Tyaz menguap lebar. Dia meregangkan persendian tangannya. Berjalan menuju jendela kamarnya, lantas membukanya. Udara dingin berebut masuk ke kamarnya. Pagi ini Tyaz bangun kesiangan—beruntung sekolah sedang libur, karena tadi malam dia sulit sekali tertidur, kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepalanya.
“Kerajaan Kegelapan, Pangeran Hydo Sirrius.” Entah sudah berapa kali Tyaz mengumamkan kata itu sejak kemarin malam.
Tyaz berjalan menuju cermin yang tertempel di lemarinya. Terlihat pantulan seorang pemuda berumur tujuh belas tahun di sana, iris kelabunya terlihat meredup, rambutnya acak-acakan khas orang bangun tidur, ditambah lagi dengan kantung mata tipis yang melingkar di bawah matanya. Dia menyisir rambutnya dengan jemari.
Helaan napas terdengar. “Mungkin ini hari terakhirku di sini. Aku harus secepatnya kembali ke rumah.”
Tyaz mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, di dinding banyak sekali tertempel poster-poster film, entah itu film produksi dalam negeri, ataupun luar negeri. Dia tipe orang menyukai film bergenre action, science fiction, mystery, dan thiller. “Aku akan merindukanmu poster-poster kesayanganku, tidak lupa juga kamarku tercinta. Aku akan merindukan kalian semua.”
Tyaz terkekeh. Kalau dipikir-pikir, kelakuannya tadi cukup gila. Tentu saja benda-benda itu tidak dapat berbicara atau sekadar merindukan pemiliknya.
Dia memandang pantulan dirinya di cermin lagi. Menghela napas sekali lagi. “Haruskah aku memberitahu gadis itu? Aku tidak ingin dia bersedih.”
Tok tok!
“Tyaz ini aku, Myth. Aku akan masuk.”
Tanpa menunggu persetujuan dari sang empunya kamar, Myth langsung membuka pintu kamar Tyaz.
Panjang umur, baru saja aku membicarakanmu, batin Tyaz. Pandangannya tidak teralihkan dari cermin.
Terdengar langkah kaki Myth masuk. “Kau tidak akan bertambah tampan jika terus bercermin, yang ada cerminnya akan pecah,” ujarnya, lantas duduk di tepi kasur Tyaz.
“Terima kasih atas pujiannya.” Tyaz menyisir surai kelabunya dengan jemarinya, berusaha untuk tetap terlihat ceria.
Semenit kemudian dia duduk di sebelah Myth, bertanya, “Ada apa gerangan seorang Myth Mitchell datang kemari?”
Myth hanya berekspesi masam, lantas dia menyodorkan beberapa dokumen yang sedari tadi dipegangnya.
“Apa ini?” Tyaz menerima dokumen itu, alisnya bertaut bingung.
“Itu ‘surat rindu’ dari Ibu Panti,” jawabnya tanpa ekspresi.
Tyaz melototkan matanya. Seluruh penghuni panti tahu maksud di balik surat rindu dari Ibu Panti. Surat itu sebenarnya bukan surat yang berisi kerinduan Ibu Panti kepada anak asuhannya, bukan. Surat itu biasanya berisi ancaman, hukuman, atau hal yang sama-sama mengerikan dari Ibu Panti karena anak asuhannya melakukan sebuah kesalahan atau kenakalan.
Tyaz membuka dokumen itu. Lantas menyadari sesuatu, surat itu bukan surat rindu dari Ibu Panti, namun surat yang menyatakan kepindahannya.
“Kenapa kau tidak mengatakannya, Tyaz? Sementara kau memberitahu Jay, Joo dan Diaz, kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Apa aku tidak kau anggap temanmu?” tanya Myth, Tyaz menolehkan kepala, menyadari ekspresi Myth yang muram.
Karena aku bodoh, batinnya memaki. Seharusnya Tyaz memberi tahu Myth selaku sahabatnya dari kecil. Bukankah kata orang, lebih baik Myth mengetahui kebenaran itu dari mulutnya sendiri daripada mengetahuinya dari orang lain?
Kalau soal Jay, Joo dan Diaz, Tyaz tidak berniat memberi tahu mereka, namun Tyaz tidak sengaja mengucapkannya saat Jay bertanya kenapa dia murung di kelas seharian ini, dan mulutnya yang tidak bisa dikontrol mengucapkan, “Aku akan pergi.”
