Read More >>"> Salted Caramel Machiato (Aku Belum Mengerti Hatiku) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Salted Caramel Machiato
MENU
About Us  

Secangkir kopi panas dan waffle terhidang di atas meja kerja Helene. Tadi malam akibat pertemuannya dengan mama membuat Helene melupakan makan malam. Pagi ini perutnya mulai terasa lapar. Sepulang dari kantor mama sebenarnya dia ingin mampir membeli french toast, tetapi pertemuannya dengan mama menghilangkan nafsu makannya.

 

Aroma kopi dan waffle memenuhi ruangan kantor yang masih sepi, Helene menyukai keheningan pagi. Dia menyeruput kopinya ketika Togap memasuki ruangan sambil bersenandung, entah apa lagu yang dinyanyikannya.

 

"Ish, wangi kali! Sarapan apa kau, Len?" Togap mampir ke kubikel Helene, melongok penasaran. "Macam yang enak kali roti yang ada di meja kau itu!" Togap menunjuk waffle yang memang terlihat menggiurkan.

 

"Mau?" Helene menawarkan waffle-nya pada Togap yang memandang dengan penuh minat.

 

"Mau lah, apalagi kalau makannya di dekat perempuan cantik, ya kan?" Togap tersenyum lebar, "tapi tunggu lah dulu, biar ku buat dulu kopi untukku... cocok ku rasa makan kue itu sambil minum kopi." Togap segera berbalik menuju meja kopi di sudut ruangan. Helene hanya bisa tersenyum kecut, dia batal menikmati pagi dengan suasana yang hening.

 

Togap mengambil kursi dan duduk di samping Helene, wajahnya terlihat penuh sukacita. Helene tertawa, ternyata kebahagiaan Togap menular padanya. Sejenak Helene melupakan kejadian tadi malam.

Togap selalu jadi teman ngobrol yang menyenangkan, Helene selalu tertawa bila di dekat Togap. Dia tidak mengerti mengapa Ninit tidak menyukai Togap. Ninit bilang kalau humor yang dilontarkan Togap itu garing, nggak lucu!

"Togap itu norak! Bikin kesel!" kata Ninit suatu kali.

 

"Len, kenapa sih kalian perempuan terlalu pemilih?"

"Maksudku tidak cukup kah kalau laki-laki itu bersikap baik saja? Kenapa syarat yang kalian berikan banyak sekali untuk jadi pacar?"

 

"Ah, rupanya dalam kali pokok bahasan kita pagi ini." Helene manggut-manggut, senyum tak pernah lekang dari bibirnya.

 

"Aku serius, Len. Untuk dapat pacar aja susahnya minta ampun."

 

"Andaikan kata cinta bisa untuk beli beras, nggak perlu juga perempuan menetapkan begitu banyak syarat. Hidup nggak semudah itu. Sudah lah, kapan-kapan kita ngobrol soal cinta. Tuh, udah mulai rame!" Helene menghadapkan wajahnya ke pintu masuk. Ninit dan beberapa orang teman masuk sambil tertawa ribut.

 

"Selamat pagi, Cinta!" Ninit berjalan melenggang menuju kubikel Helene, matanya melihat Togap yang duduk di samping Helene. Senyumnya berubah menjadi cemberut, Ninit tidak menyangka ada Togap di situ. Helene tersenyum lebar, sangat lebar. Rupanya ada yang bahagia. Ninit langsung merasa mual melihat senyum Helene. Huh! senyum yang palsu, sepalsu palsunya. Dasar pengkhianat!

 

"Selamat pagi, Ninit !" Togap menjawab sapaan Ninit dengan bersemangat.

 

"Itu bukan untuk kamu! Untuk Helene!" Ninit menjawab judes, dia mengibaskan rambutnya dan berlalu. Helene tertawa terbahak, dari tadi dia nyaris sesak napas menahan tawa.

 

"ltu...itu...yang aku bilang baik saja tidak cukup!" Helene hanya tertawa merespon kata-kata Togap, dia menepuk-nepuk pundak Togap.

 

***

 

Helene mencorat-coret kertas yang ada dihadapannya menjadi gambar abstrak. Dia bingung harus melakukan apa untuk acara di panti asuhan, Helene sama sekali tidak memiliki ide. Pekerjaannya juga tidak bisa dia selesaikan. Dia termangu di kubikelnya dan berharap mama tidak menelpon dalam waktu dekat menanyakan soal kemajuan rencana acara di panti.

 

"Len, pulang, yuk!" Ninit berdiri di hadapan Helene.

 

"Nanti dulu," jawabnya malas. 

 

Ninit melihat coretan abstrak yang dibuat Helene, "Ada masalah?Mungkin aku bisa bantu... soal kerjaan?" Ninit mengambil tempat di samping Helene.

 

"Bukan!" Helene menggeleng, "ada tugas dari mama yang harus aku kerjakan. Sebenarnya tugasnya sederhana tapi jadi nggak sederhana karena mama yang memberi tugas. Kamu tahu kan, sama mama semua harus sempurna." Ninit mengangguk.

 

Helene menceritakan semua pada Ninit, kalau pun Ninit tidak bisa memberi solusi paling tidak Helene lega bisa berbagi beban. Ninit tersenyum mendengar cerita Helene, "Dih, kayak gini sih gampang... hubungi Febi aja yang biasa ngurusin acara kantor."

 

Helene langsung memeluk Ninit dan mendaratkan ciumannya di pipi Ninit, "Makasih Nit, nggak sia-sia udah cerita sama kamu." Senyumnya sumringah, wajah yang tadi terlihat mendung berubah menjadi cerah.

