Minggu itu adalah minggu terakhirnya libur sebelum benar-benar masuk ke universitas. Setelah bangun pada mimpi sebelumnya, ia tidak ingat apapun tentang nama lelaki itu. Ia bahkan tidak ingat dengan benar wajah lelaki itu. Satu hal yang terus ia ingat hanyalah rambut sewarna gandum yang tak pernah ia lihat
Rambut mencolok itu benar-benar tidak cocok dengan dirinya. Tidak ada seorang pun yang memiliki warna rambut seterang itu
Joanne berdiri di dekat jendela. Malam itu, mobil yang sama seperti yang dahulu muncul lagi. Ia tak pernah ingat sudah berapa kali ia melihat mobil itu. Joanne mengintip sedikit dari gorden. Mobil yang separuh jendelanya terbuka itu hanya memperlihatkan tangan seseorang yang tengah memegang setir. Sedetik kemudian, mobil hitam itu melebur dalam gelap dan tak pernah terlihat lagi.
Setelah merasa lega, akhirnya Joanne bisa membiarkan tubuhnya yang kelelahan untuk segera terlelap. Ia naik ke kasurnya, mendekatkan kedua bantalnya hingga kepalanya hampir tenggelam. Tak perlu waktu lama hingga ia terlelap.
-
Joanne dihadapkan pada salah satu pintu tak bertuan karena belum mengeluarkan warnanya. Papan namanya bersinar terang. Joanne benar-benar tidak paham apa yang terjadi, tapi itu bukan pintu miliknya. Tapi, ia juga enggan berjalan menjauh. Ia menunggu, menunggu pemilik dari pintu itu tiba
Tak berselang beberapa lama, seorang lelaki berpiyama biru mendekati dirinya.
Joanne segera menyingkir melihat langkah kaki lemas itu terus mendekat dan hampir menabraknya
Kenop pintu diputar, suara daun pintu yang tua terdengar nyaring.
Joanne segera melihat pemilik pintu itu dan mendapati lelaki berambut sewarna gandum berada tepat di depannya. Kondisinya lemas, kedua bahunya lunglai, matanya tertutup rapat.
Ia tak sadar. Joanne hampir saja menarik bajunya. Tapi lelaki itu memasuki ruangan miliknya, Joanne segera menyelip ikut masuk ke dalam.
Pintu yang seolah dibiarkan terbuka itu mengundangnya masuk
Di dalam, sebuah ruangan yang amat ia kenal. Ruang tamu yang mirip dengan rumah yang Joanne tinggali saat ini.
Joanne mencari kesana kemari, namun, ia tak menemukan lelaki itu. Melainkan menemukan seorang anak kecil laki-laki yang sedang berlarian melewati kedua orang tuanya. Ia memegangi pesawat mainan dan terus berlari dengan kencang. Ruang tamu itu menjadi hangat dengan tertawaan semua orang di sana
Joanne menatapnya yang amat gembira. Lampu dimatikan, anak itu sekarang tidak menjadi bahagia. Anak itu berdiam diri, menundukkan kepalanya pasrah. Terdengar suara isak tangis yang keluar dari bahu anak itu yang terus naik turun.
“Pergi kemana semua orang!” rengeknya mendadak. Tangisan itu tak berhenti, suaranya semakin kencang hingga akhirnya Joanne berjalan cepat. Ia bersimpuh di belakang anak itu, meraih tubuh kecilnya dan menepuk-nepuk lembut punggung anak itu
“Jangan menangis...
Pintu pada mimpi itu mulai berubah keungguan mengalahkan warna hijau yang semakin menipis warnanya
Suara tangisan anak itu terdengar seperti alunan lagu yang membuat Joanne terbuai
-
Jun baru menyadari kalau ia sudah sampai pada penghujung umur dimana ia tak bisa menjadi pemimpi sadar lagi. Walaupun ia berusaha berbagai cara agar bisa menjadi pemimpi sadar, ia tak akan bisa melawan aturan dari dunia mimpi.
Yang ia ingat hanyalah rambut sebahu milik gadis itu, mata berwarna hitam gelap yang terlihat angun, serta apa saja yang telah mereka lakukan. Setelah kejadian terakhir, ia tak bisa berhenti memikirkan gadis itu, jantungnya berdegup kencang saat wajah gadis itu terbayang tanpa sengaja.
Tapi Jun tau, hanya dirinya sendirilah yang merasa seperti itu. Sebuah penyesalan karena ia tak pernah ingat untuk menanyakan nama gadis itu. Saat terakhir kali ia berusaha memberitahu namanya, dunia mimpi menendangnya keluar secara mendadak. Ia terbangun dengan bahu yang kesakitan karena salah posisi
Hari itu, ia pergi ke rumah lamanya. Hanya sebentar, untuk melepaskan rindunya. Setelah kembali dari sana, ia segera membereskan barangnya dan tidur dengan cepat
Lagi-lagi ia terjebak pada mimpi buruk yang selalu menghantuinya.
Ia yang masih anak kecil berada di rumah lama itu. Bersama semua keluarganya, kakek dan nenek, kedua orang tuanya serta pamannya. Rumah itu cukup besar hingga mampu menampung semua orang. Meskipun begitu, pamannya selalu memiliki perkara yang tak habis-habisnya dengan kakek.