“Bu Sarah pernah kecelakaan.” Andre manatap Gamma tanpa keraguan setitik pun. “Kehamilannya yang masih dalam hitungan minggu itu lenyap, beserta rahimnya. Juga gak lama, suaminya. Hilang. Lenyap. Mereka cerai karena Bu Sarah gak akan bisa punya anak lagi,” jelas Andre kemudian dengan kemantapan nada yang sama dengan caranya menatap.
Gamma masih diam, masih menunggu Andre menceritakan pada bagian mana yang membuat akhirnya tamu ini datang pada siang hari pertama awal tahun. Seperti sebuah desakan. Seperti keharusan.
“Lu tahu gua ini keponakan Bu Sarah. Satu-satunya,” tambah Andre lagi.
Gamma mengangguk sekali, meyakinkan pada Andre bahwa dia memang tahu dan bahwa Aruna pernah bercerita, “Ya.”
Lalu Andre menceritakan sebuah kisah dalam penggalan-penggalan dan Gamma diam mendengarkan.
Enam bulan setelah kecelakaan itu, suami Bu Sarah menceraikannya. Sudah hancur luar dalam, kini hidupnya semakin lebur, seakan-akan tubuh dan jiwanya telah mencair, tumpah ke tanah, dan dihisap oleh setiap butir tanah hingga hilang. Tapi, beruntungnya, saat itulah Aruna datang dalam hidupnya, tepat sebelum dia menghilang karena sudah meresap dengan sempurna pada tanah. Dan apa yang diceritakan Andre adalah sesuatu yang sama saat Gamma mendengarkan cerita Bu Sarah dulu, di ruangan lantai dua, saat pembukaan klinik empat tahun lalu. Tentang Aruna, tentang balon merah muda dan tentang Bu Sarah yang merasa kesedihan yang dialaminya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan kemalangan yang menimpa Aruna. Tidak lama setelah itu, ayah dan ibu Andre memutuskan pindah ke Tangerang untuk mencari peruntungan baru. Kepindahan itu dipicu oleh pemutusan kontrak kerja sepihak yang dialami ayahnya di sebuah pabrik sandal jepit di kota lain di Pulau Jawa. Pabrik tersebut mengalami kerugian besar, sehingga banyak karyawan yang di-PHK tanpa pesangon yang layak. Di tengah situasi sulit itu, Bu Sarah, yang bekerja di Dinas Sosial, segera mengandalkan jaringannya. Berkat relasi yang luas, ia bisa mencarikan pekerjaan untuk adiknya dengan cepat. Tes pekerjaan yang dilakukan hanyalah formalitas belaka. Karena tahu bahwa ia tidak akan bisa memiliki anak kandung, Bu Sarah hanya bisa melimpahkan kerinduan terhadap anak dan menyalurkan sifat keibuannya pada satu-satunya keponakan, Andre, yang saat itu masih berusia lima tahun. Setiap minggu, Bu Sarah akan datang paling tidak tiga kali untuk bermain dengan Andre. Hadirnya Andre membawa perubahan besar dalam hidupnya. Perlahan-lahan, Bu Sarah mulai pulih dan kebahagiaan kembali terpancar dari wajahnya. Hal ini juga disadari oleh adiknya, ayah Andre, dan juga istrinya, ibu Andre, hingga mereka berdua akhirnya mengizinkan anak mereka untuk tinggal bersama Bu Sarah hingga Andre tamat SD.
“Gua pulang sekolah, ikut tante gua ke kantor. Kalau ada kunjungan ke panti, gua selalu ikut. Begitulah gua kenal Aruna. Kami juga akhirnya satu sekolah. Kami berteman baik, terlebih tante gua punya perhatian khusus ke Aruna,” Andre melirik Tyas yang sebelumnya dianggap tidak ada, kini Tyas tampak sedikit kembali pada warna aslinya, dia sudah tidak serupa benda, “yah, lu tahu sendiri kalau Aruna itu baik, dia cantik, juga pinter,” kata Andre lagi, mencoba mengabaikan Tyas dan kembali pada pendirian yang sepertinya sudah dipersiapkan, sambil mengisyaratkan apakah boleh kopi di meja ini dia minum.
Gamma mengangguk dan mempersilahkan tamunya minum. Dia dengan sengaja menahan diri untuk tidak memberikan komentar mengenai pujian Andre tentang mantan kekasihnya yang baik, cantik, dan pintar, sekalipun dalam hati dia setujui. Sebagai seorang suami, Gamma merasa perlu menjaga harga diri dan perasaan istrinya, Tyas, yang berada di ruangan itu, persis duduk bersisian dengannya hingga dia memilih untuk tetap tenang dan tidak memberikan respons berlebihan.
Andre sudah minum dan cangkir yang kembali diletakkannya itu sedikit berdenting dengan piring alasnya. Gamma melihat kopi itu telah disesap setengah yang menyisakan serbuk-serbuk hitam yang menempel pada tepian atasnya.
“Bu Sarah pengen gua nikah sama Aruna untuk ngasih dia cucu yang akan meneruskan kliniknya,” ucap Andre segera setelah minum.
Gamma ingin mengatakan bahwa ini sungguh tidak ada lagi sangkut-paut dengan dirinya. Gamma sendiri sibuk bertanya-tanya kenapa tamu ini menjelaskan sesuatu yang sebagian besar dia sudah tahu.
Apa tidak bisa ke inti cerita saja?
Apa memang harus sesuai urutan?
Begitu pikirnya.
Meskipun begitu, dia memilih untuk tetap sabar. Sekaligus menjaga sopan santun di hadapan tamunya untuk tetap diam mendengarkan.
Tyas, menoleh kepada Gamma. Pada wajahnya, pada setiap ekspresi mata, hidung dan mulutnya, sangat jelas tergambarkan apa yang disebut kesusahan hati. Gamma menangkap maksud istrinya yang menatap kepadanya cukup lama, seolah berkata, pantaskah aku mendengarkan ini? Bolehkah? Apa sebaiknya aku pergi sebelum cerita ini berlanjut?
Tyas merasakan tangan Gamma menangkup kepada punggung tangannya. Tangan yang biasanya selalu hangat itu kini seperti baru saja memegang sebuah gelas kaca yang disimpan di kulkas: dingin dan sedikit lembab. Tyas tahu, Gamma tetap ingin dia duduk di sana, Tyas tahu bahwa Gamma menahannya, juga dia tahu bahwa dia dianggap benar-benar ada, tak serupa benda. Dan karena itu, Tyas merasa lega, setidaknya dia merasa suaminya benar-benar bertindak sebagai suami, bukan seorang dirinya yang lain –laki-laki dengan mantan kekasih terkasih.
