“Zayan, lihat! Siapa yang paling cantik?” tanya Kesya dan Kanza bersamaan berdiri di hadapan Zayan dengan pakaian baru mereka.
Zayan yang tengah membaca buku hanya melirik sekilas kemudian kembali memalingkan wajahnya pada bukunya. Saat di rumah, dia hampir tidak memiliki sedikit pun ketenangan apalagi kehadiran wanita lain yang tak lain adalah ibu dan saudara tirinya.
Kadang, Zayan berpikir kenapa begitu banyak perempuan di kehidupannya. Tak masalah jika salah satunya tidak begitu merepotkan. Sayangnya, itu tidak terjadi, kedua kakak perempuannya dan juga ibu tirinya sama – sama merepotkan dan dia harus menanggapi mereka semua.
“Zayan, kamu mendadak tuli?” tanya Kesya ketus.
“Kalian berharap aku jawab apa?” sahut Zayan.
“Jawab saja siapa yang paling cantik di antara kami berdua,” imbuh Kanza.
Mata Zayan kembali menatap kedua kakaknya karena tak mengerti ‘cantik’ apa yang keduanya maksud. Bagaimana pun, wajah mereka sama dan tubuh mereka pun tak jauh berbeda. Pakaian yang keduanya kenakan juga cocok dengan proporsi tubuh mereka masing – masing.
“Sepertinya, aku yang paling cantik.” Zayan langsung berpose seperti perempuan sambil mengedip centil kedua matanya.
Seketika Kesya dan Kanza saling memandang sesaat kemudian pergi ke kamar mereka masing – masing merasa tak ada yang tak beres dengan adik laki – laki mereka itu. Mereka kembali ke kamar dengan tawa yang keras menertawakan tingkah aneh Zayan.
Tak pernah ada yang menyangka bahwa Zayan yang begitu datar dan membosankan akan melakukan hal seperti itu.
“Kamu ada – ada saja, Zay.”
Zayan menoleh dan mendapati ibu tirinya berdiri di depan pintu bersama dengan Anna yang tak lain adalah saudara tirinya.
“Oh, jadi ini yang katanya nggak tinggal di sini lagi selepas Ibu menikah sama ayahnya?” sindir Anna.
Zayan langsung bangkit dari duduknya meraih tasnya yang berisi beberapa pakaiannya dari kursi di ruang tamu kemudian pergi begitu saja. Ya, begitulah Zayan yang memang sudah berniat meninggalkan rumah itu sejak lama.
Dia hanya menunggu ayahnya pulang lebih dulu untuk berpamitan. Meski dia kurang suka dengan ayahnya juga ibu tirinya, dia masih merasa memiliki sopan santun sebelum pergi dari rumah itu apalagi dalam waktu yang cukup lama atau bahkan tidak akan kembali lagi, dia pun tidak tahu.
“Ayah,” panggil Zayan saat melihat ayahnya turun dari mobil.
“Aku pamit pulang ke rumah Ibu.” Zayan menyalami ayahnya kemudian langsung pergi begitu saja.
Ayahnya tak menanyakan apa pun padahal Zayan sedikit berharap kalau ayahnya menghentikannya atau paling tidak mengatakan sesuatu layaknya seorang ayah yang ditinggal anak pergi ke suatu tempat.
Memang bodoh mengharapkan hal seperti itu. Tapi, Zayan ingin merasakan hal seperti itu paling tidak satu kali saja.
Dia berjalan sepanjang trotoar jalanan mencari taksi di sekitar sana. Langkahnya terhenti saat melihat langit yang gelap gulita. Malam itu mungkin akan sangat gelap jika tidak ada lampu – lampu rumah dan jalanan.
“Bintang jatuh ya...” Dia bergumam pelan teringat saat Bintang pernah mengatakan ingin melihat bintang jatuh dan mengajukan permohonan.
“Mungkin kalau di tempat yang gelap, malam ini juga bakal ada bintang jatuh,” ucapnya kembali melanjutkan jalannya.
BRUK!
BUGH!
“Aw!” pekik Zayan saat tubuhnya roboh karena seseorang tiba – tiba melompat dari pagar sebuah rumah di dekat dia sedang berjalan. Apalagi orang itu berhasil menindih tubuh Zayan.
Dia seketika mendorong tubuh itu kemudian bangkit dengan kesal. “Ngapain sih?!” omelnya kesal.
Cewek itu menoleh dan mereka sama – sama terkejutnya. Zayan langsung menoleh ke pagar rumah itu. Dia tidak tahu kenapa Bintang ada di sana karena yang dia tahu, rumah bintang jelas berbeda arah dengan rumahnya.
