Pagi ini Helene melihat Dion berdiri di dekat jalan menuju kantornya. Helene langsung mengenali jaket yang dipakai Dion. Dia berdiri tepat di belakang Dion, berdehem untuk menarik perhatian Dion. Laki-laki itu langsung membalikkan tubuhnya. Tersenyum lebar melihat Helene.
"Selamat pagi!" Dion menyapa masih dengan senyumnya yang terlihat sangat manis.
"Selamat pagi! Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."
Helene menunjuk kafe yang berada di seberang kantornya. Kafe kecil yang kadang di datangi Helene hanya untuk membeli roti dan kopi.
Helene sungguh tidak menduga Dion mendatanginya ke kantor pagi ini. Helene sedang malas meladeni tatapan teman-teman kantornya yang akan melihat kehadiran Dion. Makanya Helene harus segera membawa Dion pergi, dia tidak ingin menjadi bahan gosip di kantor.
Mulut perempuan-perempuan di kantor ini sangat bersemangat membahas bab-bab pergosipan yang tidak akan pernah ada habisnya karena diberi tambahan bumbu penyedap.
Helene pernah tidak sengaja berada dalam situasi harus mendengarkan perempuan-perempuan yang jadi geng pembahas gosip teraktual di kantor sedang berkasak-kusuk. Telinganya gatal mendengar perempuan-perempuan itu tanpa ampun melibas seseorang di divisi marketing dengan gosip yang tak berdasar.
***
"Kenapa pagi-pagi sudah berada di sini?" Helene menanyai Dion setelah mereka berdua duduk di dalam kafe.
"Aku mengkhawatirkan kamu," jawabnya.
"Hanya itu?" Helene tersenyum menggoda.
"Aku merindukan kamu. Tidak boleh?" tanya Dion dengan senyumnya yang malu-malu.
"Uhh...sangat boleh, andaikan aku bisa memelukmu di sini." Helene memajukan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Dion, matanya menatap mata Dion lekat.
"Jadi tadi malam kamu nekat keluar dari apartemen tanpa tempat tujuan yang pasti." Dion bertanya dengan suara rendah. Matanya membalas tatapan mata Helene.
Akhirnya Helene memundurkan tubuhnya, duduk bersandar dan menegakkan tubuh. Rupanya pagi ini Dion ingin bicara serius. Helene mengangguk menjawab pertanyaan Dion. Helene melihat Dion mengepalkan jari-jarinya.
"Kalau seandainya ada sesuatu yang terjadi dengan dirimu malam itu, aku tidak akan bisa memaafkan diriku. Malam itu aku tidak bisa tidur memikirkan kamu. Aku merasa bersalah sudah pergi meninggalkan kamu."
"Kamu memang harus pergi karena mama mengusir kamu. Tidak mungkin kamu bertahan di situ. Mama akan semakin marah."
Helene menceritakan semua yang terjadi setelah kepergian Dion. Tak ada cerita yang terlewat. Namun, Helene sudah bisa bercerita dengan nada santai seolah kejadian kemarin hanya kejadian biasa.
"Helene, aku ingin selalu jadi orang pertama yang kamu pikirkan saat kamu mengalami kesulitan."
"Oh..." Tahu lah Helene kalau Dion sedang cemburu karena Helene lebih memilih menelepon Bayu.
"Iya, maafkan aku." Helene malas berdebat dengan Dion.
"Jadi, apa yang kamu rasakan pagi ini? Kamu baik-baik saja?" Wajah Dion masih diliputi kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja. Pagi ini aku merasa bahagia karena bisa bebas dari mama. Walaupun mungkin tidak bisa bebas sepenuhnya. Tapi..entah lah, aku merasa ada secuil beban yang terangkat. Aku tahu mama pasti akan semakin ketat mengawasi ku lewat orang-orang suruhan mama. Ah...aku nggak tahu Dion. Hari ini biarlah ku hadapi dengan bahagia, besok akan ada kesulitan lagi yang harus ku hadapi."
Helene mencoba terlihat tegar. Bagi Helene, selagi Dion bersamanya, Helene akan bisa menghadapi apa pun yang terjadi. Dion adalah salah satu kekuatannya. Laki-laki ini memberikan energi yang luar biasa untuk Helene.
