Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tyaz Gamma
MENU
About Us  

“TESSA!”

Tyaz terbangun dengan napas terengah-engah, dia menyeka peluh dingin di dahinya. Tangannya gemetar menyibak selimut.

Apa tadi? Batinnya sembari berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

“Te-sa,” gumamnya.

“Dia ... mengorbankan dirinya untukku? Kenapa, Tessa?”

Walaupun Tyaz tidak ingat Tessa sepenuhnya. Namun, setidaknya dengan mimpi singkat tadi, Tyaz dapat sekadar mengingat nama itu, orang yang selama ini mengisi kekosongan hati Tyaz.

Tyaz mencoba berdiri. Dengan langkah gontai dia menyibak gorden, membuka jendela kamarnya.

“Sebenarnya kau siapa Tessa? Kenapa kau tiba-tiba menghilang selama tiga tahun ini?” gumamnya, memandang rembulan malam yang tampak indah menghiasi langit.

Udara malam berembus kencang, piyama yang digunakan Tyaz berkibar. Dinginnya menusuk-nusuk kulit, membuat bulu kuduk berdiri. Tyaz menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, memeluk dirinya sendiri.

“Eh, apakah ini masih malam?” Tyaz melirik alarm yang berada di atas nakas, sudah jam tiga lebih lima puluh menit, sudah pagi. Pantas saja udara masih sangat dingin.

Tyaz menopang dagunya dengan tangan, menilik rembulan yang bersinar terang, tampak indah di langit, tidak lupa dengan bintang-bintang yang bertabur di langit. Sejenak, membuat hatinya tenang.

“Apa aku tadi hanya bermimpi? Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Kenapa dia mengorbankan dirinya untukku?” tanya Tyaz pada dirinya sendiri.

“Tidak mungkin Tessa mati, dia hanya menghilang, bukankah begitu, Bintang?” Tyaz mendongak, bertanya pada bintang di langit. “Dia belum mati.”

Entah ini sebuah keajaiban atau kebetulan belaka. Bagaimana bisa dia bermimpi seperti itu? Bukankah mimpi itu kelanjutan dari mimpinya tiga tahun lalu? Bagaimana mimpi bisa bersambung seperti itu? Ini bukan sinetron ‘kan yang bersambung-sambung?

Ah, aku bisa gila sekarang, batinnya frustasi.

Tiba-tiba kepala Tyaz berdenyut keras. Tangan kanannya memegangi kepala, dan tangan kirinya mencengkram bingkai jendela agar tubuhnya tidak tumbang.

Ia tidak pernah merasakan sakit di kepalanya yang begitu keras. Biasanya, sakit kepalanya masih dalam taraf normal, dibiarkan beberapa menit bisa sembuh dengan sendirinya. Berbeda dengan kali ini.

“Akhh!” Tyaz mengerang kesakitan. Dia berjalan lunglai menuju kasurnya, merebahkan tubuhnya.

Seperti sebuah film yang diputar kembali. Ingatan itu datang, menyeruak masuk ke dalam saraf otaknya tanpa bisa dicegah.

“Apa kau menyukai senja, Tuan Gamma?”

“Aku tidak suka senja. Karena senja hanya datang sesaat, walaupun indah, tetapi kemudian membuat hariku gelap.”

“Baiklah kalau begitu, aku harus pulang sekarang, kalau tidak ibuku akan memarahiku.”          

“Kenapa terburu-buru? Biarkan aku mengantarmu.”

“Rumahku melewati hutan yang diceritakan Ibu Panti padamu kemarin, banyak pembunuh bersarang di hutan itu. Hutan Hidup. Kuharap ... kau mengubah keputusanmu.”

Rasa sakit yang menyerang kepala Tyaz tiba-tiba berhenti seiring berakhirnya potongan-potongan memori masa lalunya.

“Aku ingat sekarang. Terakhir kali aku menemui Tessa saat kami berada di taman belakang panti, tepat saat aku ingin mengantarkannya pulang.” Tyaz bangun dari posisi berbaring.

“Aku harus mencarinya sekarang, dia pasti masih hidup.” Dia menunduk dalam. “Kalaupun dia sudah tiada, setidaknya aku harus menemukan jasadnya agar aku bisa tenang, walaupun ini sudah tiga tahun lamanya.”

Dia mencoba untuk berpikir positif, ia yakin Tessa masih hidup. Sugestinya harus baik. Setidaknya, dengan cara itulah agar dia tetap bahagia.

Tyaz mengambil hoodie yang berada di tasnya, mengenakannya dan memasang tudungnya juga. Tak lupa pula dengan masker hitam yang bertengger di wajahnya, memakai sepatu putihnya, sempurna sudah penyamarannya untuk keluar dari panti ini—karena Tyaz tidak pernah berpenampilan seperti itu, sehingga dia merasa sudah cukup untuk mengelabuhi orang lain bahwa dia bukanlah Tyaz.

