Helene terbangun, dia mengerjapkan matanya. Pikirannya bekerja ketika melihat plafon rumah yang dirasakan berbeda dengan apartemennya.
"Hei, nyenyak sekali tidurmu!" Suara Dion kini membangkitkan penuh kesadaran Helene.
Matanya mencari sosok Dion, tak ditemuinya laki-laki itu di dekatnya.
Dia mencium aroma yang sangat sedap, juga mendengar suara-suara sibuk dari arah dapur. Helene melangkahkan kakinya ke sana. Dion tersenyum melihatnya, "Sudah lebih baik?"
Helene mengangguk malu, tertidur di rumah seorang laki-laki selama beberapa jam adalah hal yang memalukan. Apalagi dia tidak terlalu akrab dengan laki-laki ini.
"Aku tertidur berapa lama?" tanyanya, setelah melihat langit di luar sana sudah berubah warna menjadi gelap.
"Mungkin sekitar dua jam," jawab Dion, "aku tidak ingin membangunkan kamu, tidurmu sangat lelap."
Helene menunduk, ingin rasanya dia menyurukkan tubuhnya ke dalam selimut dan tak bangun lagi. Memalukan, sangat memalukan!
Dion berbalik, kembali berkonsentrasi dengan masakannya. Helene melihat punggung Dion yang bergerak-gerak.
"Jangan pulang dulu sebelum kamu makan malam, sebentar lagi masakannya matang." Dion menoleh sekilas, lalu kembali sibuk dengan masakannya. "Duduklah dulu!"
Helene mengambil tempat duduk di belakang Dion. Memandangi punggung Dion menimbulkan perasaan yang berbeda.
Dion menghidangkan dua macam masakan di meja lalu menyiapkan segala sesuatunya. Dia melihat tatapan bersalah dari Helene. Dion membuka celemek nya, lalu duduk berhadapan dengan Helene.
"Aku terbiasa memasak makanan sendiri, mungkin rasanya biasa saja."
Helene melihat Dion dengan penuh rasa kagum. Sangat jarang laki-laki yang hidup sendiri mau memasak. Biasanya urusan perut diserahkan pada warung makan pinggir jalan atau restoran.
Helene termasuk orang yang tidak pernah memasak. Sewaktu tinggal bersama mama, ada asisten rumah tangga yang khusus memasak di rumah. Begitu tinggal sendiri, Helene lebih memilih membeli makanan daripada memasak. Menurut Helene memasak itu sangat merepotkan.
"Enak?" Dion bertanya memastikan, ketika melihat Helene mengambil beberapa sendok sayur tumis untuk diletakkan di piring. Helene mengangguk tersenyum.
Kalau masakanku bisa membuat dia tersenyum semanis ini, aku rela memasak untuknya setiap hari.
"Perempuan yang kamu lihat di panti tadi...Mamaku." Helene memulai pembicaraan. Dia meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya, "hubungan kami tidak dekat." Dion hanya diam memandang Helene.
"Kamu pernah melihatku bertemu dengan seorang laki-laki di kafe kan? Tempat kamu menyanyi." Helene melanjutkan ceritanya, "Mama menginginkan aku bertemu dengan pria-pria pilihan Mama." Helene tersenyum getir.
"Laki-laki itu adalah pria kesekian yang aku tolak. Aku mengira Mama akan berhenti mengatur hidupku. Ternyata besok aku harus bertemu dengan pria yang lain lagi. Tadi sore laki-laki itu menelepon, memastikan janji kencan kami." Helene menunduk. Dia tidak peduli apa yang Dion pikirkan tentang urusan kencan buta, Helene hanya butuh berbagi cerita dengan seseorang.
"Lalu?" Akhirnya Dion bersuara.
"Aku akan menemuinya. Kembali membuat ulah dan cuma bisa berharap itu akan membuat Mama berhenti mengatur hidupku."
"Kamu tidak pernah menyampaikan keberatan soal ini?"
"Pernah!" Helene tertawa kecil, "tidak ada pengaruhnya."
"Ah, sudahlah! Aku malah bicara melantur seperti ini. Seharusnya aku tidak perlu menceritakan hal-hal yang tidak penting ke kamu."
"Len, kamu bisa bercerita apa saja kepadaku. Aku akan mendengar semuanya." Raut wajah Dion sangat serius saat mengatakannya.
"Terima kasih Dionisius! Terima kasih buat makanan yang enak, rumah yang nyaman sampai aku ketiduran di sini. Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku." Helene tersenyum manis.