Yang membuat ketiga temannya berseru kaget, “Apa? Kau pergi? Kenapa? Bagaimana?”
Tyaz menghela napas berat. “Aku tidak ingin membuatmu sedih, Myth.”
“Apa kaupikir aku tidak akan sedih jika kau tetap akan meninggalkanku? Bukankah pada akhirnya aku tetap bersedih? Bukankah kau mengatakannya sendiri kalau mengetahui suatu informasi lebih cepat akan lebih baik? Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?” cerocos Myth, menghela napas, berusaha menahan air mata yang keluar dari pelupuk matanya.
“Akan kujelaskan, Myth. Tolong dengarkan ....” Sorot matanya meredup. “Pada awalnya, aku tidak mengetahui ternyata ayahku sudah menulis surat wasiat sebelum beliau meninggal. Isi wasiat itu mengatakan, jika beliau meninggal, maka aku harus tinggal di panti ini, tidak di rumah. Ayah juga memberi alasan, agar aku menjadi anak mandiri dan tidak manja. Kautahu kan, pada awalnya aku membenci panti ini?
“Dan yang kedua, aku harus kembali ke rumah saat usiaku tujuh belas tahun. Beliau menginginkan agar aku melanjutkan perusahaannya.” Tyaz mengakhiri ceritanya.
“Tidak bisakah kau tinggal di sini lebih lama lagi, Tyaz?” tanya Myth melas, berharap Tyaz mengangguk setuju.
Tyaz menggeleng, membuat harapan Myth yang telah melambung tinggi, seketika jatuh, hancur berkeping-keping. Tidak berbentuk. “Ini keinginan terakhir ayahku. Dan Ayah mengajarkan padaku agar aku tidak mengingkari janji. Besok aku harus kembali ke rumah, tapi aku tidak akan pindah sekolah, kita masih bisa bertemu di sekolah.”
Myth mengangkat kepala. “Lalu bagaimana dengan janji yang kauberikan padaku saat Kak Harro diadopsi keluarga lain? Apa kau akan mengingkari janji itu, Tyaz?”
Tyaz teringat percakapannya dengan Harro setahun lalu saat dia pamit pada anak-anak panti, Harro menghampiri Tyaz.
“Walaupun aku tidak terlalu menyukaimu, Tyaz, tapi bolehkah aku meminta kau berjanji satu hal padaku?” tanya Harro waktu itu sembari mengenggam bahu Tyaz.
Tyaz mengangguk, tersenyum tipis.
“Selama aku tidak ada, tolong jaga Myth seperti kau menjaga adikmu sendiri,” ujar Harro.
“Baik, Kak. Aku berjanji akan menjaga Myth dan melindunginya. Aku janji,” kata Tyaz mantap.
Apa yang harus Tyaz lakukan sekarang? Bagaimana dia bisa menjaga Myth jika dia tidak selalu ada di sisinya.
***
Tyaz menutup risleting tasnya. Dia sudah selesai berkemas, besok waktunya untuk kembali ke rumah. Dia meminta bantuan Ibu Panti untuk menelepon Hendry dan memintanya untuk menjemputnya esok hari, karena dia sendiri sudah lupa bagaimana bentuk rumahnya, apalagi jalan menuju ke sana. Walau diberi alamat pun tetap sulit, jadi dia memilih opsi kedua.
Tadi pagi dia sudah berpamitan pada teman-temannya. Dan orang yang paling merasa sedih adalah Jay, dia akan merindukan Tyaz.
Joo menenangkannya dengan mengatakan bahwa mereka berempat akan saling bertemu, katanya mereka akan sering-sering mengunjungi rumah Tyaz, padahal mereka masih bisa bertemu di sekolah. Walau begitu, Tyaz tetap memberikan alamat rumahnya pada Diaz, katanya mereka tidak cukup kalau bertemu di sekolah saja.
Tyaz membaringkan tubuhnya di atas kasur, menarik selimut lantas memejamkan mata. Pemuda itu memeluk guling dengan erat sembari bergelung di bawah selimut. Malam semakin larut dan udara di luar semakin dingin.
“Selamat malam dunia. Mimpi indah,” gumamnya sebelum alam bawah sadar menelannya bulat-bulat.
