Didera rasa penasaran, Helene berbalik, memutar tubuhnya.
"Apa kabar?"
"Baik, kamu..." Helene tak mampu meneruskan perkataannya, dia terlalu terkejut. Siapa yang menyangka laki-laki gondrong ini yang memanggil dirinya.
"Kenalkan, namaku Dionisius... kamu bisa memanggilku Dion." Laki-laki itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
Helene menyambut uluran tangan Dion dan menjabatnya dengan mantap.
"Helene." Dia menyahut.
"Aku tahu, tadi aku memanggil namamu."
"Oh, iya...bodohnya aku!" Helene mengumpat pelan, merasa malu. Di depan laki-laki ini dia seolah kehabisan kata. Dion hanya tersenyum mendengar Helene memaki dirinya sendiri.
"Boleh aku meminta nomer ponselmu?" Dion bertanya dengan nada gugup. Baru kali ini dia terburu-buru mendatangi perempuan untuk meminta nomer ponsel. Bukan kebiasaannya seperti ini.
Helene menyebutkan nomer ponselnya. Entah mengapa dia rela memberikan nomer ponselnya kepada laki-laki ini, laki-laki yang baru dia kenal. Ini bukanlah kebiasaan Helene. Dia adalah perempuan yang sangat berhati-hati memberikan sesuatu yang bersifat pribadi kepada orang lain.
"Selama ini aku menunggu kedatangan mu." Dion berkata, matanya tak lepas menatap Helene.
"Besok aku akan datang." Helene mengucapkan janji. Terlalu cepat dia mengatakan kalimat itu. Laki-laki ini punya ilmu apa sih bisa membuatku begini?Aku seperti tersihir olehnya.
"Aku akan menunggumu... maaf aku nggak bisa berlama-lama." Dion mengarahkan ibu jarinya ke arah kafe. Helene mengangguk, dia mengerti bahwa Dion harus kembali ke dalam untuk bekerja.
***
"Kamu sempat ketemu dia?" Davina langsung menyerbu Dion dengan pertanyaan begitu melihat kedatangan Dion, dan demi melihat senyumnya yang lebar.
Hebat juga efek perempuan itu bagi Dion. Mungkin ini yang dinamakan Helene effect.
Dion hanya mengangguk, mengambil gitar dan duduk di singgasananya bersiap memulai pekerjaan hingga satu jam ke depan.
"Haruskah kali ini kita menyanyikan lagu dengan tema jatuh cinta?" Davina bertanya sambil menyikut bahu Dion.
"Apaan sih, Vin?" Dion melirik Davina sambil tersenyum simpul.
Lalu mengalun lah lagu Perfect milik Ed Sheeran dari bibir Dion. Kali ini dia meminta untuk menyanyikannya. Davina berpikir, ini adalah Helene effect yang kedua. Sungguh dahsyat pengaruhnya bagi Dion.
I found a love for me
Darling just dive right in and follow my lead
Well, I found a girl
Beautiful and sweet
I never knew you were the someone waiting for me
***
Helene sedang duduk di coffee shop dekat kantor. Dia sengaja datang lebih pagi agar masih bisa mampir dan duduk sedikit lama menikmati kopi pagi dan setangkup roti. Hari ini Helene sedang malas minum kopi di dalam bilik kerjanya seperti kebiasaannya setiap pagi.
Baru saja dia menyeruput secangkir espresso, ponselnya berdering mengganggu. Tertulis Nyonya Besar di layar ponselnya. Hmm, mama menelpon. Pasti ingin menanyakan soal kencan dengan Aidan.
Terus terang Helene nyaris melupakan soal kencannya dengan Aidan. Dia terbuai dengan seorang Dionisius. Padahal tidak ada yang istimewa, hanya perkenalan biasa, yang membuat Helene tak bisa lupa saat Dion bilang kalau selama ini dia menunggu Helene. Kejujuran itu yang membuat Helene merasakan debaran halus di dada. Hingga pagi ini kalau mengingat itu debaran halus itu selalu hadir.
Helene merasa mama akan merusak paginya. Dia malas untuk menerima telepon dari mama, tapi Helene tak mungkin mengabaikan, ponsel itu akan terus berdering seolah-olah berteriak padanya.
"Pagi, Ma!" Helene menyapa dengan suara datar, tidak ada kehangatan di sana.
