"Siapa laki-laki tadi?" tanya Dion setelah mereka berdua berada di dalam mobil. Dia memendam rasa penasaran sejak tadi.
"Namanya Ares, dia kakak laki-laki yang aku pukul tadi. Dia datang meminta maaf dan memohon agar aku tidak memperpanjang urusan ini." Helene bicara sambil memejamkan mata, kepalanya disandarkan pada jok mobil, dia lelah sekali.
"Aku khawatir saat melihat laki-laki itu datang mendekatimu. Kamu tidak takut ketika dia mengganggumu?" Dion masih mengajak Helene bicara, rasa penasaran yang sejak tadi bertahta di hatinya harus dituntaskan malam ini. Entah kapan lagi mereka bisa bertemu.
"Selagi aku yakin masih bisa mengatasi hal itu, aku tidak pernah takut. Aku paling takut pada Mama." Helene tertawa lirih, "seharusnya sebagai anak aku tidak perlu takut pada Mama. Sesekali aku memang melawan, tapi itu kulakukan setelah mengumpulkan keberanianku. Tidak seperti tadi, aku bisa langsung menghajar orang yang sangat mengganggu. Kelihatannya saja begini..." Helene menggerakkan tangannya, seolah menunjukkan keseluruhan dirinya, "Aku jago karate. Makanya aku tidak takut."
Dion bersiul kagum.
"Makanya kamu, nggak boleh macam-macam sama aku. Mengerti!" Helene melihat Dion, sorot matanya dibuat setajam mungkin agar terkesan galak padahal dia berusaha menahan tawanya.
Dion mengangguk, "Aku tidak mungkin macam-macam denganmu. Aku terlalu sayang padamu. Mama juga mengajarkan untuk selalu menghargai seorang perempuan." Dion melepaskan satu tangannya dan membelai kepala Helene.
"Kamu tahu, hanya karate kegiatan yang bukan berdasarkan pilihan Mama. Aku meminta pada Mama untuk memperbolehkan ikut satu kegiatan olah raga tapi berdasarkan pilihanku sendiri. Saat itu untuk maju bernegosiasi dengan Mama butuh keberanian yang sangat besar. Lama sekali waktu yang aku butuhkan untuk itu. Kamu tahu kenapa aku memilih karate? Saat itu aku harus mengeluarkan energiku yang begitu besar dan untuk melampiaskan kemarahanku pada Mama."
Helene mengingat betapa bahagianya ketika Mama setuju untuk kegiatan yang satu itu. Setiap gerakan pukulan yang dilakukan, dia membayangkan wajah Mama. Ada kemarahan pada sorot matanya. Butuh waktu lama bagi Helene untuk berdamai dengan semua itu. Saat memasuki masa remaja, dia punya rasa memberontak dan ingin melawan tapi dia tak mampu. Biar bagaimanapun itu adalah mamanya.
"Sepertinya kamu memiliki Mama yang menyenangkan? Aku tidak pernah mendengar kamu bercerita hal-hal buruk tentang mamamu," katanya kemudian.
Dion mengangguk, "Kapan-kapan aku ceritakan tentang Mama. Kita sudah sampai." Dion menepikan mobilnya, "Jadi ke kos ku hari Sabtu nanti?" tanyanya.
"Jadi, aku akan datang pagi-pagi. Aku mau kamu mengajariku badminton." Helene nyengir lebar melihat reaksi Dion. "Kamu bisa, kan?"
"Aku bukan pemain badminton, kalau harus mengajari kamu main gitar atau piano aku bisa. Badminton? Kenapa harus itu?"
"Tapi kamu bisa, kan?" Raut wajah Helene harap-harap cemas. Harapannya bertumpu pada Dion. "Aku ada pertandingan badminton di kantor, aku butuh latihan agar tidak terlalu memalukan saat ikut bertanding. Aku butuh kamu untuk partner latihanku." Helene tersenyum.
"Oke, kita ketemu hari Sabtu." Dion menyanggupi. Perempuan ini memang selalu tak terduga.
Helene turun dari mobil, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Dion tertawa melihat tingkahnya.
"Dion!" panggilnya, lalu kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, "Aku cinta padamu!" tangannya membentuk tanda hati di dada lalu menggerakkannya maju mundur.
Dion tertawa terbahak. Dion memanggil Helene dengan tangannya, meminta Helene untuk mendekat.
Helene mendekat, berdiri menempel di dekat pintu mobil, "Kenapa? Kamu belum rela berpisah dari aku?" tanya Helene.
"Aku juga cinta padamu." Diciumnya bibir Helene lembut.
