Tyaz membuka lemarinya, mengambil tas besarnya. Bagaimanapun juga, dia harus menuruti perintah ayahnya. Ia tidak ingin menjadi anak yang durhaka.
Tyaz mengambil beberapa bajunya, melipat asal-asalan—karena dia tidak pandai melipat baju—lantas dimasukkan di dalam tas.
Tangannya terhenti saat dia melihat kostum pangeran yang sudah lama menjadi penghuni lemarinya. Tyaz mengambil baju itu, walaupun sudah tiga tahun tidak dia pakai, baju silver itu masih terlihat indah. Tidak rusak seperti pakaian lain kalau dibiarkan tidak terpakai.
Tidak mungkin baju itu hanya sekadar kostum untuk panggung teater, dan seingatnya, dia tidak pernah menyukai dunia akting. Dan Tyaz belum pernah menemukan baju dengan kualitas terbaik di kotanya. Tyaz duduk di tepi kasur, memandang baju berwarnya kelabu itu.
Tyaz mengelus pelan baju itu, baju yang membuatnya pusing bukan kepalang karena sifatnya yang tiba-tiba datang, baju yang melekat begitu saja di tubuh Tyaz saat dia bangun tidur.
“Eh, apa ini?”
Tyaz membalik bagian tangan baju itu, di sana terdapat kain putih kecil yang menyatu dengan bagian dalam tangan di baju itu. Bentuknya sama seperti merek di bajunya. Perbedaannya, kostum aneh itu mereknya berada di bagian tangan, bukan di kerah baju seperti pada umumnya.
Tyaz memperhatikan tulisan itu dengan seksama. Kerutan di dahinya pun semakin dalam.
“Aksara apa ini? Aku tidak pernah melihatnya. Ah, andai aku bisa membacanya.” Tyaz mendengus, pipinya mengembung kesal.
Tiba-tiba sebuah ide melesat di kepalanya. Dia meletakkan baju itu di kasur, lantas segera mengambil secarik kertas dan pensil. Dia menyalin tulisan itu di kertas. Ditaruhnya kembali baju itu di lemari, juga tas yang berisi bajunya.
Tyaz menyimpan kertas itu di tas sekolahnya, juga tidak lupa dia mempersiapkan buku-buku pelajaran untuk sekolahnya besok. Sekarang Tyaz tidur dulu untuk menjalankan rencananya, juga agar dia bisa bangun pagi-pagi. Dia harus pergi ke tempat itu, berkemasnya bisa dilanjutkan besok sore.
***
Saat jam dinding di kamar Tyaz menunjuk angka enam, Tyaz sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya. Dia mematut penampilannya di depan cermin, terlihat seraut wajah tampan dengan kedua sudut bibir terangkat, iris kelabunya terlihat cerah.
Tyaz menyisir surai kelabunya, sempat tebersit di sudut pikirannya, kenapa mata dan rambutnya berwarna kelabu? Padahal Tyaz tidak pernah mewarnai rambutnya, apalagi memakai softlens yang ribet. Seingat Tyaz, ayah dan ibunya tidak memiliki warna rambut dan mata seperti itu, pemuda itu sempat memikirkan, apakah dia bukan anak kandung?
Pemuda itu menggelengkan kepalanya keras, tidak, dia anak kandung orang tuanya. Kenapa pikiran sesat itu muncul?
Setelah beberapa menit mematut penampilannya di cermin dan merasa penampilannya sudah oke, Tyaz buru-buru berangkat, karena sebelum menuju kelasnya, dia ingin mengunjungi suatu tempat.
“Kita berangkat, Tampan,” gumam Tyaz sembari melangkahkan kaki ke luar panti, lantas terkikik sendiri karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
“Hai Kak Tyaz, selama pagi.”
Saat sampai di sekolah, Tyaz disambut beberapa gadis berseragam biru-putih di lantai satu, gadis itu menyapa Tyaz dengan manis. Tyaz menoleh sekilas, balas tersenyum dan tak lupa dia memberikan lambaian tangan, membuat gadis-gadis yang merupakan adik kelasnya itu berteriak histeris.