Amplop cokelat di meja segera diraih Andre, dia menggerakkan tangannya berputar-putar memegang tali merah amplop untuk membukanya. Walaupun Andre terlihat bergerak dengan kecepatan wajar, bagi Gamma dan Tyas waktu-waktu yang Andre gunakan untuk memutar benang itu sama saja seperti waktu-waktu yang mereka lalui saat pulang di malam tahun baru: lama dan meresahkan. Tyas semakin tidak sabar, keringat mulai bercucuran dari dahi yang dinginnya sama dengan tangan Gamma. Dia mengira-ngira, apakah isi amplop itu benar untuk diperlihatkan kepada kami si pasangan suami-istri, atau jangan-jangan, selayaknya atmosfer yang telah diciptakan si tamu sedari awal bahwa situasi ini hanya ada untuk mereka berdua, maka isi amplop itu juga hanya dipersembahkan untuk mereka saja? Seribut-ributnya bagai gemuruh isi benak Tyas, dia berusaha untuk tenang. Juga pada raut dan sikapnya dia tampak berusaha menunjukkan keberadaanya. Dia tegaskan wajahnya, dia tegapkan duduknya. Dia harus menunjukkan bahwa rumah ini adalah daerah otorisasinya, bahwa tamu di hadapannya ini harus bisa bersikap baik jika ingin tetap menyelesaikan misinya di rumah yang dia kuasai sepenuhnya.
“Ini,” ujar Andre saat tangannya masuk ke dalam amplop yang sudah terbuka itu, “lu tahu ini. Aruna bilang ini punya lu.”
Andre memegang sebuah buku dengan sampul kulit cokelat yang membuat Gamma menatap hanya kepada buku itu saja. Mata Gamma yang terbuka lebar kelopaknya itu, bergerak ke arah buku itu berpindah, dari tangan Andre kembali ke meja, kali ini Andre mendorongnya sedikit ke arah Gamma, dan mengetuknya dua kali seolah menginginkan Gamma hanya fokus pada buku itu. Benar, itu adalah buku agenda milik Gamma yang telah dia buang bertahun-tahun lalu. Buku dengan segala catatan cita-citanya, juga buku yang hanya memiliki satu nama perempuan saja pada lembaran-lembarannya. Nama seorang perempuan yang telah membuatnya mencatat segala sikap dan tindakannya, untuk menguraikan bagaimana caranya mendapatkan hati perempuan tersebut.
Gamma mulai bernapas berat. Dia yakin dia sendiri telah membuang buku itu ketika semua harapan yang ditulisnya menguap bersama api dan asap.
“Ya. Ini buku catatan gua,” ujar Gamma. Suaranya mulai terdengar padat. Padat yang tanggung. Seperti suara yang menahan kesedihan, tapi juga terdengar kecewa, menyesal dan entah bagaimana dia sendiri merasa sulit karenanya. Dia bahkan berdeham berkali-kali untuk menyamarkan gundah. Dia ingin segera mengambil buku itu, tapi dia paham tindakan itu sesuatu yang salah. Kurang tepat. Tangan kanannya yang bebas itu dia biarkan tergeletak saja pada sofa. Lantas dia hanya bisa menatap buku itu lama, dan menduga-duga bagaimana bisa buku yang telah dia buang lama ternyata ada pada Aruna. Kerut di antara alisnya menandakan dia tengah keras mengingat. Tersadar akan sesuatu, wajahnya mulai kendur. Dia ingat, dia menyesap seduhan jahe madu setelah mandi dengan menatap tong sampah yang sudah kosong, dia pikir Aruna sudah membuang seluruhnya. Namun dia salah, Aruna menyimpan bukunya. Dan Aruna tidak mengatakan apa-apa. Entah karena status buku itu sudah menjadi sampah lantas Aruna, bahkan siapa saja yang menemukannya bebas memiliki buku itu, atau Aruna memang akan memberitahukannya tapi karena segalanya berjalan tidak baik saat itu lantas dia lupa. Entahlah. Entah yang mana. Gamma telah lelah menduga-duga, juga telah kehilangan minat untuk berprasangka. Kemudian dia menyadari bahwa dia takut perasaannya diseret paksa kembali pada tahun-tahun lampau.
“Buku itu, mirip sama buku lu yang hitam, kan?” pertanyaan Andre yang satu ini berhasil menyita perhatian Gamma. Dia menatap Andre dengan raut bertanya-tanya. Yang ditatap hanya diam dengan kaku, seolah dengan kuat menahan kalimat berikutnya yang tengah menendang-nendang ujung lidahnya. Kacamata titanium Andre berkilap-kilap membingkai matanya yang menyorot tajam.
“Gimana lu bisa tahu?” tanya Gamma sambil mengernyit tidak hanya pada dahi, tapi seluruh wajahnya.
“Gua nemenin Aruna nganter buku itu yang ketinggalan di rumah sakit,” kata Andre dengan tenang namun matanya tetap tegang, “Ya. Gua dan Aruna pernah ke kost lu yang di Duren Sawit,” kata Andre buru-buru menghentikan perkataan yang akan keluar dari mulut Gamma, membuatnya mengatupkan mulut, sebab pertanyaannya dijawab segera.
“Dia mundur, Gam. Dia denger kalian berdua ngomong serius di kamar. Dia … waktu itu udah habis harapannya,” lanjut Andre lagi.
“Harapan apa? Maksud lu apa?” tanya Gamma segera dengan kesabaran memudar. Dia kini melepas tangkupan tangannya dari tangan Tyas dan mengepalkan kedua tangannya di atas paha dengan kuat.
Andre manatap Tyas lagi. Kini Tyas sadar bahwa tidak ada gunanya menegaskan siapa dia di ruangan ini. Mau bagaimanapun kekuatan yang ditunjukkannya atas rumah ini, nyatanya tetap dia yang harus menabahkan hati dan memilih apakah tetap berada di sini atau pergi dari hadapan dua lelaki ini.
“Mas? Aku … kayaknya ke dapur aja,” Tyas berbisik kepada Gamma dengan suara yang sedikit serak, juga tampak sedih bukan main. Dia merasa kecil dan tersingkir, seperti seseorang yang hanya hadir untuk menyaksikan, bukan untuk menjadi bagian dari apa yang terjadi. Tidak penting. Terlebih ini adalah kisah lama dimana dulu dia jauh dalam lingkaran itu. Tak tersentuh.
Gamma yang tahu harus berbuat sesuatu terhadap Tyas, tapi belum tahu sesuatu itu apa, hanya bisa mengambil tangan Tyas dan kembali menggenggamnya di atas pahanya. Kuat.
Melihat itu Andre memalingkan wajah dan seolah tidak terlalu senang dengan apa yang dilihatnya. Gamma yang biasanya mampu menahan diri, kini tak lagi bisa menutupi kekesalannya. Dengan nada yang tegas dan sedikit keras, dia memangkas situasi, “Keinginan Bu Sarah tercapai. Lu sama Aruna udah punya anak, udah ngasih Bu Sarah cucu. Kalian juga hidup dengan baik, dengan layak,” suaranya semakin dingin saat dia melanjutkan, “Gua gak lihat satupun masalah di sini. Kenapa kalian yang kembalikan buku itu, kenapa lu bawa buku ini, kenapa lu cerita hal-hal yang kebanyakan gua udah pahami. Kalau memang ada yang harus gua tahu, segera, gak perlu kepanjangan intro.”
“Anak lu,” sahut Andre segera.
“Maksud lu?” tanya Gamma dengan penuh kecurigaan.
Andre tersenyum, kini senyumnya seperti seorang kawan, “Lu punya anak, Gam. Itu anak lu dan Aruna.”
