"Nit, ada kafe baru dekat kantor, tau nggak?"
"Dimana? Kamu udah pernah ke sana?"
"Belum, tapi dari luar kelihatan tempatnya enak. Kita ke sana, yuk!" Helene mencoba mengalihkan keinginan Ninit nongkrong di kafe Dion.
"Ah, tapi kan kamu nggak ikut!" Ninit mencibir.
"Kalau agak sore aku bisa ikut, nanti janjian sama Mama malam aja." Helene berbohong, dia hanya ingin Ninit dan teman-temannya tidak mengganggu niatnya bertemu Dion.
***
"Beneran enak tempatnya!" Ninit mencomot muffin yang ada di depan Helene. Suaranya sedikit keras untuk mengalahkan musik yang berdentum memenuhi ruangan, badannya meliuk-liuk mengikuti irama musik. Menurut Helene gerakan Ninit malah kayak ular.
"Ih, tapi lebih seru di kafe yang waktu itu, yang pemain gitarnya ganteng. Siapa namanya, Nit?" Lusi bicara sambil mengangguk-anggukan kepala mengikuti musik yang semakin cepat.
"Kamu suka tempatnya atau suka karena ada mas gondrong?" Helene bertanya dengan suara nyaris berteriak. Kalau Lusi suka dengan Dion, persaingan akan semakin ketat.
"Dua-duanya!" Kali ini Lusi menggeleng-gelengkan kepala, Helene mulai khawatir kepala Lusi lepas dari sendinya.
Helene melihat jam tangannya, dia mulai gelisah. Bagaimana caranya untuk berpamitan dengan teman-temannya tanpa mereka ikut keluar dari kafe. Letak kafe Dion tidak terlalu jauh dari kafe tempat mereka nongkrong.
Helene mencolek Ninit yang masih meliuk-liukkan badan, "Nit, aku pamit mau ketemu Mama," dustanya.
Ninit mengangguk, "Nggak apa-apa, kan pulang sendiri? Soalnya kita masih seru nih nongkrong di sini." Begitu mendengar Ninit bilang kalau mereka masih belum ingin beranjak, Helene mengembuskan napas lega. Nggak perlu susah-susah mencari cara dan alasan. Helene melambai kepada teman-temannya yang lain.
***
Dion melihat jam dinding yang posisinya bisa langsung tertangkap matanya. Sudah jam 21.00, Dion tidak yakin Helene akan datang. Semangatnya hilang terhempas.
Sedari tadi dia melirik ke arah pintu masuk, matanya awas menangkap setiap tamu yang datang. Namun, sosok Helene tak muncul juga. Dion gelisah, duduknya tidak tenang. Kali ini dia pasrah, perempuan itu melanggar janjinya.
Dion nyaris merasa marah, kemudian dia berpikir lagi mungkin ada sesuatu yang membuat Helene membatalkan janjinya. Atau Helene bertemu laki-laki yang kemarin di suatu tempat. Mungkin mereka sepasang kekasih, bertengkar lalu berbaikan. Segala kemungkinan melintas di kepala Dion. Itu membuat kepalanya terasa berat.
***
Dari depan pintu masuk Helene mendengar suara Dion menyanyikan lagu milik Eric Clapton. Helene berdiri sejenak di dekat pintu masuk, menikmati suara Dion, mendadak membangkitkan sisi romantis Helene.
Dia masih terpaku, menarik napas lalu memberanikan diri membuka pintu. Matanya langsung melihat ke arah panggung. Dion dengan kaos putih dan kemeja kotak-kotak biru sebagai outer. Rambut gondrong sebahu dibiarkan tergerai, sebentar terlihat sedikit berkibar terkena embusan pendingin udara yang dipasang kencang. Lampu sorot yang berpendar lembut menyorot sosoknya di atas panggung. Dion terlihat sempurna.
Helene berdiri sejenak memilih di sudut gelap, dia masih ingin memuaskan matanya. Tak jauh dari tempatnya berdiri ada kursi yang kosong. Helene memilih duduk di situ, sosoknya tidak terlihat dalam keremangan cahaya. Dion tidak melihat kehadirannya.
***
Seorang perempuan datang mendekati Dion yang sedang duduk menikmati secangkir kopi. Tugasnya sudah selesai. Perempuan itu salah satu penggemarnya. Beberapa kali selalu datang menghampiri Dion sekedar menyapa atau ngobrol.
