Sore itu Helene datang dengan senyumnya yang lebar ketika bertemu Dion. Dia setengah berlari saat matanya menangkap bayangan Dion yang berdiri tegak membelakangi, lalu memeluk Dion erat. Helene tidak memperhatikan Dion yang terlihat tidak bersemangat.
"Sedari tadi kamu tidur aja?" Dion mengangguk, berat untuknya mengeluarkan suara.
"Susah ya tugas akhir mu sampai harus begadang? Ada yang bisa aku bantu?"
Helene mempererat pelukannya. Dion membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
"Nggak, semua masih bisa aku atasi sendiri."
"Bisa diatasi sendiri kok sampai harus begadang." Suara Helene terdengar bersungut-sungut. "sampai nggak bisa ku temui pagi ini."
"Kamu sudah makan?"
Dion mencoba mengalihkan pembicaraan. Membahas makanan adalah pengalih pembicaraan yang paling cocok, karena Helene sangat suka makan.
"Tadi siang, makan mi instan." jawabnya cepat, "soalnya kebiasaan kalau hari Minggu dimasakin kamu." katanya lagi.
Sikapnya berubah manja, dia menggelayut di lengan Dion. "Mau masak untukku atau kita beli aja?" Helene menempelkan kepalanya ke lengan Dion.
"Aku masak deh, kayaknya ada yang kangen sama masakanku."
"Jelas dong! Berapa lama aku tidak merasakan masakanmu yang spektakuler itu?"
"Duh, sampai segitunya memuji masakanku...nggak kamu puji juga bakal aku masakin kok." Dion mendudukkan Helene di kursi.
"Seperti biasa, bercerita lah apa saja sambil menemani aku memasak. Jadilah gadis manis!" kata Dion sambil tangannya membelai lembut rambut Helene.
"Siap bos!" Helene tertawa riang.
Dion membalikkan tubuhnya, memunggungi Helene. Dion berusaha keras untuk menyembunyikan kesedihannya.
Sampai berapa lama dia akan sanggup bertahan? Sampai berapa lama waktu yang diberikan untuk dia mendengar suara Helene bercerita tentang apa saja? Sampai kapan waktu yang diberikan untuknya melihat senyum Helene?
Sesekali Dion menimpali cerita Helene, ikut tertawa dengan lelucon yang dilontarkan Helene. Dion hanya berharap Helene akan tetap seperti ini saat nanti mereka berpisah. Helene masih bisa tersenyum dan tertawa seperti saat ini.
***
"Dionisius, perutku nyaris meletus."
Helene mengusap perutnya, dia terlihat kepayahan. Duduk bersandar di kursi, kakinya diselonjorkan. Malam ini mereka berdua memilih duduk di lantai dan makanan dihidangkan di meja pendek.
Dion tertawa kecil melihat tingkah Helene, dia merapikan semua yang ada di meja.
"Eh, biar aku aja...tapi tunggu dulu ya. Aku kenyang banget!" Helene berusaha bangkit dari duduknya. Tetapi tangan Dion menahan, "Sudah, duduk saja di situ. Kapan lagi sih aku bisa memanjakan kamu."
"Duh, kesannya aku pacar yang nggak tahu diri banget. Nanti kalau jadinya keterusan bagaimana?"
"Apanya yang keterusan?"
"Manjanya lah!"
"Ya nggak apa-apa." Dion menjawil hidung Helene.
***
Helene berdiri di ambang pintu ketika Dion mendekat dan berdiri di sampingnya. Angin malam yang berembus pelan terasa menyejukkan wajah.
"Len..." Dion memanggil Helene dengan suaranya yang dalam.
"Hmm..." Helene menyahut, matanya memandang lurus ke halaman rumah.
Dion menundukkan kepala, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Mungkin kita akan sulit bertemu, aku akan sibuk dengan tugas akhir, pekerjaan di kafe, mengajar di panti. Tadi pagi papa juga menelepon meminta kesediaan ku untuk mulai mengurus perusahaan papa."
Dion berbohong. Dia membenci kebohongan yang diucapkannya. Sampai berapa lama dan berapa kali dia harus berbohong? Dion berharap Helene tidak menyadari kebohongan yang sudah dia lakukan. Dia hanya ingin mulai menjaga jarak dengan Helene.
