TING TONG TENG TONG
“Kalau begitu, sekian dari pelajaran ini. Aku tak ingin menjadi guru yang mengatakan ‘bel tidak mengeluarkan kalian, aku yang mengeluarkan kalian.’ Jadi, jangan culik aku ke mobil untuk dipukuli, oke?” Pak Partiam merapikan buku di meja gurunya yang sebenarnya hanya terdiri dari secarik kertas murid nakal saat ia ngopi di 1 jam pertama.
Ujung kelingking menggaruk lubang telinga, guru kami menempelkan sisanya di bawah mejanya.
“Ewww.” Cemoohan satu kelas nyaring.
“Ehh? Tapi kami cukup menikmati pelajaran penyakit biologis menular dari organ reproduksi ini, Pak!” Badut kelas Rico bangkit sambil menunjukkan gambar hitam buram dari buku fotocopynya.
Gelak tawa dari seisi kelas mengikuti candaan receh ini.
“Heh, aku jujur saja. Kita 2 pihak ...” Ia menunjuk Rico. “Aku yang kalah modal kalau mau duduk 2 jam.”
“Begitulah zaman.” Ketua kelas Leo mengangguk-angguk.
Matahari terbenam melewati sudut kecil di antara kebun rindang, memantulkan cahayanya ke kepala guru olahraga dan biologi kami, membangkitkan senda gurau yang tadinya tertutup oleh semangat pulang ke rumah.
“Kalau begitu, kalian cepat pulang, oke? Aku tak mau lagi ada ibu-ibu yang datang ke kantor mengomel anaknya ke warnet.” Pak Partiam melambai-lambai keluar dari kelas kayu buyut, pintu dihantam hingga sebuah sekrup jatuh dari lubang kunci, sosok transparannya dari luar kaca jendela mengeluarkan asap rokok putih.
“Warnet sudah tak buka lagi pada jam segini, pak.”
“Oh, generasi kita memang beda, yah. Dasar.”
Meja kayu dan kaki besi yang kududuki memprotes dalam sakit, serpihan bubuk jatuh di sepatu saat mengemasi buku yang tersimpan di dalam laci. Teman sekelas di samping, seorang cewe cabe dan anak basket langsung duduk di meja dengan kancing seragam yang setengah terbuka, ujung celana pria dilipat, rok wanita ditarik sehingga memamerkan paha.
Gosip percintaan yang jujur membuat bulu kuduk berdiri dengan panggilan mesra yang menjijikkan sontak membuatku langsung angkat badan, menginjak sapu dari petugas piket yang poni rambutnya menutupi seluruh matanya.
“Ups, maaf, Angel.” Aku cepat-cepat menyingkir, hati-hati untuk tak menginjak kotoran yang telah dikumpulkannya.
“Tak apa, West.” Tangannya cekatan memasukkan sampah ke sekop, tanpa ampun menganggu momen intim kedua pasangan.
Ia memukul-mukul ujung dinding dengan kemoceng hasil sodoran regu piket lainnya. “Jadwal piketmu bukan hari ini, kan?!”
“Oi, kami masih disini!” Hugo, si forward tim basket kesayangan sekolah setengah berteriak.
“Pikirkan timing dong!” Sherin, si cabe dengan gang emak-emak sebesar OSIS sekolah bahkan mencoba menahan gerakan dari kemocengnya.
“Huh?! Pikirkan timing?!” Angel sengaja memukul-mukul ujung alat bulu ayamnya, debu yang menggumpal terlepas di udara, membuat dua sejoli batuk-batuk, sontak reflek pergi.
“Awas jika kalian berani begini lagi di depan mataku!” Angel berteriak.
Yah, semua ini tak berpengaruh terhadap jomblo akut satu ini.
Ia menoleh ke belakang, aku malah menelan ludah, takut dimandikan debu.
“Jadi, kapan waktu piketmu?” Ekspresi marah disimpan, balik kepada kelembutan yang seharusnya ditunjukkan seorang wanita seumuran SMA.
Aku mengangguk. “3 hari lagi.”
“Denganku, kan?” Laki-laki setahun lebih tua dariku, Daniel, merangkulku dari belakang, hampir membuatku kembali menginjak sapu Angel.
“Oh, ya?”
“Ya.” Ponsel dengan kecerahan luar biasa tinggi yang sedang membuka mesin pencari ditunjukkan kepadaku.