Mendengar itu, Gamma berdiri segera dan merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat. Tiba-tiba dia terlihat pucat dan juga berkeringat.
“Alpha. Alpha Arutama,” Andre mengulangi dengan tegas, namun kali ini dengan nada yang lebih lembut, karena dengan cepat menyadari dampak dari kata-katanya terhadap Gamma. Dia tidak boleh gegabah dan harus tetap bisa mengendalikan situasi agar Gamma tetap bisa mendengar dengan baik. “Gua dan Aruna gak pernah nikah,” Andre menambahkan, membuat situasi semakin jelas namun juga semakin tidak terduga.
Gamma terbelalak, tidak mampu lagi menutupi bagaimana berita ini menghantam dirinya. “Jadi benar, Alpha…,” bisik Gamma pelan, seakan hanya berbicara kepada dirinya sendiri. Hatinya mendesir dengan campuran emosi yang tak ternamai, apakah suatu kesedihan, kebahagian atau justru kepiluan hati. Namun yang Gamma tahu pasti, dia digulung oleh kabut rasa bersalah yang tebal. Terlebih sesuatu pada nama Alpha telah mengingatkannya pada kenangan lama.
Gamma mengusap-usap wajah. Dia menggigit sendiri tangan kanannya yang mengepal, juga berjalan memutari sofa yang sedari tadi didudukinya, bolak balik sepanjang sofa itu dengan tatapan yang emosional, mencerminkan dirinya yang terjebak dalam sebuah kisah yang membingungkan juga mengejutkan. Dia juga mendengar Andre yang kembali bercerita.
Aruna, pada malam terakhir mereka bersama, terbangun dan buru-buru kembali ke kamar karena terlambat dinas. Saat membuka pintu, dia terkejut melihat Bu Sarah, yang entah sejak kapan, duduk di kasurnya dengan tatapan berang. Bu Sarah, mengetahui bahwa Aruna baru saja keluar dari kamar Gamma dan juga tengah mengenakan kaos pria, tidak bisa menahan amarahnya. Dengan murka, Bu Sarah menampar dan memukul Aruna hingga gadis itu jatuh ke lantai. Aruna, dengan sisa tenaga yang ada, mencoba menahan kaki Bu Sarah yang akan melangkah keluar menuju kamar Gamma. Dia berusaha mencegah Bu Sarah melakukan hal yang sama kepada Gamma—mungkin dengan tindakan yang lebih kasar dan vandal, seperti berkata kurang ajar atau membuat keributan yang akan mempermalukan Gamma dan juga keluarganya. Aruna dengan menangis, memohon kepada Bu Sarah, memelas dan mengemis agar seluruh kemarahannya dilimpahkan pada dirinya saja. Maka benar, mungkin Bu Sarah semakin naik pitam karena tahu Aruna justru melindungi Gamma, hingga rela menerima segala penderitaan. Lantas Bu Sarah kembali menampar Aruna. Pagi itu juga, Aruna dipaksa ikut bersama Bu Sarah pulang ke Tangerang
“Saat itu, dia masih punya dua hari terakhir masa dinasnya. Karena pergi gitu aja, dia di blacklist dari rumah sakit. Dia gak diterima lagi bekerja bahkan setelah tahun-tahun berikutnya,” jelas Andre lagi.
Dia menghabiskan kopinya sebelum melanjutkan cerita.
Aruna dibawa kembali ke rumah Bu Sarah dan dikurung di kamarnya. Tas selempang, satu-satunya barang yang sempat dibawanya, disita oleh Bu Sarah, termasuk handphone-nya. Aruna juga dilarang memiliki akses ke laptop atau komputer—intinya, dia tidak diizinkan berkomunikasi dengan siapapun. Dia bahkan tidak diizinkan membantu seorang pembantu memasak atau membersihkan rumah, seperti yang biasa dia lakukan. Pembantu itu justru ketakutan jika Aruna keluar kamar. Dia akan meminta Aruna masuk kembali, dan Aruna, gadis yang baik hati, tidak ingin menyeret orang lain dalam masalahnya, hanya menuruti. Dia hanya akan keluar untuk mandi. Begitu terus hingga Andre datang pada Minggu siang, seminggu setelahnya.
“Gua, yang baru sampai, langsung disambut Bu Sarah dengan cerita kekecewaannya terhadap Aruna. Anehnya, dan ini yang paling ngebuat gua yakin kalau tante gua itu beneran anggap Aruna anak, dia gak cerita kalau …,” Andre menatap Tyas yang kini wajahnya basah dan matanya memerah, “kalau malam itu lu tidur sama Aruna. Tante gua cuma bilang kalau Aruna mencintai orang lain bahkan setelah dia larang sejak lama. Dan dia kecewa karena itu bisa menghambat pernikahan kami. Gimana juga, kayaknya Bu Sarah masih menjaga harga diri Aruna.”
Gamma, yang semakin lemah dan juga kebingungan, tanpa daya kembali duduk di sofa. Dia menoleh kepada istrinya yang menunduk bertopang dahi.
Dia ingin merangkulnya tapi entah kenapa tidak bisa.
“Aruna dipanggil. Kami bertiga akhirnya duduk di ruangan yang sama. Dia banyak diam. Gua ditanyain, kapan gua bisa nikahin Aruna. Gua tegas nolak. Saat itu Aruna langsung ngelihat gua. Gua tahu, dia menyimpan senyum. Dia senang karena gua nolak. Tapi tante gua tetap maksa. Gua dipaksa jawab alasan gua nolak. Gua waktu itu gak jujur. Gua belum berani ngomong yang sebenarnya ke tante sendiri kalau gua … gua …,” Andre membersihkan tenggorokan, “belok.”
Gamma menatap Andre dengan ekspresi tercengang luar biasa. “Hah? Jadi lu...,” ucapnya setengah tidak percaya, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Andre. Ruangan itu tiba-tiba terasa hening dan dingin.
“Ya. Dan Aruna tahu sejak lama. Kami sama-sama merahasiakan itu. Terlebih saat dia bilang dia punya pacar. Kami memiliki rahasia yang harus kami jaga bersama dari tante gua. Kami selayaknya saudara. Gak pernah lebih dari itu. Aruna berharap gua bisa jujur suatu saat ke Bu Sarah kalau Bu Sarah tetap maksa kami nikah. Tapi sampai saat itu gua gak bisa. Gua malu kalau sampai akhirnya orang tua gua tahu, terlebih ke orang yang udah berjasa untuk keluarga gua. Juga gua khawatir ini akan mengguncang jiwa tante gua lagi dan dia drop kayak dulu lagi.”
Tyas langsung menutup mulutnya yang mungkin ternganga, sedangkan Gamma meremas rambutnya sendiri. Dia tampak kebingungan mencari kata-kata.
“Aruna gak sekali dua kali maksa gua buat ngaku aja ke Bu Sarah supaya kami gagal nikah. Dia sampai marah, kami sampai bertengkar hebat. Lu pernah lihat dulu di kost, di lorong. Kami lagi ribut, lu datang. Itu. Itu Aruna lagi maksa gua buat ngaku aja karena kami sama-sama tahu itu alasan yang kuat untuk gak jadi nikah. Bahkan gua pernah janjiin buat ngaku. Tapi, ya itu tadi. Gua gak sanggup. Gua tahu ini aib dan gua belum siap menanggung semua akibatnya.” Andre menjelaskan lagi, kali ini sedikit terbata-bata dan suaranya terdengar parau.
