“Nggak mungkin!” tegas Dinda ketika mendengar cerita dari Bintang tentang apa yang terjadi tadi dan juga bagaimana rupa seorang Zayan.
“Serius, dia beneran kayak tokoh – tokoh manhwa gitu. Sumpah, pas lihat rasanya hati gue bergejolak sambil bilang kalau dia calon suami gue!” Bintang menceritakannya dengan wajah berbunga – bunga.
Dinda hanya ikut senang karena akhirnya setelah sekian lama, Bintang bisa sedikit mengagumi seseorang. Biasnya, Bintang hanya menghabiskan waktu untuk mengagumi poster – poster anime atau manhwa kesukaannya meski tidak pernah menonton animenya secara langsung. Karena memang Bintang gila dengan visual gambar - gambar itu saja.
Namun tetap saja bagi Dinda selera Bintang sedikit aneh karena lebih tertarik dengan Zayan ketimbang Iqbal yang jelas – jelas begitu tampan apalagi saat tersenyum menunjukkan gigi gingsulnya yang membuatnya terlihat sangat manis.
“Lo suka sama Zayan?” tanya Dinda memastikan.
Bintang langsung terdiam dan menoleh pada Dinda yang menatapnya dengan tatapan menggoda. Dinda pasti sedang mencoba mencari tahu agar nantinya ada yang sedikit berubah dari kehidupan Bintang meskipun hanya sedikit.
“Nggak. Gue cuman merasa tokoh kesukaan gue terealisasikan gitu,” balasnya cepat.
“Oh ya? Tapi kalau jadi pacarnya berarti mau ‘kan?”
“Mungkin.”
Beberapa saat hening kemudian keduanya tertawa. Bintang tahu betul dirinya yang tidak memiliki keistimewaan apa – apa tidak akan mungkin disukai balik oleh cowok seperti Zayan dan Iqbal.
Pak Budi pun masuk bersama dengan Zayan. Bintang yang menyadari itu langsung menundukkan kepalanya bersembunyi di balik punggung yang duduk di depannya. Dia merasa sangat malu jika saja Zayan melihatnya dan mengingatkannya pada kejadian tadi pagi juga saat di UKS. Bagaimana pun, Risma sudah melihat tubuh Zayan meski hanya bagian atasnya saja.
“Perkenalkan diri kamu, Zayan!” perintah Pak Budi.
“Hai, aku Ardias Zayan Fairuz. Panggil saja Zay.” Dia memperkenalkan dirinya dengan singkat.
“Selamat datang di kelas XI – Bahasa 3, Zay. Silakan duduk di bangku yang kosong.”
Zayan menurut. Dia memilih bangku kosong di dekat jendela baris ketiga yang berarti jarak itu cukup jauh dari bangku Bintang yang ada di ujung dekat dengan pintu keluar. Setiap kelas memang memiliki dua sisi pintu untuk masuk dan keluar kelas, jadi anak – anak tidak terlalu sungkan ketika izin ke toilet dan harus lewat di depan meja guru.
Pak Budi memulai pembelajaran Bahasa Inggris. Semua tampak mendengarkan kecuali Bintang yang sesekali melirik ke aras Zayan hanya untuk menggambar wajah cowok itu di bukunya.
Sampai saat sudah setengah jadi, tinggal bagian mata dan juga hidung, dia menoleh pada Zayan yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya. Membuatnya langsung memalingkan wajahnya ke depan pura – pura mendengarkan penjelasan Pak Budi. Dia rasa, tatapan Zayan tadi terlalu mengerikan. Mungkin cowok itu marah karena Bintang mengintip tadi?
Perlahan dia kembali menoleh dan mendapati Zayan yang menyandarkan kepalanya di meja. Sementara kedua matanya terpejam.
“Dinda!” panggil Bintang mencolek Dinda yang duduk di sampingnya.
Bintang menoleh, “Apa?” tanyanya.
Bintang menunjuk pada bangku Zayan. Dinda hanya tersenyum kecil senang melihat Bintang sepertinya begitu menikmati ketertarikannya pada Zayan. Tak masalah jika menjadi orang pintar, tidur di kelas pun tak mendapatkan teguran dari guru.
“Dia pemalas,” bisik Dinda.
“Nggak papa yang penting cakep.” Bintang terkekeh pelan diikuti Dinda.
“Yang penting nggak tinggal kelas,” sindir Dinda terkekeh pelan meledek Bintang yang seketika manyun.
Kelas berlangsung dengan cepat dan bel istirahat pun berbunyi. Anak – anak mulai berhamburan keluar kelas menyerbu kantin. Sementara Bintang dan Dinda masih menyalin catatan di papan tulis. Mereka sibuk berbicara sehingga tak sadar kalau begitu banyak yang Pak Budi catat di papan tulis.
Dinda menyelesaikannya lebih dulu dan dia pun segera pergi. Tinggallah Bintang yang mulai merasa lelah dengan catatannya. Dia tidak suka pelajaran dengan banyak mencatat. Dia hanya suka pelajaran seni saja. Tidak ada yang lain.
“Woi!”
Bintang menoleh terkejut pada Zayan yang menatapnya masih dengan menyandarkan kepalanya di meja. Dia menatap ke sekeliling dan ternyata mereka di kelas hanya berdua saja. Itu mendebarkan.