Tyaz menghentikan langkahnya saat hendak membuka kenop pintu, dia menoleh ke jendela yang terbuka. Ia menjitak dahinya. Kenapa baru sekarang dia tersadar? Kenapa tidak dari dulu dia kabur melewati jendela? Bukankah itu lebih mudah? Daripada harus melewati pintu dan kamar-kamar penghuni yang lain. Lagi pula posisi kamarnya juga cukup menguntungkan, melompat jendela, berjalan beberapa meter lagi dia akan tiba di taman.

Tyaz memanjat jendela, segera melompat keluar.

Krek

“Sial, kenapa hidupku selalu ditakdirkan untuk meninjak ranting kecil?” gerutunya pelan.

Tangannya membenarkan posisi hood-nya. Dia menggosok-gosokkan tangannya. Udara di luar semakin dingin karena musim dingin akan segera tiba.

Kakinya melangkah menjauh dari jendela kamarnya, pandangannya tak henti-henti untuk tidak was-was, bisa saja ada orang yang memergokinya. Masalah akan bertambah buruk.

Tiga setengah menit kemudian dia sampai di taman panti. Tyaz menyandarkan punggungnya sejenak, mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa menjadi maling di rumahnya sendiri, bukankah itu menyedihkan?

“Baiklah, aku harus melompati pagar pembatas itu.” Ia memandang mantap gerbang belakang. Dia harus menunjukkan bakatnya hari ini. Bakat untuk kabur, karena dia tidak mempunyai kunci untuk membuka gerbang itu.

“Astaga, aku tidak tahu kalau aku sehebat ini,” gumamnya, lantas terkekeh setelah dia berhasil melompati pagar dalam kurun waktu dua menit.

Tyaz berjalan santai menuju hutan. Sesekali menengok horizon timur yang mulai menampakkan sunrise yang indah.

Sunrise lebih indah karena dia mengusir gelap, daripada sunset, dia mengundang gelap. Setidaknya itulah gagasan Tyaz.

Entah sudah ke berapa kalinya Tyaz merasa ada yang berubah dari dirinya sejak tiga tahun terakhir. Kata Myth, selera humornya lebih bertambah, dia tampak tidak dewasa, selalu ada saja ide untuk menghibur orang lain, dan katanya, Tyaz sekarang mudah merasa bosan dan ingin selalu diperhatikan. Tidak sepenuhnya benar, kan? Mungkin hanya karena masa pubertas—walau Tyaz tidak tahu apakah ada sangkut pautnya dengan perubahan dirinya.

Berperang sendiri dengan pemikirannya membuat Tyaz tidak sadar kalau dia sudah sampai di hutan. Dia mendongakkan kepala saat sudah masuk ke hutan Hidup, hutan itu sangat mirip seperti yang ada di mimpinya. Tidak ada perubahan signifkan.

“Apapun yang terjadi di dalam, aku harus bisa mengatasinya,” ucapnya. Tyaz memasukkan tangannya di saku hoodie saat udara dingin kembali menyergapnya.

Di pagi seperti ini, hutan itu sangat sepi. Hanya terdengar suara burung-burung berkicau dan angin-angin yang meniup dedaunan. Semuanya sama, pohon-pohon yang menjulang tinggi, semak belukar yang tumbuh liar, tidak dipangkas.

“Tessa!” seru Tyaz, mungkin saja Tessa bisa mendegarkan panggilannya.

Langkah kaki Tyaz membawanya semakin masuk ke dalam hutan.

Tiba-tiba ada kabut hitam di sekeliling Tyaz, lalu entah bagaimana kelima pria yang ada di mimpi Tyaz itu muncul seperti seorang ninja. Muncul di antara asap hitam. Tyaz benar, semua yang dilihatnya di mimpi itu bukan mimpi belaka, dia pernah mengalaminya semua itu.

Kelima pria itu kelihatannya orang-orang yang sama, Tyaz bisa mengingat keempat wajah orang-orang itu dan satu orang yang memakai hoodie hitam dengan masker yang menutupi wajahnya—Tyaz tidak akan bisa mengenali wajah itu kalau saja ia mengangganti warna hoodie-nya, atau kalau ia mengganti cara berpakaiannya. Bahkan jaket keempat orang sisanya masih sama—dua memakai jaket kulit hitam dan sisanya memakai jaket kulit warna cokelat. Apa mereka tidak mencuci jaket itu selama tiga tahun?

Tyaz menggelengkan kepala. Bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal bodoh itu.

Si Hoodie kali ini ikut bergabung dengan keempat temannya, tidak seperti biasanya, dia hanya berdiri di belakang dan bicara seperlunya—dia terlihat seperti orang pendiam dan dari fisiknya, dia terlihat lebih muda daripada keempat temannya.

