Dion sedang asyik menyetem gitar ketika perempuan itu datang mendekat.
"Saya boleh menyanyi?" Suaranya terdengar ragu. Dion melirik dan merasa sedikit terganggu. Namun, akhirnya dia mengangkat kepala dan melihat wajah perempuan itu dengan jelas. Dia cantik, bahkan senyumnya sangat manis.
"Boleh, nanti tinggal ditulis di kertas setelah itu akan dipanggil." Dion berusaha bersikap ramah.
Perempuan itu mengangguk tanda mengerti lalu undur diri. Mau tak mau matanya mengikuti kemana perempuan itu melangkah. Ternyata perempuan itu memilih duduk di tengah ruangan kafe bersama teman-temannya.
Dion melihat sekumpulan perempuan memakai kemeja dan blazer, mungkin mereka baru pulang kantor dan memilih nongkrong di kafe ini.
Dion kembali dengan kesibukannya semula menyetem gitar, mendengarkan setiap bunyi dawai gitar dengan seksama, lalu menegakkan duduknya menoleh ke arah Davina yang berada di belakangnya. Dia memberi tanda bahwa urusannya sudah selesai dan mereka berdua siap untuk menyanyi.
Dion dan Davina atau orang-orang di kafe sering menyebut mereka Dua D, mirip dengan sebutan dua penyanyi di tahun 80-an, bekerja sebagai penyanyi dan pemain musik di kafe. Mereka adalah satu paket yang tak terpisahkan. Bersahabat sejak awal di bangku kuliah karena kesamaan hobi yaitu musik, membuat mereka akhirnya mengisi waktu senggang dengan bekerja sebagai penyanyi dan pemusik.
Setelah nanti lulus dari bangku kuliah mereka bercita-cita tetap meneruskan pekerjaan sebagai penyanyi, berharap mereka berdua punya waktu luang, itu karena mereka sangat mencintai profesi ini.
Dion dan Davina menyanyikan I'll Never Love Again sebagai lagu pembuka. Tepuk tangan terdengar riuh ketika mereka berdua mengakhiri lagu itu.
Davina membacakan kertas yang berada di tangannya, "Untuk Helene dipersilakan menyanyi!"
Dion melihat perempuan yang tadi mendekatinya berdiri dari tempat duduknya, tersenyum lebar. Teman-temannya bertepuk tangan memberikan dukungan.
"Fly me to the moon," bisiknya di telinga Dion, "iramanya sedikit diberi sentuhan jazz ya," katanya lagi. Dion tersenyum mengangguk. Hmm, seleranya boleh juga. Tanpa sadar Dion berharap dalam hati agar perempuan ini selain cantik juga memiliki suara yang merdu dan bisa menyanyikan lagu Fly Me To The Moon dengan baik apalagi dia meminta irama yang sedikit diberi sentuhan jazz.
Perempuan itu memilih duduk di samping Dion daripada berdiri seperti kebanyakan pengunjung kafe apabila menyanyi. Lagu Fly Me To The Moon dibawakan dengan mulus. Tanpa sadar Dion tersenyum matanya melihat ke arah perempuan yang duduk di sampingnya, berharap dia akan menyanyikan satu buah lagu lagi. Menurut Dion suara Helene lebih bagus dari suara Davina.
"Boleh nyanyi lagi?" Perempuan itu bertanya, mimik wajahnya sedikit ragu. Dari tengah ruangan terdengar teman-temannya meminta Helene untuk menyanyikan satu lagu lagi. Dion tersenyum mengangguk, "Tapi duet sama kamu ya?" tanyanya lagi, tak lupa senyumnya terus melekat.
"Lagu apa?"
"Lucky," sebutnya. Dion mengangguk menyanggupi, kebetulan dia menguasai lagu ini. Dion akan berterus terang apabila dia tidak bisa memainkan musiknya atau menyanyikan lagunya. Helene tersenyum sumringah.
Mereka berdua menyanyikannya dengan baik, Dion melihat ke arah Helene setelah duet mereka berakhir.
"Terima kasih, kakak dulu pernah jadi vokalis?" Entah mengapa Dion punya dorongan dari dalam hati untuk bertanya, dia merasa belum rela perempuan ini beranjak begitu cepat dari sampingnya.
Helene menggeleng, "Saya cuma penyanyi kamar mandi." Kemudian perempuan itu berjalan meninggalkan panggung.
