Acara telah usai lima belas menit yang lalu, beberapa tamu sudah pergi meninggalkan panti. Tinggal anak-anak muda yang tadi dilihat Dion sedang membersihkan ruang pertemuan dan merapikan semua yang terlihat sedikit berantakan. Dion mencari Helene, matanya melihat ke segala arah. Saat matanya tak bisa menemukan Helene, tubuhnya mulai bergerak. Dia mulai berjalan ke semua tempat yang ada di panti, yang memungkinkan keberadaan Helene. Dimana perempuan itu? Jangan-jangan dia sudah pulang?
Dia mulai merasa resah, ada yang ingin dia sampaikan. Dari tadi matanya tak lepas melihat ke arah Helene. Lalu ibu panti memanggilnya, mengajak Dion berbicara dengan beberapa tamu. Dion bersyukur pembicaraan mereka tidak lama. Hati dan pikirannya tidak berada di situ. Hati dan pikirannya tertuju pada Helene. Dion terus mencari, dia nyaris putus asa. Helene sudah pulang.
Dion berjalan keluar pagar, Helene berada di situ sedang berbicara dengan seorang ibu yang tadi berpidato. Dion hanya memandangi dari kejauhan, sepertinya ada sedikit ketegangan diantara mereka berdua. Tak berapa lama si ibu pergi. Dia melihat Helene menatap kepergian ibu itu. Dion merasakan ada sesuatu.
***
Helene sudah akan beranjak pulang ketika mama memanggilnya. Mama menariknya sedikit ke sudut. Helene hanya bisa menurut, menunggu mama bicara bagaikan seabad rasanya. Mama terus mengawasi dirinya yang lebih memilih menundukkan pandangan mata. Dia tidak berharap mama akan mengeluarkan kata-kata manis untuknya.
"Len, Mama dan Tante Firda ingin mempertemukan kamu dengan Hilman."
Ah, perjodohan lagi...kencan buta lagi. Helene sangat muak mendengarnya. Tidak bisakah mama berhenti mencarikan calon suami untuknya? Seharusnya kencan buta beberapa bulan yang lalu adalah yang terakhir. Harusnya mama berkaca dari kegagalan semua kencan yang diaturnya untuk Helene, bahwa yang membuat masalah adalah Helene. Tapi sepertinya mama ingin menunjukkan kekuatannya pada Helene. Mama sangat gigih dan berharap suatu saat Helene akan luluh dan mau menikah dengan laki-laki pilihan mama. Helene melihat mama dengan tatapan mata menantang. Namun, tatapan mata mama lebih tajam. Di mata itu terlihat tekad mama yang kuat dan keputusannya adalah mutlak. Helene akhirnya memilih pasrah, "Kapan?" tanyanya pendek.
"Besok." Mama menjawab singkat.
"Jam dan tempatnya?"
"Kamu yang tentukan."
"Kalau aku menolak?" Helene sedang menawar.
"Tidak perlu keras kepala!" Mama menjawab dengan nada tegas, tidak ada kehangatan dalam dialog mereka berdua. "nanti mama kirimkan nomer telepon Hilman."
"Dia yang harus menghubungi aku. Aku akan ikut maunya." Helene menjawab sambil menatap mama lekat.
"Oke, Mama pulang!"
Begitu mama beranjak pergi, Helene mendongak lalu menutup mata. Dia berusaha menahan tangis. Helene menghela napas agar rasa sesak di dada segera pergi.
***
Helene menghapus air matanya dengan telapak tangan, dia berharap tidak ada yang melihat dirinya seperti ini. "Pakai ini." Seseorang menyodorkan sapu tangan padanya.
Helene mendongak, matanya bertemu dengan mata Dion. "Terima kasih," katanya sambil meraih sapu tangan yang diberikan Dion.
Suasana hening sejenak memenuhi udara. Helene tertawa getir untuk memecah keheningan, "Aku cuci dulu, nanti aku kembalikan ke kamu."
"Ya, aku menunggu. Aku selalu sabar menunggu untuk bertemu kamu." Dion berkata lirih.
"Apa kabar? Sudah lama kita nggak ketemu..."
"Ya." Dion menjawab, kepalanya mengangguk, "terima kasih buat oleh-oleh yang kamu kirimkan beberapa bulan yang lalu," katanya lagi.
