"Kamu seperti tidak tahu bagaimana kalau aku bertemu Mama," kata Helene datar. Dia tidak berani mengangkat wajahnya, takut kebohongan akan tergambar jelas di wajahnya. Helene mengaduk teh manis, mencari kesibukan.
"Oh, Mama marah lagi?"
"Heh, marah? Kenapa harus marah?" Helene mengingat-ingat apakah dia ada keceplosan cerita tentang kencan buta dengan Aidan ke Ninit. Seingatnya terakhir kemarahan mama tentang kencan buta. Tetapi seingat Helene, dia tidak menceritakan apa pun pada Ninit, apalagi soal kencan buta itu sangat memalukan dan menyedihkan.
"Aku hanya mengira-ngira."
Helene mengucap syukur dalam hati bahwa kebohongannya belum terbongkar. Helene cepat mengajak Ninit kembali ke hotel. Dia tidak ingin Ninit tahu cerita yang sebenarnya.
"Kembali ke hotel, yuk! Semakin lama di sini perutku bisa meletus!" Helene berdiri, mengusap-usap perutnya.
***
"Kenapa sih dari tadi matamu ke arah pintu?" Davina berbisik ke telinga Dion, ketika Dion menyeruput kopinya. Dari tadi dia melihat Dion yang melirik ke pintu masuk, seperti sedang menanti kedatangan seseorang.
"...."
"Kamu menunggu Helene?" Davina menebak. Siapa lagi yang membuat Dion bersikap tidak tenang kalau bukan perempuan itu.
Kemarin Dion cerita soal pertemuannya dengan Helene. Ekspresinya terlihat bahagia, matanya berbinar. Walaupun Dion hanya bercerita sambil lalu, tapi Davina tahu Dion punya segudang perasaan bahagia di hatinya yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Davina mengenal Dion, laki-laki yang irit dengan kata-kata. Perasaannya hanya bisa dilihat dari ekspresi wajah atau sikapnya.
"Kenapa kamu nggak menelepon atau mengiriminya pesan? Katamu sudah mendapatkan nomer ponselnya." Davina bicara lagi, dengan Dion Davina sudah terbiasa bicara atau bertanya tanpa mendapatkan jawaban. Davina seolah bermonolog. Paling hanya sekedar anggukan, senyuman atau sepatah kata. Davina sering merasa gemas dengan Dion.
"Mana ada perempuan yang mau pacaran sama kamu kalau irit bicara begitu?" protesnya suatu kali.
Dion tersenyum lebar, "Mending nggak ada yang mau daripada ada yang mau tapi cerewet kayak kamu."
Davina sukses melayangkan cubitannya ke perut Dion. "Kamu itu ya, sekalinya ngomong panjang bikin kesel!"
Dion hanya mengangkat pundaknya, berlalu.
***
Dion melihat ponselnya, ragu untuk menelepon Helene, untuk mengirimkan pesan menanyakan kabarnya pun Dion berpikir seribu kali. Kata Davina kalau rindu harus berani ambil langkah lebih dulu.
"Apalagi kamu cowok... dih, buang tuh gengsi!"
Davina itu nyinyirnya minta ampun kadang Dion tidak tahan dengan kenyinyiran Davina. Tetapi Dion tahu kalau itu bentuk perhatian Davina ke Dion.
Sudah satu minggu sejak pertemuan mereka terakhir, Dion tidak melihat Helene. Perempuan itu seolah hilang dibawa angin.
"Hai, apa kabar?" Dion tersenyum ketika mendengar suara Helene.
"Kabarku baik. Kamu apa kabar? Lagi sibuk ya?"
"Ya, dibilang sibuk banget juga nggak." Helene menjawab, suaranya terdengar seperti orang yang baru bangun tidur. Dion melihat jam dinding di tembok kamarnya, jam 10.00. Dion yakin itu waktu yang tidak terlalu pagi untuk menelepon seseorang di hari Minggu.
"Baru bangun? Aku mengganggu?" Dion khawatir mengganggu Helene.
"Ya, baru bangun. Oh, nggak nggak.... kamu nggak mengganggu! Memang sudah waktunya aku bangun." Helene terdiam sejenak, "mataharinya sudah tinggi," katanya lagi, rupanya dia melihat keluar.
"Aku senang kalau kabarmu baik. Sepertinya kamu kelelahan?"
"Iya, aku sedikit lelah." Helene mengakhirinya dengan tawa kecil.
"Aku menunggumu datang ke kafe, tapi sepertinya kamu terlalu sibuk." Dion berkata dengan suara pelan, dia merasa malu sudah terlalu jelas menunjukkan perasaannya.
