Thalita berlari di samping Dion secepat yang dia bisa. Tubuh mereka begitu dekat, bahkan bersentuhan. Thalita tidak bisa berkonsentrasi dengan langkah kakinya, bahkan ada saat konsentrasinya nyaris buyar ketika tanpa sengaja tubuh Dion merapat ke punggungnya. Thalita hampir terjatuh. Dion refleks memegang tangan Thalita. Itu semakin membuat jantung Thalita berdetak dengan cepat. "Hati-hati!" Sepatah kata itu keluar dari mulut Dion.
***
Helene menandaskan salted caramel machiato, croissant-nya pun sudah aman di dalam perut, tinggal remah-remah yang tersisa di piring saji. Ninit yang masih menyesap kopinya sedikit demi sedikit dan mencuwil cheesee cake, memandang Helene dengan pandangan mencemooh, "Anak perempuan cantik, tapi makan nggak bisa cantik," katanya.
"Aku lapar, cuacanya sangat cocok pula." Helene nyengir lebar, begitu pun dia masih saja terlihat cantik. Itu adalah salah satu yang Ninit kagumi dari Helene.
Bagi Ninit, temannya itu adalah sosok perempuan yang sempurna. Cantik, cerdas, rendah hati, pekerja keras. Ninit pernah mengatakan kekagumannya pada Helene. Perempuan 'sempurna' itu menjawab, "Aku kalau kentut bau. Di mana letak sempurnanya?" Jawaban yang menurut Ninit sangat semprul dan Ninit langsung melempar Helene dengan bantal.
"Cepat habiskan kopimu, nanti kita kena marah bos kalau berlama-lama di sini!" Helene memberi perintah. Ninit hanya mencibir.
***
Di pelataran mal Dion menurunkan jaketnya yang sudah basah terkena air hujan. Thalita memeluk tubuhnya, mengusap-usap agar dia merasa hangat. Dion memandangi Thalita sambil mengibaskan jaketnya. "Kita masuk sekarang?" tanya Dion, yang dijawab dengan anggukan.
"Kamu hanya ingin membeli buku, kan?" Dion bertanya memastikan. Biasanya perempuan sangat suka window shopping, sedangkan Dion tidak ada waktu untuk itu. Dia juga harus bersiap untuk bekerja nanti malam.
"Jangan khawatir, aku hanya akan membeli buku. Aku tidak terlalu suka window shopping, jadi tenang saja."
"Oh, bagus lah kalau begitu!"
"Kamu nggak suka ya jalan sama aku? Atau kamu merasa terganggu?" Tidak tahu apa yang membuat Thalita menanyakan hal itu, akhirnya dia merasa sebal dengan dirinya karena sudah menanyakan hal tidak penting. Sampai saat ini Dion masih berada di sisinya, harusnya dia merasa bersyukur bukannya malah nyinyir bertanya.
Dion menghentikan langkahnya kemudian melihat Thalita dengan kening berkerut, "Maksudnya?"
"Aku takut kamu merasa terpaksa menemani aku." Thalita berusaha memperbaiki kerusakan yang sudah dia perbuat. Dia mencoba meralat ucapannya. Sikapnya menjadi serba salah, apalagi harus berhadapan dengan tatapan Dion yang tajam.
"Aku setuju untuk menemani kamu, kan? Aku tadi tidak menolak, lalu mengapa kamu masih menanyakan hal itu?" Thalita menangkap ucapan yang sedikit sinis dari Dion.
"Maafkan aku!" Hanya itu yang mampu dikatakan Thalita.
Dion tersenyum, "Ayo, setelah dari sini aku masih punya keperluan lain." Thalita mengangguk. Dia jadi paham kenapa Dion bertanya apakah dia hanya membeli buku.
***
Ninit sedang berada dalam radius seratus meter dari Dion dan Thalita ketika melihat mereka berdua. Sedangkan temannya yang cantik- Helene - berada di sampingnya tapi terlalu sibuk menerima telepon. Tidak fokus dengan langkahnya, sebentar-sebentar berhenti untuk menjawab telepon.
"Len! Helene! Ada mas gondrong, tuh!" Ninit menyenggol lengan Helene yang sibuk dengan ponselnya.
"Heh!" Helene memusatkan perhatiannya pada Ninit, tidak mengerti maksud Ninit.
"Tuuuhhh!" Ninit mengarahkan pandangannya ke arah Dion yang kemudian diikuti oleh Helene. Ternyata Dion sudah menghentikan langkahnya dan memandangi Helene. Dion berdiri terpaku. Helene tersenyum melihat Dion lalu dia mendekat. Matanya melihat Thalita yang berdiri di samping Dion.