Gamma memijat-mijat pelipisnya, dia tampak, entah bagaimana, kecewa. Lantas dia mengingat satu percakapannya dengan Aruna, tentang seorang teman yang tidak menepati janjinya. Dan Gamma mengatakan bahwa seseorang yang seperti itu layak disebut sebagai pengecut. Dan disinilah, mungkin teman yang dimaksudkan Aruna, juga orang yang disebut pengecut oleh Gamma adalah tamunya yang membawa sederetan kisah-kisah tidak terduga yang berhasil mengguncang rumah ini beserta orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Andre menarik napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan cerita seolah tidak ingin Gamma dan Tyas berlarut-larut terkejut karena aibnya.
Dia mengatakan kepada Bu Sarah bahwa dia tidak bisa menikah dengan Aruna. Lalu Bu Sarah yang berpikir bahwa Andre sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya, apa yang telah Bu Sarah tutupi dari keponakannya, lantas kembali marah kepada Aruna.
“Bu Sarah menampar Aruna sambil mengatakan bahwa dia adalah pengkhianat. Tidak tahu terima kasih. Tidak tahu cara membalas budi. Juga mengatakan bahwa dia adalah pelacur kecil. Jujur, gua sakit hati sendiri ngelihat gimana dia dipukulin, ditampar, tapi gua cemen. Gua bahkan gak bisa menahan tante gua. Aruna gak ngelawan. Dia menerima dan menangis dengan bibir yang bengkak dan luka. Tante gua itu bahkan ngambil handphone Aruna yang ditahannya. Gua bisa lihat masih ada notif chat lu nanyain dia dimana. Akhirnya, handphone itu dibanting ke lantai, diinjak sampai pecah. Tante gua pergi setelah ngambil kartu SIM Aruna, entah kemana, pakai mobil. Gua cuma bisa diam lihat Aruna tersedu-sedu memungut sisa-sisa pecahan handphone. Dia bilang foto-foto kalian cuma ada di handphone itu. Gua nyadarin Aruna bahwa handphone itu udah gak bisa diapa-apain, udah gak bisa diperbaiki. Gua bawa Aruna kembali ke kamar dan di sana Aruna cerita kalau lu minta dia pergi, kalian putus, tapi sesuatu yang lain udah terjadi di antara kalian. Dia sendiri bingung, apa dia harus kembali ke lu setelah mendapat penolakan atau dia keluar dari kehidupan sekarang dan kembali hidup bersama Pak Ari. Gua bilang ke dia kalau lebih baik untuk nemuin lu dulu. Tapi beberapa kali kami ke kost, lu gak ada. Aruna bilang dia punya kunci kamar lu tapi semua isi tasnya udah sama Bu Sarah, termasuk kunci kamarnya sendiri. Kami bahkan gak ketemu tetangga lu, Gam, untuk sekedar ninggalin pesan.”
Gamma terperangah, bahunya bergetar. Entah untuk keberapa kali dia terkejut dengan cara yang berbeda-beda. Dia mengingat bahwa saat itu dia di Pulau Siberut dan Pak Yahya sudah pergi. Sedangkan penghuni kost lain sedang sibuk mencari-cari kost baru atau bersiap pindah atau justru sudah ada yang pindah.
“Akhirnya, Aruna mikir lu ngindarin dia,” kata Andre, suaranya berat dan penuh penyesalan. “Dia ngerasa lu sengaja menjauh, Gam.”
“Gak!” sambar Gamma segera, “gua kerja. Gua gak di Jakarta nyaris sebulan waktu itu.”
Kini giliran Andre yang terbelalak tidak percaya. Dia menunduk. Sepertinya tampak menyesal, “Aruna, yang udah gak tahu mau kemana itu akhirnya gua ajak ke Pandeglang, ke rumah gua. Seminggu setelah itu, dia mutusin untuk kembali ke ayahnya, ke Lampung, ke daerah Pesawaran. Tapi dia pengen ketemu Bu Sarah sekali lagi untuk pamitan. Akhirnya gua cuti kerja untuk nemenin Aruna ke Tangerang. Kami ke klinik. Tante gua masih gak bisa maafin Aruna. Dia minta Aruna pergi, gak perlu kembali. Lu tahu? Hari itu Aruna masih pakai jaket lu, Gam. Juga dia masih pengen kembali ke kost, mastiin lu sekali lagi. Kami ke kost dan lu masih gak ada.”
“Kapan? Kapan itu?” Gamma mencondongkan tubuhnya dan tangannya yang menopang di paha itu kini memangku wajahnya. Rautnya cemas, tegang dan marah. Dia takut jika hari itu adalah hari dimana dia langsung ke klinik setelah dari bandara.
“Gua lupa pastinya, tapi hari Senin, pertengahan Maret.”
Apa yang ditakutkan Gamma kini terbukti. Dia di sana waktu itu, di seberang kini di dalam taksi, melihat Aruna keluar dari klinik dan masuk ke mobil Andre.
Gamma mengusap-usap tengkuknya dengan kasar, sekilas dia melihat Tyas menunduk untuk menyembunyikan tangis. Tapi Gamma tidak sampai memiliki keinginan untuk menenangkan istrinya, karena dia sendiri sedang terguncang hebat. Bukan tanggung mendidih darahnya mengetahui dia terlambat beberapa menit saja sampai di kost hingga Aruna sudah benar-benar pergi. Bukan main tersulut api dalam dirinya mengetahui apa-apa yang selama ini telah dia salah pahami. Gamma kebingungan luar biasa, entah apa yang harus dia lakukan menghadapi segala tekanan-tekanan yang datang dari berbagai sisi. Dia merasa dilindas hingga tipis. Harapannya yang dulu habis itu kini muncul menjadi serangan yang bertubi-tubi. Dia ingin berteriak kepada wajah Andre mengatakan bahwa dia di sana, dia ingin menemui Aruna, bahwa tidak hanya Aruna yang mencari-cari. Tapi Gamma hanya meneriakkannya dalam hati, seolah berteriak untuk diri sendiri. Mereka saling ingin menemukan tapi setiap langkah yang mereka ambil justru saling menjauhkan.
“Dia gak hapal nomor hape lu. Aneh,” kata Andre lagi, “Andai dia hapal, mungkin segalanya lebih mudah.”
Gamma diam, dia tidak merespons masalah nomor yang tidak dihapal. Karena memang sejak dulu, mereka hanya menyimpannya setelah mendapatkan nomor masing-masing. Lalu segala kemudahan teknologi membuat mereka tidak berniat menghapal.
