"Di!" Davina berusaha menjajari langkah Dion, "kamu mau pulang? Aku ikut dong!"
"Hari ini aku nggak bawa mobil." Dion melambatkan langkahnya, dia merasa kasihan melihat Davina yang berusaha mengikuti dirinya. Sejengkel apa pun Dion pada Davina, dia tidak pernah tega kalau mendengar Davina berusaha berbaikan dengannya.
"Mobilmu masuk bengkel lagi?" Kali ini Davina bisa meraih ujung baju Dion dan memegangnya.
"Nggak, aku hanya sedang malas menyetir. Hari ini aku juga mau ke panti."
"Oh, ya sudah! Selamat mengajar, Di! By the way, kamu sudah nggak marah 'kan?" Davina berhasil berada satu langkah di depan Dion. Davina menghalangi langkah Dion sambil tersenyum melihat Dion. Matanya bersinar jenaka.
Dion menghentikan langkahnya, menghela napas panjang. Tatapannya menimbang-nimbang apakah Davina layak dimaafkan atau tidak?
"Iya, aku sudah tidak marah. Jadi, kamu menyingkir dari jalanku supaya aku tidak terlambat." Davina cepat-cepat membungkukkan sedikit tubuhnya, lalu menggerakkan tangannya mempersilakan Dion lewat. Davina merasa lega, laki-laki itu tidak marah padanya.
***
Dion sedang menyelesaikan bagian akhir dari sebuah lagu yang dinyanyikan anak-anak, ketika Thalita masuk dan duduk mengambil tempat di dekat Dion. Anak-anak menjadi hilang konsentrasi karena melihat kehadiran Thalita. Ada yang sudah melupakan lirik lagunya, bahkan ada yang tanpa rasa segan meninggalkan barisan dan duduk di sebelah Thalita sambil menggelayut manja. Dion tetap melanjutkan petikan gitarnya tanpa merasa terusik dengan kehadiran Thalita. Dion tahu Thalita sengaja datang lebih cepat dari biasanya untuk bertemu dengan dirinya. Dion merasakan tatapan Thalita yang seperti menikam. Mata itu tak lepas memandang dirinya.
Thalita melihat Dion sosok yang begitu sempurna ketika memainkan gitarnya. Dia sudah dibuat tergila-gila dengan laki-laki ini. Thalita seperti kehilangan akal sehatnya. Dia menjadi Thalita yang berbeda. Hanya demi bertemu Dion, dia mempercepat kedatangannya ke panti. Sesuatu yang dulu tidak pernah dia lakukan. Dulu, sebelum mulai mengajar anak-anak, Thalita akan berlama-lama di perpustakaan untuk mempersiapkan bahan ajarnya terlebih dahulu. Sekarang, dia datang tanpa persiapan apa pun. Thalita merasa sedikit bersalah.
Setelah melihat Helene di kafe tadi malam, Thalita ingin mundur saja untuk mendapatkan cinta Dion. Namun, tadi malam dia merenung tentang hatinya. Mengapa dia harus kalah? Thalita tidak akan mundur. Suatu saat Dion akan bisa melihat hatinya yang benar-benar tulus untuk Dion. Lagi pula usia Dion dan dirinya tidak terpaut jauh, tidak seperti Dion dan Helene. Thalita yakin hubungan mereka berdua tidak akan bertahan lama.
***
Setelah selesai memainkan gitar, Dion memandang Thalita. "Apakah aku mencuri waktu mengajarmu?"
"Oh..." Thalita terkejut, tersadar dari lamunannya, "Tidak...tidak...aku saja yang terlalu cepat datang." Thalita berharap Dion tidak mengajukan pertanyaan lagi. Dia tidak siap seandainya Dion bertanya mengapa.
"Aku sangat merasa tidak tahu diri kalau mengambil jam mengajarmu lagi. Baiklah, aku serahkan anak-anak ke kamu." Dion bangkit dari duduknya, merapikan bawaannya.
"Dion!" panggil Thalita dengan nada rendah. Dion menoleh sedikit.
"Perempuan itu pacarmu?" tanya Thalita pelan, dia khawatir anak-anak mendengar.
"Helene?" Dion mengambil jeda lalu mengangguk mantap. Thalita kecewa. Dia menyesali dirinya yang sudah bertanya pada Dion, padahal dia sudah mengerti jawabannya. Dia semakin kecewa.