Seakan dialah sang pendosa yang doanya ditolak oleh sang Mahakuasa. Seakan takdir tak mengizinkannya bahagia barang sejenak. Seakan suratan takdir tak tahan melihat penderitaannya, seakan nurani dan pikirannya saling bertolak belakang—yang satu menolak mentah-mentah agar dirinya bahagia, yang satu lagi menginginkan agar dirinya bahagia.
Tyaz memimpikan hal yang sangat buruk hingga seumur hidupnya dia tidak bisa melupakannya. Dia memimpikan orang yang selama ini mengisi kekosongan hatinya, orang yang spesial baginya, orang yang tidak bisa dilupakannya—walau kenyataannya orang itu sekarang dilupakan karena beberapa hal.
Dia akan memimpikan orang yang merupakan kebahagiaan dan penderitaannya sekaligus. Sudah siapkah kau, Tyaz?
***
Tessa menarik kepala Tyaz agar menunduk. Menghela napas lega ketika peluru itu tidak mengenai kepala Tyaz.
“Kau tidak boleh lengah, Tyaz. Bagaimana kalau peluru tadi menembus kepalamu!” Tessa berseru jengkel.
“Ya, aku tahu. Mereka tidak akan menembakku secepat itu.” Tyaz menatap tajam Ketua Xexe yang menembakkan peluru itu.
“Kau bisa membaca pergerakanku, hebat!” Ketua Xexe itu bertepuk tangan. Lantas dengan memberikan kode lewat matanya kepada anak buahnya, mereka mengangguk serempak.
Anak buahnya mendekati Tyaz dan Tessa. Refleks, mereka berlari tak tentu arah, mereka tahu orang-orang itu punya niat tidak baik setelah melihat seringaian menakutkan di wajah para pembunuh itu.
Menyebar, adalah salah satu cara terbodoh yang tidak pernah dipikirkan pemuda itu akan menimbulkan bencana. Tyaz dan Tessa sama sekali tidak menyadari kalau memisahkan mereka adalah bagian rencana dari Ketua Xexe. Pemimpin berambut sehitam malam itu menyeringai merasa rencananya berhasil. Setidaknya itu akan mempermudah pekerjaannya.
Tyaz yang menyadari rencana pemimpin pun mendesis kesal. “Apa mau mu?”
“Tidak banyak. Aku hanya ingin membantu meringankan tugas malaikat maut. Apa aku salah? Aku hanya ingin membantu.” Dia tertawa, tawa yang sangat dibenci oleh Tyaz.
Pemimpin itu melangkah, dua anak buahnya yang tersisa mengepung Tyaz, memperkecil kemungkinan Tyaz untuk melarikan diri. Tyaz berdecak, mereka curang.
Iris kelabu Tyaz menyorotkan tatapan tajamnya, tidak sedetik pun pandangannya terlepas dari gerak-gerak sang pemimpin, bisa saja dia mengeluarkan pisau dan menusuk mata Tyaz kalau dia tidak waspada.
Bugh!
Tyaz merasakan kepalan tangan besar memukul tengkuknya, membuatnya terjerembab ke tanah. Pria berjaket hitam menginjak punggung Tyaz, menekan kakinya semakin dalam, membuat punggung Tyaz terasa nyeri.
Tyaz menggeram kesakitan, berusaha menyingkirkan kaki kotor itu. Dia bangkit setelah berhasil menyingkirkan kaki itu, berharap punggungnya baik-baik saja.
Tyaz berlari, menerjang pria yang menginjaknya tadi. Melayangkan kakinya di wajah pria itu, membuat cairan kental merah mengalir dari luka di pelipisnya. Tyaz memukul pria itu tepat di rusuknya. Pria itu tidak diam saja, dia melayangkan pukulannya sebagai balasan. Tyaz berhasil menghindar dengan gerakan elok.
Tyaz tidak tahu dia mendapatkan pengalaman bertarung itu dari mana, dia merasa mempunyai bakat di bidang itu sejak kecil.
“Akh!” Pria yang memakai hoodie berhasil meninju perut Tyaz.
Kepalan tangan Tyaz menguat, dia meninju si Hoodie—sebut saja namanya begitu —tepat di ulu hatinya. Membuat pria itu terhempas, menggeram kesakitan.
“Siapa yang mengizinkanmu menginjakkan kaki kotormu di punggungku, huh?” Tyaz menoleh ke sebelah, mendelik kesal pada pria berjaket hitam, intonasinya menaik beberapa oktaf.