Siapa perempuan ini? Mungkin temannya? Aku akan meminta penjelasan padanya?.Tapi tidak sekarang, waktunya sangat tidak tepat. Lagi pula Ninit tidak tahu kalau aku dan Dion adalah sepasang kekasih. Aku belum ingin menjelaskannya pada Ninit.
Ternyata saat Dion salah tingkah begini, dia terlihat begitu menggemaskan. Dan... oh, aku ingin perempuan itu menyingkir dari sisi Dion.
***
Dilihat seperti itu membuat Dion menjadi serba salah, dia ingin menjelaskan pada Helene bahwa antara dirinya dan Thalita tidak ada hubungan apa pun selain pertemanan biasa. Namun, waktunya tidak tepat.
"Hai Mas gondrong! Masih ingat saya?" Helene tersenyum manis... sangat manis. Dion berharap di balik senyum yang manis itu tidak ada keinginan untuk mencabik-cabik dirinya karena bersama Thalita.
Apa itu mas gondrong? Nama panggilan apa itu? Dion hampir tertawa melihat Helene bersandiwara, apa lagi mendengar panggilan untuk dirinya 'mas gondrong', kayak nggak ada nama panggilan yang lebih keren.
Baiklah, aku juga akan bersandiwara!, "Kita pernah ketemu dimana, ya?" Dion tampak berpikir, pura-pura lupa.
"Di kafe." Helene menjawab singkat. Senyumnya sudah tidak semanis tadi.
"Biasanya memang begitu, pengunjung kafe lebih ingat dengan saya daripada ingatan saya ke pengunjung, karena jumlahnya banyak." Dion menjawab kalem, sikapnya sudah lebih santai.
"Oh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Helene, tak ada lagi senyuman yang menghiasi wajah Helene.
"Maaf, saya sudah mengganggu, Mas," kata Helene lagi. Sikapnya berubah menjadi kaku. Helene menggamit tangan Ninit dan beranjak dari tempat itu.
***
Sialan! Apa tadi dia bilang...dia tidak ingat? Seharusnya dia tidak perlu mengatakan itu!
Huh! Kan dia yang mengejar aku, berusaha untuk mendapatkan perhatianku! Awas aja nanti!
Helene terus menyumpah dalam hati. Dia marah dengan cara Dion bersandiwara. Helene merasa Dion sudah membuat dia malu. Apalagi tadi dia yang menyapa lebih dulu dengan kesan sok akrab. Di mana ditaruh mukanya di depan Ninit dan perempuan itu. Jangan sampai mereka menganggap aku sebagai salah satu penggemarnya. Helene merasa hatinya bagai diremas-remas, sungguh menyakitkan.
***
"Kamu kenapa sih diam aja! Sebel ya sama Mas gondrong?" Ninit menebak dengan tepat.
"Enggak!"
"Trus kenapa dong?" Ninit ngotot bertanya.
"Enggak apa-apa!"
"Kayaknya tadi setelah ketemu Mas gondrong, kamu jadi begini?" Ninit tetap dengan pendiriannya, tidak tergoyahkan oleh jawaban Helene yang singkat dan judes.
"Eh, kamu nggak cemburu, kan?"
"Ih, jangan nuduh dong! Ngapain juga aku cemburu?" Helene menaikkan nada suaranya.
Ninit terdiam, baru kali ini Ninit melihat Helene marah. Ninit meraba, pasti ada sesuatu antara Helene dan Mas gondrong? Tapi apa?
Ninit didera rasa penasaran. Namun, dia takut untuk bertanya lebih lanjut. Dibiarkannya rasa penasaran menggantung di udara. Sampai di kantor, Helene lebih banyak diam dan bicara seperlunya saja.
***
Jam 9.00 malam, Helene masih berada di depan laptop. Sedari pulang dari gerai di mal, dia tidak beranjak dari meja kerjanya. Tampangnya sangat serius, hingga Ninit tidak berani mengganggu. Bahkan untuk sekadar bertanya saja Ninit tidak berani.
Tadi katanya dia tidak mau menemaniku lembur, sekarang dia malah di sini dan menikmati pekerjaannya.
"Len!" Ninit memanggil, suaranya pelan tapi sangat jelas terdengar di ruangan yang sepi. Ruangan yang hanya terdiri dari tiga makhluk, yaitu Ninit, Helene, dan Togap.
"Hmm!" Helene menjawab, matanya fokus melihat Ninit.
"Kebiasaan kalau jawab cuma hmm!" Ninit mengomel.
"Ada apa?"
"Nggak pulang? Aku sudah selesai. Mau pulang sama-sama?" Helene mengangguk.
***
Dion tidak tenang berada di kursinya, sesekali matanya melirik ke pintu masuk. Tak sekali pun dia melihat Helene masuk. Apakah dia marah?
Dion mencoba mengirimkan pesan, dan tak satu pun pesannya dibaca. Dion tahu, dia sudah berbuat salah pada Helene.