 

" Aku tahu kalau aku sangat bisa diandalkan," kata Ninit sambil menepuk dada.

 

"Heleh, jadi jumawa? Itu yang bikin males..." Helene merengut. 

 

"Apaan jumawa? Maksudnya aku jadi sok, gitu?"

 

"Juara makan di warung... hahaha!" Helene tergelak, hatinya bahagia.

 

"Len, aku gendut ya?" Ketakutan terpancar di wajah Ninit, membuat Helene semakin tertawa lebar.

 

"Nggak gendut, masih oke... masih langsing. Ayo, aku traktir makan pecel lele!"

 

"Pecel lele? Hanya pecel lele? Untuk ide sebrilian itu paling nggak kamu harus traktir aku makan di shusi tei," Ninit menempelkan tangannya di dada, seolah-olah terluka. Raut wajahnya seakan tak percaya kalau Helene hanya mentraktirnya makan pecel lele. "Ini yang namanya sakit tak berdarah."

 

"Duit gaji udah menipis, ntar deh kalau udah gajian trus acaranya sukses... aku traktir makan di sushi tei." Helene sedang girang. Dia menggamit tangan Ninit, mengajaknya keluar dari ruangan kantor yang sudah mulai sepi.

 

Satu masalah telah terpecahkan walaupun itu bukan usahanya. Mana Helene punya waktu ngurusin acara mama, tapi setidaknya Helene tidak tinggal diam dengan mencari orang yang bisa mengerjakan acara mama. Helene tidak peduli seandainya nanti mama memarahinya dan bilang kalau cuma memakai jasa event organizer, sekertarisnya juga bisa. Mama termasuk pelit memuji. Helene ingat ketika dia selalu mendapat ranking satu dengan nilai-nilai yang nyaris sempurna, mama berkata, "Apa mungkin aku memasukkanmu ke sekolah yang salah? Berisi murid-murid bodoh!" Kalau sudah begitu Helene hanya diam menyimpan luka hatinya.

 

***

 

Sekarang Dion sering sengaja berlama-lama menyelesaikan waktu mengajarnya di panti. Sampai terkadang anak-anak yang harus mengingatkan untuk menyudahi pelajaran. Dion hanya ingin melihat Thalita walaupun hanya sesaat, hanya sekedar berpapasan saja sudah cukup bagi Dion. Thalita terlihat manis dengan kesederhanaannya. Mereka bertemu sesekali di kampus, dan setiap pertemuan mereka selalu terkesan buru-buru seperti dikejar waktu. Thalita harus mengikuti kuliah berikutnya atau Thalita ada kegiatan di unit kegiatan mahasiswa. Sepertinya Thalita mahasiswa yang punya seabrek kegiatan.

 

Dion malas kalau harus mengorek informasi dari Davina. Dia Malas mendengarkan rentetan pertanyaan dari Davina. Belum lagi Davina akan selalu menanyakan sudah sampai di mana hubungannya dengan Thalita. Padahal sebenarnya Dion belum mengerti tentang perasaan hatinya. Dia hanya sekedar tertarik saja atau lebih dari itu. Dion masih menjajaki perasaannya sendiri. Dion tidak ingin terburu-buru.

 

Di depan pagar panti Dion melihat Thalita berjalan ke arahnya, tersenyum manis. Dion tertegun, bergeming.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
LUCID DREAM
469      333     2     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)
Langit Jingga
2567      879     4     
Romance
"Aku benci senja. Ia menyadarkanku akan kebohongan yang mengakar dalam yakin, rusak semua. Kini bagiku, cinta hanyalah bualan semata." - Nurlyra Annisa -
Dear, My Brother
807      519     1     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
Drifting Away In Simple Conversation
339      235     0     
Romance
Rendra adalah seorang pria kaya yang memiliki segalanya, kecuali kebahagiaan. Dia merasa bosan dan kesepian dengan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan. Aira adalah seorang wanita miskin yang berjuang untuk membayar hutang pinjaman online yang menjeratnya. Dia harus bekerja keras di berbagai pekerjaan sambil menanggung beban keluarganya. Mereka adalah dua orang asing yang tidak pernah berpi...
My Rival Was Crazy
104      90     0     
Romance
Setelah terlahir kedunia ini, Syakia sudah memiliki musuh yang sangat sulit untuk dikalahkan. Musuh itu entah kenapa selalu mendapatkan nilai yang sangat bagus baik di bidang akademi, seni maupun olahraga, sehingga membuat Syakia bertanya-tanya apakah musuhnya itu seorang monster atau protagonist yang selalu beregresi seperti di novel-novel yang pernah dia baca?. Namun, seiring dengan berjalannya...
Good Guy in Disguise
653      472     4     
Inspirational
It started with an affair.
Lovesick
395      288     3     
Short Story
By Khancerous Why would you love someone else when you can’t even love yourself?
A promise
529      336     1     
Short Story
Sara dan Lindu bersahabat. Sara sayang Raka. Lindu juga sayang Raka. Lindu pergi selamanya. Hati Sara porak poranda.
Bulan
710      413     5     
Short Story
Ketika Bulan mengejar Bintangnya kembali
Maaf katamu? Buat apa?
683      425     0     
Short Story
“Kamu berubah. Kamu bukan Naya yang dulu.” “Saya memang bukan Naya yang dulu. KAMU YANG BUAT SAYA BERUBAH!”