"Bagaimana pertemuan mu dengan Aidan?" Mama terlalu to the point, tidak ada basa-basi atau kalimat awal sapaan selamat pagi atau menanyakan kabar anak gadisnya. Mama hanya bisa berbasa-basi dengan rekan bisnisnya, dengan Helene mama seperti bicara kepada bawahan.
"Begitu lah!" Helene menjawab singkat.
"Mama tidak mengerti dengan maksud kalimat begitu lah!" Terdengar nada suara mama tegas.
Helene mulai menghitung di dalam hati, sebentar lagi mama akan mulai meradang dan memarahinya habis-habisan. Helene sudah sangat hapal urutannya.
"Tak bisakah kamu membuka hatimu?Laki-laki yang Mama pilih untuk kamu semua berkualitas. Tak bisakah kamu mengerti bahwa mama menginginkan yang terbaik untukmu?"
Helene tidak menyangka kalau suara mama menjadi melunak dan terdengar lelah. Mungkin mama sudah kehabisan akal menghadapi Helene.
Helene hanya diam, pertanyaan mama tidak membutuhkan jawaban. Sebenarnya itu bukanlah pertanyaan tetapi lebih kepada permintaan agar Helene menerima laki-laki yang disodorkan mama. Semua laki-laki itu sudah diuji coba dan dianggap layak bersanding dengan Helene.
Uh, nggak sudi! Itu kan menurut Mama bukan menurut aku!
Namun, Helene memilih diam. Dia enggan untuk berdebat. Dia tidak mau paginya semakin rusak karena harus berdebat dengan mama dan pasti perdebatan itu tidak akan mungkin dia menangkan. Akhirnya mama menutup pembicaraan dengan hembusan napas panjang.
Sebenarnya bukan pembicaraan, ini lebih mirip monolog. Mama ngomong sendiri dan Helene diam seribu bahasa.
Setelah memasukkan ponsel ke dalam tas, Helene melihat jam tangan. Masih ada waktu lima belas menit. Helene segera menandaskan kopi, setangkup roti akhirnya harus dimakan di dalam kubikel. Mama memang paling tahu cara membuat orang merasa buruk dan sial.
***
"Psssttt!" Ninit memanggil Helene.
"Hmm."
"Kebiasaan banget sih kalau jawab hmm..." Ninit mulai merepet.
"Lagian manggil pakai psssttt... apaan, tuh!" Helene nggak mau kalah, tetapi matanya menatap layar laptop.
"Ya, kan kamu tau lah itu artinya aku manggil kamu." Ninit meneruskan repetannya.
"Bu Ninit, saya punya nama... Helene. Nama itu bikinnya pakai selametan, pakai bubur merah putih." Helene menjawab semakin nggak mau kalah. Akibat kejengkelannya dengan mama pagi ini, dia lampiaskan ke Ninit. Waktunya sangat pas pula.
"Kamu ngeselin banget sih! Iya iya, Helene..." Bibir Ninit mengerucut, persis kayak ikan cucut. Helene merasa bahagia bisa memenangkan perdebatannya dengan Ninit.
"Kenapa?" Helene mendongak, matanya melihat Ninit yang masih mengerucutkan bibir.
"Nanti malam, pulang kantor nongkrong di kafe Mas gondrong, yuk!" ajak Ninit. Dia tersenyum malu-malu.
Helene ingat janjinya untuk datang menemui Dion alias mas gondrong malam ini, tapi mana seru kalau bareng Ninit. Mati aku! Harus cari alasan yang tepat.
Helene berpikir cepat, bagaimana caranya menolak Ninit.
"Aku nggak bisa, malam ini mama mau datang ke apartemen." Semoga di wajahnya tidak terbaca kalau dia berdusta.
"Oh... aku ajak yang lain, deh! Mungkin Lusi atau Ribka mau?" Di wajah Ninit jelas terpancar kekecewaan. Bagi Ninit acara nongkrong tanpa Helene itu rasanya beda, nggak enak.
Duh, bagaimana ini! Helene berteriak di dalam hati. Dia mulai gelisah. Dia harus bisa membujuk Ninit untuk membatalkan keinginannya untuk nongkrong di kafe itu. Helene tidak mau kepergok sedang ngobrol dengan Dion.
??