsip yang gue pegang sampai sekarang. Jadi gue tekankan, nggak ada yang salah dengan nama lo, Cori."

Diam-diam Ben mengepalkan kedua tinjunya. Ayah yang ia banggakan atas nasihatnya telah berubah di rumah dan telah mengubah suasana rumah hangatnya menjadi Kutub Utara. 

Cori justru tersenyum lebar. Satu orang yang mendukungnya ternyata membuat perbedaan besar dan rasanya sangat luar biasa.

"Thanks ya, Kak."

"Buat apa?"

"Udah dengerin uneg-unegku dan mau berada di sisiku ketika temen-temenku sendiri nge-bully aku."

"Itu gunanya teman, kan?"

"Emang kita temenan?" Cori menyipitkan mata bulatnya. 

Ben mulai meragu. "Bukan, ya?"

Cori terkekeh. "Bercanda. Sejak Kakak ngebolehin aku bantu Kakak, aku udah menganggap Kakak teman."

Diam-diam, dada Ben menggelembung bangga karena diberi titel teman oleh adik kelasnya. Sedih karena ayahnya jadi sedikit terobati.

"Thanks, teman."

Cori menyeringai. "Sama-sama, teman. Betewe, kenapa Kak Ben bawa cincin emas ke sekolah? Dipake juga enggak boleh."

"Kemarin rencananya mau ke toko perhiasan untuk bikin cincinnya mengkilat lagi. Sekalian mau gue kasih rantai."

"Emang cincinnya kayak apa?"

Ben mengeluarkan ponsel Blackberry. Ia memperlihatkan sebuah foto cincin emas putih dengan batu warna biru safir cutting oval yang di kelilingi permata-permata kecil nan berkilau. 

"Cantik," puji Cori.

"Iya, kan? Bunda yang kasih. Bunda pengen gue berikan cincin ini ke pasangan gue nanti. Segitu visionernya bunda buat masa depan gue," terdengar nada bangga dalam suara Ben.

Beberapa detik kemudian, Ben baru sadar akan satu hal. Dia terlalu banyak 'bicara' tentang kehidupan pribadinya pada si teman baru. Tapi masalahnya, Ben merasa Cori seperti bukan orang asing.

Seperti berbicara dengan seorang teman lama, pikir Ben. Ben terkekeh kecil.

"Kayaknya Bunda Kak Ben orangnya seru, ya?"

"Banget. Beliau bunda terbaik sedunia," ungkap Ben bangga.

Cori melipat senyum. Tak tahu harus merespon apa karena dia belum pernah merasakan kehadiran seorang ibu di hidupnya.

"Bunda lo pasti baik banget. Soalnya beliau berhasil ngedidik anak pinter dan baik kayak lo."

Cori terdiam sejenak, tapi cepat-cepat ia pamerkan senyum termanisnya.

"Hm, kata papa, mamaku cantik dan baik hati. Genetik kali, ya? Jadi menurun ke aku."

"Seratus persen!"

Keduanya tertawa. Yang satu adalah tawa tulus, sedang yang lain ... dia sedang memperagakan sebuah tawa bahagia.[]

*MOS = Masa Orientasi Siswa

Bersambung

Lucunya masa-masa SMA...😳

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Estrella
327      218     1     
Romance
Oila bingung kenapa laki-laki ini selalu ada saat dia dalam bahaya, selalu melindunginya, sebenarnya siapa laki-laki ini? apakah dia manusia?
The Story of Fairro
2274      845     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Find Dreams
222      182     0     
Romance
Tak ada waktu bagi Minhyun untuk memikirkan soal cinta dalam kehidupan sehari-harinya. Ia sudah terlalu sibuk dengan dunianya. Dunia hiburan yang mengharuskannya tersenyum dan tertawa untuk ratusan bahkan ribuan orang yang mengaguminya, yang setia menunggu setiap karyanya. Dan ia sudah melakukan hal itu untuk 5 tahun lamanya. Tetapi, bagaimana jika semua itu berubah hanya karena sebuah mimpi yan...
My love doctor
259      217     1     
Romance
seorang Dokter berparas tampan berwajah oriental bernama Rezky Mahardika yang jatuh hati pada seorang Perawat Salsabila Annisa sejak pertama kali bertemu. Namun ada sebuah rahasia tentang Salsa (nama panggilan perawat) yang belum Dokter Rezky ketahui, hingga Dokter Rezky mengetahui tentang status Salsa serta masa lalunya . Salsa mengira setelah mengetahui tentang dirinya Dokter Rezky akan menja...
Amherst Fellows
5470      1500     5     
Romance
Bagaimana rasanya punya saudara kembar yang ngehits? Coba tanyakan pada Bara. Saudara kembarnya, Tirta, adalah orang yang punya segunung prestasi nasional dan internasional. Pada suatu hari, mereka berdua mengalami kecelakaan. Bara sadar sementara Tirta terluka parah hingga tak sadarkan diri. Entah apa yang dipikirkan Bara, ia mengaku sebagai Tirta dan menjalani kehidupan layaknya seorang mahasis...
Lovesick
388      282     3     
Short Story
By Khancerous Why would you love someone else when you can’t even love yourself?
Once Upon A Time
349      225     4     
Short Story
Jessa menemukan benda cantik sore itu, tetapi ia tak pernah berpikir panjang tentang apa yang dipungutnya.
Beyond the Eyes
426      297     1     
Short Story
"Not every wound can be seen, or maybe she was just too blind." The short life story of a doctor, a lover, and a mother.
Sisi Lain Tentang Cinta
726      391     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Angan di Atas Awan
905      425     6     
Short Story
Mimpi adalah angan, manakala takdir tak merestui. Vanya hanya bisa mendekap sendu, di antara kegembiraan dua insan yang bersatu. Dan ikhlas, semudah itukah kata terucap?