Helene memasuki kafe, matanya tertuju ke arah panggung. Tak sengaja matanya bertatapan dengan mata Mas Gondrong. Ada desir yang aneh di dadanya saat melihat Mas Gondrong menatapnya tanpa sengaja.
Helene datang sendiri, ada seseorang yang harus dia temui atas perintah mama. Seperti biasa mama mengatur kencan untuknya. Persis seperti kencan buta dan dia harus menurut. Ketika menentukan tempat untuk bertemu, yang ada dipikiran Helene hanya kafe ini.
Helene tidak memberitahukan kepada Ninit soal kencan buta ini. Terus terang dia malu kalau sampai teman-temannya tahu betapa menyedihkan kehidupan percintaannya. Bahkan untuk mendapatkan pacar saja harus ada campur tangan dari mama. Siapa nama laki-laki kencan buta nya? Helene membuka pesan di ponsel, pembicaraannya dengan mama menyebutkan nama laki-laki itu.
"Aidan." Helene menyebutkan nama laki-laki itu perlahan, berharap dia bisa mengingatnya dengan baik. Sungguh tidak lucu kalau nanti bicara dia salah menyebut karena gugup.
Helene melangkah ke sudut kafe, dia melihat laki-laki yang mirip Aidan sedang duduk. Selain menyebutkan nama laki-laki itu, mama juga mengirimkan foto Aidan. Laki-laki khas pilihan mama. Terlihat cerdas, berpotongan rapi, berwajah bersih, dan tampan.
Helene mendekat, melambaikan tangan meminta perhatian laki-laki itu, "Aidan, ya?" tanyanya.
Laki-laki itu tersenyum mengangguk dan mempersilakan Helene untuk duduk.
Kesan pertama bagi Helene melihat Aidan, laki-laki ini bukan tipenya. Dia yakin mereka hanya akan bertemu malam ini saja dan Helene akan beberapa kali menolak untuk bertemu lagi. Dia akan mengajukan berbagai alasan pada mama yang membuat Helene menolak Aidan. Laki-laki ini hanya akan masuk kotak dan dibiarkan di situ tanpa Helene pernah melihat lagi.
***
Dion tak sengaja bertatapan mata dengan Helene, dia tidak menduga perempuan itu akan datang lagi. Sudah satu bulan yang lalu sejak Helene datang dengan teman-temannya. Namun, kali ini Helene datang sendiri. Dion tidak sempat memberikan senyumnya, Helene sudah membuang muka lalu melangkah ke sudut kafe.
Dion mengikuti langkah Helene dengan pandangan matanya. Seorang laki-laki duduk di situ, sepertinya Helene punya janji dengan seseorang. Tatapannya tak lepas, entah mengapa dengan perempuan yang satu ini ada rasa yang berbeda. Padahal sudah satu bulan yang lalu bertemu, tetapi Dion tidak pernah melupakan wajah Helene bahkan hingga senyumnya masih diingat Dion dengan jelas.
Satu bulan ini sebenarnya dia sungguh ingin bertemu perempuan itu. Mungkin Tuhan mendengar doanya hingga membawa perempuan itu melangkah ke kafe. Tadi saat matanya bertemu mata Helene, Dion bertekad untuk mendatangi perempuan itu. Dion ingin mengenal Helene, kalau perlu dia akan meminta nomer ponselnya. Tapi sepertinya Dion harus kecewa, Helene datang bukan untuknya.
***
Nyaris satu jam Helene berada di sini dan berbicara dengan Aidan. Pembicaraan yang sungguh membosankan, Helene nyaris terkantuk-kantuk di tempat duduknya. Kalau bukan karena demi kesopanan, Helene sudah akan menguap lebar-lebar atau memejamkan mata. Aidan tidak mengerti bahasa tubuh Helene, dia terlalu asyik dengan dirinya dan berbicara juga tentang dirinya. Sesekali Helene menolehkan pandangannya ke arah panggung, melihat mas gondrong menyanyi, suaranya selalu membuat Helene berpaling dari Aidan. Apalagi cerita Aidan tak menarik sama sekali.
Perkenalan pertama pembicaraan Aidan soal pekerjaannya, perusahaan papanya lalu lanjut dengan perbincangan soal dunia bisnis, saham, investasi.
"Hello, aku nggak butuh itu! Kalau mau ngobrol kayak gitu sama mama aku aja!" Helene nyaris berteriak di depan wajah Aidan.