"Ah, jadi kamu menungguku." Dion dapat merasakan di sana senyuman terbentuk di wajah Helene. Perempuan itu pasti terlihat menggemaskan.
"Aku sedang berada di luar kota selama dua minggu, ada pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan." Suara Helene sudah terdengar seperti biasa, mungkin dia sudah sadar sepenuhnya dari kantuk.
"Apakah setelah kamu pulang dari luar kota kita bisa bertemu?" Dion bertanya dengan harap-harap cemas. Salah satu ketakutannya adalah harus menerima penolakan karena sesungguhnya dia tidak pernah siap dengan itu.
Davina bilang, "Badan aja boleh tinggi dan kekar, wajah terlihat jantan tapi takut ditolak cewek." Ingin rasanya dia menoyor kepala Davina saat itu.
"Kita akan ketemu, tapi aku nggak bisa menjanjikan waktunya."
"Aku akan menunggu."
Setelah berbasa-basi sedikit Helene menutup pembicaraan mereka. Dion tersenyum memandangi ponselnya.
***
"Siapa, Len?" Ninit bertanya sambil melongokkan kepalanya yang masih berbalut handuk ke ponsel Helene.
"Bukan siapa-siapa... bukan sesuatu yang penting."
"Kok senyum-senyum sendiri?"
"Ya, lebih baik senyum-senyum sendiri daripada marah-marah sendiri."
Helene beranjak dari tempat tidur, lebih baik mandi untuk menghindari pertanyaan Ninit. Helene belum ingin membagi ceritanya dengan Dion kepada siapa pun. Dia ingin menikmati perasaan bahagia ini sendiri. Sambil berjalan ke kamar mandi dengan leher berkalung handuk Helene bersenandung pelan, hatinya sedang gembira.
Biarkanlah kurasakan hangatnya sentuhan kasihmu...Bawa daku penuhi ku, berilah diriku kasih putih di hatimu
"Len, lagi jatuh cinta, ya?" Ninit bertanya dengan suara keras, sambil mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut. Suara mesin pengering rambut yang berisik membuat Helene mempunyai alasan tidak menjawab pertanyaan Ninit. Helene sengaja menulikan telinganya. Kali ini dia bernyanyi lebih keras, tangannya memegang sikat gigi dengan erat seperti memegang mic.
Biarkanlah kurasakan hangatnya sentuhan kasihmu...Bawa daku penuhi ku dengan cinta...uwoooo
Helene bertingkah bagai seorang diva di atas panggung. Dia tidak peduli dengan teriakan Ninit yang menyuruhnya diam.
Gayanya semakin dibuat-buat, bibirnya sengaja dimonyong-monyongkan membuat Ninit semakin jengkel melihat tingkahnya.
Cu cu cu cururu
Cu cu cu cururu
Hari ini ku gembira, pak pos melayang di udara
Lagu Vina Panduwinata pun dinyanyikan oleh Helene dengan gaya yang semakin berlebihan. Bahkan sikat gigi dilempar berpindah tangan dari kanan ke kiri mirip Freddy Mercury saat melakukan aksinya di atas panggung.
Ninit sampai harus menghentikan mesin pengering rambut, berjalan mendekati Helene.
"Kalau Tante Vina dengar lagunya kamu acak-acak, bisa dijitak tuh kepalamu sampai benjol!"
Ah...cu cu cu cu cururu...
cu cu cu cururu...
Helene bernyanyi semakin keras, dia tidak peduli dengan protes Ninit. Helene hanya melirik Ninit sekilas lalu melangkah masuk ke kamar mandi. Suaranya semakin keras menyanyikan lagu Surat Cinta dengan lirik karangannya sendiri.
***
"Sepertinya kamu sudah menelepon Helene, wajahmu kelihatan cerah kayak baru terima gaji." Davina mengganggu Dion yang terlihat bahagia. Dion tidak pernah ahli menyembunyikan perasaan hatinya di depan Davina.
Laki-laki itu sibuk menyetem gitar, membunyikan setiap dawai gitarnya. Dion hanya tersenyum simpul, tidak perlu menjawab pertanyaan Davina.
Dion mengingat kembali percakapannya dengan Helene tadi pagi. Di merasa kagum dengan dirinya yang memiliki keberanian untuk bicara dan menunjukkan sinyal-sinyal perasaanya pada Helene. Saat ini Dion merasa
cukup begini dulu. Semua akan berjalan perlahan namun pasti. Dia ingin Helene menjadi miliknya, hanya untuknya.