Isinya sekumpulan teks tak masuk akal yang dikemas dengan tak rapi.
“Hei! Kau menginjak permen karet di lantai!” Angel meneriaki Daniel.
“Benaran?!” Daniel dengan cepat melompat-lompat ke luar, komat-kamit mulutnya berusaha mencari air untuk membersihkan telapak sepatunya.
Ponselnya sendiri tertinggal di genggamanku.
“Apa isinya?” Senyum jahat selesai, Angel menghampiriku.
Aku menyodorinya ponsel cahaya ilahi tersebut.
Angel reflek melihat ke luar jendela. “WOAH! Kau pengen membuatku buta pasti?! Turunkan, turunkan.”
Pandangannya ke luar menangkap perhatianku.
Kota yang dibasuh dengan pemandangan matahari terbenam, jalanan akhir pekan yang berlomba-lomba mencapai garis selesai sebelum bulan purnama muncul. Gedung pencakar langit yang sekarang telah nihil pemilik, ditinggalkan terbengkalai karena investor sudah tak berminat. Kantor yang semakin berkurang setiap harinya, migrasi anak muda ke kota besar lainnya seiring meledaknya populasi orang tua.
Hutan yang tumbuh di bawah gunung semakin melebat tanpa pemotongan kayu liar, garis pantai semakin lama semakin mengikis daratan pasir coklat.
Kota ini sudah banyak berubah, tapi masih tetap mengeluarkan hormon suram.
Kota mati?
Sebuah jari tanpa kutik kuku memijit dahiku dengan pelan.
“Kau bengong lagi.” Hanya Angel, dengan wajah yang mencemaskan seseorang.
Seseorangnya adalah aku.
Mungkin aku di matanya tampak seperti seseorang yang sedang menunggu kepastian nasib keluarganya di ruang gawat darurat.
“Begini-begini dengan sifat kasarku, aku juga orang yang telah mengenalmu dari kecil, kau tahu? Jika ada uneg-uneg apapun, kau bisa cerita, oke?”
Aku mengangguk pelan, tak dapat menghapus wajah setengah murungnya.
Cuaca hari ini, dengan matahari dan awannya, dengan suhu dan suasananya membuat kepikiran tentang hari itu saja. Tapi bagaimanapun, orang yang telah memutuskan menghilang tak akan kembali hanya karena ada orang yang mengharapkannya kembali.
Aku mengangkat telepon Daniel dan menurunkan kecerahannya, menunjukkannya ke Angel dalam jarak nyaman baca.
Elevator Game Rules
The first requirement to play the elevator game is that you must play alone, and you must be in a building with at least ten floors and an elevator that can reach all ten floors. It doesn’t matter what time of day you start the game, as long as you are the only person on the elevator. You must start over if other people get on the elevator at any point, with one exception that is covered in the rules.
Board the elevator on the first floor and press the button to go to the fourth floor.
When the elevator gets to the fourth floor, do not get off. Stay in the elevator and press the button to go to the second floor.
When the elevator reaches the second floor, again, do not get off. Press the button to go to the sixth floor.
At the sixth floor, stay in the elevator and press the button to go to the second floor.
When you reach the second floor, stay on the elevator and press the button to go to the tenth floor. At this point, some people claim to have heard a voice calling out to them. It’s important that you not answer or acknowledge the voice in any way.
When the elevator reaches the tenth floor, stay on and press the button to go to the fifth floor.
On the fifth floor, a woman may board the elevator. Some people say that she is a stranger; others claim that she bears a resemblance to somebody in their past. Either way, do not acknowledge her in any way; do not even look at her. The woman is not human. Some claim that if you acknowledge her, she’ll take you straight to another world with no chance of escape.
Press the button to go to the first floor. If the car descends to the first floor, the ritual has failed, and you need to leave immediately. Do not look back or speak; just exit the building and don’t look back. However, if the elevator ascends, the ritual has succeeded, and the car will rise to the tenth floor. This is your last chance to back out of the game. If you decide you don’t want to continue, press the button for any floor besides the first or tenth floors to cancel the game.
When you reach the tenth floor, you can choose to leave the elevator or stay on board. If you choose to exit, the woman who entered on the fifth floor may ask you where you’re going. If so, do not look at her or answer; just exit the elevator.