Lalu dengan suasana yang sudah terlanjur tidak menyenangkan, Andre meneruskan ceritanya. Sebuah cerita yang menunjukkan rasa bersalah diri terhadap apa yang tidak dia akui sejak awal kepada tantenya sehingga Aruna harus menjadi korban. Sebuah cerita sebagaimana seseorang akhirnya harus bertanggung jawab atas penderitaan seorang teman karena ulahnya. Bahwa sore hari itu Andre akhirnya menemani Aruna ke Lampung setelah bersusah payah meminta izin atasannya untuk menambah hari cuti hingga seminggu. Akhirnya melalui telepon, alih-alih mendapatkan perpanjangan cuti, Andre justru dipecat. Bagi Andre itu bukan suatu masalah, karena dia memang akan mengundurkan diri sebab klinik Bu Sarah sudah menanti. Mereka berdua menaiki kapal feri dan sampai di rumah Pak Ari nyaris tengah malam hanya berbekal sebuah catatan alamat ayahnya pada buku tulisnya. Sebelum Aruna pergi, akhirnya Bu Sarah mengembalikan tas selempang Aruna dengan hanya menyisakan sebuah buku tulis, buku agenda cokelat Gamma, dompet dan botol minum, yang kemudian Gamma tahu itu adalah botol minum hadiah yang pernah dia belikan untuk Aruna. Andre pulang keesokan harinya setelah membelikan Aruna sebuah ponsel dan meninggalkan uang untuk pegangan. Aruna menerimanya meskipun menganggap itu semua adalah utang. Lalu melalui ponsel itulah Aruna tahu bahwa, entah ulah Bu Sarah atau tidak, bahwa seluruh sosial medianya tidak bisa diakses lagi, termasuk e-mail pribadi. Dua minggu setelah kesana-kemari melamar pekerjaan, Aruna mengabarkan Andre bahwa dia diterima bekerja di puskesmas desa sebagai honorer.
Terbayang oleh Gamma, sosok gadis yang selalu riang saat dia datang menjemput setelah pulang dinas, atau Aruna yang masuk ke studio saat Gamma bekerja di Gammares dulu, atau saat mereka makan dengan hanya nasi dan telur dadar saja tapi cerita-cerita di antara suapan mampu membuat mereka menikmati makanan itu tanpa keluhan. Lalu bayangan itu hilang digantikan oleh wajah Aruna yang menyedihkan, dengan sudut bibir yang luka, atau raut pilu Aruna yang berpikir bahwa kekasihnya pergi menghindarinya, juga bagaimana susahnya Aruna kesana-kemari mencari kerja. Gamma, kini tampak seperti orang yang baru saja bangun dari koma lama: tenaganya habis dan kesusahan bicara, hanya bisa mendengar saja. Dia merutuki tindakannya yang dulu merelakan Aruna, dengan harapan kebahagiaan menyertainya, namun ternyata apa yang dia dapatkan sekarang? Sudahlah harus melewati fase-fase sulit kehilangan, bukan berita bahagia, justru rentetan kemalangan yang harus dihadapi kekasihnya. Sendirian pula.
Episode-episode penderitaan yang dialami Gamma berbulan-bulan, kini terasa tidak sebanding dengan nasib buruk yang dihadapi Aruna pada bulan-bulan yang sama.
“Juni, akhir Juni. Malam. Aruna tiba-tiba nelpon sambil nangis bilang kalau dia hamil. Dia gak bilang siapa dan gua gak nanya, tapi gua tahu kalau itu anak lu. Dia minta gua untuk cek lagi lu ke kost dan ya, gak ada, Gam. Gua sampai di suruh ke rumah temen lu, Ares. Ares, ya? Dan lu tahu? Pembantu di rumahnya bilang kalau Ares udah gak tinggal di rumah itu. Bahkan gua gak bisa dapet nomor hape Ares. Karena pembantunya bilang kalau Ares nitip pesan jangan kasih tahu siapapun tentang apapun yang orang tanya mengenai dia.”
Gamma ingat, memang benar Ares mengatakan itu pada Mbok Rah, karena Ares ingin menghindari orang-orang dari pekerjaan gelapnya bersama Bang Panca dulu. Dia tidak ingin dicari oleh mereka-mereka yang terkait dengan rumah yang bukan rumah di gang sempit dulu sebab dia kabur begitu saja meninggalkan tulisan yang tidak dia selesaikan.
“Akhirnya gua jemput Aruna, gua janjiin dia untuk nyari lu sama-sama. Gua gak bilang ke tante gua kalau Aruna di Tangerang. Dia ngekost harian sam-”
“Di tempat makan. Dokter kandungan. Gua paham sekarang. Juni itu waktu kita ketemu lagi. Tapi yang gua gak paham kenapa gak ada satupun dari kalian yang bilang dia hamil anak gua saat itu?” Suara Gamma terdengar sangat rendah, dia melihat Andre perlahan setelah cukup lama menatap lantai dengan tatapan kosong.
“Gua justru mau nanya!” Tanpa diduga, Andre berdiri segera dengan raut kesal, “Lu yang katanya benar-benar cinta sama Aruna, bisa gantiin posisi dia dengan perempuan lain?! Orang yang dia kenal lagi!” Seru Andre manatap Tyas yang mendongak padanya dan tampak tergagap-gagap ingin berkata, namun Andre menyela, “Tiga bulan! Cuma butuh waktu tiga bulan kalian berdua udah pacaran!”
“Enggak!” Tyas berdiri dan berhasil menyela.
Gamma tersentak, Andre terperangah.
“Yas!” Gamma menggeleng sambil menyergap pergelangan tangan istrinya, dia menahan Tyas untuk tidak mengakui kebohongannya: mengaku-ngaku sebagai pacar hanya karena tidak terima Gamma diperlakukan seenaknya.
“Itu! Saat itu akhirnya kami nemuin lu! Tuhan nunjukin jalan. Kami baru pulang dari dokter kandungan buat mastiin kehamilan Aruna. Lu tahu? Sepanjang jalan dia senyum, ngeliatin foto USG anaknya. Anak lu! Harapannya besar saat itu dan tiba-tiba hancur! Lu udah sama cewek lain! Lu tahu dia bilang apa? Lu bukan orang yang sembarangan minjemin baju ke perempuan. Tapi kemeja lu saat itu dipakai Tyas! Dua perempuan di waktu yang sama, yang satu pakai jaket lu, yang satu pakai kemeja lu!”
Gamma mengerjap, mencoba memahami semuanya. Hatinya terasa seperti diaduk-aduk, bercampur antara rasa bersalah, kehilangan, dan kebingungan. Apa yang terjadi selama ini ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan. Sesuatu dalam dirinya meledak-ledak, tapi mulutnya tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Gamma meremas kepalanya dengan kuat, seolah mencoba menahan rasa sakit yang menggerogoti kepalanya. Menyadari segala sesuatu terjadi bertaut-tautan tapi juga saling bertabrakan. Cerita-cerita yang terkelupas satu per satu baginya kini terdengar menakutkan seperti sebuah teror. Juga rasanya terlalu berat untuk ditanggung, dan tanpa bisa menahannya, tubuhnya tiba-tiba ambruk di sofa.
“Pak Andre! Waktu itu saya …,” Tyas menangis, kata-katanya terbata-bata.
“Yas? Udahlah …,” Gamma memotong. Tyas menatap suaminya dengan mata yang penuh kesedihan. Suara Gamma yang serak, hampir putus asa, membuat hatinya terasa remuk. “Udahlah …,” Tyas mendengar permohonan suaminya lagi.