Dion tidak menunjukkan ekspresi apa pun, dan Thalita bersyukur untuk itu. Andaikan Dion menyunggingkan senyum walaupun itu hanya seulas senyum tipis, Thalita yakin dia akan merasa semakin terpuruk.
Thalita berdiri mendekat, "Dion..." panggilnya lagi. Dion berhenti sejenak dari kegiatannya memasukkan gitar ke dalam case, kali ini dia menatap Thalita. Dion menunggu Thalita bicara. Thalita membasahi bibirnya yang terasa kering dan kemudian menggigit bibirnya, dia ragu. "Apakah aku tidak menarik bagimu sehingga kamu memilih dia?"
"Bisakah kita tidak membahas hal seperti ini di sini? Di depan anak-anak?" Dion mengarahkan matanya ke tempat anak- anak yang duduk memandangi mereka berdua. Tatapan anak- anak itu sangat ingin tahu apa yang telah terjadi.
"Kita keluar sebentar," kata Dion setelah dia melihat jam tangannya.
Thalita menurut. Mereka berdua berdiri agak jauh dari ruangan tempat mereka mengajar. Sedikit di tengah tanah kosong tempat anak-anak biasa bermain bola.
Dion menundukkan kepala, kedua tangannya berada di pinggang. Dion menghela napas, lalu menegakkan kepalanya.
"Aku sudah jatuh cinta padanya sebelum aku mengenal kamu. Aku sudah jatuh cinta padanya sejak pertama kali bertemu dengan dirinya. Bukan karena kamu tidak menarik, tapi hati dan pikiranku sudah terpaut pada dirinya."
"Kalau seandainya kamu tidak mengenal dia, apakah kamu akan jatuh cinta padaku?"
"Aku tidak tahu, mungkin saja." Setelah itu Dion melihat ke ruangan tempat anak-anak yang menunggu mereka. Anak-anak itu ada yang duduk di ambang jendela, beberapa anak berdiri sambil menopang dagu di jendela, bahkan separuh dari anak-anak itu berdiri berjajar di ambang pintu. Anak-anak itu melihat dengan tatapan ingin tahu. Dion tersenyum melihat mereka, lalu melihat Thalita.
"Anak-anak sudah menunggu kamu. Kasihan mereka kalau menunggu terlalu lama. Aku pulang."
***
Di perjalanan, Dion tidak habis pikir dengan pernyataan yang Thalita ucapkan padanya. Bukan karena Thalita menyatakan perasaannya pada Dion. Bagi Dion wajar saja kalau seorang perempuan mengatakan apa yang ada di hati. Hanya waktu dan tempatnya yang sangat tidak pas. Kenapa harus di depan anak- anak, meskipun anak-anak itu tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Dion merasa tidak enak. Dion berharap ini adalah yang terakhir kali Thalita mengatakan perasaannya.
Dion jadi merindukan Helene. Namun, dia menahan diri untuk mengatakannya pada Helene. Dion ingat kemarin malam Helene datang ke kafe karena kata rindu yang dia ucapkan. Dion menelepon Helene, berharap perempuan itu menerima teleponnya.
"Apa kabar?" tanyanya setelah mendengar suara Helene.
"Kamu sedang tidak merindukanku 'kan?" tanya Helene.
Apa perempuan ini bisa telepati? Dion tersenyum mendengarnya. Dion ingin menyangkal, tapi itu membohongi kata hatinya.
"Aku hanya ingin mengobrol sebentar dengan kamu," katanya. "Kamu ada waktu? Apakah aku mengganggu."
"Tidak...sama sekali tidak mengganggu." Helene menyahut cepat.
"Aku baru pulang dari panti, mengajar anak-anak...." meluncurlah kisah hari ini dari mulut Dion, tapi dia tidak menceritakan soal Thalita. Sebenarnya Dion hanya ingin mendengar suara Helene dan berbagi tentang kegiatannya. Helene mendengarkan setiap patah kata, menanggapi cerita Dion. Suara Helene terdengar riang.
"Dion....apa pun yang ingin kamu katakan padaku. Katakan saja, jangan pernah menyimpannya sendiri. Aku akan selalu berusaha ada untuk kamu, meskipun bukan diriku utuh yang berada di dekatmu. Aku tak tahu apa yang telah terjadi selain cerita tentang anak- anak itu. Namun, aku selalu percaya padamu. Terima kasih sudah berbagi." Helene menutup telepon.
Dion terdiam, tak percaya Helene seperti bisa membaca dirinya.