“Gue?” tanya Bintang menunjuk dirinya.
Zayan mengangkat kepalanya dan mengangguk. Dia melambaikan tangannya meminta agar Bintang mendekat. Seketika Bintang merasa takut kalau Zayan akan benar – benar memarahinya karena kejadian di UKS tadi.
Bintang bangkit bukan untuk mendekat. Melainkan dia berlari keluar kelas ketakutan. Itu karena Zayan menatapnya dengan cara aneh dan sedikit berbicara namun rasanya seluruh kelas terasa dingin membuat Bintang semakin merinding apalagi dengan imajinasinya yang dia buat mengikuti komik – komik yang biasa dia baca.
Melihat itu, Zayan hanya diam di tempat dan melanjutkan tidurnya. Di tangannya masih menggenggam kalung yang sepertinya milik Bintang. Dia memanggil cewek itu memang karena kalung yang dia temukan setelah Bintang jatuh tadi. Bukan untuk melakukan sesuatu yang buruk.
Beberapa saat kemudian, Bintang kembali mengintip ke dalam kelas. Dia merasa bersalah karena mengabaikan Zayan tadi. Mungkin satu – satunya kesempatan berbicara dengan Zayan adalah saat ini. Di mana dia harus meminta maaf karena kejadian di UKS.
Bukan hanya pada Zayan, dia juga harus meminta maaf pada Iqbal nanti setelah tahu di mana kelas cowok satu itu.
Bintang mendekati Zayan dan menyentuh rambut halus cowok itu beberapa kali berniat membangunkan. Dia bingung bagaimana memanggil nama Zayan. Takutnya cowok itu malah berpikir kalau Bintang sok kenal sok dekat.
“Permisi,” ucap Bintang pelan.
Zayan membuka matanya dan menatap Bintang yang hanya menunduk tak berani balas menatap Zayan.
“Oh, gue mau –”
“Maaf soal yang di UKS. Janji nggak akan begitu lagi. Nanti gue juga minta maaf sama Iqbal!” sela Bintang berteriak sembari menundukkan kepalanya hingga bagian bokongnya ujung bangku di belakangnya.
Sakit sih, tapi dia tak mau Zayan melihat hal memalukan itu lagi sehingga dia mencoba menahannya.
Zayan justru terkejut karena cewek itu tiba – tiba berteriak seperti itu. Sampai dia juga tak bisa mengatakan apa pun bahkan lupa kalau dia berniat mengembalikan kalung milik cewek itu. Benar – benar cewek yang penuh semangat.
“O – oke.” Hanya itu yang keluar dari mulut Zayan.
Dia membaca nama cewek itu sesaat kemudian menganggukkan kepalanya. Dia sudah tahu siapa cewek itu setidaknya. Orang yang pertama kali dia lihat dan langsung membuat banyak masalah. Dia kembali mencoba terlelap tak peduli Bintang masih di sana atau tidak.
Bintang menyadari kalau sudah tak ada yang ingin Zayan katakan, jadi dia kembali ke bangkunya melanjutkan mencatat.
“Jadi benar kalau dia awalnya berniat marah?” gumam Bintang masih sambil berpikir keras alasan Zayan memanggilnya tadi. Setelah dia minta maaf, Zayan tak mengatakan apa pun, itu yang membuatnya berpikir seperti itu. Sesekali dia mengusap – usap pantatnya yang terkena bangku tadi.
Itu adalah sebuah musibah sebenarnya bagi Bintang. Tapi sebagian juga sesuatu yang manis karena dia bisa berbicara dengan Zayan untuk pertama kalinya. Atau mungkin satu – satunya dan tak akan pernah terjadi lagi setelah Zayan tahu bagaimana konyolnya dirinya.
Bintang ikut menyandarkan kepalanya menghadap dinding merenungi jika benar Zayan tidak akan berbicara dengannya lagi. Melihat wajah Zayan dari dekat benar – benar sesuatu yang sangat menyenangkan. Dia punya kulit yang bagus. Selain itu, bulu matanya yang cukup panjang membuat Bintang ingin terus menatap wajah itu.
“Benar – benar tipe gue banget. Sayang beda otak,” gumam Bintang melanjutkan gambarnya akhirnya setelah bisa melihat jelas bagian mata dan hidung Zayan.
“Itu gue?” tanya seseorang.
Bintang mendongak dan mendapati Zayan berdiri di samping bangkunya tanpa kacamatanya. Dia langsung menutup bukunya dan bangkit terkekeh pelan pada Zayan bingung. Sudah beberapa kali dia terciduk sama Zayan dan malunya sudah sampai ke ubun – ubun sampai wajahnya terasa panas bukan main.
“Anu, gue mau pergi dulu. Lapar,” katanya kembali berlari menghindari Zayan.
Zayan membuka lagi buku milik Bintang itu dan menatap gambarnya. Benar – benar mirip dengannya dan Zayan sadar akan itu. Siapa sangka ada yang berminat menggambar wajahnya terniat begitu.
“Bagus kok. Kenapa dia kabur? Gue ‘kan cuman mau kembaliin kalungnya,” gumam Zayan menatap kalung yang sejak tadi ada di genggamannya itu. Tiba – tiba saja bibirnya tertarik ke samping menunjukkan senyum tipisnya.
“Cewek unik,” lanjutnya. [ ]