Melihat Gamma dalam kondisi seperti itu, Tyas dihimpit beban. Tiba-tiba dia dihantam oleh penyesalan yang mendalam. Kini dia sadar bahwa tindakan dan ucapannya tiga tahun lalu, yang dimaksudkan untuk melindungi Gamma, ternyata justru menjadi penghalang dan penghancur bagi dua orang yang saling mencintai untuk bersama. Dia yang telah salah tafsir membuatnya gegabah dan salah langkah. Tyas tidak pernah melihat Gamma pecah seperti ini sebelumnya, dan itu membuatnya merasa tidak berdaya. Dia ingin meraih dan memeluk suaminya, tapi daripada itu semua, dia merasa lebih baik mengakuinya. Mengakui apa yang telah membuat suaminya kini terpuruk. Dan juga dia tahu dia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah berantakan sejak pertemuan siang itu.
“Pak Andre, saya dan Mas Gamma waktu itu belum pacaran. Saya hanya … hanya … berpikir kalian sudah menikah dan memamerkan kehamilan pertama. Saya mencoba melindungi Mas Gamma.” Tyas dengan suara yang dicekal penyesalan membuatnya terputus-putus dalam menjelaskan, “maafkan saya. Saya benar-benar …,” Tyas mengusap air matanya segera dan sepertinya tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Tidak sanggup.
Andre tercengang. Pada wajahnya jelas terlihat dia sangat marah dan menahan sekuatnya agar tidak mengumpat kepada perempuan, terlebih tuan rumah. Juga dia tahu bahwa jika kata-kata kasar itu dia lontarkan, maka dia yakin, Gamma akan mengusirnya sebelum cerita ini berakhir. Bagaimana juga, dia menyadari, dia telah mengamati sedari tadi, bahwa Gamma sangat menghargai dan menghormati istrinya. Maka dia hanya bisa berdiri dengan geram, mengepalkan tangan sekuatnya dan berjalan ke arah jendela. Matanya bergerak liar sedang berusaha keras mencari sesuatu di luar sana yang dapat memberikan sedikit kedamaian. Napasnya berat.
“Tapi benar, mau gimanapun waktu itu kalian bersandiwara, perkiraan Aruna tepat. Kalian menikah suatu saat. Dan di sini lah gua, di rumah kalian,” ucapnya di tengah deru emosi yang melanda, membuat suaranya bergetar dengan berat.
“Maksudnya?” tanya Gamma.
Setelahnya, dia bercerita bagaimana Aruna menangis bermalam-malam. Bahkan hingga kembali ke Pesawaran. Andre menyarankan untuk aborsi saja karena beberapa hal. Menjaga nama baik Pak Ari di desa, mempertahankan pekerjaan Aruna yang meskipun pegawai honor saja juga masalah kesehatan Aruna. Bahwa saat pemeriksaan kandungan itu, rahim Aruna lemah, dia harus banyak minum suplemen kesehatan agar bayinya tumbuh normal dan sehat. Itulah sebabnya, pada kehamilan memasuki usia tiga bulan, perut Aruna tidak tampak menonjol sedikitpun, Alpha tumbuh lambat. Tapi dengan teguh Aruna katakan pada Andre bahwa dia memutuskan untuk melahirkan Alpha. Dan itu berarti adalah tanggung jawab seumur hidup sebab anak tidak hanya lahir dan besar, tapi juga butuh orang tua untuk mendidik dan mengajarkan. Sebuah kepatuhan. Sebuah amanah. Dan dia sendirian. Lalu Aruna meminta sesuatu kepada Andre, sebuah kerja sama, juga dengan Pak Ari dan istrinya, bahwa Andre adalah suami Aruna yang bekerja di Tangerang. Hanya sebatas pengakuan untuk tetangga-tetangga Pak Ari di desa. Andre menyetujui cepat sekali tanpa memperlihatkan berat hati.
“Rasanya itu lumayan mengikis tebal rasa bersalah gua.” Begitu ucap Andre saat kembali duduk.
Lalu Aruna yang sudah bulat tekadnya untuk melahirkan dan memiliki Alpha, dengan serius memperbaiki menu makanannya.
“Dia menjadi gemuk saat hamil, Gam. Dia gak peduli. Yang dia tahu Alpha butuh nutrisi. Juga dia dikelilingi rekan kerja yang baik-baik, yang tidak memaksa tenaganya di puskesmas itu. Alpha lahir di bidan puskesmas, 8 Desember 2019,” jelas Andre sambil sedikit-sedikit menunduk, menatap kedua kakinya, mungkin juga menyembunyikan kesedihannya sebab setelah itu Andre menceritakan bahwa Alpha nyaris tidak hidup karena kehabisan air ketuban. Karena sore itu Aruna tidak cepat dibawa ke rumah bidan sebab Pak Ari kesusahan mencari mobil tumpangan.
8 Desember? pikir Gamma. Dahinya berkerut, mengingat-ingat sepertinya ada sesuatu yang ganjil dengan tanggal itu. Ya. Akhirnya dia ingat, itu tanggal hari jadi mereka: 8 Desember 2017. Lalu siapa sangka dua tahun setelahnya anak mereka lahir pada tanggal yang sama.
Gamma semakin kacau. Hatinya yang porak-poranda itu jelas-jelas membuatnya tak mampu banyak berbicara.
Tyas sedang mengusap-usap keringat pada dahi suaminya. lalu suaminya meminta segelas air. Entah kenapa Tyas baru tersadar, sejak pulang tadi, suaminya tidak dia suguhi minuman. Dia berdiri segera, ke dapur, selama air mengisi gelas, selama itu juga lah Tyas merutuki diri sendiri sebab dia sudah terbukti bukan istri yang baik karena air saja tak sempat dia beri, juga mau tidak mau mengira-ngira bagaimana jika benar Aruna yang menjadi istri suaminya, mungkin suaminya tak terucap bagaimana bahagianya.
Aku bodoh.
Aku bodoh.
Aku istri yang tidak pantas.
Umpatnya pada diri sendiri.
Lalu dia kembali, mengantarkan minuman itu ke bibir suaminya.
Andre yang menunggu Gamma merapikan diri luar dan dalam, melemparkan pandangan pada seluruh ruangan. Ruangan dengan gaya minimalis ini alih-alih memajang foto penghuninya, justru hanya ada dua kutipan yang dipajang di dinding dari seseorang yang namanya tidak familiar bagi Andre, di bingkai dengan kayu alami dengan memperlihatkan garis-garis tahun kayu tersebut. Andre menduga-duga mungkin saja itu kutipan dari seorang seniman atau fotografer andal, juga selain dua kutipan yang terpajang itu, pada meja sudut, terdapat miniatur kamera lengkap dengan tripodnya. Furniture di rumah ini memang tidak banyak, tapi dari sofa yang dia duduki, dia tahu bahwa harga sofa ini setara dengan harga motor baru, begitu juga dengan jenis cat dinding yang tampak mewah melapisi tiap sisi rumah. Juga dari pemandangan yang disuguhkan jendela tadi, dia melihat beberapa jenis tanaman tumbuh baik di halaman yang tertata rapi. Dari apa yang diamatinya, Andre tahu bahwa Gamma dan istrinya hidup berkecukupan dan damai. Entah bagaimana, dia merasa sedih sebab semuanya ini berbanding terbalik dengan apa yang Aruna lalui selama ini.