***
Dion sedang berjalan di pelataran kampus, ketika mendengar suara memanggil dirinya. Suara Davina.
"Di, tunggu!" Davina berlari terlihat ngos-ngosan. Peluhnya serupa titik-titik air. "Dipanggil dari tadi enggak dengar!" omelnya.
"Ada apa?"
"Eh, kamu pacaran sama Helene?" Davina langsung menembak Dion dengan pertanyaan yang sedari tadi malam dipendamnya.
"Hmm"
"Kok kamu nggak bilang, sih!" Davina memperlihatkan raut wajah tidak suka.
"Kamu nggak tanya." Dion menjawab ringan.
"Di, pliss deh! Aku enggak pernah melihat kamu bersama dia. Bagaimana mungkin aku menanyakan hal itu, yang bener aja dong." Davina menyahut jengkel.
Bener-bener deh si Dion ini. Dia kira aku tahu segala tentang dia. Memangnya dia tipikal cowok ekstrover yang segala tindak tanduknya bisa terbaca dengan jelas bagai buku terbuka. Dia enggak sadar betapa tertutupnya dia.
"Lalu?"
"Ya...lalu aku sudah terlanjur menjodohkan kamu dengan Thalita. Aku jadi nggak enak sama Thalita." Davina protes.
"Aku tidak meminta kamu untuk menjodohkan aku dengan Thalita. Lagi pula aku yang akan menjalani suatu hubungan, kenapa kamu tidak bertanya lebih dulu." jawab Dion. Baru kali ini dia bicara dengan kalimat yang panjang.
"Terus...gimana dong?"
Dion hanya melihat Davina lalu mengangkat kedua bahunya. Berjalan menjauhi Davina.
"Di, tunggu!" Davina berjalan cepat menyusul Dion.
"Kalau kamu sudah tahu hubunganku dengan Helene. Hentikan acara perjodohanmu." Dion berhenti sejenak. Setelah itu dia berjalan, tidak dipedulikannya Davina yang memanggil dirinya.
***
Siang yang begitu terik membuat Helene memilih makan di warung makan semacam kantin dekat kantor. Dia malas harus berjalan jauh.
Di piringnya terhidang nasi dengan tumisan kacang panjang, ayam goreng dan sambal. Helene sedang meminum es teh manis ketika Ninit menepuk punggungnya. Nyaris saja Helene menyemburkan es teh manis yang berada di dalam mulut. Helene mengumpat dalam hati. Dia melihat Ninit dengan tatapan judes. Ninit hanya tertawa, " Biasa aja dong lihat aku, kok nggak ngajak aku sih makan di sini."
"Tadi lihat kamu lagi ngobrol sama Dani. Serius banget, nggak enak mau ganggu." Helene meneruskan makannya.
"Oh, lagi membahas pertandingan. Gimana persiapanmu?"
"Kalian tega banget sih aku disuruh main badminton. Jago juga enggak. Kamu aja deh yang main badminton." Helene mendumal.
"Enggak usah ya kalau harus berpasangan sama Togap. Lagian kenapa juga aturannya harus berpasangan cowok cewek. Divisi kita 'kan miskin cewek, cuma kita berdua Dewi-Dewi di divisi HR. Enggak ada pilihan. Divisi marketing sih enak, ceweknya banyak." Ninit mengomel sambil mencomot gorengan yang tersedia di piring. Dalam sekejap satu gorengan habis ditelannya. Mungkin dia sangat emosi hingga dilampiaskannya kepada gorengan yang tak berdosa. Apalagi Helene tanpa rasa bersalah menyinggung soal berpasangan dengan Togap. Jelas-jelas Ninit alergi dengan nama itu.
"Hari Sabtu nanti aku mulai berlatih." Helene tersenyum lebar, mendadak dia mengingat Dion.
"Sama pelatih profesional? Mantan atlet?" Ninit bertanya antusias, dia tidak menyangka Helene sedemikian serius mempersiapkan pertandingan ini.
"Nggak! Mungkin malah belum pernah juara tarkam." Helene menjawab seenaknya.
"Tarkam? Apaan tuh!" Ninit ini sejenis makhluk yang pengetahuan dasarnya rada cetek menurut Helene.
"Antar kampung, Nit! Dih!" Helene melihat dengan tatapan meremehkan.
"Ngapain juga Lo latihan sama orang kayak gitu!" Ninit menjadi gemas, dia tidak peduli dengan tatapan Helene.
"Ngapain? Dia ganteng, Nit."
Ninit melongo, Helene hampir memasukkan satu gorengan ke mulut Ninit yang terbuka.
"Dasar nggak beres!" Ninit menyumpah.