Laki-laki ini begitu hangat dan memberikan sesuatu yang tidak pernah diberikan mama kepadanya selama ini. Cinta dan perhatian.
***
Mereka berdua berpisah di kafe, Helene harus segera ke kantor. Dia tidak mau si bos memelototinya karena terlambat masuk kerja. Dion harus berangkat ke kampus. Mereka berdua berpisah dengan senyum di wajah dan sebuah kalimat cinta yang mereka ucapkan sebelum berpisah.
***
Helene jalan bergegas bahkan nyaris berlari, tanpa sengaja dia menabrak Bayu yang sedang berjalan masuk ke dalam kantor.
"Whoo whoo...hati-hati, Len!" teriak Bayu begitu merasakan tubuh Helene menabraknya.
Helene meminta maaf, begitu menyadari laki-laki yang ditabraknya adalah Bayu, wajahnya berubah menjadi riang. Seringai lebar menghiasi wajahnya.
Bayu tertawa, "Selain senyummu yang menjengkelkan itu, aku juga tidak suka dengan seringai yang ini," katanya sambil menunjuk wajah Helene.
"Pagi-pagi ditabrak sama perempuan cantik itu berkah...tahu nggak?" kata Helene sambil menepuk punggung Bayu.
"Iya iya ... lagian ngapain sih buru-buru banget?"
"Gila, aku nyaris telat!" Helene berteriak ketika melihat jam tangannya. Tidak dipedulikannya pertanyaan Bayu, "aku duluan!" Kali ini Helene berlari kecil meninggalkan Bayu.
"Len!" Bayu memanggil, Helene berhenti sebentar dan menoleh ke arah Bayu.
"Kamu masih hutang cerita tadi malam, nanti jam makan siang ya!"
"Oke!" Helene menjawab lalu kembali berlari, dia tidak ingin terlambat melaporkan hasil perjalanan dinasnya.
***
Ruangan divisi HR ramai dengan suara Togap yang beradu mulut dengan Ninit. Entah apa yang menyebabkan dua manusia itu berdebat. Mereka berdua seperti dua anak bebek yang saling bersahutan.
Ninit dengan ekspresinya yang tegang sedangkan Togap tampak nyengir kuda, dia terlihat menikmati pemandangan Ninit yang sedang muntap padanya.
"Makanya kalau bikin data itu yang bener dong! Jadi nggak ada yang terlewat kayak gini!" Ninit memuaskan kemarahannya pada Togap.
Untunglah divisi HR sudah terbiasa mendengar mereka berdua ribut. Jadi banyak yang seolah-olah tidak peduli dan asyik dengan kesibukannya.
"Dih, pagi-pagi udah berisik nih berdua! Nggak bisa diomongin baik-baik gitu?" Helene yang baru saja datang, menimpali teriakan Ninit.
"Helene! Duh, aku kangen deh...mana oleh-olehnya?" Ninit datang mendekat, melupakan pertengkarannya dengan Togap.
"Dasar semprul! Ketemu aku yang diingat cuma oleh-oleh! Tanya kabar dulu atau apa gitu?" Helene berubah menjadi sebal.
"Kalau kayak gitu, kelihatan basa-basi banget. Aku orangnya to the point kalau sama kamu."
Helene langsung mengeluarkan beberapa kotak bakpia dan makanan kecil, meletakkannya di meja kecil di sudut ruangan.
"Kalian ambil sendiri ya!" katanya berteriak ke seantero ruangan. Bagaikan paduan suara mereka mengucapkan terima kasih.
Helene memberikan sebuah bungkusan dan memberikannya pada Ninit.
"Nih, rok batik lilit untukmu!" katanya sambil menyodorkan bungkusan itu. Ninit yang bagai mendapat rejeki nomplok di pagi hari hanya bisa mesam-mesem sambil mengucapkan terima kasih. Matanya terlihat berbinar-binar. Helene sampai terharu melihatnya.
"Len, sudah ditunggu bos tuh." Ninit berbisik.
"Sialan! Mati aku!" serapahnya.
Cepat dia siapkan berkas-berkas dan berharap si bos berbaik hati, tidak menyemprotnya dengan kemarahan. Lagi pula pekerjaannya beres,
harusnya si bos tersenyum senang dan bangga dengan dirinya. Namun, kecemasan tetap menggelayuti Helene.