Mereka menyeringai, yang entah kenapa seringaian itu bertambah seram dari terakhir kali Tyaz melihatnya tiga tahun lalu.

“Apa mau mu?” Tyaz bertanya galak saat pria berjaket cokelat mendekatinya, seingat Tyaz namanya Blackie. Dia memandang Tyaz dengan tajam, tatapannya seperti menusuk.

Blackie yang seingat Tyaz dulu menusukkan pedang pada Tessa, hendak membuka mulutnya pun terperangah sebentar, memandang wajah Tyaz dengan tatapan introgasi.

“Buka maskermu!” bentaknya.

“Siapa kau yang berani membentakku?” balas Tyaz tak kalah garang.

Blackie sepertinya bukan tikipal orang yang sabar, dia segera mendekati Tyaz saat pemuda itu menyelesaikan kalimatnya. Blackie menyambar masker hitam Tyaz dengan kasar, melempar sembarang masker hitam itu, membuat Tyaz melototkan matanya, pasalnya, masker itu masker kesayangannya yang diberikan khusus oleh Jay hanya untuknya saat ulang tahunnya ke enam belas.

“Bukankah dia anak tiga tahun lalu? Kenapa dia masih hidup?” Blakie melototkan matanya melihat wajah Tyaz seperti dia melihat hantu, wajahnya memucat.

“Anak tiga tahun lalu apa maks—” Ketua Xexe yang berjarak beberapa meter dari Blackie, membelalakkan matanya. “Hei? Kau ... masih hidup Bocah? Bagaimana bisa? Seharusnya kau sudah mati.”

Ketua Xexe berjalan mendekati Tyaz dan Blackie, ingin memastikan kalau yang dilihatnya hanya ilusi belaka. Mereka bahkan mencoba memukul tangan Tyaz—ingin membuktikan apakah Tyaz itu transparan seperti hantu atau dia bisa disentuh, tetapi pemuda itu mengelaknya dengan cepat.

“Kalau aku masih hidup kenapa? Kenapa kalian memedulikan persoalan hidup dan matiku?” Tyaz melupakan sopan santunnya saat berhadapan dengan orang-orang itu. Untuk apa juga berbuat baik pada orang jahat?

“Kau sama saja seperti dulu—mungkin kau sedikit bertambah besar.” Ketua Xexe memasukkan tangannya di saku jaket. “Tapi ini aneh, bukankah dia sudah membunuhnya setelah gadis itu terbunuh? Lalu bagaimana bisa dia terlahir kembali?” Ketua Xexe menunjuk si Hoodie, yang hanya dibalasnya dengan kedikan bahu tak acuh.

“Bukankah kalian melihatnya juga, Zam, Yail? Anak itu sudah terbunuh, kan?” Ketua Xexe menoleh pada dua orang yang selama ini tidak Tyaz ketahui namanya.

Zam dan Yail mengangguk serempak.

Tyaz mengerutkan dahinya. Dibunuh? Terlahir kembali? Apa maksudnya? Tidak ada cerita seperti itu, mana ada orang yang bisa terlahir kembali! Dan ingat ini, Tyaz tidak ingat dirinya pernah dibunuh siapapun.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE DARK EYES
719      405     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
Koude
3521      1251     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
Sistem Kekayaan zero
28      26     1     
Fantasy
Kisah seorang pemuda yang bernama xai yang diputuskan oleh kekasihnya Yolanda, Yolanda lebih memilih pria lain yang statusnya lebih tinggi dari xai, akan tetapi xai mendapatkan sistem zero yang mengubah kehidupan nya .
WALK AMONG THE DARK
806      445     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
The Call(er)
1385      829     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
PENTAS
1191      701     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
Lagu Ruth
432      310     0     
Short Story
wujud cintaku lebih dari sekedar berdansa bersamamu
DANGEROUS SISTER
8873      2037     1     
Fan Fiction
Alicea Aston adalah nama barat untuk Kim Sinb yang memiliki takdir sebagai seorang hunter vampire tapi sesungguhnya masih banyak hal yang tak terungkap tentang dirinya, tentang jati dirinya dan sesuatu besar nan misterius yang akan menimpanya. Semua berubah dan menjadi mengerikan saat ia kembali ke korea bersama saudari angkatnya Sally Aston yang merupakan Blood Secred atau pemilik darah suci.
Anderpati Tresna
2627      1029     3     
Fantasy
Aku dan kamu apakah benar sudah ditakdirkan sedari dulu?
Premium
Whispers in the Dark
3389      558     7     
Fantasy
A whisper calls your name from an empty room. A knock at your door—when you weren’t expecting company. This collection of bite-sized nightmares drags you into the the unsettling, and the unseen.