It’s said that at this point, you will find yourself in another world, sometimes called the “otherworld”, where electronics don’t work and everything is dark, save for a bright red cross that may be reflected in the windows. Do not lose sight of the elevator you arrived in; it’s the only one that can take you back.
If you didn’t leave the elevator, you can press the button to go to the first floor, wait for the elevator to descend, get out as soon as it reaches the first floor, then exit the building and return home without looking back or speaking at all.
If you left the elevator, you must use the elevator you arrived in and repeat the ritual: Go to floor 4, then floor 2, floor 6, floor 2, floor 10, floor 5, and then floor 1.
The elevator will begin to ascend to the tenth floor: You must press the button for any other floor to stop it before you pass the ninth floor. Then, descend to the first floor.
When you reach the first floor, do not exit until you check your surroundings carefully. If even the smallest detail seems off, you must stay in the elevator and repeat the ritual again until you are confident that you have safely returned to your own world. Once you are sure you are safe, you may exit the elevator and return home without talking or looking back at all.
Angel memelototiku layaknya aku orang bodah. “Aku tak akan membaca itu semua, kau tahu? Lagipula, aku juga tak bisa bahasa Inggris.”
“Hanya sebuah peraturan tentang permainan elevator. Semacam game mistis dengan nuansa horor, kurasa.”
“Oh. Daniel memang suka yang beginian.”
“Jangan lupa mengunci pintu, oke?” Ketua kelas melambai-lambai, membiarkan pintu terbuka sambil menghindar untuk memberi jalan pada Daniel.
Nafas engah-engah, tangan menunjukkan bekas gumpalan pink sambil menggoyang-goyangkannya. Kami reflek menjauh.
Aku menatap Angel. “Rupanya kau tak bercanda.”
“BUANG ITU!” Angel menarik roknya ke atas sembari menendang tangan Daniel, celana hitam memblokir pandangan tidak-tidak dari suhu mukaku yang naik.
“Hei, aku cuma ingin memperlihatkannya pada kalian.”
“Kami tahu, jadi cepat buang!” Angel berteriak.
Daniel menurut, membuka jendela lantai gedung sekolah kami sambil melemparkannya ke bawah, nyali beruangnya ciut seketika saat barang itu menempel di kepala plontos petugas satpam yang langsung memaki-maki, mencari sumber lemparannya.
“Oopsie.”
“BUANG KE TEMPAT SAMPAH!”
Sisa-sisa yang ada di tangannya langsung ditempelkan ke plastik yang disarungkan ke tong plastik, tutupnya dibanting.
Angel mendekat, Daniel sontak menjauh. Hanya ketika pihak pertama menyodorkan gel pembersih baru Daniel tersenyum senang, tangan digosokkan dengan antusias.
“Coba kau tiru West. Pendiam, suka bersih, dan tak berbuat onar kayak kau.”
“Hei, ini namanya keunikan karakter, oke?”
Keakraban teman masa kecil, dimana mereka senang berkelahi, dan aku menjadi penonton.
Game elevator ...
Mama menghilang di gedung kantornya yang juga punya elevator. Apa karena dia mengikuti ini? Tidak, dia selalu mengajarkan untuk tak percaya takhayul, jadi bodoh untuk mengasumsikan ia akan menyentuh barang semacam ini.
“Hei, Pak Supardi bentar lagi akan mengunci gerbang.” Jam sekolah mendetak ke arah angka 5, derap langkah besar yang diketahui semua orang yang pulang telat mendekat.
“Oke, kurasa pulang saja. Kita gencatan senjata, Angel.” Daniel dengan lincah menghindar dari pukulan Angel, mengangkat kedua tangan sebagai isyarat menyerah.
Angel menghela nafas, melengkapi Daniel yang menghimpit lenganku.
“Uhm, aku susah bergerak.”
“Tak apa!” Mereka sontak menyahut bersamaan.
Kemoceng dan sapu disimpan di loker besi, seember air dan pengepelnya diletakkan di samping, pintu dikunci. Gedung bekas kantor mama ini menitikkan setetes air dari langit-langit, terakhir direnovasi saat bangunan dialihfungsikan sebagai sekolah. Kipas penuh debu dicabut dari stop kontak, steker lampu dipencet padam.
Sama sekali tak ada petunjuk mengapa dan ke mana Mama menghilang. Sosok penyayang semacamnya memang sering dilanda stress, tapi ia tak mungkin meninggalkanku sendirian untuk hidup selama belasan tahun hanya dengan bermodalkan dana yatim piatu pemerintah dan kiriman biaya hidup dari paman bibi.
