"Kabarku baik." Hanya itu yang bisa dikatakan Thalita. Di hadapan Dion, otaknya yang cerdas tidak bisa berpikir dengan baik.
"Kamu sedang sibuk apa? Sudah lama kita nggak ngobrol," kata Dion lagi.
Uh, tumben sekali laki-laki ini mengajaknya bicara sepanjang ini bahkan menanyakan kesibukannya.
Thalita terperangah, mulutnya celangap. Merasa heran.
"Aku sedang menyelesaikan tugas akhir." Thalita baru bisa menjawab setelah mengambil jeda sekian detik. Dia masih tak percaya laki-laki ini beramah tamah dengannya.
"Oh, aku juga lagi menyelesaikan tugas akhir. Ayo, kita makan siang bareng."
Thalita semakin tidak mengerti dengan keramahan yang ditampilkan Dion. Thalita hanya bisa mengangguk. Mereka berjalan berdua. Dion tetap dengan keramahannya, mengajak Thalita ngobrol. Menceritakan tentang kesibukannya bersama anak-anak panti. Sesekali Thalita menyahut. Menanyakan kabar anak-anak itu. Terus terang Thalita merindukan mereka.
"Anak-anak dan Ibu menitipkan salam untukmu." Dion tersenyum.
"Salam balik untuk mereka ya."
Mereka berdua makan di warung makan khas mahasiswa. Beberapa mahasiswa memperhatikan mereka. Thalita sudah menduga, kalau berjalan dengan Dion. Dia harus siap jadi pusat perhatian. Laki-laki ganteng ini masuk dalam daftar pria tampan dan misterius. Dia adalah salah satu makhluk yang jadi idola di kampus. Tetapi sepertinya Dion tidak menyadari predikatnya di kampus sebagai idola. Hanya Davina perempuan yang diketahui bisa berjalan di sisi Dion. Itu juga bukan rahasia umum kalau mereka berdua adalah sahabat dan teman kerja di kafe. Jadi Davina tidak termasuk dalam daftar perempuan istimewa.
"Kamu masih menyanyi di kafe?"
"Masih."
Sebenarnya itu adalah pertanyaan basa-basi pengisi keheningan, Thalita tahu persis kalau Dion masih menyanyi di kafe. Davina beberapa kali menceritakan soal itu.
"Datang lah sesekali ke kafe."
Itu salah satu tawaran yang sangat mengejutkan. Hari ini entah berapa kali Dion membuatnya terperangah.
Mana lah aku sudi datang hanya untuk menjadi pengagum mu seperti perempuan lain dan melihat kamu bersama kekasihmu. Thalita mengomel di dalam hati.
"Mungkin kapan-kapan aku akan datang kalau sudah tidak terlalu sibuk." Thalita menolak tawaran basa-basi itu.
"Aku serius dengan kata-kataku."
Dion menghentikan suapannya, menatap mata Thalita lekat. Thalita menjadi salah tingkah ditatap seperti itu.
"Oke, aku akan datang." Thalita seperti menantang, dia ingin melihat sejauh mana tawaran basa-basi laki-laki ini. Thalita didera rasa penasaran.
***
Sedari tadi Helene makan dengan rasa gelisah, sesekali dia melirik ponselnya. Ninit yang melihat tingkah Helene mulai merasa terganggu. Biasanya Helene makan dengan lahap dan tidak pernah tergoda sekalipun dengan ponselnya. Malahan di jam makan siang, Helene lebih suka meninggalkan ponselnya di kantor.
"Aku malas ketika sedang memasukkan makanan ke mulutku harus diganggu dengan bunyi ponsel. Makanku jadi tidak nikmat," katanya suatu kali.
"Kamu kenapa sih? Lagi nunggu telepon dari Dion?"
Helene mengangguk lesu. "Nggak biasa banget dia kayak gini, sampai sesiang ini tidak mengirim satu pun pesan atau menelepon."
"Mungkin lagi sibuk, kan kamu bilang dia lagi sibuk sama tugas akhirnya." Ninit mencoba menenangkan Helene.
"Masakan karena itu kamu jadi nggak lahap makan. Nanti kalau kamu jadi kurus, aku bisa diomelin sama Mas Gondrong." Ninit mencoba menghibur.
"Tapi ini bukan caranya Dion banget Nit. Ih, bikin kesel deh! "
***
"Dionisius, kamu kenapa sih nggak telepon atau kirim WA atau apalah!"