"Papa kamu kenapa? Sakit? Atau ada sesuatu?" Kali ini Helene menoleh, melihat Dion dengan tatapan bersungguh-sungguh.
"Nggak, perusahaan papa suatu saat memang harus aku ambil alih. Jadi dari sekarang aku sudah harus mulai membantu papa."
Hari ini entah berapa kebohongan yang akan dia katakan.
"Oh...tenang saja, kita berdua pasti menemukan waktu untuk bertemu."
"Kalau ternyata itu sulit kita lakukan dan kita semakin terasa jauh, bagaimana?"
Dion melontarkan pertanyaan itu dan menantikan jawaban Helene.
Perempuan itu mendongak, menatap Dion.
"Aku tak tahu." jawabnya lirih. "Akankah kita menjadi seperti itu?" tanyanya pelan.
"Segala kemungkinan bisa terjadi, Helene."
"Aku tidak mau memikirkannya sekarang. Aku mau pulang!"
Helene mengambil tas nya yang tergeletak di kursi. Ekspresinya berubah.
Sepanjang perjalanan, Helene hanya diam. Tidak ada celoteh riang, tawa lepas bahkan bersenandung pun tidak.
Belum terjadi saja, Dion sudah harus melihat kemurungan perempuan ini. Bagaimana kalau nanti mereka benar-benar berpisah? Mungkin Dion tidak akan pernah sanggup melihat Helene.
Begitu turun dari mobil Helene hanya mengangguk, mengucapkan terima kasih lalu melambai pada Dion. Tidak ada ciuman perpisahan yang biasanya mereka lakukan. Helene berbalik cepat dan berlari menuju kos nya. Dion hanya bisa menghela napas. Dion merasakan udara di sekitarnya terasa berat.
***
"Dion tuh kenapa sih? Dari tadi ngomongnya nggak enak banget? Memangnya dia sesibuk apa sih sampai nanti nggak punya waktu untukku? Memangnya aku meminta banyak darinya?"
Helene berjalan mondar-mandir di kamarnya, bicara sepuas hati. Dari tadi dia menahan mulutnya. Dia malas ribut dengan Dion. Hari ini Dion tampak berbeda, Helene merasakannya.
"Apa tugas akhir membuat dia nyaris gila seperti itu ya?" Seribu pertanyaan menggelayut di otaknya.
"Dionisius, mau kamu apa sih?" Helene bicara sambil menunjuk-nunjuk foto Dion yang berada di meja riasnya.
Helene masih terus bicara sambil berjalan mondar-mandir. Mengulang-ulang kata-katanya bagaikan sebuah litani. Hingga akhirnya dia merasa lelah lalu merebahkan diri di kasur. Memejamkan mata sampai jatuh tertidur.
***
Malam ini Dion tidak bisa tidur, padahal besok pagi dia harus ke kampus. Matanya sulit diajak bekerjasama. Mungkin karena otaknya terus berpikir.
Dion mulai menyusun rencana untuk menjauhi Helene sampai akhirnya nanti mereka berpisah. Dion harus membuat perpisahan itu sangat menyakitkan untuk Helene agar perempuan itu membencinya dan tidak berpikir untuk kembali padanya.
"Maafkan aku Helene...maafkan aku."
***
Selama ini Thalita berhasil menghindari Dion ketika berada di kampus. Namun kali ini dia tidak bisa menghindar. Akibat jalan menunduk karena tak tahan panas, Thalita tidak tahu kalau Dion sedang berjalan di depannya. Berhadapan dengan dirinya. Bahkan Thalita nyaris menabrak Dion kalau Dion tidak bersuara dan memanggil namanya. Thalita terkejut mendengar suara Dion lalu mengangkat kepalanya. Laki-laki itu tersenyum padanya. Andaikan saat ini Thalita bisa masuk langsung ke dasar bumi, dia ingin sekali seperti itu.
Kakinya langsung lemah tak berdaya ketika berhadapan dengan Dion. Sulit menggerakkan kakinya untuk melangkah.
Laki-laki ini punya daya sihir apa sih sampai membuat aku seperti ini?
Melihat Dion tersenyum padanya membuat jantungnya berdetak cepat.
"Apa kabar? Sudah lama nggak ketemu kamu," Dion menyapa.
"Bagaimana mungkin kita bertemu kalau aku selalu menghindar dari kamu. Ini saja nasibku sedang sial," kata Thalita di dalam hati.