Apa dia masih di sini?
“Kami butuh kau jadi tameng. Kau pernah mengalahkan si Supardi, kan?” Daniel berbisik, sosok obesitas dengan kepala bekas permen karet semakin membesar di lorong kuning keemasan.
“Uhm, aku hanya meminta izin dengan baik-baik.”
“Itu namanya kemenangan.” Angel mendeklarasikan, diiyakan oleh Daniel.
Lapangan sepakbola sekolah yang tersuguh dari pandangan balkon berpengaman setengah meter sekarang sedang dijadikan lapangan parkir, seragam batik dari guru-guru satu per satu membawa kendaraan mereka pergi.
Gerbang ditutup setengah, jalan belakang yang mengarah ke kafe tetangga sebelah juga adalah jalan keluar yang valid.
Pria dalam pakaian biru kehitaman memelototi kami dengan pandangan sirik, sebelum langkah dihentikan, suaranya serak dan bau tembakau. “Oi, anak-anak.”
Angel membeku, tak ingin menoleh ke belakang. Daniel sendiri hanya nyengir-nyengir.
“Ya, pak?” Akhirnya, aku yang menjawab.
“Apa kalian melihat anak-anak nakal yang melakukan ini?” Pak Supardi menunjuk bekas permen karet di kepalanya.
“Tidak, pak. Kami daritadi sibuk piket dan baru selesai sekarang.”
Ia memelototi Daniel, Angel, kemudian aku.
Akhirnya mengangguk, tangannya melambai-lambai mengusir kami ke arah tangga turun. “Kalau begitu, cepat pulang. Aku tak ingin ada kabar anak hilang lagi di sekitar area ini.”
“A-anak hilang?” Angel tak sengaja bersuara, mulut dengan cepat ditutup.
“Ya, kalian tahu beberapa ratus meter di belakang kita ada sebuah SD, kan? Katanya ada laporan hilang dari orang tua anak-anak yang tak pulang. Katanya sedang bermain sesuatu dengan temannya.”
“Benaran?” Daniel menatapku.
“Mungkin benaran.” Aku menjawab.
“Hanya rumor, oke? Cepat pulang sana, hush hush.”
Punggung didorong ke arah berlawanan, Pak Supardi satu-satu mengecek ruangan yang telah dikunci rapat, mengomel dalam kata kasar yang tak jelas saat menyadari ada beberapa yang tak dikunci benar.
Cekrek.
Kamera mini sebesar telapak tangan Daniel dikeluarkannya, diam-diam memfoto sosok lucu petugas keamanan sekolah ini. Suara shutter yang tak dapat disembunyikan memancing perhatian Pak Supardi, cepat-cepat kuarahkan moncong lensanya ke arah matahari yang bersembunyi di belakang gedung pencakar langit.
“Apa kalian foto-foto saya, hah?!”
“Matahari, pak. Lagi indah-indahnya.” Keringat setetes jatuh di seragam putih Daniel.
Ia sendiri sedang mengetik sesuatu yang konyol.
Model rambut kotoran oleh satpam tercinta kita, Supardi Ramkus.
Pasti tak boleh ketahuan si satpam garang satu ini.
“Awas ketahuan saya kalian lagi motret saya. Hmph!” Pak Supardi menarik pintu geser kelas seberang kami, membantingnya kasar.
Kami cepat-cepat kabur.
Alternatif rute ke bawah kami, tangga keramik yang entah kenapa dipoles dengan sangat rapi hingga menjadi bahan ejekan dan vandalisme dipenuhi sampah. Bekas kemasan makanan, plastik teh es yang tak habis, menutupi baik rute ke lantai bawah maupun atas. Dinding putih yang beberapa bulan lalu masih bersih murni, kini telah dipenuhi bercak tangan dari mereka yang usil menggambar dengan cat dinding, warnanya merah kehitaman, simbol protes lambang sekolah yang tergantung di atasnya.
Elang coklat dalam status setengah berkarat seperti mengusir kami keluar.
Tombol elevator dipencet, kami cepat-cepat masuk.
Destinasi ... menuju atap.
“Daniel? Kita harusnya pulang. Mereka akan mengunci gerbangnya sebentar lagi.”
