Ares memanggil seorang pelayan dan menyerahkan secarik kertas kepada pelayan itu, untuk diserahkan pada Helene, yang masih memandang keluar. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Ares menjadi penasaran.
Tadi dia melihat Helene begitu gembira, bicara dengan temannya sambil menggerak-gerakkan tangannya. Gadis itu terlihat sangat ekspresif. Kali ini Ares melihat Helene begitu tenang.
***
Helene seolah tak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Tidak merasa ada sepasang mata yang dari tadi menatap tajam ke arahnya. Padahal tatapan itu seolah menghujam jantung. Helene seperti asyik bermain-main dengan pikirannya.
Seorang pelayan mengantarkan secarik kertas, menunjuk kepada seseorang yang sedang duduk di sudut. Laki-laki itu melambai kepada Helene ketika dia melihat laki-laki itu. Helene memicingkan matanya, dia tidak terlalu jelas dengan wajah laki-laki itu.
Helene membaca pesan yang ditulis oleh laki-laki itu, Apakah aku boleh membelikan kamu makanan penutup untuk menemani kopimu?
Helene menunduk tersenyum, laki-laki itu sedang menggodanya. Namun, dia suka caranya. Terkesan manis.
***
Ares datang mendekat, dia merasa pesannya mendapat tanggapan yang bagus. Ares menjadi percaya diri.
"Apakah aku perlu memesan puding atau cake yang manis untukmu?" katanya setelah duduk berhadapan dengan Helene.
"Ah, aku mengingat kamu," kata Helene, dia tersenyum simpul, "sepertinya kopi pahit ini akan menjadi teman yang menyenangkan untuk seiris cake yang manis."
Ares memanggil pelayan dan memesan cake untuk Helene.
"Apa kabar?" tanya Ares, dia tidak lepas memandang Helene. Perempuan itu bersikap sangat tenang.
"Kabar baik, aku tidak menduga kita akan bertemu kembali," kata Helene.
"Aku sudah pernah mengatakan suatu saat kita akan bertemu lagi. Kamu ingat? Maaf kalau pertemuan pertama kita dikarenakan hal yang sangat tidak menyenangkan."
"Hmm, saat itu aku sangat marah padamu."
"Sekarang?" Ares memiringkan sedikit kepalanya, bersikap menyelidik. Ketika melihat senyum Helene, tahu lah dia kalau perempuan itu tidak menyisakan sedikit pun kemarahan untuknya.
"Lebih baik kita memulai perkenalan yang baru, aku ingat saat itu kamu tidak mau menerima uluran tanganku."
Helene tertawa kecil. Bagaimana mungkin, saat itu laki-laki semenarik dan menyenangkan seperti ini diabaikan oleh Helene.
Salah sendiri dia punya adik yang begitu brengsek. Tunggu! Apakah dia juga tipe laki-laki brengsek seperti adiknya? Tapi, sepertinya laki-laki ini berbeda.
"Namaku Aristides, kamu bisa memanggilku Ares." Dia mengulurkan tangannya, ingin menjabat tangan Helene.
Helene menerima uluran tangan Ares, menjabatnya dengan mantap. "Helene." Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Kamu sering ke kafe ini?" tanya Ares.
"Mm, tidak juga. Dulu beberapa kali ke kafe ini. Kamu tahu kan, alasan pekerja kantoran...menunggu macet berkurang."
Ares tersenyum lebar menanggapi kata-kata Helene.
"Apa yang membuat kamu memilih kafe ini untuk menunggu?"
"Aku suka suasananya yang tenang, tidak terlalu ramai. Aku suka alunan musik yang dipasang di kafe ini. Mungkin terkesan tidak kekinian, tapi memang aku suka musik beraliran lembut."
Mereka bicara soal musik, soal buku dan penulis favorit mereka berdua, bahkan mereka membahas makanan yang mereka suka. Tidak sekali pun mereka membicarakan tentang pekerjaan.
Mereka berdua bisa menertawakan diri mereka sendiri. Hal-hal konyol yang pernah mereka lakukan. Helene tak percaya mereka berdua bisa bicara sangat lama.
"Tampaknya malam sudah semakin larut, kopiku juga sudah habis sejak tadi, aku harus pulang. Terima kasih buat hidangan penutupnya." Helene bangkit berdiri, tersenyum sangat sopan.
"Aku akan mengantarmu." Ares menawarkan diri.