Teman-temannya bersorak menyambut kehadiran Helene. Dion ikut tersenyum melihat tingkah mereka.
Helene? Seperti nama seorang perempuan dalam mitologi Yunani. Helene dari Troya, Dion membatin. Setelah itu matanya sesekali diarahkan ke meja yang berada di tengah ruangan tempat Helene dan teman-temannya berkumpul. Perempuan itu seperti menariknya.
"Di, konsentrasi," Davina berbisik ketika berdiri di dekatnya. Dion melihat sekejap dengan pandangan tak mengerti. Davina mengarahkan pandangannya ke arah meja Helene, seolah memberitahu perempuan itu merusak konsentrasi mu. Dion tersenyum lebar, lalu mengangguk. "Di, kita selesaikan tugas kita dengan baik!"Davina menepuk punggung Dion perlahan.
Dionisius, hanya Davina yang memanggilnya dengan Di. Kata Davina itu lebih ringkas.
"Yang penting aku tidak merusak namamu dan memanggilmu dengan panggilan yang aneh-aneh."
Saat itu Dion menanyakan mengapa Davina memanggilnya dengan Di bukan Dion seperti biasa orang-orang memanggilnya. Dion mengangguk saja, lebih baik setuju daripada harus berdebat panjang dengan Davina yang kadar cerewetnya mengerikan menurut Dion.
"Itu bisa-bisanya kamu aja yang bilang aku cerewet, kamu itu terlalu pendiam makanya standar cerewet yang kamu pakai itu standarnya kamu. Di kalangan cowok-cowok lain aku golongan perempuan yang standar bicaranya sedikit irit."
Hari itu Davina mutung, tidak mau bicara dengan Dion. Untungnya Davina masih bersikap profesional dengan tetap menyanyi di kafe bersama Dion.
"Di, kamu suka dengan perempuan yang tadi?" Davina bertanya sambil menyeruput frappuccino . Mereka baru saja menyelesaikan pekerjaan dan memilih beristirahat sebentar sebelum pulang ke tempat kos.
"Perempuan yang mana, ya?"
"Nggak usah berlagak bloon deh! Kalau perempuan itu belum pulang, matamu pasti masih melirik perempuan itu. Siapa tadi namanya?" Davina seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Helene." Dion menjawab cepat sambil tersenyum simpul.
"Nah itu! Gila! Sampai namanya aja kamu masih ingat!" Davina melebarkan bola matanya, kemudian mulutnya berdecak.
"Dia cantik dan terlihat menarik."
"Setiap malam selalu ada perempuan cantik dan menarik yang berkunjung ke kafe ini, bahkan ada beberapa yang seperti lebah mengerubungi kamu, tapi kamu nggak pernah peduli."
Dion hanya mengangkat kedua bahunya, menepuk punggung tangan Davina,"Ayo, pulang!"
"Pembahasan ini belum selesai!"
"Kenapa sih? Aku laki-laki wajar dong kalau ada seseorang yang menurutku menarik, aku akan melihat perempuan itu terus. Hanya sekedar itu, nggak perlu diperpanjang Davina. Kamu cemburu?" Dion tersenyum lebar. Dia tahu pertanyaannya hanya akan memancing kemarahan Davina. Terkadang Dion suka mengganggu Davina.
"Memangnya kalau aku nanya kayak gitu langsung masuk kategori cemburu? Nggak ada ya dalam kamus persahabatan ku untuk jatuh cinta dengan sahabat sendiri. Aku selalu bilang kamu juga bukan tipeku!"
"Aku tuh cuma merasa heran, baru kali ini kamu begitu. Di kampus juga nggak ada perempuan yang membuatmu tertarik."
"Ya sudah, kita akhiri saja pembahasan soal Helene dan kita pulang! Aku sudah ngantuk!"
"Ciee, masih inget aja dia sama namanya!" Davina tertawa. Dion menoleh, melihat tajam ke arah Davina, pandangannya menyiratkan bahwa Davina harus berhenti bicara tentang Helene.
"Eh, namanya unik ya? Aku seperti familiar dengan nama itu, Helene. Sebentar....sebentar, ya perang Troya!Aku ingat karena nggak suka dengan Helene waktu nonton film Troy. Semoga Helene mu ini menyenangkan ya?"
"Apa-apaan dengan kalimat Helene mu?"
"Ya, itu karena baru kali ini kamu tertarik dengan perempuan." Davina menggamit lengan Dion, tersenyum cerah.