Daniel mengotak-ngatik pengaturan kameranya, mencoba memotret dengan kedipan cahaya putih silau di ruangan tertutup ini. Belum sempat melihat hasil, ia sudah mengangguk-ngangguk puas.
“Akan sayang jika pemandangan matahari terbenam paling indah sejagat raya ini kita lewati, betul, anggota-anggota dari gang siswa paling jahil di sekolah?” Daniel menoleh ke kami untuk konfirmasi.
Angel menggeleng-geleng kepala, begitu juga denganku.
“Awww, jangan begitu. Temani aku sebentar, oke? Hanya 10 menit, tak kurang tak lebih.”
Angel menyipitkan mata, mengedipkannya dua kali kepadaku.
Aku mengangguk pelan.
“Jika hanya 10 menit.” Angel bersandar ke dinding elevator, bungkus permen dibuka, bulatan makanan manis masuk melalui lidah, sampahnya dikantongi.
“Sip!”
“Minjam liat kameramu. Benar ini punya kualitas bagus?”
“Tentu!” Daniel dengan sigap membuka layar kameranya yang telah tertutup, gestur tangan yang merangkulku tandanya ia semangat dengan ketertarikanku di hobinya. “Bukan yang paling bagus di sebumi, tapi pasti yang terbagus di antara kalangan kita-kita anak SMA.”
Gambar diperlihatkan, berkas digital yang tertangkap adalah pintu baja elevator yang terbagi dalam 2 bagian. Kemudian, sesosok bayangan hitam yang tampak jatuh di lantai, kegelapan menyelimuti sehingga hampir seluruh pertengahan bagian bawah dari gambar adalah genangan hitam.
“WOAH!” Daniel berteriak nyaring, kamera hampir terbanting jatuh sebelum kutangkap.
“Hm? Apa, apa? Aib Daniel terbongkar? Ada gambar mesum di dalamnya?” Angel menyengir-nyengir sambil menyenggol kami berdua.
“Bukan! Ada hantu!” Daniel cepat-cepat kembali berdiri tegap.
“Hah?” Angel yang sedikit lebih rendah dari kami menjinjitkan badan untuk melihat.
“Tak ada apa-apa, kau tahu?”
“Tak mungkin tak ada apa-apa!” Daniel yang mencoba bernafas tenang menerima kameranya kembali dariku.
Berkedip dua kali, aku kembali ke layar yang sudah mati itu, membukanya kembali.
Hanya pintu baja elevator yang terbagi dalam 2 bagian, lalu bayangan hitam kami.
“Memang tak ada apa-apa. Mungkin kita salah lihat bayangan kita?”
Daniel menatapku, aku mengelus bahunya sekali.
“Mungkin.” Nafasnya dibuang keras, pintu elevator akhirnya berhenti di lantai 10.
“Kalian laki-laki bahkan lebih takut barang mistis dari aku yang seorang perempuan?”
“Kau cewe baja.” Kami mengatakannya dengan bersamaan.
“HUH?!”
“Uhm, lupakan.” Daniel mengangkat kedua tangannya lagi.
Kami berjalan keluar menyusuri koridor sempit yang hanya dibarengi satu jendela kotor yang penuh jaring laba-laba, kaki memanjat tangga semen yang terbengkalai, kunci pintu yang tertancap di lubangnya diputar Angel.
Aku yang paling terakhir naik langsung dibuat kagum dengan sinaran cahaya matahari terbenam yang hangat dan nyaman dilihat oleh mata telanjang di sisi tepiannya.
Daniel melompat-lompat riang gembira layaknya anak kecil yang baru pertama kali main hujan, tapi masih cukup berhati-hati untuk tak mendekat ke pengaman besi atap yang nampak rapuh.
Ia melambai-lambaikan tangan, mengajakku ke sisinya. “Foto bersama, West!”
“Kau tahu aku tak suka masuk dalam foto, kan?”
“Ayolah, sekali saja.”
Aku dengan pelan mendorong Angel pergi, mengambil kamera di tangannya. “Tolong temani dia, wahai penyelamatku.”
Angel menatapku dengan jijik, tapi tetap pergi.
Pose love diambil Daniel, ia malah dibalas oleh satu tangan jempol oleh Angel.
Sambil menahan tawa, aku menekan tombol potret dua sejoli yang bagian prianya tertolak.
