Helene mengikat rambutnya. Riasan wajahnya tipis saja, hanya memakai bedak tipis dan lipstik berwarna nude. Untuk kesekian kali Helene melihat dirinya di cermin. Penampilannya cukup sederhana. Kaos putih tanpa kerah, celana panjang denim biru tua, dan sepatu pantofel. Helene merasa puas dengan penampilannya. Dia tidak ingin terlihat menonjol dalam acara bersama anak panti.
Ketika Helene dan Febi melaporkan susunan acara dan kegiatan yang akan dilaksanakan, mama terlihat cukup puas. Menurut Helene acara yang dibuat Febi hanya biasa saja, acara kebersamaan yang sering dilakukan seperti memberikan sumbangan, makan bersama, bermain bersama. Tidak ada yang istimewa. Namun, Helene tidak mau repot-repot untuk protes, selagi mama setuju biarlah berjalan seperti itu. Lagipula Helene tidak punya waktu untuk terlibat penuh.
Yang membuat Helene bersemangat ketika akan menyumbang buku untuk anak-anak. Helene langsung bilang pada Febi agar bagian itu diserahkan padanya. Helene sangat mencintai buku. Dia hanya bisa membaca buku disela-sela waktu luangnya, tetapi dia akan merasa hampa apabila tidak ada buku yang menemani. Kemana pun Helene pergi, dia selalu membawa satu buku di dalam tas untuk dibaca disaat senggang. Di dalam taksi, disaat menunggu untuk bertemu seseorang, bahkan ketika dia ingin minum kopi sendiri di sudut kafe, buku adalah temannya.
Helene memberikan beberapa koleksi bukunya, meminta sumbangan dari teman-temannya dan juga membeli beberapa buku baru. Ada luapan kebahagiaan ketika memandangi tumpukan buku. Helene membayangkan senyum anak-anak ketika menerima buku-buku itu. Helene tersenyum puas. Dia menjadi tidak sabar untuk segera ke panti asuhan.
***
Mama berdiri di depan sedang berpidato, Helene melihat dari bangku belakang. Dia sengaja menjauh. Mama tadi sempat menatap Helene tajam ketika melihat penampilan Helene yang dianggap mama ala kadarnya. Sedangkan penampilan mama terlihat glamor di tempat seperti ini menurut Helene sangat tidak sesuai. Riasan tebal yang membuat Helene berpikir mama sedang memakai topeng, dan mama sedang menipu diri sendiri. Mama seperti tidak bisa berdamai dengan usianya. Aksesoris yang menurut Helene sedikit mencolok dan terakhir sasakan rambut anti badainya, sungguh membuat Helene ingin menjauh saja. Padahal mama sangat cantik dengan penampilan yang sederhana seperti kesehariannya bila berada di rumah. Mungkin karena sudah terbiasa berdandan seperti itu, mama merasa aneh kalau berada di luar rumah tidak berdandan. Justru mama memandang Helene aneh.
Teman-teman mama yang berada di deret depan pun sama saja dengan mama penampilannya. Terlihat high class. Bahkan ada yang tak percaya ketika Helene disebut anak mama. "Serius ini anak You?" Nada bicaranya tidak enak didengar. Mama hanya tersenyum menanggapi, senyuman mama terlihat sekadarnya. Mungkin di dalam hati, mama ingin mencabik-cabik Helene.
***
Ketika ibu pengurus panti meminta Dion untuk hadir hari ini, terlihat rasa memohon tetapi ada juga terselip rasa tidak enak. Hari Sabtu bukanlah hari Dion untuk mengajar. Namun, demi menerima kedatangan tamu-tamu penting Dion diminta datang untuk ikut menyambut. Ibu pengurus panti merasa rasa percaya dirinya meningkat seratus persen kalau Dion hadir. Sebenarnya Thalita juga diajak untuk datang, kesibukan kuliah yang menjadi alasan Thalita menolak hadir. Ibu pengurus maklum dengan alasan itu. Untunglah Dion menyanggupi untuk datang.
"Maaf Bu, saya sedikit terlambat tapi saya pasti datang," katanya lewat telepon. Dion tidak ingin membuat ibu pengurus menjadi cemas karena menunggu kedatangannya.