"Kamu sudah mengucapkannya lewat pesan singkat. Maaf aku tidak menemui kamu." Mendadak rasa tidak enak merambati Helene.
"Tidak apa-apa...kamu pasti punya alasan untuk tidak lagi menemui aku." Dion tersenyum, "kalau sekarang aku ajak kamu ke suatu tempat, kamu mau?"
Helene diam, dia melihat Dion dengan pandangan menimbang-nimbang. Helene tidak ingin pulang setelah tadi bertemu mama. Hatinya rusuh. Namun, dia juga tidak ingin memberikan harapan untuk Dion. Helene melihat pandangan penuh arti dari laki-laki itu.
Dion menunggu, dia berharap Helene mau menerima ajakannya. Ketika Helene mengangguk, Dion tersenyum lebar. Hatinya terasa penuh.
***
Helene duduk di kursi panjang, matanya melihat ke seluruh ruangan. Dion mengajaknya ke tempat kosnya. Sebenarnya tempat kos Dion lebih mirip paviliun karena bentuknya seperti rumah mungil dengan satu kamar, dapur kecil, satu kamar mandi dan ada ruang kecil yang berisi kursi panjang dan meja. Letaknya terpisah dari rumah induk. Helene langsung merasa betah berada di situ. Dia berdiri lalu berjalan menuju ambang jendela.
"Rumahmu nyaman, sejuk." Helene melihat keluar jendela, ada pohon sawo yang sedang berbuah. Di halaman terdapat beberapa pot bunga. Helene menghirup udara sebanyak yang dia bisa untuk memenuhi rongga paru-parunya.
"Pertama kali aku melihat tempat ini, aku langsung suka." Dion datang membawa segelas teh hangat untuk Helene dan segelas kopi untuknya. "Minumlah!"
Helene merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya setelah minum teh hangat yang diberikan Dion.
Menurut Helene, Dion teman ngobrol yang menyenangkan. Meskipun umurnya terpaut lima tahun di bawah Helene. Tetapi Helene tidak merasakan perbedaan itu. Helene bisa bicara apa saja dengan Dion. Dia bisa menjadi dirinya sendiri ketika berada di dekat Dion. Ternyata Dion memiliki pribadi yang sangat hangat. Helene tidak menyesali keputusannya berada di sini. Dia butuh teman bicara. Andaikan tadi dia memilih pulang ke apartemennya, mungkin rasa sebalnya pada mama belum hilang.
Ponselnya berdering, dari nomer asing. Dahinya berkerut, merasa bimbang. "Halo!" Suara laki-laki di seberang sana. "Helene?" tanya suara itu lagi.
Helene menjawab mengiyakan, dia tidak mengenal suara itu. Laki-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai Hilman, anak Tante Firda. Helene langsung mengingat peristiwa siang tadi. Ah, perjodohan itu. Tiba-tiba kepalanya terasa berat. Helene menekan pelipisnya, memijatnya perlahan. Dia hanya bisa menjawab seperlunya, tidak berhasrat untuk beramah-tamah.
"Baik, kita bertemu jam tujuh." Helene mengangguk, dia ingin segera menyelesaikan pembicaraannya dengan Hilman.
Dion hanya bisa melihat wajah Helene, ekspresinya berubah-ubah. Terakhir Helene menutup ponselnya dan menutup mata. Dion ingin memeluk perempuan yang duduk di sampingnya. Dion tak berani bertanya bahkan untuk membuka mulut rasanya berat sekali. Dia takut dianggap lancang. Mereka baru saja dekat.
"Aku belum ingin pulang. Apa aku mengganggumu?"
"Tidak, kamu bisa berada di sini selama apa pun." Dion mengucap syukur di dalam hati karena hari ini dia tidak perlu ke kafe untuk bekerja.
"Aku ingin memejamkan mata sebentar saja, kepalaku terasa berat." Helene masih memijat pelipisnya.
"Aku ambilkan obat?"
"Oh tidak...tidak perlu! Sebentar juga semua akan baik-baik saja."
Ketika Helene tertidur, Dion melihat betapa wajah itu terlihat lelah. Ingin rasanya Dion menelusuri garis-garis wajah perempuan itu dengan jarinya.
Ingin rasanya Dion bertanya, "Apa yang membuatmu terlihat begitu letih, Helene?"