Lagi-lagi bayangan hitam yang memenuhi pertengahan bawah dari foto. Sosoknya kali ini nampak lebih jelas, seperti wanita dalam pakaian kantor.
Aku menelan ludah, mengedipkan mata dua kali.
“West? Bagaimana hasilnya?” Daniel mendekatiku.
“Pasti jelek gara-gara ada kau.” Angel juga mendekatiku.
“Kau bohong. Aku adalah pria tertampan sedunia!”
Sinar kembali melewati retina, aku kembali memelototi foto yang barusan kuambil dengan serius, kelopak dibuka sebesar mungkin.
Bayangan hitam itu masih memenuhi pertengahan bawah dari foto ini, bahkan mungkin terdapat beberapa detail baru tak seperti foto di elevator tadi. Pembuluh darah di bagian mata yang memerah.
Satu kali terjadi kebetulan. Dua kali terjadi kebetulan yang parah.
“Mari kita lihat.” Tangan Daniel mengambil kamera di tanganku, ekspresi wajahnya normal, mungkin sedikit kecewa.
“Owh, kenapa kau harus memasang jempol di emoticon loveku, Angel?”
“Karena kau jijik.”
“Dan kau pelit.”
“Apa katamu?!”
Kejar-kejaran konyol kembali terjadi, meskipun daerah atap yang berbahaya membuat mereka mengurungkan niat dengan cepat.
Mereka ... tak melihat bayangan hitam itu.
Hanya aku seorang? Tapi di elevator tadi, Daniel juga dapat melihatnya. Fenomena mistis apa yang sedang terjadi ini ...
Ada kaitannya dengan kasus orang menghilang baru-baru ini? Dengan Mama?
Gebrakan nyaring dari pintu gerbang menghantam satu sama lain, tanda jelas bahwa kami harus kembali menyelinap dari kafe sebelah sekolah.
“Hei, gerbangnya sudah tutup.” Kepala mendongak ke atas, matahari sudah bersembunyi di balik awan. “Dan sebentar lagi di sini akan gelap gulita semuanya. Kita pulang.”
“Satu foto lagi?”
Perut keroncongan Angel yang berbunyi nyaring telah memberikan penolakan keras.
Ia memelototi kami dengan muka tak sabaran
“Oke.” Aku menekan tombol potret, yang ada di layar hanya gambar yang diambil seorang amatir tentang manusia bernama Daniel yang kecil, di bawah langit mendung yang dengan sekejap menggelap.
“Cepat pergi, oke?” Angel menarikku, hampir mengunci Daniel seorang diri di atap.
Daniel bergegas mengikuti kami menuruni tangga, lalu masuk ke elevator.
“Kita pulang, oke?! Tak ada lagi waktu main-main konyol semacam ini. Lagipula akan ada 3 presentasi besok, jadi aku harap kalian sudah mempelajarinya?” Angel menekan tombol menuju lantai 1.
“Oh, sial. Aku lupa. Mungkin saatnya untuk improvisasi dan menjadi maskot.”
Angel hanya menggeleng-geleng kepala. “Kau, West?”
“Sudah kupelajari semuanya, kok.”
“Oh, dasar anak rajin.”
“Tidak seperti kau, bajingan pemalas.” Angel menjulurkan lidahnya.
“Hei, itu kasar!” Satu tombol potret ditekan, suara flash terdengar, sosok Angel dengan muka aneh mungkin sebentar lagi akan tersebar di grup kelas.
“Hapus itu, woi!”
Angel yang berusaha menghapus foto langsung diamankan Daniel yang mengeluarkan baterai kameranya dan menyelipkannya ke saku bajunya.
Dasar pasangan masa depan ini.
Tapi, yang pasti ...
Tiga kali bukan lagi kebetulan.
Di foto itu, lagi-lagi ada secarik bayangan hitam. Di tepi atas foto, seperti ada sesuatu yang bergelantungan di sudut langit-langit elevator ini.
Kepalaku tak sadar mendongak ke atas. Tak ada apa-apa di sana.
Ludah tak sengaja tertelan.
Ada sesuatu yang ingin diperlihatkan kepadaku. Hanya kepadaku seorang.
Daniel hanya kebetulan bisa melihatnya, tapi target utamanya tetaplah aku.
Semacam makhluk halus tak kasat mata.
Mungkin harus coba mengunjunginya setelah ini. Peramal hebat, atau gadungan, Riselia Edgeward, kakak sepupuku.