Terasa nyata, namun semu.
Kebaikan yang ternyata membawa luka baru.
Teruntuk diriku dulu,
Yakinlah, tak akan ada lagi hati yang merapuh.
(Yogyakarta, Mei 2024)
Ayu berdecak. Pria yang tadi menjemputnya, benar-benar mengekor dan mengikuti pergerakannya. Sebenarnya, gadis itu tidak sedang ingin berbelanja apapun. Niatnya hanya ingin berjauhan dengan pria yang merupakan kakak dari sahabatnya itu. Namun, sepertinya hal itu hanyalah sia-sia.
"Saya bawakan. Data kamu nggak akan hilang, karena saya cuma tahu hukum, bukan obat-obatan. Ini tadi bisa di taruh di mobil dulu, loh."
Gerakan laki-laki itu begitu gesit. Bahkan iPad-nya sekarang sudah berpindah tangan. Melihat senyuman laki-laki itu, ingin sekali Ayu melemparnya dengan farmakope yang paling tebal.
Ayu melangkah dengan tergesa. Keluar dari butik baju, menuju toko kosmetik. Benar-benar mengabaikan kehadiran Kakak dari sahabatnya itu. Gadis itu menuju etalase perawatan wajah dan bibir. Kebetulan masker wajahnya habis. Meskipun ada beberapa tawaran endorse, Ayu tidak serta merta langsung menerima semuanya. Yang aman dan cocok bagi wajahnya saja yang akan masuk dalam sosial media miliknya.
Beralih ke rak parfum, Ayu mencoba beberapa varian yang menarik perhatiannya.
"Jangan ganti, wangi kamu sudah cocok dan melekat sekali dengan kamu."
Ayu mengernyit mendengar sahutan itu. Dih, lo siapa? Lantas semakin membuatnya gelap mata. Mengabaikan Ndaru yang terus menatapnya, Ayu akhirnya memilih satu parfum yang wanginya cukup dia sukai, lebih fresh dan manis.
"Pakai ini saja, Mbak."
Ayu melotot ketika Ndaru dengan santainya mengeluarkan kartu ajaibnya saat dia melakukan pembayaran. Apa yang sedang direncanakan laki-laki ini?
"Jangan! Punya saya saja." Sanggah Ayu cepat.
Ayu merasakan Ndaru mendekat. Laki-laki itu berbisik, "Kalau kamu mau mereka mengira kita suami istri, silakan. Biasanya, istri selalu membayar setiap kebutuhan."
"Jadinya pakai yang mana, Kak? Suami istri baru ya?" ucapan dari Pramuniaga di hadapannya membuat Ayu mendelik.
Rupanya, hal itu membuat Ndaru bergerak lebih cepat. "Pakai ini."
"Mas!" seru Ayu kesal.
Gadis itu benar-benar kesal dengan kelakuan Ndaru yang selalu semena-mena.
"Dalem?"
Sayangnya, jawaban Ndaru semakin membuat tekanan darahnya naik. Tanpa menunggu nota pembelian dan barang yang diangsurkan, Ayu meninggalkan Ndaru yang masih berdiri dengan tenang.
Dia benar-benar kesal, dan tidak bisa ditawar. Sejak dulu Ndaru selalu act of service, bahkan sangat perhatian. Sikap yang seenaknya seperti ini juga bukan yang pertama kali, tetapi dahulu hal itu dilakukan untuk melindungi Ayu, yang sialnya salah Ayu artikan.
Dulu, Ayu menganggap hal itu adalah sebuah perhatian lebih dari sekedar sahabat adiknya. Tetapi nyatanya, memang hanya sebatas mimpinya. Cinta pertamanya yang tidak berhasil.
Kali ini, dia tidak ingin salah langkah lagi.
Dia yang sekarang bukanlah dia yang dulu. Bukan lagi gadis polos yang terlalu naif karena sebuah perasaan yang baru dirasakannya pertama kali. Segala hal tentang Timotius Ravendra Dewandaru sudah tutup buku semenjak pria itu melontarkan kalimat menyakitkan padanya.
Ayu mengambil ponselnya dari dalam tas, lantas menelepon sahabatnya yang sedari tadi tidak kunjung memberi kabar. Jika sampai panggilan ke tiga Daisy tidak mengangkat teleponnya, Ayu akan meninggalkan tempat ini menggunakan taksi.
Satu... Dua... Tiga...
"Ha--"
"Datang ke sini dalam waktu lima menit, atau persahabatan kita putus dan aku pulang sekarang."
Usai memutus panggilan sepihak, Ayu berjalan cepat tak tentu arah. Mall ini besar, Ndaru tertinggal lumayan jauh. Seharusnya, laki-laki itu sudah kehilangan jejaknya. Namun, perkiraan Ayu salah, Pria itu bahkan berhasil menyamai langkahnya, bahkan menahan lengannya.