Di saat itulah dia merasakan sebuah sabetan mengenai lengannya. Tyaz meringis, memegangi lengan kanannya yang berdarah, dia membalikkan badan demi melihat siapa pelaku kurang ajar itu yang berani menyerang dari belakang.
“Aku sudah melihat kemampuanmu. Kau petarung yang handal tanpa senjata. Tapi, aku meragukan jika kau ahli dalam bermain senjata, Nak,” ujar Ketua Xexe, ia mengibaskan pedangnya yang berlumuran darah Tyaz.
Tyaz mengedarkan pandangannya. Ke mana semua anak buah pembunuh itu? Kenapa hanya ada Ketua Xexe dan si Hoodie? Ke mana semuanya?
“Kenapa? Apa kau mencari teman perempuanmu? Semua anak buahku melakukan tugasnya, jangan khawatir, dia akan segera mati. Kita di sini saja, bertarung berdua. Katakan saja jika kau rindu pada temanmu, aku akan mengirimmu ke sana.” Ketua Xexe melangkah mendekati Tyaz.
Si Hoodie berdehem. “Maksudmu bertiga.”
Karena mendengar ucapan itu, Ketua Xexe memberi hadiah pelototan mata.
Ketua Xexe tidak sepenuhnya salah, Tyaz memang bukan ahli dalam bermain senjata, lagi pula bagaimana dia berlatih senjata? Di panti tidak ada pedang ataupun pistol yang dapat ia gunakan untuk berlatih.
Tyaz menghindari pedang yang akan menebas kepalanya jika saja ia terlambat barang sedetik. Tyaz menendang kaki Ketua Xexe yang sempat membuat keseimbangannya goyah. Pukulan keras melayang di tengkuk pria itu, sebagai balasan, sebuah sabetan meluncur di betis Tyaz.
Dia meringis kesakitan, membuat langkahnya terpincang-pincang. Sejak kejadian itu, Tyaz membenci benda tajam yang bernama pedang itu.
“Kau curang! Aku tidak memakai senjata, dan kau memakai senjata, bukankah itu tidak adil!?” Tyaz berteriak, antara kesal dan sakit menahan perih di kakinya.
“Kau meminta keadilan? Huh, baiklah. Apa salahnya memenuhi permintaan orang yang akan mati.” Dia memasukkan pedang di sarung pedang yang bertenggger di punggungnya, tidak sedikitpun merasa kesusahan.
Tyaz menyeringai, setidaknya dia masih punya kesempatan untuk menang—walau cuma sepersen.
Dua detik di saat Tyaz berpikir seperti itu, si Hoodie tiba-tiba mengunci pergelangan tangannya. Tyaz memberontak, namun luka di kaki dan tangannya menghambat pergerakannya, membuatnya sia-sia.
Tyaz melupakan pria dengan hoodie hitam itu, mungkin seharusnya dia tadi menghabisi pria itu. Tyaz menggeleng, tidak, walaupun dia nakal, dia tidak akan melakukan perbuatan keji dengan membunuh orang.
“Apa kau kesal?” Ketua Xexe mendekati Tyaz.
Tyaz melirik hoodie yang dikenakan si Hoodie, ada sesuatu yang bersinar di sakunya. Sebuah pisau. Tyaz memutar otaknya cepat.
Dengan gerakan cepat, Tyaz memukul si Hoodie, lantas mengambil pisaunya. Tyaz tidak sengaja menggoreskan pisau di betis kanan pria itu saat si Hoodie hendak menendangnya.
“Lakukan sekarang, Ketua. Dia amat menyusahkan.” Si Hoodie lagi-lagi berhasil mengunci pergelangan tangan Tyaz hanya dengan satu pukulan di belakang kepala.
“Dia bilang kau sangat menyusahkannya. Jadi aku harus melakukannya sekarang, maaf jika menyakitimu.”
Walaupun Ketua Xexe mengucapkan kata penyesalan, tetapi wajahnya itu sepersen pun tidak menunjukkan wajah menyesal. Dia malah menyeringai senang yang kentara sekali dia tidak terpaksa untuk melakukan apapun itu.
Apa yang akan dia lakukan?
Ketua Xexe meninju perut Tyaz sangat keras, benar-benar keras hingga membuat Tyaz memuntahkan darah. Belum sempat Tyaz mengeluh kesakitan, pukulan lainnya menyusul. Lebih keras, lebih brutal.