Helene langsung mengomeli Dion setelah dia sampai di kamar kosnya. Sedari tadi Helene menunggu jam pulang kantor yang terasa sangat lama. Sebelum jam 17.00 dia sudah berada di dekat mesin presensi untuk mentap ID card nya. Itu bukanlah kebiasaan Helene yang terbiasa kerja lembur. Akhirnya dia menjadi lelah harus, menjawab beberapa pertanyaan dari teman-temannya.
"Tumben banget sih, Len, kayaknya bakal ada badai nih kalau Helene pulang cepat kayak gini."
"Ho ho ho tidak hanya badai tapi segala petir dan kilat akan sambar menyambar."
Helene membalas dengan gayanya yang acuh tak acuh.
Helene menahan diri untuk tidak menelepon Dion ketika berada di kantor. Begitu sampai kamar kos, dipuaskannya mengomeli Dion.
"Hari ini aku sibuk banget, Len."
"Tapi kamu nggak biasanya kayak gini, sesibuk apa pun kamu pasti menelepon atau mengirimkan pesan untukku."
Dion tidak menjawab, dia hanya mendengarkan Helene yang terus mengomel.
"Len, sudah dulu ya... ada sesuatu yang harus aku kerjakan."
Sayup-sayup Helene mendengar suara ramai. Helene menjadi bertanya-tanya, "Di mana sih dia?" Baru saja Helene hendak membuka mulut untuk bertanya, Dion sudah menutup telepon. "Sialan!" Helene mengumpat.
***
Dion berada di pinggir jalan, dia rindu pada Helene. Tetapi dia tidak mungkin menemui Helene. Dia sedang berusaha mengurangi kebersamaan mereka. Itu sangat menyiksa. Dia menunggu di pinggir jalan yang biasa di lewati Helene saat pulang kerja menuju kos nya. Dia hanya berharap bisa melihat Helene dari jauh sebelum dia berangkat ke kafe. Sepertinya keberuntungan berpihak padanya. Dion melihat Helene melangkah dengan tergesa. Andaikan bukan karena janjinya pada mama Helene, ingin rasanya Dion memeluk Helene. Saat ini cukuplah melihat Helene dari jauh.
Dion sengaja cepat-cepat menutup telepon dari Helene. Mendengar suara Helene sungguh menjadi sesuatu yang begitu menyiksa. Dion bangkit dari duduknya, melangkah dengan gontai.
***
"Di, apa-apaan sih kamu meminta Thalita untuk datang ke kafe? Nggak perlu deh kamu memberikan tawaran basa-basi kayak gitu kalau kamu hanya menyakiti dia." Davina mengomeli Dion.
Kemarin Thalita datang ke kos Davina, selain membicarakan soal tugas akhir, Thalita juga menceritakan soal ajakan Dion. Davina sangat geram mendengar cerita Thalita. Dia tidak suka kalau Dion seperti memberikan harapan pada Thalita, dan ternyata semua itu sesuatu yang palsu. Davina tahu betapa Dion mencintai Helene dan Thalita mencintai Dion.
Davina sengaja menunggu Dion di kampusnya. Begitu melihat Dion, Davina langsung menarik Dion ke tempat sepi. Dia harus bicara dengan laki-laki ini. Kalau perlu Davina akan menjewer kupingnya.
"Aku menyakiti Thalita? Memangnya aku berbuat apa sih?"
"Udah deh nggak usah sok tolol!"
Davina menjadi muntap demi mendengar pertanyaan Dion dan melihat wajahnya yang sok innocent itu.
"Kamu kenapa sih?" Dion meninggikan suaranya.
"Kamu tahu kan Thalita suka sama kamu. Kamu tahu kan kalau perasaan kamu hanya untuk Helene? Dengan kamu meminta Thalita datang melihat kamu menyanyi di kafe bukankah itu menimbulkan harapan baru untuknya? Kamu jahat kalau begitu!"
"Perasaanku juga bisa berubah, kalau memang aku punya perasaan lain untuk Thalita... memangnya tidak boleh?" Dion merendahkan suaranya.
"Kamu suka dengan Thalita?"
Dion tidak menjawab hanya matanya menatap Davina. Sesungguhnya dia tidak mampu menjawab. Dia merasa bersalah pada Davina, Thalita dan Helene.