Mungkin Aidan bermaksud membuatnya terkesan, tapi malah membuatnya mual. Helene ingin kabur saja dari situ. Sesekali dia tersenyum, mengangguk cukup sopan untuk ukuran orang yang sudah bosan setengah mati.
"Coba dong kamu cerita tentang diri kamu, dari tadi aku terus yang ngomong." Aidan menunjuk Helene sambil tersenyum ramah, mungkin Aidan sudah lelah harus bicara terus demi membuat kesan pertama yang bagus untuk Helene.
"Aku?" Helene menunjuk dirinya.
"Ya, kamu. Siapa lagi?" Aidan masih tersenyum.
"Tak ada yang layak untuk diceritakan. Aku malah takut nanti kamu bosan mendengarnya. Nggak ada yang istimewa."
"Anak pengusaha terkenal kayak kamu tidak mungkin tidak punya cerita yang hebat. Kamu bisa cerita tentang pekerjaanmu atau bisa juga bicara tentang mimpi-mimpi kamu." Aidan masih memaksa.
Bah! Apa pula dia ingin tahu tentang mimpi-mimpiku! Siapa pula yang sudi berbagi mimpi dengan laki-laki yang tidak membuatnya tertarik!
"Maafkan aku, bukannya aku tidak ingin berbicara lagi denganmu, tapi hari ini aku merasa sangat lelah dan ingin segera pulang." Kalau saja laki-laki ini mengerti biasanya kalimat di depan kata "tapi" adalah dusta, dia pasti bisa membaca dusta yang diucapkan Helene.
"Oh oke, kalau begitu." Ada pandangan tak mengerti dari Aidan, "aku tidak akan memaksa, aku akan mengantarmu pulang."
"Nggak perlu, aku nggak mau merepotkan kamu. Aku bisa naik taksi kok, lagi pula apartemenku tidak jauh dari sini." Helene berdiri dari tempat duduknya, menyelipkan lembaran uang di bawah tatakan gelas yang dia minum. Dari dulu itu kebiasaan Helene, dia tidak suka dibayari oleh laki-laki yang baru dia kenal. Apalagi statusnya kencan buta. Helene tidak peduli laki-laki itu akan tersinggung atau tidak. Itu sudah jadi prinsipnya.
"Terima kasih buat malam ini, terima kasih buat pertemuan kita." Helene segera beranjak sebelum Aidan sempat bicara.
Helene tahu dia pasti akan kena marah lagi sama mama, itu adalah kencan buta yang kesekian kali, kencan buta yang gagal.
Helene hanya ingin mama kapok untuk mengatur soal kencan buta.
***
Dion melihat Helene duduk tidak tenang, sesekali perempuan itu melihat ke arahnya. Dion sebisa mungkin mengikuti setiap gerakan Helene. Dion mengenal bahasa tubuh itu, bahasa tubuh orang yang terpaksa duduk di situ. Dion tersenyum.
Davina yang sedari tadi melihat Dion, menepuk punggung Dion,"Rupanya perempuan pujaan yang datang, pantes nggak konsentrasi."
Dion melirik sekilas ke arah Davina, tersenyum tipis. Dion tidak membantah, hatinya sedang bahagia.
Melihat Helene beranjak dan berjalan bergegas ke luar, Dion bersorak di dalam hati.
Namun, mendadak dia merasa takut kehilangan Helene. Dia ingin mengejar perempuan itu. Untunglah saat itu sedang tidak ada tamu yang bernyanyi, Davina pun sedang rehat sejenak. Dion menaruh gitarnya, berbisik di telinga Davina, "Sebentar, ya." Dion bergegas turun dari atas panggung, langkahnya lebar-lebar. Berharap masih bisa bertemu Helene di luar.
***
Melihat Helene berjalan cepat meninggalkannya membuat Aidan terkejut. Sialan! belum pernah ada perempuan yang meninggalkan aku seperti ini!
***
Helene memandang lurus ke jalan, berharap taksi segera datang. Helene tidak ingin bertemu Aidan.
"Helene!" Seseorang memanggil namanya, bukan Aidan, Helene tahu itu bukan Aidan. Namun dia takut menoleh, dia takut kalau dia salah.
Helene segera mengucapkan doa di dalam hati agar taksi segera datang. Dia berpura-pura tidak mendengar suara itu. Sampai ada langkah mendekati dirinya, berdehem lalu sekali lagi memanggil namanya, "Helene." Suara itu terdengar sangat lembut.