“Kak Tyaz tersenyum padaku,” gumam salah satu gadis saat Tyaz melewatinya beberapa langkah.
Tyaz tersenyum tipis.
“Dia sungguh tampan.”
Lalu suara gadis-gadis itu tidak lagi terdengar saat Tyaz naik ke lantai dua, di sana hanya segelintir siswa yang benar-benar taat sudah datang ke sekolah pagi-pagi, dan tidak ada satu pun dari mereka yang diam, yang satu sibuk menyapu, membersihkan ini-itu, menyiram tanaman, atau menata bangku.
Tyaz tidak berniat ke kelasnya, dia ingin ke suatu tempat di lantai tiga sebelum banyak yang datang. Sesampainya di lantai tiga, Tyaz disambut sepi dan senyap, lantai tiga terlihat suram dan menyeramkan, Tyaz pernah mendengar rumor kalau di lantai tiga banyak penunggunya, walau Tyaz tidak tahu apa yang dimaksud teman-temannya dengan penunggu, apakah banyak satpam yang berjaga? Begitu?
Tyaz melepas sepatu sebelum membuka pintu ruangan itu, lantas dia menutup kembali pintu setelah masuk ke dalamnya, seketika udara dingin menyergap kakinya. Di ruangan itu, banyak komputer-komputer berjejer rapi, dengan kursi-kursi. Tyaz duduk di salah satu kursi paling belakang, segera mengaktifkan komputer dan mencari mesin penerjemah.
“Di mana kertas itu?” gumam Tyaz sembari mencari kertas yang berisi tulisan di kostum aneh itu di tasnya.
“Kalau saja Myth tidak marah padaku kemarin, mungkin dia akan membantuku untuk menerjemahkan kalimat ini.” Tyaz menggerutu.
Tyaz mengerutkan dahinya, dia tidak terlalu ahli dengan komputer, sejak kecil Tyaz memang tidak menyukai hal-hal yang berbau teknologi. Dia seperti orang yang tertinggal.
“Ah, andai aku jadi anak pintar!” seru Tyaz frustasi.
“Kalau kau ingin pintar kau harus belajar, bukannya kebawa perasaan dengan menonton begituan.”
Tyaz terkejut saat mendengar seseorang menyahut. Tyaz tidak tahu apa-apa, tiba-tiba saja Myth berada di ambang pintu, dia sedang menutup pintu, berjalan mendekati Tyaz, yang mana membuat pemuda itu refleks menutupi layar komputer dengan tangannya—agar Myth tidak melihat yang Tyaz cari di sana.
“Apa maksudmu menonton begituan? Ambigu,” protes Tyaz.
“Film dewasa, delapan belas plus,” ucap Myt santai, “buktinya kau berusaha menutup-nutupi komuter ini, dan ... menonton diam-diam. Kau masih tujuh belas tahun, Tyaz.”
Tyaz melemparkan tatapan kesal. “Aku bahkan tidak pernah memikirkan untuk menonton film itu.”
“Lalu apa yang kau sembunyikan?” Myth menyingkirkan tangan Tyaz dari layar komputer, dia kira butuh tenaga besar, ternyata Tyaz yang tidak fokus mudah dikalahkan.
“Oh! Butuh penerjemah! Kenapa kau tidak meminta tolong padaku!” seru Myth refleks.
Tyaz membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, tetapi Myth mendahuluinya.
“Kau khawatir kalau bahasa itu belum kupahami? Tenang saja, kau bisa pinjam ponselku,” ucapnya.
Tyaz mendengus, memberi kode pada Myth agar tidak berisik. “Kau kemarin marah padaku, kau bilang tidak mau membantuku menerjemahkan lagi, selalu saja ancamannya itu, saat SMP juga begitu, apa kau harus melakukannya juga bahkan saat SMA?”
Myth hanya menyengir. “Bagaimana dengan ponsel? Kau bisa menggunakan ponselmu, ‘kan?”
“Aku tidak sepandai kau dalam menabung, jadi ... aku tidak punya ponsel,” jawab Tyaz, cemberut.