Dion merasa terganggu, tetapi tak kuasa menolak kehadiran perempuan itu. Menurut Dion penggemarnya ini sedikit agresif, dia tidak sungkan untuk bergenit-genit ria dengan Dion. Sangat menakutkan. Dion hanya duduk mendengarkan, sesekali tersenyum menanggapi. Hanya itu tidak pernah lebih dari itu. Dion tidak ingin menumbuhkan harapan apa pun pada perempuan itu.
Terkadang Dion sebal dengan gaya perempuan yang sok berakrab-akrab dengan dirinya. Biasanya ada Davina yang membantu dia untuk menyingkirkan perempuan-perempuan yang terasa mengganggu. Davina akan menempel dengan ketat, ekspresi wajahnya bisa berubah terlihat seperti seorang perempuan yang sangat mencintai Dion.
"Harusnya dulu kamu ambil kuliah seni peran, nggak cocok kuliah Hukum." Dion mengomentari akting Davina bagaikan seorang artis yang sangat mendalami perannya.
Tetapi malam ini Davina pulang lebih cepat. Tidak ikut nongkrong sebentar seperti kebiasaan mereka berdua selepas bekerja, ada keperluan yang mendesak.
Davina tidak menjelaskan keperluannya, "Besok aku cerita. Bye, Di!"
Dion hanya pasrah ketika perempuan itu menempelkan lengannya ke sisi tubuh Dion bak lintah. Sebentar Dion menggeser duduknya, perempuan itu tersenyum menggoda. Duh!
Tiba-tiba terdengar suara, "Saya berharap kamu tidak berhasrat untuk memiliki kekasih saya, karena saya tidak akan pernah rela melepaskannya." Helene mendekat, menatap mata Dion lalu memegang lengan Dion erat seperti takut kehilangan.
"Pacar?" Perempuan itu bertanya dengan nada tak percaya kalau Dion benar-benar memiliki pacar.
"Ya, kenapa? Nggak percaya kalau saya pacarnya?" Helene menaikkan suaranya, ekspresinya sangat galak.
"Iya, dia pacar saya." Dion menyahut kalem, sambil tangan Dion memeluk pinggang Helene yang masih berdiri di sampingnya.
"Baiklah, saya akan pergi!" Tak ada kata maaf yang keluar dari mulut perempuan itu, dia pergi begitu saja.
Ketika perempuan itu tidak terlihat lagi, Helene cepat melepaskan pegangannya, "Maafkan aku. Tadi aku melihatmu dari jauh dan sepertinya kamu tidak nyaman berada di dekat perempuan cantik itu. Semoga aku tidak mengambil kesimpulan yang salah dan melakukan kesalahan dengan mengaku sebagai pacarmu." Helene meringis, kemudian melirik tangan Dion yang belum melepaskan pelukannya.
Berat bagi Dion melepaskan pelukan, dia merasa nyaman saat memeluk Helene. Tapi mau tak mau dia harus melepaskan pelukannya, karena diantara mereka berdua tidak ada hubungan apapun selain perkenalan biasa.
"Aku kira kamu nggak datang, aku menunggumu."
"Aku sudah janji untuk menemui kamu malam ini. Aku orang yang berusaha untuk menepati janji." Helene tersenyum lebar.
"Terima kasih."
"Untuk apa? Yang tadi?"
"Untuk janji yang kamu tepati. Juga untuk yang tadi." Dion tersenyum simpul, dia mengingat kejadian ketika Helene mengaku-ngaku jadi pacarnya.
"Oh, itu! Untuk itu kamu berhutang padaku." Helene menadahkan tangan, seperti orang yang meminta sesuatu, suaranya terdengar ringan.
"Oke, kamu mau makan atau minum apa? Aku traktir." Dion masih tersenyum.
"Jangan sekarang, perutku nyaris meletus. Suatu saat aku akan menagihnya. Tau nggak, sebelum ke sini aku tadi nongkrong di kafe yang letaknya nggak jauh dari sini." Dion mengangguk mulai mengerti apa yang menyebabkan Helene datang begitu malam.
"Kenapa?"
"Oh, ada deh..." Helene tersenyum misterius. Helene nggak mau menceritakan kalau dia harus menyingkirkan Ninit dan teman-temannya ke tempat yang menurutnya aman.
"Aku yakin suatu saat kamu akan cerita." Dion didera rasa penasaran, tapi dia tidak mau memaksa Helene.
"Kamu yakin sekali kita akan ketemu lagi." Helene menopang dagunya, matanya memandang Dion lekat.
"Kamu nggak ingin ketemu aku lagi?"