Zayan dan anak – anak lain pergi menuju UKS. Tapi anak – anak PMR tidak memperbolehkan mereka semua masuk karena membuat situasi tidak kondusif. Zayan dan Dinda menyerobot kerumunan yang berbaris di depan jendela untuk melihat situasi di dalam meski sangat susah.
Dinda sangat khawatir dengan kondisi Bintang. Walaupun mereka sedang bertengkar, tetap saja tak bisa dipungkiri kalau Bintang adalah satu – satunya teman yang paling dekat dengannya.
“Zayan!” panggil Iqbal.
Mendengar panggilan itu, Zayan menoleh dan langsung menghampiri Iqbal. Iqbal keluar dari posisinya membiarkan Zayan melihat situasi di dalam. Meski tak menunjukkan reaksi apa pun, Iqbal tahu betul kalau Zayan mungkin sangat khawatir pada Bintang.
Di dalam ruangan UKS, beberapa guru tampak tengah memberikan pertolongan pertama dengan membalut luka Bintang dan mencoba menyadarkan cewek itu yang tak sadarkan diri. Zayan membisu tak tahu kenapa hal seperti itu terjadi pada Bintang yang setiap hari terlihat begitu ceria.
“Kata anak – anak PMR, ada banyak bekas luka di pergelangan tangannya.” Iqbal berbisik dari belakang Zayan.
“Itu berarti ini bukan pertama kalinya dia melakukan ini?” tanya Zayan.
Iqbal mengangguk pelan. “Pantas selama ini dia pakai gelang kain yang agak besar.”
“Gue nggak merhatiin itu.”
Beberapa saat kemudian, Zayan bernafas lega saat melihat Bintang sudah mulai sadarkan diri. Tapi seolah tal terjadi apa – apa, Bintang menyapa semua guru yang ada di hadapannya dengan senyum kecilnya.
“Dia nggak waras.”
“Sudah coba bunuh diri sekarang malah nunjukin wajah nggak berdosa.”
Zayan dan Iqbal menoleh ke anak – anak yang tengah berbisik – bisik membicarakan Bintang itu. Mereka saling menatap beberapa saat tapi tak mengatakan apa pun karena mereka sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Bintang hingga membuat cewek itu sampai melakukan hal seperti itu.
Di sisi lain, Dinda juga tampak melirik sinis pada anak yang membicarakan Bintang. Baginya, tak masalah kalau Dinda memiliki masalah dengan Bintang tapi hanya dia yang bisa melakukannya.
Selain Dinda, tidak diizinkan.
“Dia itu nggak sadar. Jangan ngomong yang nggak – nggak!” tegur Dinda.
“Nggak sadar? Maksud lo mabuk atau karena dia mengonsumsi –”
“Bacot!” potong Dinda cepat.
Zayan dan Iqbal langsung menarik Dinda pergi dari sana ke kelas karena tak mau ada keributan lain di tengah – tengah masalah yang begitu serius itu. Emosi Dinda sedang tidak stabil dan itu bisa memperburuk suasana.
“Lepasin!” Dinda menepis tangan Zayan dan Iqbal yang mencengkeram pergelangan tangannya.
“Jangan bikin keributan, Din. Situasi lagi nggak baik.” Iqbal berbicara.
Dinda melirik sinis kemudian memutar bola matanya kesal. Merasa tak suka disalahkan begitu saja, Dinda duduk di bangkunya mengabaikan kedua cowok yang ada di hadapannya itu tak ingin berbicara dengan mereka yang tak mengerti apa yang Dinda rasakan saat itu.
Dengan menghela nafas pelan, Zayan duduk di samping Dinda sementara Iqbal duduk di hadapan Dinda.
“Kalau lo tahu sesuatu, kasih tahu saja, Din.” Zayan kini angkat bicara.
“Gue nggak tahu apa – apa.”
“Lo nggak akan marah ke anak – anak tadi kalau nggak tahu apa – apa,” imbuh Iqbal memancing karena penasaran juga.
Dinda terdiam menatap kedua cowok itu secara bergantian. Dia kemudian menundukkan kepalanya ada rasa bersalah, tapi juga ada rasa kesal karena mereka berdua tak mau menanyakan hal itu langsung pada Bintang.
Karena jujur, Dinda sendiri bingung bagaimana mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia mengetahui cukup banyak, atau lebih tepatnya lebih banyak dari siapa pun karena Bintang menceritakan segalanya pada Dinda dan tak pernah merahasiakan apa pun sejak mereka berteman.
“Gue nggak akan mengungkit di depan Bintang.” Zayan mencoba meyakinkan Dinda.
Dibalas anggukan oleh Iqbal, Dinda menarik nafas dalam – dalam berharap keduanya benar – benar tidak akan membicarakan hal itu pada Bintang secara langsung.