"Oh, tidak perlu. Aku bisa pulang naik taksi." Helene menolak, dia undur diri.
Ares tidak memaksa, dia menghargai keinginan Helene. Mungkin memang Helene tidak ingin Ares mengetahui tempat tinggalnya. Ares berdiri tegak, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana sambil melihat kepergian Helene.
Setelah itu dia menjadi jengkel dengan dirinya karena lupa meminta nomor ponsel Helene.
***
Dia berjalan mengendap-endap, seperti seekor singa yang akan menangkap mangsa. Langkah kakinya sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Helene sengaja ingin memberi kejutan pada Dion. Dia tidak memberitahukan jam berapa akan datang. Helene sengaja mengabaikan telepon dari Dion, pesan yang dikirim hanya dibaca tanpa dibalas. Berkali-kali Dion bertanya, bahkan sampai mengirimkan emotikon menangis karena Helene tidak kunjung membalas pesannya.
"Salah sendiri tidak sabar," kata Helene ketika membaca pesan dari Dion.
Dia terkekeh ketika melihat gambar emotikon yang dikirim Dion.
Ketika Helene sampai di depan pintu rumah Dion, ternyata laki-laki itu sudah membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Dari luar Helene bisa mencium aroma masakan. Terdengar suara alat dapur beradu dipadu dengan suara Dion yang sedang menyanyi. Helene tidak mengerti lagu apa yang sedang dinyanyikan kekasihnya itu.
"Rupanya Dion sedang sangat bahagia pagi ini." Helene bergumam. Mendadak perutnya terasa lapar ketika mencium aroma masakan. Dia nyaris lupa untuk tetap berjalan perlahan, niatnya untuk mengejutkan Dion nyaris gagal.
Helene melihat punggung Dion yang tegak dan tangannya yang sedang sibuk memegang sutil. Helene memeluk Dion dari belakang, melingkarkan tangannya di pinggang laki-laki itu lalu menyandarkan pipinya di punggung Dion, "Dionisius, aku lapar."
Helene mendengar suara tawa Dion. Laki-laki itu mematikan kompornya, berbalik melihat Helene.
"Hei, gadis bandel! Kamu membuat aku terkejut. Dan kamu ke sini setelah merasa lapar. Kenapa tidak membalas pesanku? Kenapa tidak menerima teleponku?" Dion memeluk Helene, bibirnya mencium kening Helene.
"Aku ingin memberikan kejutan. Maafkan aku."
"Baik, kali ini aku memaafkan mu." Dion masih memeluk Helene. Dia sangat rindu pada Helene.
"Bisakah kita mengakhiri adegan pelukan ini? Aku ingin makan," katanya setelah mengurai pelukannya. Matanya menatap mata Dion. Laki-laki itu tertawa, menjawil hidung Helene.
"Duduklah, aku akan menyiapkannya untukmu."
***
"Jadi besok kamu keluar kota selama satu bulan bersama Bayu?" Dion bertanya dengan suara rendah. Tangannya terlipat di dada, kakinya yang panjang sedikit dimajukan ke depan.
"Kamu tidak berubah jadi laki-laki cemburuan, kan?" Helene menatap tajam, "Itu cuma perjalanan dinas, tugas kantor. Mana bisa aku memilih harus pergi dengan siapa? Memangnya aku anak pemilik perusahaan?" Helene mendengus.
"Aku tidak akan berubah jadi laki-laki cemburuan kalau kamu rajin mengirim kabar selama di sana. Aku jadi tidak perlu menduga-duga. Ehm, tapi aku tetap punya sedikit rasa cemburu. Itu sesuatu yang normal. Bagaimana mungkin aku tidak punya sedikit pun perasaan cemburu, kalau aku sangat mencintai kamu?"
"Ya, aku tahu...selagi tidak berlebihan, aku senang-senang saja dicemburui."
"Hmm, kamu..." Dion menundukkan kepalanya, menatap tajam mata Helene, "Jadi harus ku apakan kamu, kalau aku sedang cemburu begini?"
"Enaknya diapain?" Helene membalas dengan sikap menantang.
"Sebentar aku pikirkan dulu," kata Dion lembut, ujung hidungnya beradu dengan ujung hidung Helene. Kemudian bibirnya menempel pada bibir Helene, bibirnya mencium bibir perempuan itu dengan lembut.