"Maaf ya, kalau saya kelewatan."
Ayu bersedekap sambil memalingkan muka. "Kalau?"
"Maaf, saya memang kelewatan."
"Sangat kelewatan." Ucap Ayu dengan penuh penekanan.
"Sorry."
"Bukan siapa-siapa tetapi berlaku diluar batas. Selalu bersikap seenaknya, semena-mena! Jangan bersikap seolah kita dekat!"
Ayu berlalu tanpa mendengar tanggapan Ndaru. Satu pesan masuk dari Daisy yang berkata bawa gadis itu sudah berada di salah satu restoran yang sudah di pesan. Ayu berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Ayu mendesah lega, ketika Daisy melambai dari kejauhan. Setidaknya dia dan Ndaru tidak perlu terlalu lama berdua saja.
"Sorry tadi aku sama Mas Kaivan masih ada yang diurus. Aman, kan dijemput Mas Ndaru?"
Ayu berdecak, sambil memutar bola mata.
"Suasananya seperti habis perang nih! Tesa kamu apain, Mas?"
Ndaru berdeham. "Cuma berusaha menyenangkan hatinya."
--yang langsung mendapat pelototan dari Ayu, dan tawa kecil dari Kaivan.
Daisy mencubit lengan Kakaknya. Membuat Ndaru meringis kesakitan. Ayu tahu pasti akan berbekas, sebab sahabatnya memang sedikit bar-bar. Tetapi, Ndaru memang berhak mendapatkan itu.
"Tolol." umpat Daisy.
"Sudah-sudah. Kita makan dulu, ya? Pasti sudah pada lapar." Kaivan menengahi.
"Oh, kamu sama Mas Ndaru sudah aku pesankan juga. Ada menu favorit kalian, kok."
Entah sebuah kebetulan atau bukan, Daisy memilih menu seafood saat matahari masih terlihat jelas seperti ini. Ketika aneka olahan Ikan dan udang tersedia di hadapannya, Ayu merasa rasa kesalnya meluap.
"Saya bantu kupas, ya..." suara Ndaru terdengar sangat jelas dalam pendengaran Ayu.
"Saya bisa sendiri." Sahut Ayu cepat.
Ndaru hanya tersenyum tipis, namun dengan telaten menyingkirkan kulit udang dan duri ikan, lantas meletakkannya pada piring Ayu. Bahkan pria itu sama sekali belum memasukan satu suapan ke dalam mulutnya.
"Mau disuap dong, Sayang." suara manja Daisy membuat Ayu bergidik.
"Lanjut aja, kayak nggak pernah liat Daisy lagi manja, mumpung mau makan banyak ini, beratnya turun kemarin kebayanya kebesaran." ucap Kaivan santai.
Ayu menarik sudut bibirnya. Turut bersyukur sahabatnya menemukan seseorang yang benar-benar menyayangi dan mengerti. Benar-benar menemukan yang tepat tanpa merasakan luka.
Mengalihkan pandangan pada piringnya, Ayu terkejut begitu lauknya nyaris penuh, sedangkan piring milik Ndaru masih bersih belum tersentuh. Dengan cepat, Ayu menarik piringnya.
"Cukup. Ini sudah terlalu banyak. Makan saja punya kamu sendiri."
"Sepertinya masih--" kalimat Ndaru terhenti ketika melihat Ayu bersedekap.
Pria itu mulai memakan makanannya sendiri dengan tenang, begitupun Ayu.
"Sayang, lihat deh... lucu banget ada yang parodi bikin Ultraman kicep."
Kaivan dan Daisy masih tertawa-tawa, mungkin karena video yang Daisy tunjukkan. Ayu hanya mengendikkan bahu, melanjutkan kembali makanannya yang hampir habis. Gadis itu enggan melihat reaksi pria di sebelahnya.
"Daisy memang receh." celetuk Ndaru.
Ya memang, Ayu dan Daisy sudah bersahabat lebih dari satu dekade, baik buruknya, gesturnya, segala tingkahnya, Ayu juga sudah hapal. Tetapi, mendadak kalimat Ndaru membawanya pada memori saat dia baru beberapa bulan mengenal Daisy. Pertemuan ke tiga dengan Ndaru. Pria itu mengatakan, "Jokes Daisy garing. Seperti bapak-bapak komplek."
Saat itu, Daisy masih menyiapkan minuman dan cemilan untuknya. Ndaru yang kebetulan ada disana juga, mengajaknya berbincang. Pria itu menceritakan kehidupan Daisy sewaktu masih balita beserta kebiasaan anehnya. Ayu menanggapinya dengan excited juga merasa sangat nyaman karena kakak Daisy sangat pengertian. Tanpa sadar, rasa kagum itu terus berevolusi dari sana. Menjadi sebuah benih tumbuhnya cinta pertama.
