"Aku berharap ada keajaiban." Helene bicara perlahan, setengah berbisik pada diri sendiri. Dia memandangi tubuh yang terbaring koma. Jarinya menyentuh pinggir tempat tidur, menelusuri secara perlahan. Helene takut kalau jarinya tak sengaja menyentuh laki-laki itu, dia takut akan menambah kesakitan laki-laki yang sedang terbaring tak berdaya.
Helene menyesali mengapa setelah tiga tahun tidak bertemu, dia harus bertemu laki-laki ini di tempat seperti ini dan dalam keadaan yang menyedihkan.
Helene merindukan laki-laki ini bahkan setiap inchi tubuhnya ingin merasakan sentuhannya seperti dulu. Helene rindu bicara, berdebat, tertawa bahkan menangis bersama.
Helene tetap diam membisu, hanya jarinya yang bergerak perlahan sambil memandangi tubuh itu, bahkan untuk mengeluarkan suara isak tangis pun dia tak mampu. Helene sudah terlalu lelah menangis sejak tadi malam ketika mendengar laki-laki yang pernah menjadi bagian dari hidupnya ini harus mengalami kecelakaan.
Helene tidak pernah melupakan Dionisius, bahkan setelah bertahun-tahun berpisah walaupun adegan perpisahan itu begitu menyakitkan. Helene kembali memutar memorinya. Bagaikan adegan film, semua muncul seperti slide yang bergerak di kepalanya. "Dion!" Kali ini Helene memanggil dengan suara lirih, berharap Dion bangun dari tidurnya dan melihat dirinya.
Ah, tidak! Dion tidak boleh melihatku, kesadaran itu mendadak muncul di kepalanya mengalahkan slide film yang tadi berputar.
Helene mengakhiri kunjungannya, dia tidak ingin Dion melihatnya. Cukuplah semua.
Helene berjalan bergegas, air matanya luruh, dia mempertanyakan dirinya. Ternyata dia masih mencintai laki-laki itu. Detak jantung yang sama yang dia rasakan saat bertemu dengan laki-laki itu beberapa tahun yang lalu.
Akankah aku tetap mempertahankan harga diriku sebagai perempuan atau menuruti hasratku? Tuhan, aku mencintainya. Aku ingin bersamanya, tiga tahun aku mencoba melupakannya dan itu adalah saat tersulit dalam hidupku. Kenapa harus ada berita tentang dia dan aku tak kuasa menolak menemuinya. Tuhan, segalanya melelahkan untukku.
Helene menyatukan kedua tangannya, menggenggam jemarinya erat, hatinya resah ketika menunggu taksi datang. Kesadaran baru muncul kembali di benaknya saat dia menyentuh cincin yang melingkar di jari manis. Dia nyaris melupakan sosok Ares, tunangannya. "Bodohnya aku!" umpatnya pelan.
Mengingat Ares, membuat Helene dilanda panik, dia takut Ares memergokinya di sini. Sebenarnya itu hal yang tak mungkin. Namun, perasaan bersalah itu muncul. Segala teori kemungkinan hadir di kepala Helene. Bisa saja Ares secara tidak sengaja ada di rumah sakit membesuk temannya atau Ares mengantar orang sakit atau Ares sendiri yang sakit. Helene mengetuk kepalanya pelan, sekali lagi mengumpat karena sudah memiliki pikiran buruk, berandai-andai Ares kekasihnya itu sakit. Bagaimana pun Helene harus menjaga perasaan Ares.
Helene merasa dirinya tidak bisa berpikir jernih. Ah, dari dulu Dion tidak pernah membuatnya bisa berpikir jernih.
Helene semakin gelisah, menunggu taksi datang bagaikan seabad rasanya. Begitu taksi datang, Helene cepat membuka pintu segera menghempaskan tubuhnya di jok belakang. Kemudian dia bernapas lega.
Cukup sekali ini aku datang dan melihatmu Dion. Aku berharap ada keajaiban untukmu. Sekali lagi dia merapal doa yang sama di dalam hati.
Matanya terpejam, mengingat Dion yang terbaring di tempat tidur, pelupuk matanya kembali basah.
Dia pernah menjadi Dionku, hanya milikku. Dulu aku bebas merengkuhnya di dalam pelukanku atau aku yang berlari dan dia memelukku erat. Semua kenangan lalu muncul seperti kepingan puzzle. Dulu...ya dulu, aku pernah jadi perempuan yang dicintainya.