“Sejak gue tahu dia orang yang aneh, gue selalu tanya ke dia kenapa berbuat seperti itu, kenapa berbicara sendiri dan kenapa tiba – tiba histeris tak jelas seperti tadi. Gue menawarkan diri agar Bintang konsultasi sama saudara gue yang seorang psikiater...” Dinda menjeda kalimatnya.
Iqbal mengambil sebuah minuman asal – asalan dari tas bangku yang dia duduki dan memberikannya pada Dinda agar cerita itu kembali berlanjut karena rasa penasarannya sudah mendarah daging.
“Lalu?” tagih Zayan.
“Bintang mengidap skizofrenia. Dia selalu mengeluh perutnya sangat sakit dan gue pernah sekali antar dia ke rumah sakit, Dokter bilang pencernaan, kadar asam lambung, kondisi usus, semuanya baik. Itu hanya halusinasinya.”
_oOo_
Wanda datang sesaat setelah mendapatkan telepon dari sekolah tentang kondisi Bintang. Dinda yang sempat berpapasan menyapa. Meski tahu itu, Wanda terlihat tak bereaksi apa pun bahkan bersikap begitu santai dengan kondisi Bintang yang jelas tak baik – baik saja. Wanda bahkan sempat menanyakan parfum apa yang Dinda pakai karena sangat wangi.
Sesampainya di kelas, Zayan memberitahukan itu semua pada Zayan.
“Apa tanggapan lo tentang hal itu?” tanya Zayan pada Dinda.
“Ya aneh dong.”
“Gue pergi ke sana dulu.” Zayan bangkit dari duduknya dan pergi ke UKS.
Benar, ada Wanda di sana yang sedang berbicara dengan Bintang. Zayan tersenyum kecil dan berniat menemui ibunya Bintang sekedar menyapa karena bagaimana pun, mereka pernah bertemu dan saling berbicara sebelumnya.
“Bunda harus apa, Ta?” ucap Wanda, “kalau terus – terusan begini, kamu membunuh Bunda dan Ayah secara perlahan!”
Zayan mengurungkan diri membuka pintu UKS saat mendengar kalimat itu dari Wanda. Meski tahu tak sopan, dia tetap berdiri di tempat untuk mendengarkan setidaknya lebih banyak agar tahu di mana masalah yang membuat Bintang mencoba melukai dirinya sendiri bahkan bukan hanya satu kali atau dua kali itu.
Wanda tampak menghela nafas panjang berkali – kali sambil memukul lengan Bintang seolah berusaha membuat Bintang sadar dari semua hal yang sudah dilakukannya selama ini.
“Katakan, sekarang mau kamu apa?” Wanda mengajukan pertanyaan.
“Tidak ada, Bunda.” Bintang menjawab dengan lemah.
“Kamu akan terus seperti ini? Selalu mengeluh sakit perut setiap malam, menangis, kemudian berteriak histeris bahkan berbicara sendiri. Kamu sudah tidak waras, Bintang!” Wanda mulai menaikkan nada bicaranya. “Kamu membuat semua orang tidak bisa istirahat dengan tenang. Kemudian di pagi hari tiba – tiba kamu bangun seolah tidak terjadi apa pun.”
Bisa Zayan rasakan kalau Wanda memang begitu lelah menghadapi kondisi Bintang. Zayan hanya tak menyangka kalau kondisi Bintang begitu parah sampai sebegitunya karena setiap kali bertemu dengan Bintang, Bintang adalah cewek yang aktif dan juga ceria.
“Maaf, Bunda. Bintang tidak bisa melawan apa yang Bintang dengar di telinga Bintang.”
“Lalu kenapa selalu histeris?”
“Tadi, Bintang merasa semua orang menatap ke arah Bintang. Tatapan mereka menakutkan seolah akan menyakiti Bintang.”
“Lalu dengan sayatan ini?”
Bintang terdiam lama. Dia menatap luka yang sudah dibalut di pergelangan tangannya itu. Memikirkan kembali bahwa itu adalah sayatan yang ke sebelas saat Bintang melihat benda tajam dan dalam kondisi sedang sendirian.
Dia bahkan menutupinya dengan gelang kain agar mengurangi bisikan buruk itu, tapi ternyata semua gagal. Bahkan akhir – akhir ini dia mendapatkan bisikan – bisikan yang lebih mengerikan dari sekedar menyakiti dirinya sendiri. Dia juga kerap kali mendapat bisikan untuk melukai orang yang ada di sampingnya.
“Kamu mau sembuh ‘kan?” tanya Wanda dibalas anggukan kuat dari Bintang.
“Aku mau sembuh.” Bintang tersenyum antusias.
Wanda menarik nafas. “Bunda akan menitipkan kamu di rumah sakit jiwa.” [ ]