Genggaman Ayu pada sendoknya mengerat. Tidak, dia tidak boleh jatuh. Kini, meskipun duduk bersebelahan, dan mengatakan hal yang mirip, mereka tak ubahnya hanya orang asing. Sekali lagi, orang asing.
"Are you okay? Apa saya nggak bersih pisahkan durinya?"
Kening Ndaru berkerut menatap Ayu. Bahu mereka kini hanya berjarak selapis garis. Bahkan, Ndaru cenderung condong ke arah Ayu.
Ayu mengerjap, sedikit gugup karena jarak mereka yang terlampau dekat.
"Saya baik-baik saja."
Ndaru semakin mendekat. Melihat wajah Ayu dengan seksama. "Yakin?"
Ayu hanya mengangguk. Merasa kehabisan napas karena terkejut. Beruntung suara Daisy sedikit memberinya ruang.
"Mas katanya habis dari sini mau ketemu klien? Nggak telat? Aku to the point aja ya. Berhubung groomsmen sama bridesmaid yang lain adalah pasangan. Jadi ya mau tidak mau kalian jadi partner. Tolong kerja samanya ya?"
Ayu langsung tersedak, beruntungnya Ndaru dengan sigap memberikannya minum.
Daisy menyahut lagi. "Mas, ponselmu bunyi, klienmu pasti nyari. Sudah kelar makan, kan? Buruan pergi! Sebelum rejekinya dipatok ayam!"
Tidak seperti tadi yang terkesan memaksa, Ndaru hanya mengangguk singkat. Setelah memastikan Ayu baik-baik saja. Pria itu lantas mengangsurkan paperbag berisi hasil belanja milik Ayu tadi.
"Punya kamu ya."
"Saya tidak bisa terima." sahut Ayu cepat, meskipun dia masih berkutat dengan tisu.
Tetapi, Ndaru hanya tersenyum. Tetap meletakan paperbag itu diatas meja. Berpamitan pada Kaivan dan Daisy, lantas mengecup puncak kepala adiknya sebelum berlalu.
"Saya duluan ya." ucapnya pada Ayu.
Sepeninggal Ndaru, Ayu langsung mengangsurkan paperbag itu pada Daisy. "Buat kamu. Aku nggak bisa terima."
Daisy melirik pada Kaivan. "Lah? Barang yang kamu butuhkan, kan?"
"Tapi, aku nggak bisa sembarangan terima." sahut Ayu.
"Bisa. Masku yang kasih." celetuk Daisy.
"Nggak bisa."
"Banyak duit dia." ucap Daisy lagi yang mendapat dehaman dari Kaivan.
"Dai... aku nggak bisa. Sekarang aku dan Masmu hanya orang asing. Orang asing nggak ada konteks membelikan sesuatu atau memberi barang."
Daisy menghela napas. "Oke. Aku simpan. Dari dulu yang sudah aku pegang sih jadi hak milikku. Kalau suatu saat aku kasih ke kamu, kamu nggak boleh nolak, karena yang kasih aku, bukan Masku."
Ayu hanya menggeleng tak habis pikir dengan pemikiran sahabatnya. Namun, ini jauh lebih baik daripada membawa barang-barang itu pulang. Dan sudah sepantasnya dia membelinya lagi dengan uangnya sendiri.
"Lo beneran nggak pa-pa kalau harus jadi partnernya Mas Ndaru di pernikahan kita?" Kali ini, Kaivan yang bertanya.
"Kita nggak mau egois juga. Apa lagi, tadi kamu kelihatan nggak nyaman. Kamu tahu dari dulu, kalau disuruh pilih Mas Ndaru atau kamu, jelas aku pilih kamu." tambah Daisy.
Ayu menghela napas, dia juga tidak mau egois. Apalagi ini hari bahagia sahabatnya. "Nggak pa-pa. Aku cuma nggak nyaman dengan sikap Mas Ndaru tadi."
"Aku jamin hal itu nggak akan terjadi lagi!" sahut Daisy cepat. "dia memang dari dulu bodoh, sikapnya nggak pernah benar."
Ayu hanya tersenyum melihat Daisy yang mengomel. Sahabatnya itu selalu mengutamakan kenyamanannya, dan tak ragu membelanya. Namun, mengingat sikap Ndaru tadi, Ayu semakin meragu, apa yang akan dilakukan laki-laki itu kedepannya? Mengingat kedepannya pasti akan banyak interaksi diantara mereka. Sedangkan Ayu terlalu takut kembali meraba, atau bahkan mengartikan. Dia tidak ingin salah langkah lagi. Tidak ingin jatuh lagi, seperti dulu.
Tidak, jangan lagi.
Bersambung...