Dan lagi, Bintang bukannya mengatakan sesuatu malah langsung berlari pergi begitu saja setelah melihat Zayan. Padahal Zayan masih kebingungan dengan apa yang terjadi pada Bintang.
“BINTANG!” terdengar teriakan seseorang dari rumah itu.
Zayan langsung ikut berlari mengejar Bintang yang sudah sangat jauh. Dia memilih meninggalkan kopernya di pinggir jalan lebih dulu untuk mengejar cewek itu.
Dia sudah tahu apa yang dialami Bintang. Hal itu membuatnya sedikit khawatir barangkali Bintang sedang berhalusinasi atau apa. Melihat raut wajah Bintang yang tidak seperti biasanya saja membuat Zayan berpikir keras pasti terjadi apa – apa pada Bintang.
“Lo kenapa?” teriak Zayan saat dia sudah hampir bisa mengejar Bintang.
Bintang hanya menoleh. “Jangan ikutin gue!” balasnya.
Zayan benar – benar lelah dengan mengejar Bintang mengingat dia tak begitu suka banyak bergerak. Nafasnya hampir habis tapi dia masih penasaran dengan apa yang terjadi membuat tubuhnya ingin terus menggapai cewek itu.
Langkahnya terhenti tak bisa melanjutkan lari lagi. Dia mengatur nafasnya sambil berpikir apa yang harus dia lakukan agar Bintang mau berhenti. Di depan, ada rel kereta. Jika Bintang dibiarkan sendiri, mungkin cewek itu akan melakukan hal – hal tak baik lagi untuk mengakhiri hidupnya.
“KATANYA MAU LIAT BINTANG JATUH!” Kali ini teriakan Hans sangat keras.
Untunglah caranya berhasil. Bintang berhenti dan langsung menghadap ke langit mencari bintang jatuh yang Zayan maksud.
“Lo bohong!” ucap Bintang kesal.
“Liat bintang jatuh nggak di sini,” timpal Zayan melambaikan tangannya agar Bintang mendekat padanya.
Bintang menurut. “Di mana?”
“Cerita dulu ada apa?” Zayan memancing cewek itu agar menceritakannya. “Dan kenapa lo bisa di rumah itu?”
Bintang tak benar – benar mendekat. Dia berhenti dengan jarak yang cukup jauh dari Zayan. Wajahnya benar – benar muram tak seperti Bintang yang biasanya begitu ceria saat melihat Zayan.
Bahkan, Bintang memang sudah lama tak membahas tentang rasa sukanya pada Zayan seperti sebelumnya.
“Tadi, rumah seorang psikiater. Gue takut mereka beneran mengirim gue ke Rumah Sakit Jiwa.” Bintang mulai menceritakannya. “Jadi gue kabur,” lanjutnya dengan senyum kecilnya.
Zayan akhirnya mengerti kalau Bintang hanya ingin berlari dari kenyataan yang ada. Tapi, pada dasarnya Zayan juga tak setuju jika Bintang benar – benar dikirim ke Rumah Sakit Jiwa meski dia tahu mungkin itu saru – satunya yang terbaik.
Ketakutan Bintang juga bukan hal yang aneh. Itu wajar. Tak ada satu orang pun yang mau dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Karena tahu Bintang sedang merasa takut, Zayan melangkah mendekat pelan – pelan dan menarik tangan Bintang untuk duduk di bebatuan di pinggir sungai yang tak jauh dari rel kereta api berada. Di sana cukup gelap sehingga dia menyalakan lampu ponselnya untuk menerangi sekitar.
“Di sini, langit bakal keliatan bagus walaupun gelap.” Zayan tak ragu membaringkan tubuhnya di atas rumput.
Bintang tersenyum dan mengikuti cowok itu untuk sedikit menenangkan diri.
“Gue rasa kalau kita beruntung, kita bisa lihat bintang jatuh.” Zayan yang sangat jarang berbicara mencoba mencairkan suasana karena Bintang yang banyak bicara tiba – tiba menjadi sedikit pendiam.
“Ada bintang satu.” Bintang menunjuk ke sebuah cahaya kecil di langit.
“Dua sama lo,” sahut Zayan.
Bintang tertawa kecil mendengarnya. “Bagus, gue suka.”
Zayan menoleh dan menatap wajah Bintang dari samping. Ada sedikit rasa aneh tak menyangka kalau orang seperti Bintang benar – benar mengalami penyakit yang sedikit mengerikan untuk penderitanya.
“Ngomong – ngomong soal suka, gue kayaknya sudah nggak dengar lo suka sama gue lagi. Biasanya sehari ada kali sepuluh kali.” Zayan mengungkitnya sambil menatap ke langit merasa malu dengan pertanyaannya sendiri.
“Gue udah nggak suka Zayan kok.” Bintang menjawab pelan. [ ]