Helene menepuk punggung tangan Dion, "Aku pulang!"
"Tunggu! Aku akan mengantarmu."
"Nggak usah, aku bisa naik taksi."
"Helene, aku tidak bisa membiarkan seorang perempuan pulang sendiri dimalam selarut ini. Aku tidak akan tenang melepaskan kamu pulang sendiri." Dion memegang lengan Helene, berusaha menghentikan Helene yang sudah berjalan meninggalkannya.
"Aku biasa kerja lembur dan pulang larut malam. Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Lagipula apartemenku nggak jauh dari sini." Helene berusaha meyakinkan Dion bahwa semua akan baik-baik saja. Kenyataannya memang seperti itu, beberapa kali dia harus lembur terutama untuk tanggal tertentu saat harus menghitung gaji karyawan, menghitung bonus tahunan dan saat harus mengerjakan beberapa laporan lain. Selama ini semua baik-baik saja, terutama dia bukanlah perempuan penakut.
Hingga saat ini belum pernah ada laki-laki yang memperhatikan dirinya seperti Dion, dan Helene merasa terharu. Namun, dia juga merasa tidak enak kalau Dion harus mengantarnya, menurutnya itu sangat merepotkan.
"Aku akan bersikeras untuk mengantarmu."
Helene melihat kesungguhan di mata Dion, belum lagi sikapnya yang kukuh dan tidak mau melepaskan pegangan tangannya.
"Oke, kalau itu bisa membuat kamu melepaskan tanganmu."
"Maaf !" Dion tersenyum kikuk.
***
Helene membuka pintu apartemennya sambil berdoa dalam hati kalau di dalam terlihat rapi. Kadang-kadang Helene terlalu terburu-buru berangkat bekerja dan melemparkan beberapa pakaian atau sepatu yang tidak jadi dipakai begitu saja. Helene berusaha mengingat, sepertinya tadi pagi dia berangkat ke kantor dengan tenang.
Dion memaksa mengantar Helene sampai ke depan pintu, dengan alasan yang sama yang dia katakan tadi di kafe.
"Aku sudah sampai." Helene tersenyum tapi terasa canggung. Dia bingung harus menawari Dion untuk singgah sebentar dan minum secangkir teh atau memintanya pulang.
Apakah pantas menawari seseorang yang baru dikenal untuk singgah? Tapi untuk langsung meminta Dion pulang, Helene merasa tak enak hati. Dion laki-laki yang terlihat sopan dan bertingkah sewajarnya. Sekilas Dion melihat ke dalam apartemen Helene, dan Helene bersyukur bahwa apartemennya rapi, tidak ada benda-benda ajaib yang berserakan di lantai.
"Baiklah, aku sudah mengantarmu. Aku sudah merasa tenang. Sekarang aku akan pulang. Sampai ketemu lagi, aku berharap kamu masih mau bertemu denganku." Dion melihat Helene dengan tatapan penuh harap.
"Oke, suatu saat kita akan bertemu lagi. Terima kasih sudah mengantarku."
Dion mengangguk lalu melangkah mundur perlahan, senyumnya tak lepas. Kemudian Dion berbalik dan melangkah pergi dengan mantap.
***
Helene sedang menyantap nasi liwet khas Solo, yang diberi sayuran labu siam, suwiran ayam, telur rebus dan terakhir disiram dengan areh.
Kalau sedang berada di luar kota, pantang bagi Helene untuk melewatkan makanan khas daerah itu. Kali ini dia memilih duduk di emperan untuk menikmati sajian nasi liwet yang dimakan dengan alas daun pisang. Helene juga memesan teh manis panas sebagai pasangan yang pas untuk nasi liwetnya.
Ditemani tembang Jawa yang dilantunkan dua perempuan sepuh di depan pintu masuk, sungguh membuat suasana malam terasa indah. Tak terasa Helene sudah menghabiskan dua pincuk nasi liwet. Ninit yang melihat Helene makan dengan barbar hanya bisa geleng-geleng kepala, dia tak berani bersuara mengeluarkan komentar. Helene akan mengeluarkan jurus 'mumpung kita di kota asal makanan ini jadi harus dipuaskan'.
Ini hari pertama mereka berdua berada di Solo karena ditugaskan pihak perusahaan untuk melakukan rekrutmen karyawan. Perusahaan mereka akan membuka kantor cabang di Solo dan beberapa gerai, sehingga memerlukan banyak tenaga kerja. Tadi siang mereka sampai di Solo dan langsung menuju hotel.