Kekuatan Tyaz tentu ada batasnya. Dia kini melemah, tubuhnya luruh. Dia merongsot kesakitan, napasnya tersenggal-senggal, peluh membanjiri tubuhnya.
Pendengaran Tyaz menangkap suara sebuah pedang yang ditarik dari sarungnya. Tyaz yang terlalu lemah hanya untuk sekadar mengangkat kepala demi menengok apa yang terjadi pun hanya bisa pasrah.
Entah apa yang akan dilakukan Ketua Xexe. Tyaz hanya bisa memejamkan mata. Semua ada batasnya, dan sekarang ia berada di akhir batas itu.
Suara pedang beradu terdengar, disusul suara pedang berkelontang. Dengan susah payah Tyaz berusaha mendongak, ia tersenyum, mendapati Tessa yang datang tanpa luka atau lecet sedikit pun di tubuhnya.
“Tyaz! Ayo berdiri!”
Ketua Xexe itu menggeram. “Kau menganggu kesenanganku! Kenapa kau menghalangiku? Bos Besar bisa memarahimu.”
Tessa segera menangkis pukulan pembunuh itu. Tyaz tebak, pastilah Tessa yang telah menendang pedang itu hingga membuat sang ketua marah.
Tyaz mencoba berdiri, sorot tajamnya mengarah pada pria dengan hoodie hitam itu. “Aku akan membalasmu karena kau telah berani mengunci pergelagan tanganku dan membuatku hampir mati.”
“Well, sepertinya kau anak pendendam.” Si Hoodie menyungingkan senyum, mengeluarkan pisau yang tadi dibuat Tyaz untuk melukai kakinya.
Entah kenapa, Tyaz merasa familier dengan suara itu.
“Sangat menyusahkan,” gumam Tyaz, menyadari kelemahannya dalam melawan orang bersenjata.
Tanpa pikir panjang, Tyaz segera menangkis pisau itu sebelum menembus matanya. Pisau itu sangat berbahaya. Tyaz menendang tangan si Hoodie hingga membuat pisaunya terlempar.
Tyaz berlari meninggalkan si Hoodie, membantu Tessa yang melawan Ketua Xexe.
“Tidak perlu membantuku, Tyaz. Aku bisa mengatasi ini, kau kembalilah ke panti!” seru Tessa, tetapi sama sekali tidak diindahkan oleh Tyaz.
“Biarkan aku membantumu. Jangan membantah!”
Tessa mendesis kesal. Kenapa Tyaz keras kepala sekali? Kenapa di saat dirinya berbuat baik untuk menyelamatkan Tyaz selalu ada halangan? Dia tidak suka kekeras-kepalaan Tyaz.
Kau harus pergi, Tyaz. Ada yang lebih berbahaya dari pembunuh ini yang menunggumu di depan sana, batin Tessa.
Tanpa sepengetahuan siapapun, pria berjaket cokelat—Blackie, kalau tidak salah namanya—mengambil pedang Ketua Xexe yang jatuh tergeletak di tanah. Berjalan mengendap-endap, mengarahkan pedang itu tepat di punggung Tyaz yang masih sibuk melawan Ketua Xexe.
“Tyaz!” Tessa berlari, mendorong tubuh Tyaz menjauh.
“Akkhh!” Pedang itu menembus punggung Tessa, membuatnya memuntahkan darah, jatuh terkulai di tanah.
“Tessa! Apa yang kau lakukan!?” teriak Tyaz.
“Kenapa kau lakukan, Tessa? Seharusnya biarkan saja pedang itu menembus diriku, biarkanlah aku yang mati. Kenapa, Tessa? Kenapa? Kenapa!?” Tyaz berteriak parau.
“Ma-af, Tyaz,” Tessa berucap pelan, kedua matanya menutup rapat seperti magnet yang berbeda kutub.
Tiba-tiba saja tubuh Tessa diselimuti debu, perlahan debu itu seperti menelan tubuh Tessa bulat-bulat. Entah dari mana datangnya angin kencang itu secara tiba-tiba, menerbangkan Tessa yang menjelma menjadi debu. Hilang tanpa bekas, lenyap tanpa sisa, meninggalkan duka yang mendalam.
Dia ... menghilang?
“TESSA!” Tyaz yang saat itu baru berumur empat belas tahun hanya bisa berteriak, tidak tahu bahaya besar sedang menantinya jika dia lengah.