Tadi pagi Davina menelpon, dia tidak enak badan. Tubuhnya panas, mulutnya terasa pahit. Dion langsung ke rumah kos Davina dan membawanya ke dokter. Sebagai sahabat tak mungkin Dion membiarkan Davina berada di kos dalam keadaan sakit. Setelah dari rumah sakit dan mengantar Davina kembali ke kos baru lah Dion tenang.
"Bukannya kamu ada acara di panti asuhan?" Davina bertanya, wajahnya lesu.
"Iya, nggak apa-apa... aku sudah telpon Ibu kalau datang terlambat." Dion mengatur bantal agar Davina bisa tidur enak.
"Sudah, pergilah! Nanti kamu semakin terlambat." Davina meminta Dion untuk pergi, tangannya diletakkan di dada Dion dan mendorong laki-laki itu dengan gerakan lemah.
"Iya, aku pergi... kalau ada apa-apa telepon aku." Dion berdiri, menyentuh lembut puncak kepala Davina.
"Dion...!" Davina memanggil, suaranya lemah. Dion yang sudah mencapai pintu berbalik, "terima kasih." Davina menangis, ada bulir air mata yang jatuh di pipinya.
"Hei, kamu kenapa?" Dion kembali, memandangi Davina yang tertunduk. Dia menyodorkan tissue yang berada di dekat Davina.
"Duh, aku jadi malu kalau begini. Aku cuma merasa terharu." Davina tertawa kecil, menghapus air matanya. Dia merasa sebal tidak bisa menahan tangisnya di depan Dion. Davina tidak ingin terlihat cengeng.
Dion menepuk tangannya lembut, "Aku pergi!" pamitnya sekali lagi. Davina mengangguk dan merasa senang karena Dion tidak berpanjang-panjang membahas tentang ini.
***
Dion duduk di sudut, mendengarkan pidato dari penggagas acara ini. Dia melihat betapa kuat kharisma ibu yang sedang berbicara di depan. Pidatonya lancar dan berisi, dengan tata bahasa yang baik. Namun, Dion melihat garis wajah yang keras. Dion menilai ibu itu bukan jenis perempuan yang mau berkompromi.
Dion melihat di barisan depan, ibu-ibu yang berdandan mirip dengan ibu yang berpidato, duduk mendengarkan dengan takzim. Sesekali mereka bertepuk tangan. Dion membuang pandangan matanya ke deretan kursi bagian belakang, duduk beberapa anak muda yang penampilannya terlihat kontras dengan ibu-ibu yang duduk di deretan depan. Tiba-tiba matanya menangkap sosok Helene, duduk diam dengan tangan bersedekap dan kaki yang diselonjorkan. Dion menajamkan pandangannya, dia takut salah melihat.
***
Helene merasakan ada seseorang yang sedang melihat dirinya. Dia berharap itu bukan mama. Helene sudah berusaha menahan rasa bosannya mendengar mama berbicara di depan. Tatapan matanya lurus, meskipun pikirannya melayang kemana-mana. Setelah acara ini selesai, dia ingin segera pulang. Menyeduh secangkir kopi, menikmati kue yang akan dibelinya di toko kue dekat apartemen dan menonton film atau membaca novel sampai dia tertidur di sofa. Dia menikmati khayalannya.
Helene menoleh ke samping, penasaran dengan perasaan yang tiba-tiba menderanya. Matanya tertumbuk pada Dion, laki-laki gondrong yang sedang menatapnya lekat. Dia masih mengingat laki-laki itu. Tak mungkin dia lupa, mereka tidak bertemu hanya beberapa bulan. Helene tak menduga akan bertemu dengan Dion di sini, tempat yang jauh dari hiruk pikuk dunia malam. Sedang apa laki-laki itu di sini?
Ketika tatapan mereka bertemu, Dion tersenyum. Jantungnya berdetak cepat, dia tak bisa melepaskan tatapan matanya dari Helene. Beberapa bulan tidak bertemu, Dion masih mengingat garis wajah Helene. Dion terus melihat dari jauh. Tunggu, aku akan datang padamu.