“Di buku sampul hitam itu, ada surat yang gak pernah sampai ke Aruna. Tapi ternyata lagi-lagi Tuhan punya cara. Dia baca, Gam. Dia baca yang lu tulis di kertas itu. Dia tunjukin ke gua baris yang mengatakan kalau lu hari itu, tanggal 8 Desember itu, merasa kayak baru aja terjadi sesuatu dengan cara paling meluluhkan hati. Ya. Hari lu nulis surat itu, hari anak lu lahir. Gua heran dan takjub menyadari ternyata begini firasat bekerja. Bahkan setelah gak berkomunikasi untuk waktu yang lama, tapi tetap saja, ayah adalah seorang ayah. Dia tahu dirinya yang lain telah lahir pada tubuh baru.”
“Dia baca?” Tanya Gamma dengan raut kesedihan luar biasa, kedua ujung bibirnya menukik tajam ke bawah, begitupun ujung terluar alisnya.
“Ya. Aruna baca.”
“Gimana bisa?”
Andre berdeham, kemudian menatap Gamma seolah berkata persiapkan dirimu lebih kuat lagi untuk sesuatu yang akan kamu dengar ini.
Gamma yang menangkap maksud tatapan itu, tertunduk. Kedua tangannya saling menggenggam erat dan sikunya menopang pada paha. Lantas wajahnya tertekuk, lemah, menatapi lantai.
“Singkatnya, Bu Sarah terjangkit Covid. Dalam keadaan kritis, dia minta Aruna kembali. Dia ingin memaafkan Aruna dan ingin Aruna disisinya lagi. Aruna datang membawa Alpha. Lalu hari-hari di Tangerang berjalan biasa aja. Aruna bantu-bantu di klinik yang saat itu cukup ramai pasien dengan ciri-ciri Covid, sedangkan Alpha tinggal di rumah Bu Sarah sama pembantu. Di sana Aruna ketemu sama salah satu juniornya, Gina yang kerja di klinik Bu Sarah. Dia ceritain kalau kost mereka udah gak lanjut lagi, dari cerita itu Aruna mulai memahami situasi bahwa lu gak ngindar, tapi lu mungkin pindah. Juga Gina bilang kalau dia ketemu lu, Tyas dan pacar Tyas beberapa bulan lalu. Gina yakin banget kalau lu bukan pacar Tyas. Orang Mbak Tyas bawa pacarnya kok waktu itu. Gitu Gina bilang. Gina bilang tentang Midas yang dia denger dari lu dan Tyas pas ketemu dulu. Beberapa hari setelah itu, Aruna datang ke Midas tapi gak ada orang. Tutup. Sampai akhirnya Aruna ketemu teman lain di hari lain. Teman kuliahnya yang juga kerja di rumah sakit tempat Aruna dulu. Dari teman itu lah Aruna tahu kalau lu kecelakaan, habis operasi. Aruna datang ke rumah sakit. Gua juga di sana, Gam. Gua anterin dia. Dia nangis, meluk lu. Ngusap-ngusap wajah lu. Dia pengen lebih lama tapi pembantu nelpon bilang Alpha tiba-tiba rewel dan demam. Kami pulang. Dan pas balik lagi ke rumah sakit beberapa hari kemudian, lu udah pulang. Teman Aruna, gua lupa namanya …,”
“Syahreza. Reza. Pasti dia,” jawab Gamma yang tidak lepas menatap Andre yang tengah menjelaskan seluruhnya, semuanya, dengan detail yang membuatnya benar-benar ingin lenyap saja.
“Ah. Ya. Iya. Syahreza. Dia bilang buku agenda lu ketinggalan. Itulah, Aruna bilang dia yang bakal antar. Dari Syahreza dia tahu alamat lu yang didaftarkan di RS. Gua antar Aruna, sepanjang jalan, di mobil dia peluk tas yang berisi buku itu. Dia juga akhirnya baca semua surat-surat lu. Dia nangis haru, tahu bahwa lu masih mencintai dia. Dia baca berkali-kali dengan air mata yang deras. Dia masih senyum bahagia, Gam, sejak turun dari mobil, masuk ke gedung kost, naik tangga, tapi tiba-tiba senyumnya hilang pas sampai di depan kamar lu. Kami dengar suara kalian berdua di dalam. Intim dan hangat. Lagi-lagi, dia merasa dipermainkan nasib. Dia diam cukup lama. Bahkan menahan gua ngetuk pintu. Dia minta diantar pulang aja setelah meletakkan tas berisi buku itu. Di jalan dia diam. Gak menangisi kesedihannya. Matanya lurus aja ngeliat jalanan. Gua jadi inget tante gua dulu yang nyaris bunuh diri dengan ciri-ciri yang begitu. Jujur saat itu gua takut banget Aruna bakal lakuin hal yang sama. Pas berhenti di lampu merah, dia bilang dengan suara berat kalau lu pasti akan menikahi Tyas. Gua diam. Tapi perasaan gua rasanya ikut-ikutan hancur. Pas sampai rumah, dia langsung meluk Alpha, juga langsung nangis. Dia bilang ke Alpha bahwa kali ini dia menyerah. Dia meminta maaf pada anak kecil yang gak tahu apa-apa bahwa ibunya gak bisa membawa ayahnya kembali. Dia udah capek berharap, Gam. Karena tiap kali berharap, tiap itu juga dia dipermainkan.”
Bahkan Andre, meskipun mulutnya lancar mengisahkan, tapi pada matanya dilapisi pilu hati yang juga tak terkira. Dia merasa telah gagal sebagai saudara, juga untuk dikatakan sebagai seorang teman pun dia merasa tak layak. Sedang Gamma, kini dadanya disesaki nestapa. Menyiksanya hingga kesulitan meraih udara. Tenggorokannya sakit luar biasa, matanya merah, juga kulitnya terasa panas meskipun tampak pucat. Di titik ini terdengar isakannya. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dalam dirinya, dia sibuk merutuki momen-momen yang berjalan bersamaan namun saling menghantam, menimbulkan kesalahpahaman dahsyat yang membuatnya menjadi laki-laki paling jahat juga tak bermartabat.
“Alasan gua selama ini diam, karena Aruna yang minta. Gua anggap itu salah satu cara menebus kesalahan gua ke dia. Juga dia takut lu bakal bawa Alpha, karena lu bakalan menikahi perempuan lain. Berkali-kali gua bilang ke Aruna, coba lah cari pengganti. Lu tahu dia jawab apa?” tanya Andre dengan nada yang terdengar sedikit menantang.
Gamma tidak menjawab, dia hanya menatap Andre seolah menunggu jawaban.
“Dia udah meninggalkan penggantinya di sini, buat apa aku cari yang lain sedangkan aku punya yang nyaris sama?” jawab Andre sambil menampilkan senyum sinis, “Alpha.”
Gamma memejamkan matanya, dia tampak rapuh, “Mana mereka?” tanya Gamma kemudian.
Andre diam.
“Alpha dan Mbak Aruna dimana?!” Kini Tyas mulai tidak sabar melihat Andre yang tak kunjung menjawab. Dia sendiri terkejut mendengar apa yang akhirnya dia tanyakan: anak dan mantan kekasih suaminya.