Mereka berkoordinasi dengan pihak hotel karena rekrutmen akan dilaksanakan di hotel itu. Dari mulai wawancara langsung hingga psikotes. Mereka akan berada beberapa hari di Solo untuk kemudian beralih ke Semarang. Melakukan hal yang sama dengan yang mereka kerjakan di Solo.
Malam ini Helene bersikeras mengajak Ninit menikmati kuliner khas Solo. Helene malas harus makan di mal atau hotel dengan menu yang mudah ditemuinya di Jakarta.
"Apa istimewanya?" katanya sambil menarik tangan Ninit dari tempat tidur. Ninit lebih memilih makan menu hotel, setelah itu dia akan tidur cepat.
"Aku capek banget Len." Suaranya memelas. Ninit berharap Helene mengurungkan niatnya untuk mengajak Ninit berkeliaran di jalanan kota Solo demi sepincuk nasi liwet.
Ternyata suara memelas Ninit tidak membuat Helene menjadi kasihan bahkan semakin bersemangat menarik tangan Ninit. Bed cover yang menutupi badannya disibak dengan kekuatan penuh. Helene menyerahkan celana panjang dan kaos,"Cepetan bangun, ganti baju!" perintah Helene.
Tidak ada gunanya membantah Helene. Kalau perempuan satu ini sudah punya keinginan, dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mempengaruhi dan membuat orang lain mematuhi keinginannya. Helene sudah mirip politisi.
"Besok kita sudah mulai dari pagi dan kemungkinan sampai sore, siapkan tenaga buat besok, Len! Nasi liwet bisa menunggu," bujuk Ninit, dia masih enggan beranjak dari tempat tidur.
"Gila nunggu besok! Aku udah ngiler dari sebelum berangkat ke Solo. Perutku bisa meronta-ronta membayangkan sepincuk nasi liwet. Kamu tega membiarkan aku nggak bisa tidur hanya karena terus membayangkan nasi liwet yang terlewat malam ini?" Kali ini Helene memperhalus suaranya, pandangan matanya dibuat sayu. Helene yakin setelah ini Ninit pasti akan luluh.
"Alasan! Kamu yang ngiler, aku yang susah!" Ninit bangkit dari tempat tidur. Lebih baik begitu daripada tangannya sakit ditarik-tarik Helene. Belum lagi dia masih harus mendengarkan Helene yang akan terus bicara soal nasi liwet dan perutnya.
"Nah, gitu dong jadi kawan yang baik." Helene tersenyum lebar sambil menepuk pundak Ninit.
Sekarang di sinilah mereka berdua, menyantap nasi liwet. Bahkan Helene sudah menghabiskan dua pincuk. Belum ada tanda-tanda Helene akan beranjak, tangannya bahkan sibuk mencomot sosis solo yang berada di piring. Sebentar-sebentar Helene mendesis kepedasan karena mulutnya tak ketinggalan memakan cabe rawit sebagai teman sosis solo.
"Pulang dari Solo, aku yakin berat badanmu bertambah." Ninit menunjuk perut Helene yang terlihat sedikit membuncit.
"Tenang aja, nanti sampai Jakarta pasti turun lagi. Kamu kan tahu selera makanku di Jakarta tidak semengerikan ini." Helene bicara dengan tampang tak peduli bahkan mencomot sosis solo yang kedua.
"Len, jadi ketemu mamamu?" Tiba-tiba Ninit mengajukan pertanyaan itu. Helene terperangah, dia tidak tahu arah pertanyaan Ninit.
"Dua hari yang lalu kamu pulang cepat dari kafe, katanya mau ketemu mama kamu. Jadi?"
Helene nyaris menepuk jidatnya. Beginilah kalau berbohong. Mana ada dia ketemu mama. Itu cuma alasan karangannya untuk bisa ketemu Dion tanpa Ninit mengintil dirinya.
"Hmm, jadi...," jawabnya ragu
"Cerita dong, kemarin kamu belum sempat cerita," todong Ninit.
Duh Tuhan, aku harus cerita apa?Andaikan tadi aku tidak memaksa Ninit menyantap nasi liwet, mungkin aku tidak perlu bercerita dan melanjutkan kebohonganku.
Helene hanya bisa memandang Ninit, bingung harus memulai dari mana cerita pertemuan dengan mama.