Seketika Tyaz teringat surat wasiat ayahnya yang mengatakan beliau punya perusahaan besar—yang mana menunjukkan bahwa Tyaz mampu untuk membeli sebuah ponsel, tetapi Tyaz tidak mengatakannya pada Myth, karena Myth tidak tahu fakta itu. Tyaz kemarin sempat bertanya pada Ibu Panti tentang ayahnya, ternyata Ibu Panti kenal betul dengan ayah Tyaz, dia juga mengatakan kalau ayah Tyaz donatur terbesar di panti, yang membuat Tyaz paham kenapa dia diistimewakan di panti—setidaknya oleh beberapa orang, walau tidak semua.
Myth mengelus pucuk kepala Tyaz. “Baiklah, baiklah, aku akan membantumu, tidak perlu merajuk seperti itu.”
Senyum Tyaz melebar, dia berdiri, memberikan tempat untuk Myth duduk dan Tyaz mengambil kursi lain untuk duduk di sebelah Myth. Pemuda itu menyerahkan kertas yang berisi kalimat yang ingin diterjemahkannya.
“Eh? Bahasa apa ini? Tidak menggunakan alfabet?” Myth mengerutkan keningnya menatap tulisan Tyaz, lantas dia menoleh pada pemuda itu.
Tyaz mengangguk. “Maka dari itu, aku kesulitan, tidak tahu cara mengganti keyboard menjadi aksara itu.”
“Sepertinya ini bukan bahasa Korea, Cina, atau Jepang ... Thailand juga bukan. Hm, lalu bahasa apa lagi? Arab juga bukan,” gumam Myth sembari menggaruk dagunya.
“Apakah bahasa Yunani?” Tyaz hanya menggeleng saat Myth bertanya padanya, Tyaz tidak jago dalam bidang bahasa.
“Aku coba dulu. Waktu kelas delapan kan kita diajarkan untuk mengubah keyboard ke dalam bahasa lain, Tyaz, kau sudah lupa?”
Tyaz hanya menyengir. “Bahkan pelajaran minggu lalu aku sudah tidak ingat, apalagi pelajaran empat tahun lalu.”
Myth mendengus.
“Kenapa? Apa tidak bisa?” tanya Tyaz khawatir.
“Aku bisa, hanya saja tulisanmu jelek sekali, aku sulit membacanya,” ucap Myth.
“Memang aku buat begitu, agar orang yang membacanya berpikir dulu, tidak asal salin,” jawab Tyaz. “Walaupun jelek begitu, banyak gadis yang menginginkannya.”
Myth memandang Tyaz yang terlihat percaya diri. “Tapi aku tidak menginginkan tulisanmu ini, para gadis itu saja yang aneh, kenapa dia tergila-gila padamu?”
“Karena aku tampan, bukankah alasan itu sudah cukup?” Myth hanya berekspresi datar ketika Tyaz mengatakan hal itu dengan gamblangnya, tidak lupa pula dengan dadanya yang terbusung sombong.
“Suatu hari kau akan menyadari ketampananku, kau tidak akan menyalahkan gadis-gadis itu. Kau akan merindukanku, kau akan merindukan si Tampan Tyaz. Aku pastikan itu akan terjadi,” ucapnya lagi, kini lebih percaya diri.
“Baiklah, aku tunggu hari itu.” Myth menekan keyboard, menuliskan sesuatu. “Bingo! Aku sudah menemukannya!”
“Kau sudah menemukannya?” tanya Tyaz antusias.
“Mungkin aku harus belajar bahasa Yunani juga,” gumam Myth.
Tyaz membaca dalam hati tulisan di layar komputer. “Hanya ini? Apa maksudnya? Kurasa tidak ada kerajaan dengan nama itu di dunia ini.”
“Di mana kau menemukan tulisan ini, Tyaz?” Myth bertanya, tampaknya dia sangat penasaran.
“Aku menyalinnya di merek kostum pangeran yang kupakai tiga tahun lalu.” Myth melebarkan matanya. “Iya, pakaian yang tiba-tiba melekat di badanku setelah aku bangun tidur.”
Myth menilik layar komputer, membaca tulisan itu sekali lagi. “Kerajaan Kegelapan. Pangeran Hydo Sirrius.”