"Kapan-kapan datang lah ke sini, aku akan memasak makanan yang enak buat kamu."
"Oh ya, aku tidak akan melewatkan kesempatan itu." Helene bangkit berdiri, merapikan meja makan. "dan, kamu duduk saja di situ. Kali ini aku akan mencuci piring. Aku nggak mau jadi tamu yang tidak tahu diri." Helene tertawa.
"Baik lah kalau itu yang kamu inginkan! Silakan Tuan Putri!" Dion berdiri lalu sedikit membungkukkan badan. Helene tertawa lepas melihat tingkah Dion.
***
Tubuh Dion bersandar pada tembok apartemen Helene, jari-jarinya diselusupkan ke dalam saku jaket. Matanya tak lepas memandang Helene yang bersandar di pintu apartemennya sambil tersenyum lebar, "Masuk lah!" katanya.
"Lain kali saja," tolak Dion.
"Terima kasih sudah mengantarku. Harusnya kamu nggak perlu repot...."
Dion meletakkan jari telunjuknya di bibir Helene, "Sstt, sudah ku katakan...aku tidak merasa direpotkan." Laki-laki itu memotong perkataan Helene. Dion melembutkan nada suaranya.
"Selamat malam, Helene! Aku akan menemui kamu lagi. Jangan menghindar dari ku." Dion melangkah mundur, tersenyum lalu membalikkan tubuhnya. Dia melangkah pergi bersama angin. Helene hanya bisa memandangi tubuh Dion yang melangkah menjauh, menyatu bersama pekatnya malam. Lidahnya kelu, tak siap menerima kedekatannya dengan Dion.
***
Ketika Dion meletakkan ujung jarinya di bibirku, melembutkan nada suaranya. Jantungku seolah berpacu. Aku tidak akan bisa menatap manik matanya seperti dulu dengan rasa yang sama. Aku telah jatuh cinta pada laki-laki ini. Dari dulu aku tahu, aku punya perasaan yang berbeda untuknya. Namun, aku selalu mengingkari. Aku mencoba untuk menghindar dari dirinya. Alam bawah sadarku meminta untuk menjauh darinya. Dia bukan pria pilihan Mama.
Kini aku menggali lubang kuburanku sendiri dengan jatuh cinta padanya.
***
Pagi-pagi Dion menelpon, Helene masih menyisakan kantuknya saat menjawab sapaan Dion. Tadi malam dia tidak bisa tidur. Memikirkan dirinya dan Dion. Bayangan laki-laki itu menari-nari di kepala. Teramat susah untuk menghilangkannya.
"Baru bangun Tuan Putri?" Suara Dion terdengar renyah.
"Hmmm, ya..." Helene memicingkan matanya, melihat sinar matahari yang masuk melalui jendela apartemen.
"Aku ada di luar apartemenmu. Aku bawakan kamu sarapan. Kamu bisa membukakan pintu untukku?"
"Hah!" Helene terkejut, terkesiap, matanya terbuka lebar.
Yang benar saja dia sudah berada di sini ! Masakan dia melihatku begini?
"Dion, beri aku waktu sepuluh menit!" Helene menjawab cepat. Paling tidak rambutnya yang berantakan disisir rapi, membasuh wajahnya dan menyikat gigi.
"Oke, aku tunggu!" Dion tertawa kecil.
Helene bangun dari tidurnya, berjalan cepat menuju kamar mandi bahkan dia nyaris berlari. Dia merapikan apartemennya yang berantakan.
***
Helene memandangi ruangan apartemennya, memastikan semua sudah terlihat baik-baik saja. Melihat dirinya di cermin. Menarik napas lalu menghelanya. Menenangkan jantungnya yang seperti ikut berlari.
***
Dion tersenyum manis, mengangkat kantong plastik yang dibawanya. Menunjukkan sarapan pagi untuk mereka berdua.
"Kamu mau kopi atau teh?"
"Kopi! "Dion menjawab singkat, dia sibuk menata makanan yang dibawanya di meja makan.
"Suka manis atau pahit?"
"Aku suka dengan sedikit gula." Dion menjawab, dia berdiri tepat di belakang Helene. Kepalanya dijulurkan untuk melihat Helene membuat kopi. Helene merasakan embusan napas Dion di telinganya. Terasa hangat.
Kalau begini terus, aku bisa jatuh pingsan.
Helene tidak berani menggerakkan kepala.
Bahkan untuk sekedar menoleh melihat Dion. Dia tidak akan sanggup bersentuhan dengan laki-laki ini. Huh, memalukan!