Entah bagaimana akhir pernikahan mereka, apakah Gamma memutuskan untuk bersama Aruna dan Alpha, atau Gamma akan membawa Alpha ke dalam pernikahan mereka, atau Gamma akan tetap dalam pernikahannya bersama Tyas dengan menafkahi Alpha, tanpa membawa atau menuju Aruna. Apapun itu, nyatanya Tyas siap. Dia tahu dia turut bertanggung jawab. Seluruh penderitaan Aruna bermula dari sandiwaranya di tempat makan siang itu. Dia siap, atau setidaknya dia meyakinkan diri bahwa dia siap untuk resiko terburuk, lagi.
“Tunggu!” Gamma buru-buru berdiri dengan wajah kalut, “lu bilang Aruna yang minta buat rahasiain ini semua, kan? Tapi sekarang lu datang.” Gamma melihat segera buku cokelat yang sedari tadi tidak disentuhnya, “Ndre …?” tanya Gamma dengan mata seorang yang kalah. Seolah dia tahu diamnya Andre justru sedang berusaha keras menemukan kalimat yang pantas. Dan sebelum kalimat itu terucap, wajah Andre sudah mampu menguraikan tiap huruf, tiap kata dan kalimat-kalimat yang masih ditahannya di kepala.
“Ya. Ya, Gam. Karena Covid,” Andre menanggapi cepat, dia menyadari Gamma mulai memahami situasi, “Alpha udah dua minggu ini piatu. Dan gua datang ke sini karena gak pengen anak itu tumbuh yatim-piatu.”
Tyas dan Andre menyaksikan bagaimana kaki Gamma kehilangan pijakan. Lututnya yang lemas meruntuhkan tubuhnya ke sofa. Tangan-tangannya, yang biasanya tegar dan penuh tenaga, kini gentar tidak terkira. Pada matanya yang terbelalak itu, air mata tumpah ruah dalam diam, hening. Alih-alih raungan, isakan bahkan sedu-sedan pun tidak terdengar. Tidak ada yang akan tahu saat ini Gamma tengah menangis jika tidak melihat sendiri air mata itu mengalir. Tubuhnya kaku, lidahnya kelu bahkan matanya yang terbelalak itu bersorot sendu. Dia sendiri mungkin tidak menyadari bahwa sedang menangis, sebab tangannya tidak berniat menghapus kesedihan yang jelas-jelas mengaliri wajah hingga lehernya. Gamma duduk dengan tatapan seperti seorang duda: dewasa dalam kesedihan dan hening dalam kerinduan. Di sanalah Tyas semakin tahu posisinya, bahwa dia hanya wanita lain dalam hidup Gamma. Dan lain itu berarti tidak ditengah, tidak pada pusat sentral, melainkan di samping. Dia merasa harapannya serupa kembang api bermekaran di langit malam akhir tahun Jakarta; hilang dengan cepat cahaya dan suaranya. Bak Tyas kini, warnanya memudar lagi, juga suaranya seakan tidak penting lagi. Dia sedih, tapi dia tidak berhak menangis, sebab tangisan hanya pantas dilakukan oleh orang yang benar-benar sakit. Dan orang itu adalah suaminya sendiri, yang sakit akibat ulahnya pada tahun-tahun lalu.
“Mas?” panggilnya dengan suara yang dikuat-kuatkan.
Mas Gamma-nya hanya diam, tidak berekspresi apa-apa selain hanya kaku, kelu dan sendu. Hancur sudah dirinya berkeping-keping, berserakan di lantai. Bahkan matanya tidak berkedip meskipun air terus menggenangi kemudian mengaliri pipinya. Tyas yakin, Mas Gamma-nya sudah tidak ada, hanya seorang Gamma yang menginginkan pulang ke tahun-tahun dimana Aruna berada. Dimana Aruna selalu melambaikan tangan padanya. Dimana setiap suka dan dukanya ditangkup mesra oleh tubuh kekasih yang semestinya.
Andre mengatakan bahwa Alpha sekarang di Pesawaran, di rumah kakeknya. Juga meninggalkan kartu nama.
“Gua bersedia menemaninya menjemput Alpha. Telpon aja.”
Begitu katanya pada Tyas. Andre seakan tidak mengizinkan Tyas untuk keberatan menerima Alpha dengan mengatakan kalimat itu, kalimat yang diucapkan dengan tegas dan mantap.
Tyas tidak tahu apakah Gamma mendengarnya atau tidak. Laki-laki itu, bak patung angel of grief. Tidak dapat dikira apakah telinga dan matanya berfungsi sebagaimana mestinya. Pandangan lurus ke tempat Andre sedari tadi duduk, bahkan setelah tamu itu pergi. Bahkan setelah Tyas kembali dari mengantar tamu itu keluar, Gamma masih duduk dengan ekspresi yang tidak berubah. Tyas memeluk suaminya sambil mengatakan maaf berkali-kali hingga suaranya sendiri habis karena tangis. Tetap, Gamma bergeming.
Hingga matahari telah karam, dan langit mulai mengurai warna-warna yang pekat, Gamma tetap tak beranjak dari sofa. Kali ini, dalam dekapannya ada sebuah buku bersampul cokelat yang terasa berat—bukan karena bobotnya, tetapi karena segala kenangan juga cerita yang terbungkus di dalamnya. Dari dapur, Tyas sesekali mencuri pandang, matanya bersembunyi di balik uap yang naik dari panci, tangannya sibuk meramu makan malam. Ketika adzan Isya berkumandang, dengan semangkuk mi instan dengan penuh isian tambahan; tampak sayur dan beberapa bulatan bakso mengapung, mendekati suaminya yang hilang dalam pikirannya sendiri. “Makan, Mas. Belum makan dari siang, kan?” bisik Tyas setengah memohon setengah memaksa.
Pandangan Gamma yang semula kosong tiba-tiba menunjukkan gelisah yang tidak biasa, seperti riak kecil di permukaan air tenang. Dia menatap Tyas perlahan, sorot matanya tidak benar-benar fokus, “Keju. Aku lupa kamu nitip keju,” ucapnya datar, seakan itu satu-satunya hal yang kini menembus kabut tebal pikirannya.
Saat itu juga, hati Tyas meledak, bukan oleh amarah, tetapi oleh kepiluan. Dia meletakkan nasi goreng itu dengan tergesa di meja, lalu tanpa berpikir panjang, dipeluknya suaminya erat, seolah ingin menyatukan serpihan-serpihan jiwa suaminya yang berserakan. Isakannya pecah, lambat laun berubah menjadi raungan panjang, raungan yang mengandung seluruh penyesalan dan kesedihan yang tidak terberai oleh kata-kata. Di dalam pelukannya, Gamma tetap membisu, seakan kembali terjebak dalam labirin masa lalu, jalan dimana dia dan kekasih lamanya lalui secara bersama namun terhalang tembok tinggi, yang membuat mereka akhirnya sama-sama tidak mengetahui telah terpisah semakin jauh. Tatapannya yang hampa dan tubuhnya yang bisu seperti tidak peduli terguncang-guncang karena menerima derasnya rasa bersalah yang tak berkesudahan dari Tyas.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)